"Tiara!" panggil Gilang, suara pria itu tampak menggelegar. Bahkan Tiara saja sampai terkejut dengan suara Gilang, wanita itu menuju ke arah Gilang dengan langkah cepat. Sudah wanita itu prediksi jika Gilang pasti sedang marah."Iya, Pak. Ada apa?" tanya wanita itu gugup."Kamu ini seharian di sini ngapain aja? Kenapa nggak pernah becus ngurusin anakku, hah?!" bentak pria itu seraya berkacak pinggang."Maksud Anda seperti apa, Pak? Saya sudah mengurus Manda dengan baik," sahut wanita itu dengan kepala menunduk, dia sama sekali tidak berani menatap Gilang. Menurutnya, ketika Gilang emosi, wajahnya tampak menyeramkan."Mengurus anakku dengan baik?" tanya Gilang remeh. "Tadi bukannya kamu bilang kalau Manda belum makan malam? Apa itu disebut mengurus dengan baik? Sia-sia aku karena udah gaji kamu!" sentak pria itu."Maafkan saya, Pak. Saya sudah berusaha membujuk Manda, tapi dia memang susah kalau disuruh makan," jelas wanita itu."Apa kamu tidak bisa merayunya, huh? Di mana sisi keibua
"Ini aku bayar SPP Bastian selama tiga bulan," kata Kasih dengan suara tegas. Dia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan tajam."Oh, bayar spp ya? Udah punya pemasukan sekarang dong," ejek wanita itu."Mau punya pemasukan atau tidak, itu sama sekali tidak ada urusannya sama kamu. Dina, kamu boleh bersikap ketus sama aku, tapi tolong jangan libatkan Bastian dalam hal ini, dia itu masih kecil, nggak tahu apa-apa. Harusnya kamu sebagai guru itu memberi contoh yang benar pada anak didiknya, bukan malah seperti ini. Aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, masalah pembayaran kamu langsung ngomong sama aku, jangan ke anakku!" bentak Kasih.Dina diam saja, dia menatap Kasih dengan sinis seraya melipatkan kedua tangannya di dada. Dina memang membenci Kasih, sangat. Bahkan dia memperlihatkan hal itu secara terang-terangan. Bukan tanpa sebab Dina seperti itu, Dina membenci Kasih karena Kasih berusaha merebut Bima darinya."Terserah aku dong, di sini, kan, aku gurunya. Kenapa jadi kamu yang
Tok ... tok ... tok ...Bastian dan Kasih saling menatap satu sama lain. Mereka sudah menduga jika yang datang adalah Bima."Biar aku yang bukain, Bun," kata anak itu.Ketika Bastian ingin bangun dari duduknya, Kasih langsung memegang tangan Kasih seraya menggeleng cepat."Tidak usah, kita teruskan makan saja.""Tapi, Bun.""Biarkan saja, biar dia mengira kalau kita tidak ada di rumah.""Tapi, Bun. Kasihan Om Bima.""Bastian, dengar Bunda. Mulai saat ini kita nggak usah lagi dekat-dekat dengan om Bima.""Kenapa, Bun? Emangnya om Bima jahat sama kita?""Pokoknya jangan dekat-dekat, sekarang habiskan makananmu!""Iya, Bun," kata Bastian patuh.Mereka pun kembali melanjutkan acara makannya."Kasih, aku tahu kamu ada di dalam. Kenapa nggak dibuka pintunya?"Lagi-lagi Bastian dan Kasih saling pandang, tapi kali ini Bastian tidak berani berbicara lagi.Kasih menghela napas berat, berdiri dari duduknya lalu melangkah menuju pintu, tapi sebelum benar-benar dia melangkahkan kakinya, wanita itu
"Tumben kamu Mas mau jemput aku?" tanya Dina seraya mengernyit heran."Iya, sekalian ada yang mau aku omongin sama kamu, cepat naik," sahut Bima datar, menyuruh wanita itu agar segera naik di motornya.Dina mengangguk patuh, dia langsung menaiki motor itu. Tanpa berkata-kata, Bima langsung menjalankan motor itu, tanpa menunggu aba-aba dari Dina, beruntungnya wanita itu sudah siap naik, jika tidak, mungkin saja wanita itu akan terjungkal.Bima menyetir motor itu dengan kecepatan tinggi, membuat mulut Dina komat-kamit tidak jelas."Jangan ngebut-ngebut dong nyetirnya, coba lihat, hijabku terbang-terbang jadinya, kan, nanti kalau lepas gimana?" omel wanita itu.Bima tak menyahut ucapan wanita itu, kendati demikian Bima memelankan laju motornya."Kamu ini kenapa sih Mas, lagi bete? Badmood? Atau lagi marah?" tanya Dina kepo.Lagi dan lagi Bima menghiraukan Dina, membuat wanita itu mendengkus keras.'Apaan sih, aku ngomong didiemin terus, nggak asik banget,' keluh wanita itu dalam hati.Be
"Wih, ini anaknya pak, Gilang ya? Cantik banget, siapa namanya?" tanya teman Tasya yang bernama Bella itu."Namanya Manda," sahut Tiara jutek."Idih, kok jawabnya judes banget. Katanya mau dapatin hati bapaknya, ya harus mulai dari anaknya dulu, dong," ejek wanita itu.Tiara memutar bola matanya malas. "Manda, kamu main ayunan sendiri ya di sana, aku mau ngobrol-ngobrol sama temanku dulu."Manda mengangguk mengiyakan, dia harus menuruti perintah Tiara, kalau tidak nanti dia akan dicubit atau dipukul kalau tidak mematuhi perintah wanita itu. Anak kecil itu pun akhirnya mendekati ayunan, dia main seorang diri.Saat ini mereka sedang ada di tempat rumah Bella, teman Tiara. Tiara meminta izin ke Gilang untuk membawa Manda jalan-jalan.Setelah melalui debat yang cukup alot, akhirnya Gilang pun menyetujuinya, karena Tiara beralasan Manda juga butuh refreshing, anak kalau di dalam rumah terus pasti akan selalu jenuh, itulah alasan yang Tiara berikan hingga pada akhirnya Gilang menyiakan perm
"Kau sudah membawa Manda pulang?""Sudah, Pak. Saat ini kami sudah di jalan, menuju pulang," sahut Tiara dari ujung sana."Bagus, jangan lupa tidurkan Manda sekalian," titah pria itu."Baik, Pak. Kalau boleh tahu, apakah Anda pulang masih lama?"Gilang mendengkus keras. "Kau tidak berhak bertanya hal itu!""Bukan begitu, Pak. Saya bertanya seperti itu karena perintah Manda," sahut wanita itu dengan suara gugup.Gilang menghela napas berat. "Katakan padanya aku akan pulang sebentar lagi."Tut. Gilang mematikan sambungan teleponnya itu secara sepihak. Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar, lalu decakan lirih terdengar dari mulut pria itu.Kepala Gilang menengadah ke atas, matanya terpejam seraya menghela napas panjang."Kasih," gumam pria itu pelan. "Di mana kamu sekarang, anak kita sekarang sudah besar, tidakkah kamu merindukannya? Dan tidakkah kamu juga merindukanmu? Aku merindukanmu, Kasih," kata pria itu, napasnya terdengar begitu berat.Tok ... tok ... tok ...Gilang membuka ked
"Di mana dia?""Manda sudah tidur, Pak. Sepertinya dia kelelahan," jelas Tiara.Gilang memicingkan matanya ketika melihat Tiara memakai pakaian yang begitu seksi."Kau akan pergi?" tanya pria itu.Tiara menggeleng sembari kebingungan perihal pertanyaan pria itu."Memangnya ada apa, Pak?" tanya Tiara penasaran."Lalu kenapa kamu pakai baju seperti itu? Apa kamu lupa, kalau kamu bekerja di sini harus mengikuti peraturanku, hah?!" bentak pria itu.Tiara menunduk, jelas saja dia malu dengan penolakan Gilang yang secara terang-terangan. Namun karena sudah terlanjur, dia pun akan tetap maju, tidak akan mengurungkan niatnya untuk menggoda pria itu.Saat ini Gilang tengah membelakanginya, kesempatan Tiara untuk memeluk pria itu semakin besar.Dengan perlahan Tiara mendekati Gilang, lalu memeluk pria itu dari belakang."Saya menyukai Anda, Pak. Apa Anda tidak merasakan hal itu?"Rahang Gilang mengeras. "Apa-apaan ini! Tolong lepaskan tanganmu dari tubuhku! Kamu benar-benar lancang ya!"Bukanny
Tiara diam-diam melihat Gilang yang saat ini tengah sarapan pagi. Selama wanita itu kerja di sini, Gilang sama sekali tidak mau memakan hasil masakannya, pria itu lebih memilih makan roti tawar, bahkan pria itu juga tidak mau dibuatkan kopi, pria itu memilih membuatkan dirinya sendiri. Pribadi Gilang benar-benar tertutup, pria itu sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk masuk ke dalam kehidupannya, jangankan untuk masuk, memanggil nama pria itu saja tidak boleh. Tiara harus memanggil Gilang dengan sebutan 'Pak'. Tiara cepat-cepat menundukkan pandangannya ketika Gilang tiba-tiba saja menatapnya."Ngapain kamu ada di situ?" tanya pria itu ketus."Sa-saya hanya--""Kamu sudah membangunkan Manda? Sudah menyuruh dia mandi? Sudah menyiapkan sarapan untuknya?" Serentetan pertanyaan dari pria itu membuat Tiara meneguk salivanya dengan susah payah. Bayangkan saja dia sama sekali belum melakukan apa yang Gilang ucapkan."Su-sudah, Pak," jawab wanita itu gugup."Bagus." Gilang mengel
Tidak ada yang paling membahagiakan menurut Gilang selain menikah dengan orang yang dia cintai.Wanita yang selama ini dia tunggu-tunggu kehadirannya akhirnya sudah berada digenggamannya untuk selamanya.Kebahagiaan Gilang terasa sangat lengkap karena kedua anak yang lahir dari perut Kasih, wanita yang dicintainya.Ya, bukankah pria itu dari dulu sangat menginginkan hal itu? Mungkin dulunya Kasih menganggap jika omongan Gilang hanya candaan belaka, tapi tidak menurut Gilang, pria itu benar-benar sangat serius mengatakannya.Dulu, hubungan mereka sangatlah salah, tidak pantas ditiru untuk siapapun. Sebatas partner di atas ranjang, karena dia begitu kesepian, dan dia memanfaatkan Kasih karena wanita itu sangat membutuhkan bantuan.Gilang menggeleng seraya tersenyum kecil ketika mengingat awal pertemuan mereka yang menurut pria itu sangat berkesan."Ngapain senyum-senyum sendiri? Hayo, pasti lagi mikirin sesuatu," celetuk Kasih. Wanita itu menatap suaminya penuh curiga."Iya nih, tahu aj
"Selamat ya, akhirnya hari-hari yang kalian tunggu tiba juga," celetuk Fandi seraya menyalami Gilang."Makasih, Bro. Kalau bukan karena kamu, pasti hari ini nggak akan terjadi," ucap Gilang dengan suara tulus.Fandi tertawa kecil. "Habisnya aku greget banget sama hubungan kalian berdua. Sama-sama mau tapi gengsinya gede banget. Wanita itu memang harus digertak, kalau nggak digituin nanti malah teus mengulur waktu. Dan ya ... rencanaku berhasil, kan. Pada dasarnya itu Kasih cinta sama kamu, terlihat begitu jelas dengan tatapan matanya. Cuma ya seperti tadi yang aku bilang, gengsinya wanita itu besar. Yang dia mau lelaki harus berusaha sekuat mungkin berjuang buat meyakinkan dia, kalau sudah dirasa cukup barulah dia nerima kamu. Pikiran wanita itu gampang ditebak," celoteh Fandi panjang lebar."Ya, ya, ya. Terserah kamu bilang apa, intinya aku berterima kasih karena pada akhirnya kami sudah menikah, itu semua berkat kamu."Fandi menepuk pundak Gilang dengan pelan. "Sama-sama, tapi aku y
"Apa kamu menyesal karena sudah melakukan kesalahan fatal, Dina?" tanya Bima sinis.Wanita itu tak berani menatap calon suaminya itu, dia benar-benar begitu malu.Karena melihat Dina diam saja, Bima pun duduk di hadapan wanita itu, pria itu menghela napas berat."Sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti ini, tapi ... kamu memang pantas dihukum seperti ini, karena kesalahanmu itu. Apa sampai saat ini kamu belum menyadari kesalahanmu itu? Apa sampai saat ini kamu masih menyalahkan aku dan Kasih karena kami dekat? Dan masih benci dengan Bastian yang jelas-jelas anak itu tidak memiliki kesalahan apapun? Apa kamu masih mempertahankan egomu itu, Dina?" tanya Bima secara beruntun.Tak lama setelah itu, terdengar suara isak tangis dari wanita itu. Sejujurnya Bima tak tega mendengarnya, ingin sekali memeluk wanita itu, tapi mati-matian ia tahan, dia ingin kalau Dina menyadari kesalahannya."Aku ... aku sangat menyesal, Mas. Aku menyesal. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, aku nggak
Gilang tersenyum puas karena pada akhirnya Tiara sudah masuk ke dalam penjara. Untuk sebagai bukti yang akan dia tujukan pada calon istrinya itu, Kasih, jadi dia mengambil foto Tiara ketika sedang di dalam penjara."Gimana? Enak, kan, rasanya hidup di sini. Makan gratis, nggak ngapa-ngapain lagi, harusnya kamu berterima kasih sama aku," kata pria itu dengan bangga.Tiara menggerakkan giginya. Rasa amarah dan juga malu menjadi satu.Niatnya ingin memiliki pria itu, malah berakhir seperti ini. Sungguh mengenaskan."Saya mohon, Pak. Tolong bebaskan saya dari sini," mohon wanita itu."Gimana? Kamu minta untuk dibebaskan? Bukannya di sini tempatnya sungguh nyaman?" Lagi-lagi Gilang mengejek wanita itu."Saya tidak mau tinggal di sini, Pak. Tolong keluarkan saya dari penjara ini, Pak. Saya janji akan menuruti semua perintah Anda kalau Anda mau mengeluarkan saya dari sini." Lagi-lagi Tiara memohon ampun.Wanita itu sangat menyesal karena sudah masuk ke dalam kehidupan pria itu. Sungguh, keja
"Aku sudah menuruti semua keinginanmu, sekarang giliran aku menagih janjimu.""Janji? Emangnya aku punya janji sama kamu?" tanya Kasih heran."Oh, jadi kamu mau melupakan hal itu?""Aku serius!" bantah Kasih."Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau aku sudah berhasil memecahkan kasus siapa yang menabrak Bastian, kamu mau menikah denganku? Apa kamu mencoba untuk ingkar janji?" tanya Gilang dengan sorot mata tajam."Oh, yang itu. Aku kira apaan. Masih ada satu lagi yang belum kamu selesaikan.""Mencoba cari alasan lagi?"Kasih menggeleng. "Aku sama sekali nggak cari alasan," bantah wanita itu dengan mata melotot."Ya sudah, katakan saja. Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu mencari alasan. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya ngeles, kamu harus menikah denganku secepatnya.""Kenapa harus terburu-buru?" tanya Kasih dengan senyum remeh."Serius kamu bertanya seperti itu? Baiklah, aku akan menjawabnya dengan sejujur-jujurnya. Apa lagi kalau tidak merindukan tubuhmu. Tubuhmu itu ca
"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Kasih heran. Bima menghela napas berat, dia melirik ke arah Gilang yang saat ini tengah duduk anteng di dekat Kasih. Tatapan mereka berdua bertemu, Bima memberi kode pada Gilang agar pria itu pergi dari situ, karena Bima ingin berbicara berdua saja dengan Kasih. Sayangnya yang diberi kode sama sekali tak mengerti, lebih tepatnya Gilang pura-pura tidak tahu apa maksud Bima, pria itu malah melengos. "Bim?" panggil Kasih heran karena melihat pria itu tampak diam saja. "Tadi katanya mau ngomong, kok malah diam aja?" "Bisakah hanya kita berdua saja di sini, nggak lama kok," pinta Bima. Gilang mendelik kesal ketika mendengar Bima berbicara seperti itu. Tidak cukup jelaskah kalau tadi Gilang menolak usiran dari pria itu melalui tatapannya? Lantas kenapa harus diperjelas lagi? "Kalian ngobrol aja, anggap aja aku nggak ada di sini. Aku nggak bakalan dengar pembicaraan kalian berdua kok," kata Gilang dengan suara tenang. "Gilang, biarkan kami berdua
"Mas aku beneran minta maaf, Mas. Tolong maafin aku, Mas. Please," mohon Dina."Kamu itu salah, Din. Salah besar! Apa pantas aku maafin kamu?" tanya pria itu sinis."Aku benar-benar khilaf, Mas. Aku minta maaf, Mas. Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?"Bima terus menggeleng. "Aku benar-benar masih nggak nyangka aja, Din. Wanita yang selama ini aku anggap baik, nyatanya aku salah kira. Di depanku aja kamu terlihat begitu baik, tapi di belakangku ... hatimu begitu busuk," desis pria itu."Aku akui kalau aku ini salah, Mas. Aku ini cemburu melihat kedekatan kalian, Mas," kata Dina jujur."Aku selalu meluangkan waktu untukmu, Din. Bahkan aku menemui Kasih dan Bastian itu termasuk jarang, itu semua aku lakukan demi menjaga hati kamu. Tapi apa? Kamu malah egois!" tandas pria itu."Aku nggak egois, Mas. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita!" kata Dina tak terima.Bima yang melihat sikap arogan Dina pun tertawa sinis."Kamu itu ya, udah tahu salah bukannya minta maaf tapi mal
"Iya bentar!" Bima terlihat begitu kesal karena sedari tadi ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan sangat kencang.Pria itu berjalan menuju ke arah pintu dengan terburu-buru, setelah itu dia pun membuka pintu, matanya terbelalak ketika melihat siapa yang datang ke rumahnya."Selamat siang," sapa pria itu.Bima tak segera menjawab, dia masih kaget dengan kedatangan pria itu."Ehem! Selamat siang," kata pria itu sekali lagi."Siang," jawab Bima kikuk."Apa aku mengganggu waktumu?""Nggak, nggak kok," sahut Bima seraya menggeleng cepat. "Omong-omong ada apa ya datang ke sini, apa ada yang bisa dibantu?""Apa aku tidak dipersilahkan untuk duduk?""Oh, ya, silakan duduk. Tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.""Nggak usah, aku datang ke sini bukan untuk minta minum, tapi ada yang harus aku selesaikan.""Kamu datang ke sini mau cari Kasih? Sorry aja ya, Kasih nggak pernah datang ke sini," jelas Bima, dia mengira kedatangan Gilang ke rumahnya karena ingin mencari wanita itu."Kedatangank
"Kasih!" teriak Diana, wanita itu berlari kecil mendekati sahabatnya. "Selama ini kamu ke mana aja sih, kok nggak pernah ada kabar," lanjut wanita itu seraya memeluk erat tubuh Kasih."Pelan-pelan, Di. Aku sesak napas, kamu meluknya kekencengan," keluh wanita itu."Oh, sorry-sorry." Diana pun langsung melepaskan pelukannya itu. "Ke mana aja sih kamu, kok nggak pernah kasih aku kabar. Udah lupa ya sama aku?"Kasih tertawa kecil. "Kalau udah lupa, nggak mungkin aku ngajak kamu ketemu, Di.""Terus selama ini kamu ke mana?" tanya Diana lagi."Nggak ke mana-mana sih, cuma menenangkan diri aja."Diana mendengkus keras. "Nyatanya dirimu nggak bisa tenang, kan, selain di sini?" cibir wanita itu.Lagi-lagi Kasih menanggapinya dengan tawa. "Kok tahu sih?" "Ya tahu lah, secara, kan, pujaan hatimu ada di sini. Gimana? Udah ketemu belum sama dia? Pasti udah dong ya. Omong-omong, si Manda itu anak kamu sama Gilang, kan? Itu beneran nggak sih, takutnya dia bohongin aku, siapa tahu itu anaknya sama