"Bibi ...."Suara menggemaskan Gisel terdengar dari ponsel, membuat hati Wina menghangat ketika mendengarnya."Apa Gisel kangen sama Bibi?""Kangen ...."Gisel mengangguk, mengangkat ponsel di tangannya dan memutar arah kamera ponsel ke belakang.Dia mendekatkan wajahnya ke layar, menutup mulutnya dengan jari dan berbisik pelan."Bibi, Paman Aneh membawaku ke pemakaman. Di sini, aku melihat foto Bibi.""Paman Aneh bilang kalau orang di foto itu bukan Bibi, tapi Ibu ....""Bibi, apa orang yang ada di bawah batu nisan benar-benar Ibu?"Gisel mengedipkan bulu matanya yang panjang dan lentik sambil menatap Wina yang ada di layar ponsel dengan tatapan polos.Melihat wajah kecil Gisel yang polos dan tidak berdosa, hati Wina terasa sakit seperti disayat.Tidak tahu apakah dia bersimpati pada Gisel atau karena dia merasa tidak tega mendengar pertanyaan putri kakaknya ini.Wina mengangkat tangannya untuk menutupi hatinya yang terasa sakit, lalu menghibur Gisel dengan suara gemetar, "Paman Aneh
Air mata yang ditahan Wina dengan susah payah akhirnya terjatuh.Ternyata anak kecil yang kelihatannya sangat polos ini tahu segalanya.Melihat Wina menangis di layar ponsel, Gisel mencium layar ponselnya beberapa kali."Bibi jangan nangis. Gisel nggak akan pernah bicara sembarangan lagi ...."Wina makin tidak tega saat melihat Gisel begitu peduli pada perasaan orang lain di saat usianya masih sekecil itu.Dia sendiri tidak memiliki orang tua, jadi sifatnya terkesan rendah diri, sensitif dan lebih memedulikan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri.Tidak disangka kalau Gisel pun seperti dirinya. Di usianya yang masih kecil, dia sangat pandai dalam memperhatikan tingkah laku orang dan mengutamakan orang lain.Ketika memikirkan kalau Gisel besar nanti bisa menjadi orang yang berhati-hati seperti dirinya, air mata Wina makin tak terbendung ...."Gisel, kamu nggak perlu berhati-hati begitu. Di depan Bibi, kamu boleh mengatakan apa pun yang kamu mau. Jangan menahan diri."Gisel se
Wina ragu-ragu cukup lama dan akhirnya memutuskan untuk tidak menghubungi nomor Robert.Dia sedang tidak tenang, jadi takut kalau keputusan yang dia buat akan salah. Dia akan memikirkannya lagi nanti.Wina menyimpan ponselnya kembali dan berniat kembali ke ruang kerja. Tiba-tiba, dia melihat pria dengan tinggi 190 sentimeter berjalan masuk.Pria itu mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan kemeja putih. Kerah kemejanya dibuka santai, memperlihatkan tulang selangkanya yang putih dan seksi.Di bagian celana, dia mengenakan ikat pinggang hitam. Bagian pinggul ke bawah, ada kaki jenjang dan ramping yang tersembunyi di balik celana yang dia kenakan.Pria itu berdiri membelakangi cahaya, jadi Wina tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Rasa dingin yang terpancar dari tubuh pria itu membuat suhu di dalam ruangan turun secara tiba-tiba hingga beberapa derajat.Sam yang sedang memeluk Sammy dan mengupas jeruk dengan santai pun tiba-tiba menggigil."Eh, kenapa tiba-tiba jadi dingin?"Sam
Wina menoleh, lalu bertanya dengan lembut, "Terus aku harus apa biar Tuan Jihan nggak marah?"Tuan Jihan yang sombong mengangkat dagunya dengan bangga, lalu menjawab ketus, "Pikir saja sendiri."Wina terhibur oleh sikap Jihan. Dia merasa Tuan Jihan yang seperti ini sangat menarik.Dia sampai berinisiatif mengalungkan tangannya ke leher Jihan.Dia berjinjit, mencondongkan tubuh ke depan dan mencium sudut bibirnya. "Begini cukup nggak?"Mata Jihan menegang dan jakunnya bergerak naik turun. Namun, dia tetap berdiri diam dan tidak bergerak. "Nggak cukup."Wina melepaskan salah satu tangannya, bergerak turun melewati bahu lebarnya, hingga sampai pada ikat pinggang mahal yang dikenakan pria itu.Tangan kecilnya bertumpu pada kunci logam ikat pinggang selama beberapa detik, lalu membukanya ....Tangannya hendak masuk ke dalam kemeja Jihan, tetapi Jihan menghentikannya. "Mau ngapain?"Wina berjinjit lagi sampai ke telinganya, lalu bertanya dengan suara rendah, "Menurutmu aku mau ngapain?"Saat
Wina tidak menduga fokus Jihan malah tertuju pada Alvin. Hal itu membuatnya tertawa."Tuan Jihan, kenapa kamu cemburu sama semua orang?"Pria yang duduk di atas sofa itu memasang ekspresi tegang. Sorot mata cerahnya bahkan menunjukkan pemikiran yang rumit.Melihat Jihan hanya diam dan tidak berbicara, Wina perlahan menyingkirkan senyuman di wajahnya dan menatapnya dengan gugup."Aku nggak menghubungi Alvin. Dia menyela saat aku menelepon George, lalu ingin aku bilang kepada Robert kalau dia ada di pemakaman."Wina berpikir jika dia menjelaskan dengan jelas, perasaan pria di seberangnya akan menjadi lebih baik. Namun tidak disangka, ekspresi pria itu terlihat makin muram dan sedih.Wina langsung berdiri dan berjalan mendekat, menyentuh wajah tegas Jihan."Jihan, kamu kenapa?"Merasakan sentuhan hati-hati Wina, kerutan di alis Jihan perlahan mengendur."Wina, aku baik-baik saja."Setelah mengatakan itu, Jihan mengulurkan jari-jarinya yang panjang dan indah, menarik Wina untuk duduk di sa
Wina tidak terlalu terkejut saat melihat hasil tes tersebut.Karena sejak awal dia sudah menduga kalau Gisel adalah anak Alvin.Setelah hasil tes DNA benar-benar ada di hadapannya, hal itu makin menegaskan bahwa penilaiannya memang benar.Gisel memang anak Alvin. Kakaknya tidak pernah mengkhianati Alvin. Selama ini, Alvin membenci orang yang salah.Jelas-jelas Robert tahu kalau Gisel adalah putri Alvin. Bukannya memberi tahu Alvin, dia malah berbohong dan mengatakan kalau Gisel adalah putrinya.Apakah Robert melakukan itu karena terlalu menyayangi kakaknya dan ingin menguasai putri yang ditinggalkan kakaknya? Atau dia ingin balas dendam kepada Alvin?Saat Wina bertanya-tanya apa tujuan Robert, Jihan menjentikkan jarinya kepada pengawal."Informasi."Pengawal itu segera mengerti, berbalik dan segera meninggalkan vila. Dia mengambil dokumen dari mobil dan menyerahkannya kepadanya.Jihan tidak menjawab dan hanya menunduk menatap Wina. Pengawal itu cepat paham dan menyerahkan informasi itu
Wina menatap wajah tampan Jihan yang tidak ada tandingannya. Setelah ragu-ragu selama beberapa detik, dia berinisiatif melingkarkan lengannya di leher Jihan, seolah ingin menyenangkannya."Jihan, aku telepon Alvin, boleh?""Nggak boleh."Mendapat penolakan tegas, wajah Wina langsung tertunduk. "Kenapa?"Pria itu mengangkat dagu Wina dengan satu tangan dan berkata dengan tegas, "Mulai sekarang, kamu nggak boleh ketemu Alvin, nggak boleh bicara sama dia atau menghubunginya."Kalau begitu, bagaimana Wina bisa memberi tahu Alvin kalau kakaknya tidak pernah mengkhianatinya dan Gisel adalah putri kandungnya?Saat Wina tengah memikirkan akan hal ini, tangan Jihan bergerak mengambil ponsel dan mulai menelepon.Wina melirik nomor yang tertera di layar, lalu membandingkannya dengan nomor pada informasi. Seketika, sudut bibirnya perlahan terangkat.Jihan lebih suka menelepon Alvin sendiri daripada membiarkan Wina meneleponnya.Jihan menelepon dua kali, tetapi panggilan tidak dijawab. Jadi, dia te
"Alvin, lama nggak bertemu."Robert memegang bunga krisan di tangan dan datang bersama banyak pengawal. Dia berjalan menaiki tangga, mendekati Alvin perlahan.Pria yang berdiri di depan kuburan itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Dia hanya memasukkan foto di tangannya ke dalam saku dekat jantungnya.Permasalahan antara Robert dan Alvin sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Robert tahu kalau Alvin meremehkannya, jadi dia tidak peduli apakah Alvin mengabaikannya atau tidak.Dia berjalan mendekati Alvin, meletakkan bunga krisan yang dia bawa di depan makam. Lalu, dia melihat foto di batu nisan ...."Nona Wina?"Pantas saja selama ini dia tidak bisa menemukan makam Vera. Ternyata yang 'meninggal' Nona Wina, bukan Vera.Alvin benar-benar berusaha keras untuk memonopoli Vera. Namun, pada akhirnya Vera mengkhianatinya ....Robert tersenyum kecil, lalu berseru, "Alvin, waktu delapan bulan sudah tiba. Sudah waktunya kamu mengembalikan Gisel kepadaku."Alvin yang sejak tadi hanya diam