Wina akhirnya meminta pengawal untuk membiarkan Robert masuk dan menunggu di ruang tamu. Dia juga meminta Bibi Nelsa untuk menyajikan kopi untuknya.Pria yang duduk di sofa memiliki gerakan dan ekspresi yang mirip dengan Alvin. Satu-satunya yang berbeda adalah matanya.Sorot mata Alvin terlihat muram dan tajam, sementara tatapan mata Robert begitu kalem, seolah tidak memiliki kepedulian akan apa pun.Mereka sama-sama memiliki temperamen santai dan malas, tetapi cara bicara mereka berbeda. Dibandingkan dengan Alvin, Robert terlihat lebih sopan.Setelah melihatnya sekilas, Wina duduk dan menanyakan alasan kunjungannya, "Tuan Robert, ada keperluan apa sampai datang kemari?"Robert tidak langsung menjawab. Dia mendongak dan melirik kepada sepuluh pengawal yang berjaga di belakang Wina.Ada juga seorang pria aneh yang duduk di meja makan. Pria itu tengah memegang sebuah apel, menggerogotinya dan terus menatapnya.Setelah melihat sekeliling beberapa saat, Robert mengalihkan pandangannya dan
Di mata Wina, Alvin adalah saingan cinta Robert. Namun, Robert tetap membiarkan putrinya tinggal bersama saingan cintanya selama delapan bulan.Wina masih tidak habis pikir. Setelah ragu-ragu sejenak, dia menundukkan kepalanya dan bertanya, "Tuan Robert jelas-jelas tahu kalau perasaan mereka bisa tumbuh ketika mereka menghabiskan waktu bersama cukup lama. Kenapa Tuan malah menetapkan batas waktu delapan bulan untuk mereka? Bukankah itu terlalu lama?"Robert sepertinya sudah menduga Wina akan menanyakan hal ini. Jadi, dia langsung menjawab tanpa berpikir panjang, "Aku menetapkan batas waktu selama itu memang karena memiliki keegoisanku sendiri. Aku ingin Gisel menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya agar dia tahu bahwa Vera meninggalkan keturunannya di dunia ini.""Aku harap dia bisa melepaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan Vera dan dirinya, agar dia nggak menggangguku dan Gisel lagi ...."Wina mengerutkan kening, lalu bertanya, "Apa Tuan nggak takut dia nggak akan mengembal
Wina tidak menyangka kalau Robert akan membicarakan begitu banyak hal tentang masa lalu. Dia melakukan ini bukan untuk memberitahunya kenangan tentang kakaknya, melainkan untuk menyalahkannya.Wina melihat lebih dalam pada sosok Robert, merasa bahwa Robert tampak tenang dan kalem di permukaan. Namun, nyatanya dia bahkan lebih sulit dipahami daripada Alvin.Dia tidak bisa memahami jalan pikiran Robert dan tidak ingin menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, dia bertanya kepada Robert berdasarkan informasi yang diungkapkan dalam kata-katanya."Karena Kakak hanya peduli kepada Alvin, kenapa dia malah memilih bersama denganmu? Kenapa Alvin masuk penjara?"Robert tidak menyangka Wina akan berpihak pada Alvin sampai seperti ini. Tiba-tiba, sorot matanya berubah menjadi sedikit waspada. "Maaf, aku nggak bisa memberitahumu."Alis Wina kembali berkerut. "Kenapa?"Robert meletakkan cangkir kopi di tangan, lalu bersedekap. Dia mengajukan pertanyaan dengan sangat serius, "Kamu berpihak pada Alvin, jadi
"Bibi ...."Suara menggemaskan Gisel terdengar dari ponsel, membuat hati Wina menghangat ketika mendengarnya."Apa Gisel kangen sama Bibi?""Kangen ...."Gisel mengangguk, mengangkat ponsel di tangannya dan memutar arah kamera ponsel ke belakang.Dia mendekatkan wajahnya ke layar, menutup mulutnya dengan jari dan berbisik pelan."Bibi, Paman Aneh membawaku ke pemakaman. Di sini, aku melihat foto Bibi.""Paman Aneh bilang kalau orang di foto itu bukan Bibi, tapi Ibu ....""Bibi, apa orang yang ada di bawah batu nisan benar-benar Ibu?"Gisel mengedipkan bulu matanya yang panjang dan lentik sambil menatap Wina yang ada di layar ponsel dengan tatapan polos.Melihat wajah kecil Gisel yang polos dan tidak berdosa, hati Wina terasa sakit seperti disayat.Tidak tahu apakah dia bersimpati pada Gisel atau karena dia merasa tidak tega mendengar pertanyaan putri kakaknya ini.Wina mengangkat tangannya untuk menutupi hatinya yang terasa sakit, lalu menghibur Gisel dengan suara gemetar, "Paman Aneh
Air mata yang ditahan Wina dengan susah payah akhirnya terjatuh.Ternyata anak kecil yang kelihatannya sangat polos ini tahu segalanya.Melihat Wina menangis di layar ponsel, Gisel mencium layar ponselnya beberapa kali."Bibi jangan nangis. Gisel nggak akan pernah bicara sembarangan lagi ...."Wina makin tidak tega saat melihat Gisel begitu peduli pada perasaan orang lain di saat usianya masih sekecil itu.Dia sendiri tidak memiliki orang tua, jadi sifatnya terkesan rendah diri, sensitif dan lebih memedulikan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri.Tidak disangka kalau Gisel pun seperti dirinya. Di usianya yang masih kecil, dia sangat pandai dalam memperhatikan tingkah laku orang dan mengutamakan orang lain.Ketika memikirkan kalau Gisel besar nanti bisa menjadi orang yang berhati-hati seperti dirinya, air mata Wina makin tak terbendung ...."Gisel, kamu nggak perlu berhati-hati begitu. Di depan Bibi, kamu boleh mengatakan apa pun yang kamu mau. Jangan menahan diri."Gisel se
Wina ragu-ragu cukup lama dan akhirnya memutuskan untuk tidak menghubungi nomor Robert.Dia sedang tidak tenang, jadi takut kalau keputusan yang dia buat akan salah. Dia akan memikirkannya lagi nanti.Wina menyimpan ponselnya kembali dan berniat kembali ke ruang kerja. Tiba-tiba, dia melihat pria dengan tinggi 190 sentimeter berjalan masuk.Pria itu mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan kemeja putih. Kerah kemejanya dibuka santai, memperlihatkan tulang selangkanya yang putih dan seksi.Di bagian celana, dia mengenakan ikat pinggang hitam. Bagian pinggul ke bawah, ada kaki jenjang dan ramping yang tersembunyi di balik celana yang dia kenakan.Pria itu berdiri membelakangi cahaya, jadi Wina tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Rasa dingin yang terpancar dari tubuh pria itu membuat suhu di dalam ruangan turun secara tiba-tiba hingga beberapa derajat.Sam yang sedang memeluk Sammy dan mengupas jeruk dengan santai pun tiba-tiba menggigil."Eh, kenapa tiba-tiba jadi dingin?"Sam
Wina menoleh, lalu bertanya dengan lembut, "Terus aku harus apa biar Tuan Jihan nggak marah?"Tuan Jihan yang sombong mengangkat dagunya dengan bangga, lalu menjawab ketus, "Pikir saja sendiri."Wina terhibur oleh sikap Jihan. Dia merasa Tuan Jihan yang seperti ini sangat menarik.Dia sampai berinisiatif mengalungkan tangannya ke leher Jihan.Dia berjinjit, mencondongkan tubuh ke depan dan mencium sudut bibirnya. "Begini cukup nggak?"Mata Jihan menegang dan jakunnya bergerak naik turun. Namun, dia tetap berdiri diam dan tidak bergerak. "Nggak cukup."Wina melepaskan salah satu tangannya, bergerak turun melewati bahu lebarnya, hingga sampai pada ikat pinggang mahal yang dikenakan pria itu.Tangan kecilnya bertumpu pada kunci logam ikat pinggang selama beberapa detik, lalu membukanya ....Tangannya hendak masuk ke dalam kemeja Jihan, tetapi Jihan menghentikannya. "Mau ngapain?"Wina berjinjit lagi sampai ke telinganya, lalu bertanya dengan suara rendah, "Menurutmu aku mau ngapain?"Saat
Wina tidak menduga fokus Jihan malah tertuju pada Alvin. Hal itu membuatnya tertawa."Tuan Jihan, kenapa kamu cemburu sama semua orang?"Pria yang duduk di atas sofa itu memasang ekspresi tegang. Sorot mata cerahnya bahkan menunjukkan pemikiran yang rumit.Melihat Jihan hanya diam dan tidak berbicara, Wina perlahan menyingkirkan senyuman di wajahnya dan menatapnya dengan gugup."Aku nggak menghubungi Alvin. Dia menyela saat aku menelepon George, lalu ingin aku bilang kepada Robert kalau dia ada di pemakaman."Wina berpikir jika dia menjelaskan dengan jelas, perasaan pria di seberangnya akan menjadi lebih baik. Namun tidak disangka, ekspresi pria itu terlihat makin muram dan sedih.Wina langsung berdiri dan berjalan mendekat, menyentuh wajah tegas Jihan."Jihan, kamu kenapa?"Merasakan sentuhan hati-hati Wina, kerutan di alis Jihan perlahan mengendur."Wina, aku baik-baik saja."Setelah mengatakan itu, Jihan mengulurkan jari-jarinya yang panjang dan indah, menarik Wina untuk duduk di sa