Di sisi lain pun sama halnya dengan kehidupan seseorang. Selain banyak yang berubah di kehidupan Kasih, Gilang pun merasakan hal yang sama.Saat ini pria itu tengah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, karena anak kesayangannya selalu saja menyuruhnya untuk segera pulang.Kini mobil itu pun sudah sampai di pelataran rumahnya, Gilang cepat-cepat turun dari mobil itu, mengetuk rumahnya berkali-kali hingga pada akhirnya ada seorang wanita cantik yang membukakan pintu rumah itu."Di mana Manda?" tanya Gilang tak sabaran."Manda sedang ada di kamar, dia tidak mau makan, Pak."Gilang mengangguk paham, dia cepat-cepat berjalan menuju kamar anaknya, baru saja ingin menaiki tangga, tiba-tiba saja wanita itu memanggilnya."Pak, Anda pasti kelelahan. Apa Anda tidak ingin istirahat saja terlebih dahulu, atau ingin makan malam. Kebetulan saya sudah membuatkan makan malam untuk Anda," kata wanita itu lembut.Gilang menghela napas berat. Dia tahu kalau pengasuh anaknya itu tertarik padanya
"Tiara!" panggil Gilang, suara pria itu tampak menggelegar. Bahkan Tiara saja sampai terkejut dengan suara Gilang, wanita itu menuju ke arah Gilang dengan langkah cepat. Sudah wanita itu prediksi jika Gilang pasti sedang marah."Iya, Pak. Ada apa?" tanya wanita itu gugup."Kamu ini seharian di sini ngapain aja? Kenapa nggak pernah becus ngurusin anakku, hah?!" bentak pria itu seraya berkacak pinggang."Maksud Anda seperti apa, Pak? Saya sudah mengurus Manda dengan baik," sahut wanita itu dengan kepala menunduk, dia sama sekali tidak berani menatap Gilang. Menurutnya, ketika Gilang emosi, wajahnya tampak menyeramkan."Mengurus anakku dengan baik?" tanya Gilang remeh. "Tadi bukannya kamu bilang kalau Manda belum makan malam? Apa itu disebut mengurus dengan baik? Sia-sia aku karena udah gaji kamu!" sentak pria itu."Maafkan saya, Pak. Saya sudah berusaha membujuk Manda, tapi dia memang susah kalau disuruh makan," jelas wanita itu."Apa kamu tidak bisa merayunya, huh? Di mana sisi keibua
"Ini aku bayar SPP Bastian selama tiga bulan," kata Kasih dengan suara tegas. Dia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan tajam."Oh, bayar spp ya? Udah punya pemasukan sekarang dong," ejek wanita itu."Mau punya pemasukan atau tidak, itu sama sekali tidak ada urusannya sama kamu. Dina, kamu boleh bersikap ketus sama aku, tapi tolong jangan libatkan Bastian dalam hal ini, dia itu masih kecil, nggak tahu apa-apa. Harusnya kamu sebagai guru itu memberi contoh yang benar pada anak didiknya, bukan malah seperti ini. Aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, masalah pembayaran kamu langsung ngomong sama aku, jangan ke anakku!" bentak Kasih.Dina diam saja, dia menatap Kasih dengan sinis seraya melipatkan kedua tangannya di dada. Dina memang membenci Kasih, sangat. Bahkan dia memperlihatkan hal itu secara terang-terangan. Bukan tanpa sebab Dina seperti itu, Dina membenci Kasih karena Kasih berusaha merebut Bima darinya."Terserah aku dong, di sini, kan, aku gurunya. Kenapa jadi kamu yang
Tok ... tok ... tok ...Bastian dan Kasih saling menatap satu sama lain. Mereka sudah menduga jika yang datang adalah Bima."Biar aku yang bukain, Bun," kata anak itu.Ketika Bastian ingin bangun dari duduknya, Kasih langsung memegang tangan Kasih seraya menggeleng cepat."Tidak usah, kita teruskan makan saja.""Tapi, Bun.""Biarkan saja, biar dia mengira kalau kita tidak ada di rumah.""Tapi, Bun. Kasihan Om Bima.""Bastian, dengar Bunda. Mulai saat ini kita nggak usah lagi dekat-dekat dengan om Bima.""Kenapa, Bun? Emangnya om Bima jahat sama kita?""Pokoknya jangan dekat-dekat, sekarang habiskan makananmu!""Iya, Bun," kata Bastian patuh.Mereka pun kembali melanjutkan acara makannya."Kasih, aku tahu kamu ada di dalam. Kenapa nggak dibuka pintunya?"Lagi-lagi Bastian dan Kasih saling pandang, tapi kali ini Bastian tidak berani berbicara lagi.Kasih menghela napas berat, berdiri dari duduknya lalu melangkah menuju pintu, tapi sebelum benar-benar dia melangkahkan kakinya, wanita itu
"Tumben kamu Mas mau jemput aku?" tanya Dina seraya mengernyit heran."Iya, sekalian ada yang mau aku omongin sama kamu, cepat naik," sahut Bima datar, menyuruh wanita itu agar segera naik di motornya.Dina mengangguk patuh, dia langsung menaiki motor itu. Tanpa berkata-kata, Bima langsung menjalankan motor itu, tanpa menunggu aba-aba dari Dina, beruntungnya wanita itu sudah siap naik, jika tidak, mungkin saja wanita itu akan terjungkal.Bima menyetir motor itu dengan kecepatan tinggi, membuat mulut Dina komat-kamit tidak jelas."Jangan ngebut-ngebut dong nyetirnya, coba lihat, hijabku terbang-terbang jadinya, kan, nanti kalau lepas gimana?" omel wanita itu.Bima tak menyahut ucapan wanita itu, kendati demikian Bima memelankan laju motornya."Kamu ini kenapa sih Mas, lagi bete? Badmood? Atau lagi marah?" tanya Dina kepo.Lagi dan lagi Bima menghiraukan Dina, membuat wanita itu mendengkus keras.'Apaan sih, aku ngomong didiemin terus, nggak asik banget,' keluh wanita itu dalam hati.Be
"Wih, ini anaknya pak, Gilang ya? Cantik banget, siapa namanya?" tanya teman Tasya yang bernama Bella itu."Namanya Manda," sahut Tiara jutek."Idih, kok jawabnya judes banget. Katanya mau dapatin hati bapaknya, ya harus mulai dari anaknya dulu, dong," ejek wanita itu.Tiara memutar bola matanya malas. "Manda, kamu main ayunan sendiri ya di sana, aku mau ngobrol-ngobrol sama temanku dulu."Manda mengangguk mengiyakan, dia harus menuruti perintah Tiara, kalau tidak nanti dia akan dicubit atau dipukul kalau tidak mematuhi perintah wanita itu. Anak kecil itu pun akhirnya mendekati ayunan, dia main seorang diri.Saat ini mereka sedang ada di tempat rumah Bella, teman Tiara. Tiara meminta izin ke Gilang untuk membawa Manda jalan-jalan.Setelah melalui debat yang cukup alot, akhirnya Gilang pun menyetujuinya, karena Tiara beralasan Manda juga butuh refreshing, anak kalau di dalam rumah terus pasti akan selalu jenuh, itulah alasan yang Tiara berikan hingga pada akhirnya Gilang menyiakan perm
"Kau sudah membawa Manda pulang?""Sudah, Pak. Saat ini kami sudah di jalan, menuju pulang," sahut Tiara dari ujung sana."Bagus, jangan lupa tidurkan Manda sekalian," titah pria itu."Baik, Pak. Kalau boleh tahu, apakah Anda pulang masih lama?"Gilang mendengkus keras. "Kau tidak berhak bertanya hal itu!""Bukan begitu, Pak. Saya bertanya seperti itu karena perintah Manda," sahut wanita itu dengan suara gugup.Gilang menghela napas berat. "Katakan padanya aku akan pulang sebentar lagi."Tut. Gilang mematikan sambungan teleponnya itu secara sepihak. Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar, lalu decakan lirih terdengar dari mulut pria itu.Kepala Gilang menengadah ke atas, matanya terpejam seraya menghela napas panjang."Kasih," gumam pria itu pelan. "Di mana kamu sekarang, anak kita sekarang sudah besar, tidakkah kamu merindukannya? Dan tidakkah kamu juga merindukanmu? Aku merindukanmu, Kasih," kata pria itu, napasnya terdengar begitu berat.Tok ... tok ... tok ...Gilang membuka ked
"Di mana dia?""Manda sudah tidur, Pak. Sepertinya dia kelelahan," jelas Tiara.Gilang memicingkan matanya ketika melihat Tiara memakai pakaian yang begitu seksi."Kau akan pergi?" tanya pria itu.Tiara menggeleng sembari kebingungan perihal pertanyaan pria itu."Memangnya ada apa, Pak?" tanya Tiara penasaran."Lalu kenapa kamu pakai baju seperti itu? Apa kamu lupa, kalau kamu bekerja di sini harus mengikuti peraturanku, hah?!" bentak pria itu.Tiara menunduk, jelas saja dia malu dengan penolakan Gilang yang secara terang-terangan. Namun karena sudah terlanjur, dia pun akan tetap maju, tidak akan mengurungkan niatnya untuk menggoda pria itu.Saat ini Gilang tengah membelakanginya, kesempatan Tiara untuk memeluk pria itu semakin besar.Dengan perlahan Tiara mendekati Gilang, lalu memeluk pria itu dari belakang."Saya menyukai Anda, Pak. Apa Anda tidak merasakan hal itu?"Rahang Gilang mengeras. "Apa-apaan ini! Tolong lepaskan tanganmu dari tubuhku! Kamu benar-benar lancang ya!"Bukanny