"Kau sudah membawa Manda pulang?""Sudah, Pak. Saat ini kami sudah di jalan, menuju pulang," sahut Tiara dari ujung sana."Bagus, jangan lupa tidurkan Manda sekalian," titah pria itu."Baik, Pak. Kalau boleh tahu, apakah Anda pulang masih lama?"Gilang mendengkus keras. "Kau tidak berhak bertanya hal itu!""Bukan begitu, Pak. Saya bertanya seperti itu karena perintah Manda," sahut wanita itu dengan suara gugup.Gilang menghela napas berat. "Katakan padanya aku akan pulang sebentar lagi."Tut. Gilang mematikan sambungan teleponnya itu secara sepihak. Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar, lalu decakan lirih terdengar dari mulut pria itu.Kepala Gilang menengadah ke atas, matanya terpejam seraya menghela napas panjang."Kasih," gumam pria itu pelan. "Di mana kamu sekarang, anak kita sekarang sudah besar, tidakkah kamu merindukannya? Dan tidakkah kamu juga merindukanmu? Aku merindukanmu, Kasih," kata pria itu, napasnya terdengar begitu berat.Tok ... tok ... tok ...Gilang membuka ked
"Di mana dia?""Manda sudah tidur, Pak. Sepertinya dia kelelahan," jelas Tiara.Gilang memicingkan matanya ketika melihat Tiara memakai pakaian yang begitu seksi."Kau akan pergi?" tanya pria itu.Tiara menggeleng sembari kebingungan perihal pertanyaan pria itu."Memangnya ada apa, Pak?" tanya Tiara penasaran."Lalu kenapa kamu pakai baju seperti itu? Apa kamu lupa, kalau kamu bekerja di sini harus mengikuti peraturanku, hah?!" bentak pria itu.Tiara menunduk, jelas saja dia malu dengan penolakan Gilang yang secara terang-terangan. Namun karena sudah terlanjur, dia pun akan tetap maju, tidak akan mengurungkan niatnya untuk menggoda pria itu.Saat ini Gilang tengah membelakanginya, kesempatan Tiara untuk memeluk pria itu semakin besar.Dengan perlahan Tiara mendekati Gilang, lalu memeluk pria itu dari belakang."Saya menyukai Anda, Pak. Apa Anda tidak merasakan hal itu?"Rahang Gilang mengeras. "Apa-apaan ini! Tolong lepaskan tanganmu dari tubuhku! Kamu benar-benar lancang ya!"Bukanny
Tiara diam-diam melihat Gilang yang saat ini tengah sarapan pagi. Selama wanita itu kerja di sini, Gilang sama sekali tidak mau memakan hasil masakannya, pria itu lebih memilih makan roti tawar, bahkan pria itu juga tidak mau dibuatkan kopi, pria itu memilih membuatkan dirinya sendiri. Pribadi Gilang benar-benar tertutup, pria itu sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk masuk ke dalam kehidupannya, jangankan untuk masuk, memanggil nama pria itu saja tidak boleh. Tiara harus memanggil Gilang dengan sebutan 'Pak'. Tiara cepat-cepat menundukkan pandangannya ketika Gilang tiba-tiba saja menatapnya."Ngapain kamu ada di situ?" tanya pria itu ketus."Sa-saya hanya--""Kamu sudah membangunkan Manda? Sudah menyuruh dia mandi? Sudah menyiapkan sarapan untuknya?" Serentetan pertanyaan dari pria itu membuat Tiara meneguk salivanya dengan susah payah. Bayangkan saja dia sama sekali belum melakukan apa yang Gilang ucapkan."Su-sudah, Pak," jawab wanita itu gugup."Bagus." Gilang mengel
[DIJUAL TANPA PERANTARA HUBUNGI 081XXXXXXXXX]Kasih menghela napas berat ketika melihat tulisan itu terpampang di tempat usahanya yang selama ini dia gunakan sebagai tempat mencari uang, rumah makan. Akhir-akhir ini dia sama sekali tidak mendapat pemasukan, alhasil dia memutuskan untuk menutup rumah makan itu dan menjual tempat itu.'Semoga aja cepat laku,' batin wanita itu."Loh, kok tempatnya mau dijual, Bu. Kenapa?"Kasih tersenyum tipis ketika melihat tetangganya membaca tulisan yang tadi dia buat."Nggak apa-apa, Bu. Udah nggak srek sama bisnisnya," elak Kasih."Ih, padahal sayang banget. Jualan Ibu itu loh makanannya enak-enak, kenapa malah berhenti? Eh malah tempatnya juga dijual, padahal kalau udah nggak srek sama bisnis makanan, kan, bisa diganti sama yang lain. Pakaian contohnya," usul wanita paruh baya itu.Kasih memberikan senyum tipis seraya menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Bu. Lagi nggak pengen aja. Mau fokus jaga anak."Sebenarnya Kasih ingin sekali seperti itu, jika
Malam harinya Dina datang ke rumah Kasih, wanita itu sengaja datang malam-malam agar tidak ketahuan oleh Bima.Dina menggedor pintu rumah Kasih dengan keras, membuat Kasih mau tak mau membuka pintu tersebut.Matanya terbelalak ketika melihat Dina ada di depan rumahnya."Ada apa datang ke sini? Mau cari Bima? Sorry, Bimanya nggak ada di sini," kata Kasih ketus."Aku nggak cari Bima, tapi aku cari kamu," desis wanita itu."Cari aku? Buat apa coba, apalagi ini sudah malam."Tangan Dina mengepal. "Kamu itu nggak tahu diri banget ya, udah kuperingatkan berkali-kali buat jauhin Bima, tapi kamu masih aja bebal. Haduh, kayaknya emang susah ya kalau udah jadi bakat pelakor. Mau disuruh kayak apapun nggak bakal mempan," ejek Dina."Tutup mulutmu. Aku bukan pelakor!" tandas Kasih, menatap Dina dengan sorot mata tajam."Terus apa coba? Kenapa masih suka nempel sama calon suami orang. Apa lagi kalau bukan pelakor. Apa nggak ada laki-laki lain ya di dunia ini, yang selalu kamu harapkan itu cuma Bim
"Aku nggak mau dekat-dekat sama Om, jangan dekati aku, Om!" teriak Bastian.Bima semakin heran dengan tingkah anak itu, padahal kemarin-kemarin Bastian tidak seperti itu, lalu kenapa sekarang mendadak berubah?"Tunggu dulu, Bastian. Emangnya Om ada salah apa sama kamu? Om cuma mau jemput kamu, Bunda pasti telat jemput, yuk biar Om yang antarin kamu pulang," ajak pria itu dengan suara lembut."Nggak mau, aku nggak mau ikut sama Om!" kata anak itu lagi dengan suara nyaring.Bima menghela napas, mungkin saat ini Bastian moodnya sedang jelek, bisa jadi dia seperti itu bukan dengan dirinya saja, tapi dengan orang lain juga.Dengan perlahan Bima mendekati anak itu, ketika Bima berhasil menangkap anak itu, Bastian terus saja meronta meminta untuk dilepaskan, berontakan Bastian membuat Bima agak kewalahan."Lepas, Om. Aku, kan, udah bilang sama Om kalau aku nggak mau sama Om, aku mau nunggu bunda, pasti bentar lagi bunda datang jemput aku kok," ucap anak itu sambil mencoba melepaskan diri dar
Kasih berjalan mondar-mandir seraya menggigiti kukunya, terlihat sangat jelas jika dirinya sangat begitu panik.Saat ini dia tengah berada di puskesmas ditemani oleh Bima, pria itu pun sama halnya seperti Kasih, bahkan wajahnya tampak pucat pasi. Bastian sudah dia anggap seperti anaknya sendiri, kalau terjadi sesuatu dengan anak itu, sama saja ada separuh hati pria itu yang hilang.Kasih kembali duduk, lalu berdiri lagi. Dia melakukan hal seperti itu berulang kali, sampai-sampai membuat Bima mendengkus keras."Tolong duduk dengan tenang, jangan berisik!" tegur pria itu."Aku lagi panik! Apa kamu nggak merasakan hal itu? Bayangkan saja, ibu mana yang harus tetap tenang ketika melihat anaknya kecelakaan?" tanya wanita itu menggebu-gebu.Bima mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu pikir cuma kamu aja yang panik? Aku juga, Kasih! Jadi aku minta tolong sama kamu jangan panik, aku yakin pasti Bastian nggak apa-apa, aku tahu dia itu anak yang kuat."Kasih mendengkus keras, tapi wanita itu mem
Kasih harap-harap cemas ketika melihat pintu ruangan itu ditutup, dia sama sekali tidak dibolehkan untuk masuk oleh dokter itu.Alhasil Bima dan Kasih hanya bisa menunggunya di luar, mereka berdua tampak begitu cemas.Apalagi dengan Bima, pria itu yang tadinya terlihat santai, kini wajah tegangnya pun kelihatan, sepertinya dia juga mengalami hal yang sama seperti apa yang Kasih rasakan.Kasih menghela napas berat, mencoba untuk duduk di kursi tunggu itu, berharap bisa tenang sedikit, akan tetapi selalu saja gelisah, dan dia pun kembali berdiri lagi, mondar-mandir lagi seperti tadi.'Bastian pasti baik-baik saja, aku yakin itu. Please jangan mikir negatif terus, Kasih,' batin wanita itu."Kira-kira siapa yang nabrak Bastian?" tanya Kasih tiba-tiba, dia menatap Bima dengan sorot mata tajam."Aku nggak tahu, bukannya waktu itu aku lagi ngobrol sama kamu? Kenapa jadi tanya aku?" tanya Bima balik."Coba kamu pikir lagi, apa mungkin Bastian bermain di tengah jalan? Hingga akhirnya dia dita