“Tenanglah, jangan sampai kau membangunkan Pangeran Zhao Ming dan Putri Zhao Rong,” Bu Sengku mengingatkan.
“Aku tak tahu lagi harus bagaimana? Keadaan Pangeran Zhao Shing dan adik keempat membuatku sangat cemas.”
“Ya, ya, aku mengerti. Satu-satunya tugas kita sekarang adalah mengantarkan mereka ke Taiyuan secepat mungkin. Di sana Pangeran Zhao Shing akan mendapat pengobatan lebih baik. Itulah satu-satunya harapan kita,” kata Bu Peng.
“Semoga Pangeran Zhao Shing dapat bertahan,” ucap Bu Huang sambil menggelengkan kepala.
“Aku akan mencari kereta kuda untuk mengangkut mereka,” tanpa menunggu persetujuan dari saudara-saudaranya, Bu Sengku langsung berdiri dan bergegas pergi.
Bu Peng berdiri dan berkata setengah berteriak, “Tunggu!”
Tepat di pintu kamar penginapan, seketika Bu Sengku berhenti. Dia membalikkan badannya dan bertanya, “Ada apa?”
“Kau harus berhati-hati dan cepat kembali. Kita akan berangkat tengah malam nanti,” Bu Peng mendekati Bu Sengku dan menepuk-nepuk bahunya.
“Jangan terlalu khawatir, aku akan baik-baik saja,” ujarnya dan berlalu pergi dengan sebuah siratan senyum kecil.
Setelah sesaat sempat melamun mengantar kepergian Bu Sengku. Bu Peng dan Bu Huang dikagetkan dengan suara tangis yang cukup kencang.
Rupanya Pangeran Zhao Ming telah bangun, dan tak berselang lama giliran Putri Zhao Rong.
“Cepat kau pergi mencari susu, Pangeran Zhao Ming tampaknya mulai lapar,” Bu Peng menyuruh Bu Huang turun ke bawah dan mencari susu.
Tanpa berpikir panjang, Bu Huang langsung menindakkan kakinya keluar kamar penginapan. Di sore-sore begini mencari susu memang bukanlah hal yang sulit. Hanya saja banyak mata pengawal kerajaan yang membuatnya cukup cemas.
Karena itu dia harus berhati-hati dalam segala hal yang dilakukannya, termasuk mencari susu untuk Pangeran Zhao Ming dan Putri Zhao Rong.
Bu Peng menggoyang-goyang tubuh Pangeran Zhao Ming dan Putri Zhao Rong dengan lembut. Dia mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk mencegah tangis mereka menjadi lebih keras.
Untungnya pria empat puluh enam tahun ini memiliki pengalaman mengurus anak. Dia mempunyai dua orang anak yang tinggal bersama istrinya di Xingqing, salah satu kota di daerah Kekaisaran Xi Xia (Xia Barat).
Empat Pendekar Wangi memang berasal dari sana. Mereka pertama kali bertemu Pangeran Zhao Kong di Chengdu. Saat itu hidup mereka terancam oleh Dua Macan Tibet, Zhi Xia Yi dan Zhi Yuan Ti.
Meski ilmu Empat Pendekar Wangi terbilang tinggi, tapi di atas langit tentu masih ada langit lagi. Ilmu Dua Macan Tibet masih jauh lebih tinggi dari mereka, entah dalam hal tenaga dalam, maupun tenaga luar.
Cakar Macan Memeluk Naga milik Dua Macan Tibet menjadi salah satu ilmu yang paling ditakuti di dunia persilatan. Jika pun jumlah Pendekar Wangi lebih dari empat, mereka tetap bukan tandingannya.
Waktu itu, Pangeran Zhao Kong dengan Pukulan Tangan Hampa menahan gempuran Dua Macan Tibet dan menyelamatkan hidup Empat Pendekar Wangi.
Setelah bertarung lebih dari setengah hari, Dua Macan Tibet dibuat terluka parah dan dipaksa untuk mengaku kalah. Akan tetapi mereka masih berjanji akan menuntut balas kekalahan mereka hari itu.
Sejak saat itulah persahabatan yang kemudian menjadi persaudaraan di antara Pangeran Zhao Kong dan Empat Pendekar Wangi terjalin. Mereka bersumpah akan membagi senang dan duka bersama, meski nyawa yang akan menjadi taruhannya.
“Kakak pertama, kita harus bergerak cepat. Aku dengar prajurit kerajaan dari Bianjing sedang menuju He’nan untuk menangkap orang-orang yang membunuh dan membakar kediaman Putra Mahkota Zhao Kong. Kita mesti cepat meninggalkan kota ini sebelum mereka tiba.”
Tiba-tiba Bu Sengku muncul di hadapan Bu Peng yang tengah repot menenangkan Pangeran Zhao Ming dan Putri Zhao Rong. Jika Bu Peng saja terkaget-kaget, apalagi dua anak kecil yang belum genap berusia lima tahun. Mereka berdua pun kembali menangis keras.
“Aduh, kau ini. Kenapa mesti berteriak? Lihat, kau membuat mereka menangis. Minumlah dulu, tenangkan nafasmu.”
Bu Peng menggeleng-geleng melihat perilaku adiknya. Meski kedua pangeran itu telah berusia lima tahun, tapi anak kecil akan selalu menangis saat terkaget-kaget dan bangun dari tidurnya.
Dengan nafas masih terengah-engah, Bu Sengku mengambil sebuah poci berisi teh dan buru-buru meminumnya sampai terdengar sedakan-sedakan kecil dari tenggorokannya.
Bu Peng kembali menggelengkan kepala melihat kecerobohan adiknya. Di antara mereka berempat, Bu Sengku bisa dibilang saudara yang paling ceroboh, sembrono, dan sering bertindak tanpa berpikir.
Akan tetapi sifat-sifat itu tidak menunjukkan kelemahan bagi dirinya, malahan sebagai lambang keberanian yang di luar batas.
“Kau sudah dapatkan keretanya?” tanya Bu Peng dengan kedua tangannya sibuk menenangkan Zhao Ming dan Zhao Rong.
“Kereta itu di luar. Tapi, ke mana adik ketiga?” tanyanya.
Bu Peng menggeleng untuk kesekian kalinya. Ucapnya: “Daripada kau sibuk berdiri dan bertanya, lebih baik kau kemari dan membantuku menenang-kan mereka.”
****
Suara derik jangkrik mengalun, menyenyakkan tidur burung-burung di pepohonan. Sisa-sisa cahaya bulan purnama kemarin masih jelas membekas, meski hari ini bulan itu tidak lagi sebundar kemarin.
Di awal malam, tiga Pendekar Wangi keluar dari penginapan. Mereka keluar sebelum penggeledahan dilakukan. Rencana mereka berangkat tengah malam harus berubah.
Hal ini dikarenakan Pangeran Zhao You sudah memerintahkan semua prajurit kerajaan, khususnya yang memiliki hubungan dekat dengannya untuk menangkap para Pendekar Wangi.
Pangeran Zhou You mendapat informasi tentang keterlibatan Empat Pendekar Wangi setelah menyiksa salah satu pelayan di kediaman Pangeran Zhou Kong.
Karena itu, dia menjebak Empat Pendekar Wangi sebagai tersangka pembunuhan Pangeran Zhou Kong dan keluarganya. Bahkan gubernur He’nan, Chin Yu Lao turut serta memburu mereka karena kabar kejahatan mereka mencelakai putra mahkota.
Sejak kabar para pembunuh Pangeran Zhao Kong berada di He’nan. Kota itu langsung berubah terbalik. Terjadi pemeriksaan di sana-sini. Semua penginapan digeledah. Semuanya tiba-tiba menjadi kacau.
Gambar Empat Pendekar Wangi terpampang jelas di setiap sudut kota. Rupanya, agak mustahil bagi mereka untuk lari dari situasi sulit ini.
“Apa yang harus kita lakukan, Kakak pertama?” tanya Bu Sengku tanpa henti. Dia sudah mengeluarkan pertanyaan yang sama berkali-kali. Bukan karena takut akan kehilangan nyawanya, tapi keselamatan tiga putra Pangeran Zhao.
“Penyamaran ini hanya akan bertahan sementara, Kakak,” kata Bu Huang cemas. Air mukanya, pada saat itu tidak mencerminkan seorang pendekar tangguh. “Aku takut keselamatan mereka akan terancam,” lanjutnya dengan melihat wajah polos Pangeran Zhao Shing yang masih belum sadarkan diri.
“Apapun yang terjadi, kita harus menyelamatkan mereka. Meskipun nyawa taruhannya. Hanya itu yang bisa kita lakukan,” Bu Peng menanggapi kecemasan kedua adiknya.
Matanya berair saat melihat Pangeran Zhao Ming dan Putri Zhao Rong yang sengaja dibius agar tidak mengeluarkan suara tangis.
Dengan kereta yang ditarik dua ekor kuda, tiga Pendekar Wangi melanjutkan perjalanan. Bu Peng bertindak sebagai kusir, sementara kedua adiknya berada dalam kereta mengurusi para pangeran.
Mereka menyamar dengan mengenakan pakaian rakyat biasa dengan kumis buatan. Untuk menghindari bahaya sekecil apapun, mereka terpaksa harus membuang pedang berharga pemberian gurunya dan menggantinya dengan peralatan pertanian.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh li (sekitar 500 m), mereka hampir sampai di gerbang pintu keluar kota He’nan. Di sana para prajurit dengan ketat memeriksa satu persatu pelancong yang keluar-masuk.
Bu Peng mendadak menghentikan keretanya karena takut.
Kegelisah tampak di wajah Bu Peng. Dia kebingungan bagaimana caranya bisa melewati gerbang itu. Jarak antara kereta kuda yang dihentikannya dan gerbang terakhir kota masih cukup jauh. Dia melihat pintu gerbang besar dengan benteng hitam disesaki para prajurit kerajaan.Perlahan-lahan gelap telah menjadi lebih gelap. Kemilau hitamnya perlahan mulai habis diterkam malam. Meski dibantu gelap, mereka tidak berani melangkahkan keretanya melewati gerbang itu. Karena cahaya lampion masih nyaman menyala.Menanggapi tindakan kakaknya yang tiba-tiba ini, Bu Sengku menyibak tirai yang menutupi pintu kereta. “Ada apa, Kakak pertama?” tanyanya.“Aku merasa cemas, Adik kedua. Aku khawatir kita gagal melindungi para pangeran. Penjagaan begitu ketat,” ujarnya dengan mata dipenuhi kecemasan.Bu Sengku menghela nafas panjang-panjang. Dia keluar dari kereta dan duduk tepat di samping kakaknya. “Lalu apa lagi yang bisa kita lakukan? Tidak ada jalan lain,” katanya dengan kepala tertunduk lemas.Mereka pun
Degup jantung Bu Peng berdetak lebih cepat mendengar kata ‘tunggu’. Dia takut para pengawal gerbang kota itu menggeledah bagian dalam keretanya. Belum sempat dia menjawab, terdengar suara lantang menghardik.“Kurang ajar!” hardik Jenderal Tai Kun Lun kepada pengawal itu. “Dia bersamaku. Dia mempunyai tugas penting yang diperintahkan langsung oleh Yang Mulia Kaisar. Kau berani menanyainya, berarti kau berani bertanya kepada kaisar?” teriaknya sangat keras.Pengawal itu ketakukan. Bibirnya bergetar hebat. Wajahnya mendadak pucat pasi. Sementara pengawal yang lain hanya tertunduk. Mereka mungkin takut menjadi sasaran kemarahan Jenderal Tai Kun Lun berikutnya.“Maafkan aku, Jenderal,” pengawal itu langsung berlutut dan bersujud di depan jenderal.“Baiklah, kali ini kau tidak aku hukum. Bukan karena aku memaafkanmu, tapi aku tidak punya waktu. Enyah kalian!” getak Jenderal Tai Kun Lun. Mendengar hal tersebut, beratus-ratus pengawal itu menyingkir. Mereka tidak berani menyinggung Jenderal T
Setelah berada di hadapan Empat Pendekar Wangi, orang tua berambut putih itu menyibakkan lengan bajunya yang panjang, seketika tiup angin yang sangat besar itu berhenti.Dilihat dari wajahnya, usia orang itu tidak kurang enam puluh dua tahun. Meski rambutnya telah memutih, anehnya jenggot orang tua itu masih hitam legam. Hampir tiada warna putih sedikit pun.“Kami memberi hormat pada tetua?” Bu Peng Cu melipatkan tangannya lalu membungkuk hormat.Orang tua itu masih tertawa keras. Dia perlahan menolehkan wajahnya ke arah Jenderal Tai Kun Lun dan tersenyum. Jenderal Tai terkejut. Matanya melotot tidak percaya. Sesaat dia kehilangan kesadarannya. Lalu orang tua itu berkata: “Tai Kun Lun!”“Hah, maafkan ketidaksopananku, Jenderal Besar Li. Aku tidak menyangka bisa bertemu Jenderal Besar di sini,” Jenderal Tai Kun Lun langsung berlutut dengan tangan menjura penuh hormat.“Tidak perlu sungkan. Aku bukan lagi seorang Jenderal Besar. Saat ini aku hanya rakyat biasa. Bangunlah,” perintah oran
Suara derap kuda dari kejauhan semakin dekat. Dari suaranya memang tidak banyak, tapi kemungkinan terdiri dari para pendekar hebat dunia persilayan.“Cepat kalian pergi! Mereka datang,” ujar Jenderal Li Guzhou sambil menggendong Pangeran Zhao Shing di punggungnya. “Kalian harus berpisah jalan. Tai Kun Lun! Kau bawa Zhao Rong ke rumah keluarga Jin Su Yu di Dali. Tidak peduli apa, kau harus mengantarkannya dengan selamat.”“Baik, Tetua. Aku akan melindunginya dengan nyawaku.”“Aku percayakan cucuku padamu.”Kemudian Jenderal Besar Li Guzhou menoleh ke arah Empat Pendekar Wangi. Katanya: “Kalian mesti membawa Zhao Ming ke Chengdu. Berikan dia pada keluarga Miao Yin Feng. Kau harus mengantarkannya dengan selamat. Aku sendiri yang akan mengantarkan Pangeran Zhao Shing ke tujuannya.”“Kami akan melakukan apapun untuk mengantarkannya dengan selamat. Tapi, ke mana tetua akan membawa Pangeran Zhao Shing?” tanya Bu Peng.“Aku akan menyuratimu saat aku menemukan tempat yang layak untuknya. Tapi,
Mendengar nama Tai Niu Xin dan Tai Kun Lun tidak membuat Permaesuri Yi Thing tenang. Karena jamak diketahui, keluarga Tai merupakan pengikut dan pendukung utama Pangeran Zhao Kong.“Aku tahu apa yang ada di pikiran Ibunda Ratu. Tapi tenang saja, aku telah menyiapkan semuanya. Aku mengancam akan membunuh Jenderal Tai Kun Lun dan semua keluarga Tai jika dia tidak melakukan apa yang aku minta. Dengan ini, kita bisa membunuh dua burung dengan satu batu. Hahaha..” Pangeran Zhao You tertawa keras membanggakan dirinya sendiri.“Aku harap semuanya berjalan lancar, anakku. Karena dengan menjadikan keluarga Tai sebagai terdakwa, maka Tai Kun Lun tidak akan bisa lagi kembali ke istana. Dan lebih menyenangkan lagi, semua jabatan yang dipegang oleh keluarga Tai akan dihapuskan. Mereka akan menjadi rakyat biasa.”“Benar, Ibunda Ratu. Selama ini Perdana Menteri Hu Lian Tang dan keluarga Tai menjadi tembok penghalang keberhasilan kita.”“Bagaimana pun juga, aku lebih suka Jenderal Tai Niu Xin dihukum
“Apa pesan guruku?” ulang Miao Yin Feng tidak sabar.“Jenderal Besar Li Guzhou meminta kami untuk mengantar Pangeran Zhao Ming kemari. Beliau meminta Tuan Miao untuk merawat Pangeran Zhao Ming untuk sementara,” ujar Bu Peng.“Apa yang terjadi!?”“Delapan hari yang lalu Pangeran Zhao Kong telah dibunuh oleh kakaknya sendiri, Pangeran Zhao You. Untungnya kami berhasil menyelamatkan semua anak-anak Yang Mulia Pangeran. Karena itu, Jenderal Besar Li Guzhou meminta Tuan Miao untuk melakukannya,” Bu Peng kembali menjawab.Untuk kedua kalinya Miao Yin Feng menjatuhkan lututnya ke lantai. Dia bersujud beberapa kali dengan air mata bercucuran. Agaknya dia telah merasakan kesedihan mendalam setelah mendengar kabar kematian Pangeran Zhao Kong.Mereka berdua memang mempunyai hubungan dekat. Beberapa tahun yang lalu, Miao Yin Feng mendampingi Pangeran Zhao Kong saat beliau berkelana. Meski waktu itu usia mereka terpaut cukup jauh.“Maafkan hambamu yang tidak berguna ini, Yang Mulia Pangeran. Maafk
Terik matahari seakan membakar apa saja. Bahkan para burung pun segan untuk meninggalkan pohon-pohon tempat mereka berteduh. Mereka lebih memilih bernyanyi dengan perut lapar daripada berterbangan mencari makan.Parahnya, angin pun demikian, mereka seperti tak rela berhembus hanya untuk sekedar mengusap keringat lelah.Setelah lama berpikir, Jenderal Besar Li Guzhou memutuskan untuk membawa cucunya ke kota pelabuhan Guang. Dia akan mempercayakan cucunya pada sebuah kuil tua di sana.Kebetulan ketua kuil di sana adalah teman seperjuangannya dulu. Namanya Liu Sing Ming, yang lebih dikenal sebagai Rajawali dari Jiangning.Ilmu silatnya beberapa tingkat lebih tinggi dari Jenderal Besar Li Guzhou. Karena alasan itulah dia akan menitipkan cucunya di sana. Meski beredar kabar bahwa, Liu Sing Ming tidak akan pernah mengajarkan ilmu silatnya lagi kepada siapapun. Akan tetapi, jika itu hanya rumor, setidaknya masih ada harapan.“Kakek, tubuhku terasa sangat dingin seperti dikelilingi es,” tiba-
“Dasar setan-setan pengecut!” hardik Li Guzhou.Mendengar tindakannya dilecehkan, dua orang berbaju hitam itu melotot. Tatapannya dipenuhi kemarahan. Jelas saja mereka tersinggung mendengar ocehan Li Guzhou.“Siapa kau. Jika ingin tetap hidup, lebih baik kau tidak turut campur, orang tua busuk.”“Apakah para setan dari Lembah Naga Biru masih mengerti makna dari kata ‘busuk’. Aku meragukannya,” ejeknya.“Kurang ajar! Akan kututup mulut busukmu sekarang juga.”“Tuan, lebih baik kau jangan pedulikan kami. Pergilah, aku tak mau ada korban lagi,” ujar wanita itu setengah berteriak.“Tenang saja, Nyonya.”Dua laki-laki berbaju hitam itu menyerang secara serempak. Mereka mengeluarkan pedangnya dan menyabetkannya ke arah Jenderal Besar Li Guzhou.Laki-laki tua itu tidak bergerak sedikit pun. Dia hanya berdiri dan melihat serangan brutal itu datang. Dan, secepat kilat tiba-tiba kedua pedang pria berbaju hitam itu telah berada di tangan Li Guzhou.Lalu, entah kapan pukulan itu mendarat, kedua p