Kegelisah tampak di wajah Bu Peng. Dia kebingungan bagaimana caranya bisa melewati gerbang itu. Jarak antara kereta kuda yang dihentikannya dan gerbang terakhir kota masih cukup jauh. Dia melihat pintu gerbang besar dengan benteng hitam disesaki para prajurit kerajaan.
Perlahan-lahan gelap telah menjadi lebih gelap. Kemilau hitamnya perlahan mulai habis diterkam malam. Meski dibantu gelap, mereka tidak berani melangkahkan keretanya melewati gerbang itu. Karena cahaya lampion masih nyaman menyala.
Menanggapi tindakan kakaknya yang tiba-tiba ini, Bu Sengku menyibak tirai yang menutupi pintu kereta. “Ada apa, Kakak pertama?” tanyanya.
“Aku merasa cemas, Adik kedua. Aku khawatir kita gagal melindungi para pangeran. Penjagaan begitu ketat,” ujarnya dengan mata dipenuhi kecemasan.
Bu Sengku menghela nafas panjang-panjang. Dia keluar dari kereta dan duduk tepat di samping kakaknya. “Lalu apa lagi yang bisa kita lakukan? Tidak ada jalan lain,” katanya dengan kepala tertunduk lemas.
Mereka pun diam. Tiada kata-kata yang cukup pantas untuk melukiskan keadaan itu. Kecemasan dan ketakutan telah menjadi satu. Jika semua perasaan galau tiba-tiba bersatu, apalagi yang dapat diperbuat manusia selain pasrah.
Gelap semakin menapaki langit. Semilir angin telah berganti rasa, dari sedikit panas menjadi sedikit dingin. Bintang-bintang seolah-olah bersembunyi cemas, mereka sama sekali tak mau menghibur kegundahan tiga bersaudara ini.
Apakah bintang telah memihak pangeran bejat itu? Ataukah mereka takut melihat ketidakadilan terjadi? Tiada seorang pun yang tahu jawabannya.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara deru kuda bergemuruh di belakang mereka. Didengar dari derapannya yang kompak, tidak mungkin kuda itu hanya satu, malah pasti sebuah rombongan besar sedang menuju gerbang terakhir He’nan.
Seketika lamunan mereka buyar, Bu Peng dan Bu Sengku melihat gerombolan besar itu, meskipun jika mereka tak mau. Apalagi rombongan itu terlihat memakai baju perang lengkap dengan pedang ditenteng di tangannya. Kecemasan mereka semakin menjadi-jadi, padahal sebelumnya kecemasan itu pun sudah jadi.
Akan tetapi, sorot mata Bu Peng yang sempat kehilangan harapan seketika membelalak. Di sela-sela cahaya lampion dia melihat sosok yang tidak asing baginya. Seorang pemuda tampan dengan dagu lancip dan hidung mancung.
Rambut pemuda itu mengurai-urai berantakan terbawa kencangnya angin. Lalu Bu Peng berdiri dan mempertajam pandangan matanya. Dia terus menatap sosok yang sesaat lagi melintasinya.
Bu Sengku bingung dengan perilaku kakaknya. Dia pun ingin tahu apa yang sebenarnya dilihat oleh kakaknya. Dan, dia pun mengalami keterkejutan yang sama. Orang itu memang dia. Tidak salah lagi.
“Adik keempat!” teriak Bu Peng setelah rombongan itu semakin dekat. “Adik keempat!” teriaknya lagi lebih kencang.
“Adik keempat!” Bu Sengku tidak ingin kalah. Karena teriakan mereka, Bu Huang terpaksa ikut keluar dari kereta untuk memastikan. Apakah mereka benar-benar melihat adiknya.
Karena kecepatan kuda yang di luar batas, secepat kilat Bu Liak melewati mereka. Dia merasakan seseorang sedang memanggil-manggil namanya.
“Adik keempat!” Bu Sengku mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berteriak sampai tenggorokannya merasa gatal.
“Adik keempat!” tak ketinggalan pula Bu Huang.
Karena merasa yakin ada seseorang yang memanggilnya, Bu Liak menghentikan kudanya dan menoleh ke belakang. Dia melihat tiga orang dengan pakaian rakyat biasa turun dari kereta sembari memandangnya.
Sesaat dia berpikir apakah mereka mengenalinya. Wajar saja, karena penyamaran mereka bertiga terbilang nyaris sempurna. Bahkan mungkin ibu mereka sendiri tak mampu mengenalinya.
“Adik keempat!” Bu Peng berlari mendekatinya diikuti oleh Bu Huang dan Bu Seng.
Bu Liak masih tertegun bingung. Dia perlu berpikir untuk memastikan apa yang didengar dan dilihatnya. Tapi memang benar mereka sedang memanggilnya dengan sebuatan itu, “Adik keempat!”
Perlahan-lahan dia mulai paham. Satu-satunya orang yang memanggilnya dengan sebutan itu adalah kakaknya sendiri. Bergegas dia turun dari kudanya dan mendekati mereka.
“Kakak?” mereka saling berhadapan. Tampaknya Bu Liak masih bingung untuk memastikan, ‘siapakah orang yang tepat berada di depannya? Apakah dia kakak pertama, kedua atau ketiga?’
“Aku kakak pertamamu. Apa perpisahan tiga hari telah membuatmu lupa?” canda Bu Peng sembari melepaskan kumis palsunya.
“Kau benar-benar kakak pertama?” Bu Liak langsung memeluk kakaknya setelah bertanya.
Melihat Bu Liak turun dari kudanya dan berpelukan dengan orang lain, salah seorang dari rombongan itu menuju ke arahnya. Perawakan orang itu tinggi, kumisnya tipis dengan jenggot tertata rapi. Usianya sekitar empat puluh enam tahun.
Dari pakaiannya dapat disimpulkan bahwa dia seorang jenderal. Lagipula urat wajahnya memancarkan kewibawaan yang cukup besar. Dengan sekali loncat dia turun dari kudanya. Hampir semua orang dari rombongan itu mengikuti tindakannya.
“Kakak pertama, perkenalkan beliau Jenderal Tai Kun Lun. Orang kepercayaan Pangeran Zhao Kong,” Bu Liak memperkenalkan orang berwibawa itu kepada saudara-saudaranya.
“Aku telah lama mendengar kehebatan Jenderal Tai. Bertemu langsung merupakan kehormatan bagi kami,” ujar Bu Peng sembari menjura hormat.
“Tidak perlu sungkan. Aku juga telah lama mendengar kepahlawanan Empat Pendekar Wangi. Jika tidak, mana mungkin Pangeran Zhao Kong rela menjadi saudara angkat tuan-tuan,” balas Jenderal Tai.
“Tuan Jenderal terlalu memuji. Itu karena Pangeran Zhao Kong terlalu bermurah hati, hingga rela menjadikan kami, orang hina ini menjadi saudaranya,” Bu Peng merendah dengan tangan masih menjura.
“Hah,” Jenderal Tai menghela nafas, “Sayang Pangeran Zhao Kong telah meninggal. Aku yakin dia akan menjadi kaisar yang luar biasa.”
Tanpa disadarinya, Jenderal Tai Kun Lun meneteskan air mata. Sampai saat ini dia masih tak dapat percaya bahwa Pangeran Zhao Kong telah tiada.
Jenderal Tai Kun Lun tidak hanya orang kepercayaan Pangeran Zhao Kong, dia juga seorang teman yang sering memikul dan meringankan beban Pangeran Zhao Kong. Sayang, Pangeran Zhao Kong telah mati muda. Usianya baru tiga puluh sembilan tahun, tapi takdir berkehendak lain.
“Jenderal Tai, kita tidak boleh lama berada di sini. Tempat ini kurang aman,” ucap salah seorang dari rombongan Jenderal Tai. Dia adalah Shi Bu Xin, tangan kanan Jenderal Tai Kun Lun.
“Tuan Shi Bu Xin benar, Jenderal,” Bu Liak menegaskan.
“Baiklah, sampaikan perintahku. Kita harus melewati gerbang itu dan terus bergerak maju.”
“Baik, Jenderal. Aku akan melakukan seperti yang kau katakan,” Shi Bu Xin langsung berseru pada para prajurit dan menyampaikan perintah Jenderal Tai Kun Lun.
“Pendekar Bu, ketika kita melewati pintu gerbang, kau harus diam, tidak perlu melakukan apa-apa. Biar aku yang menangani semuanya,” ujar Jenderal Tai Kun Lun.
“Aku akan melakukan seperti yang kau katakan,” jawab Bu Peng.
Tentara berkuda yang dipimpin Jenderal Tai Kun Lun perlahan-lahan mendekati pintu gerbang terakhir He’nan. Para prajurit langsung menjura penuh hormat setelah melihat Jenderal Tai Kun Lun berada di baris paling depan dengan token emas pemberian kaisar.
Karena itu, tidak ada seorang pun yang berani mencegah dan bertanya tentang apa yang dilakukan Jenderal Tai. Mereka tidak punya pilihan selain membiarkan dia dan rombongannya lewat.
“Tunggu!” teriak salah satu penjaga gerbang setelah melihat ada kereta kuda yang dikusiri rakyat biasa. “Ke mana kau pergi malam-malam begini?” tanyanya.
Degup jantung Bu Peng berdetak lebih cepat mendengar kata ‘tunggu’. Dia takut para pengawal gerbang kota itu menggeledah bagian dalam keretanya. Belum sempat dia menjawab, terdengar suara lantang menghardik.“Kurang ajar!” hardik Jenderal Tai Kun Lun kepada pengawal itu. “Dia bersamaku. Dia mempunyai tugas penting yang diperintahkan langsung oleh Yang Mulia Kaisar. Kau berani menanyainya, berarti kau berani bertanya kepada kaisar?” teriaknya sangat keras.Pengawal itu ketakukan. Bibirnya bergetar hebat. Wajahnya mendadak pucat pasi. Sementara pengawal yang lain hanya tertunduk. Mereka mungkin takut menjadi sasaran kemarahan Jenderal Tai Kun Lun berikutnya.“Maafkan aku, Jenderal,” pengawal itu langsung berlutut dan bersujud di depan jenderal.“Baiklah, kali ini kau tidak aku hukum. Bukan karena aku memaafkanmu, tapi aku tidak punya waktu. Enyah kalian!” getak Jenderal Tai Kun Lun. Mendengar hal tersebut, beratus-ratus pengawal itu menyingkir. Mereka tidak berani menyinggung Jenderal T
Setelah berada di hadapan Empat Pendekar Wangi, orang tua berambut putih itu menyibakkan lengan bajunya yang panjang, seketika tiup angin yang sangat besar itu berhenti.Dilihat dari wajahnya, usia orang itu tidak kurang enam puluh dua tahun. Meski rambutnya telah memutih, anehnya jenggot orang tua itu masih hitam legam. Hampir tiada warna putih sedikit pun.“Kami memberi hormat pada tetua?” Bu Peng Cu melipatkan tangannya lalu membungkuk hormat.Orang tua itu masih tertawa keras. Dia perlahan menolehkan wajahnya ke arah Jenderal Tai Kun Lun dan tersenyum. Jenderal Tai terkejut. Matanya melotot tidak percaya. Sesaat dia kehilangan kesadarannya. Lalu orang tua itu berkata: “Tai Kun Lun!”“Hah, maafkan ketidaksopananku, Jenderal Besar Li. Aku tidak menyangka bisa bertemu Jenderal Besar di sini,” Jenderal Tai Kun Lun langsung berlutut dengan tangan menjura penuh hormat.“Tidak perlu sungkan. Aku bukan lagi seorang Jenderal Besar. Saat ini aku hanya rakyat biasa. Bangunlah,” perintah oran
Suara derap kuda dari kejauhan semakin dekat. Dari suaranya memang tidak banyak, tapi kemungkinan terdiri dari para pendekar hebat dunia persilayan.“Cepat kalian pergi! Mereka datang,” ujar Jenderal Li Guzhou sambil menggendong Pangeran Zhao Shing di punggungnya. “Kalian harus berpisah jalan. Tai Kun Lun! Kau bawa Zhao Rong ke rumah keluarga Jin Su Yu di Dali. Tidak peduli apa, kau harus mengantarkannya dengan selamat.”“Baik, Tetua. Aku akan melindunginya dengan nyawaku.”“Aku percayakan cucuku padamu.”Kemudian Jenderal Besar Li Guzhou menoleh ke arah Empat Pendekar Wangi. Katanya: “Kalian mesti membawa Zhao Ming ke Chengdu. Berikan dia pada keluarga Miao Yin Feng. Kau harus mengantarkannya dengan selamat. Aku sendiri yang akan mengantarkan Pangeran Zhao Shing ke tujuannya.”“Kami akan melakukan apapun untuk mengantarkannya dengan selamat. Tapi, ke mana tetua akan membawa Pangeran Zhao Shing?” tanya Bu Peng.“Aku akan menyuratimu saat aku menemukan tempat yang layak untuknya. Tapi,
Mendengar nama Tai Niu Xin dan Tai Kun Lun tidak membuat Permaesuri Yi Thing tenang. Karena jamak diketahui, keluarga Tai merupakan pengikut dan pendukung utama Pangeran Zhao Kong.“Aku tahu apa yang ada di pikiran Ibunda Ratu. Tapi tenang saja, aku telah menyiapkan semuanya. Aku mengancam akan membunuh Jenderal Tai Kun Lun dan semua keluarga Tai jika dia tidak melakukan apa yang aku minta. Dengan ini, kita bisa membunuh dua burung dengan satu batu. Hahaha..” Pangeran Zhao You tertawa keras membanggakan dirinya sendiri.“Aku harap semuanya berjalan lancar, anakku. Karena dengan menjadikan keluarga Tai sebagai terdakwa, maka Tai Kun Lun tidak akan bisa lagi kembali ke istana. Dan lebih menyenangkan lagi, semua jabatan yang dipegang oleh keluarga Tai akan dihapuskan. Mereka akan menjadi rakyat biasa.”“Benar, Ibunda Ratu. Selama ini Perdana Menteri Hu Lian Tang dan keluarga Tai menjadi tembok penghalang keberhasilan kita.”“Bagaimana pun juga, aku lebih suka Jenderal Tai Niu Xin dihukum
“Apa pesan guruku?” ulang Miao Yin Feng tidak sabar.“Jenderal Besar Li Guzhou meminta kami untuk mengantar Pangeran Zhao Ming kemari. Beliau meminta Tuan Miao untuk merawat Pangeran Zhao Ming untuk sementara,” ujar Bu Peng.“Apa yang terjadi!?”“Delapan hari yang lalu Pangeran Zhao Kong telah dibunuh oleh kakaknya sendiri, Pangeran Zhao You. Untungnya kami berhasil menyelamatkan semua anak-anak Yang Mulia Pangeran. Karena itu, Jenderal Besar Li Guzhou meminta Tuan Miao untuk melakukannya,” Bu Peng kembali menjawab.Untuk kedua kalinya Miao Yin Feng menjatuhkan lututnya ke lantai. Dia bersujud beberapa kali dengan air mata bercucuran. Agaknya dia telah merasakan kesedihan mendalam setelah mendengar kabar kematian Pangeran Zhao Kong.Mereka berdua memang mempunyai hubungan dekat. Beberapa tahun yang lalu, Miao Yin Feng mendampingi Pangeran Zhao Kong saat beliau berkelana. Meski waktu itu usia mereka terpaut cukup jauh.“Maafkan hambamu yang tidak berguna ini, Yang Mulia Pangeran. Maafk
Terik matahari seakan membakar apa saja. Bahkan para burung pun segan untuk meninggalkan pohon-pohon tempat mereka berteduh. Mereka lebih memilih bernyanyi dengan perut lapar daripada berterbangan mencari makan.Parahnya, angin pun demikian, mereka seperti tak rela berhembus hanya untuk sekedar mengusap keringat lelah.Setelah lama berpikir, Jenderal Besar Li Guzhou memutuskan untuk membawa cucunya ke kota pelabuhan Guang. Dia akan mempercayakan cucunya pada sebuah kuil tua di sana.Kebetulan ketua kuil di sana adalah teman seperjuangannya dulu. Namanya Liu Sing Ming, yang lebih dikenal sebagai Rajawali dari Jiangning.Ilmu silatnya beberapa tingkat lebih tinggi dari Jenderal Besar Li Guzhou. Karena alasan itulah dia akan menitipkan cucunya di sana. Meski beredar kabar bahwa, Liu Sing Ming tidak akan pernah mengajarkan ilmu silatnya lagi kepada siapapun. Akan tetapi, jika itu hanya rumor, setidaknya masih ada harapan.“Kakek, tubuhku terasa sangat dingin seperti dikelilingi es,” tiba-
“Dasar setan-setan pengecut!” hardik Li Guzhou.Mendengar tindakannya dilecehkan, dua orang berbaju hitam itu melotot. Tatapannya dipenuhi kemarahan. Jelas saja mereka tersinggung mendengar ocehan Li Guzhou.“Siapa kau. Jika ingin tetap hidup, lebih baik kau tidak turut campur, orang tua busuk.”“Apakah para setan dari Lembah Naga Biru masih mengerti makna dari kata ‘busuk’. Aku meragukannya,” ejeknya.“Kurang ajar! Akan kututup mulut busukmu sekarang juga.”“Tuan, lebih baik kau jangan pedulikan kami. Pergilah, aku tak mau ada korban lagi,” ujar wanita itu setengah berteriak.“Tenang saja, Nyonya.”Dua laki-laki berbaju hitam itu menyerang secara serempak. Mereka mengeluarkan pedangnya dan menyabetkannya ke arah Jenderal Besar Li Guzhou.Laki-laki tua itu tidak bergerak sedikit pun. Dia hanya berdiri dan melihat serangan brutal itu datang. Dan, secepat kilat tiba-tiba kedua pedang pria berbaju hitam itu telah berada di tangan Li Guzhou.Lalu, entah kapan pukulan itu mendarat, kedua p
Banyak orang berkumpul minum-minum di sebuah penginapan besar di kota Tan. Beberapa hari terakhir ini, suasana kota Tan telah berubah. Kota yang biasanya hanya dihuni oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya saja, saat ini berubah ramai.Sepuluh hari terakhir telah banyak pengunjung yang datang ke kota Tan. Bahkan karena saking ramainya, banyak penginapan yang kewalahan menyediakan kamar dan makanan untuk tamu-tamunya.Karena itu, banyak pula penginapan-penginapan dadakan lahir di sepanjang jalan kota Tan. Orang Tan sendiri tidak mengerti kenapa kota mereka tiba-tiba berubah menjadi seramai ini. Tapi perduli apa, yang penting penghidupan mereka menjadi lebih layak dengan perubahan tiba-tiba ini.Li Guzhou dan orang-orang dari keluarga Wang juga merasa aneh. Ini bukan pertama kalinya mereka kemari. Setahu mereka kota Tan selalu sepi pengunjung. Tapi dalam sepuluh hari terakhir semuanya menjadi lain.Mereka curiga akan ada sesuatu yang besar terjadi di sini. Tapi apa? Dan tentang apa