Orang-orang di dalam mobil terdiam ketika mereka sampai di vila milik Alvin di Norwen, tempat yang sangat terpencil bahkan tanpa sinyal.Setelah Alvin meminta pelayan untuk membawa Wina dan anak itu ke kamar masing-masing, dia mengambil sebungkus rokok dan melemparkannya ke George. Keduanya mengenakan mantel mereka dan berjalan keluar vila.Alvin mengapit rokok di mulut dan menyalakan korek api. Dia menyalakan untuk George terlebih dulu, kemudian untuk dirinya sendiri. Keduanya mengepulkan asap dan tetap diam.George memanfaatkan cahaya redup dan suhu dingin di Norwen untuk melihat ke arah Alvin, yang berdiri melawan cahaya, "Apa yang akan kamu lakukan?"Alvin tetap tenang dan mengangkat alisnya, "Apa yang aku lakukan?"George memasukkan tangannya yang membeku ke dalam saku jas hitamnya, "Kamu merebut anak Vera, kemudian merebut Nona Wina. Apakah kamu berencana untuk hidup seperti ini selama sisa hidupmu?"Alvin mengisap rokok dan bertanya pada George, "Memangnya nggak boleh"Mendengar
Wina masih tidak mau bicara dan George tidak memaksanya. Pada hari-hari berikutnya, George sering datang mengunjungi Wina sambil menggendong Gisel.Pada siang hari, Gisel akan berbaring di depan tempat tidur Wina dan bermain dengannya."Bibi, kamu terlihat seperti boneka yang dibelikan ayahku. Boneka itu sama seperti kamu, cantik, tapi nggak dapat berbicara ...."Wina tidak tahu bagaimana George meyakinkan Gisel. Hanya pertama kali mereka bertemu Gisel memanggilnya Ibu kemudian berubah menjadi memanggil Bibi.Hati Wina terasa hangat setiap kali Gisel memanggilnya Bibi, ketika tidur malam hari, Wina selalu memeluk erat tubuh mungil Gisel.Seolah Wina menemukan perahu yang terapung , siap mengajaknya berlayar untuk melihat pemandangan yang indah.Wina menunduk dan menatap anak dalam perutnya, ingin melihat seperti apa dia ....Namun, dia tidak dapat melihat dan penyesalan diam-diam muncul lagi di hatinya...Akankah cahaya kembali setelah kematian?Jika tidak, apakah dia tidak akan bisa m
Kota Aster, rumah sakit Lilia.Dua bulan telah berlalu sejak Jihan mengalami koma.Pria di ranjang rumah sakit itu memiliki wajah tampan, bercahaya putih transparan, dengan mata tertutup rapat, hanya bulu mata panjang dan tebal yang terlihat.Dia berbaring dengan tenang di tempat tidur putih, seolah-olah dia telah meninggal dunia, tidak meninggalkan apa pun kecuali tubuhnya.Jefri mengambil kapas yang diberikan Daris, mencelupkan ke dalam air hangat dan membasahi bibir tipis, kering dan kusam pria di ranjang rumah sakit.Setelah selesai membasahi, dia mengambil handuk bersih dan menyeka dahi pria itu sambil bertanya kepada pemimpin pengawal yang berdiri di belakangnya, "Sudah kamu temukan belum?"Pemimpin pengawal itu menundukkan kepala, dengan rasa bersalah, "Maaf, pihak Britton juga belum menemukannya ...."Mendengar ini, Jefri meremas handuk di tangannya, berbalik dan memukul kepala pemimpin pengawal itu, "Bangsat, satu orang saja nggak bisa ditemukan!"Pemimpin pengawal tidak beran
Setelah tersadar dari keterkejutannya, Daris pun mendekat ke tepi ranjang rumah sakit dan menatap mata Jihan.Bulu mata Jihan yang lentik tampak bergerak-gerak seolah-olah sedang berjuang untuk membuka mata ....Jihan berusaha keras untuk membuka matanya, tetapi tidak bisa ....Karena dia sedang sibuk bermimpi indah. Dalam mimpi itu, Wina sedang menggendong anak mereka dan menjalani hidup bahagia bersamanya.Jihan tidak mau bangun, dia tidak mau pergi dari mimpi indah ini. Akan tetapi, suatu hari dia tiba-tiba melihat Wina mengulurkan tangannya ke arah Jihan dengan tatapan kosong.Wina mengelus-elus perutnya sambil menatap Jihan dari kejauhan. Wina pun berkata sambil menangis, "Jihan, aku rindu banget padamu. Kapan kamu akan datang menjemputku?"Jihan pun menoleh menatap Wina yang sedang menggendong anak mereka sambil tersenyum, lalu menoleh lagi menatap Wina yang berdiri di tengah kabut dan menangis sampai penglihatannya mengabur.Jihan tidak tahu sosok yang mana yang merupakan Wina-n
Apa Jihan merasa inilah saatnya untuk membereskan Yuno?Kebetulan sekali Daris juga menyimpan dendam terhadap Yuno. Dengan kata lain, Jihan menyuruh Daris untuk membalaskan dendam mereka berdua?"Tenang saja, serahkan semuanya padaku, Pak Jihan," jawab Daris tanpa rasa keberatan.Setelah memberikan instruksi, Jihan pun berusaha bangun, tetapi dia ternyata tidak bisa bergerak. Hanya jari-jemarinya saja yang bisa digerakkan, itu pun sedikit sekali.Jihan mengepalkan tangannya dan mencoba mengerahkan tenaga di jari-jemarinya, tetapi percuma saja.Begitu melihat wajah Jihan yang basah oleh keringat, Daris langsung menyadari bahwa Jihan sedang berusaha untuk bangun. Dia pun bergegas menghampiri Jihan dan menghentikannya."Pak Jihan, Pak Jihan baru saja siuman, jadi wajar kalau Pak Jihan belum bisa bergerak. Pak Jihan masih harus istirahat dan perlu menjalani fisioterapi ...."Setelah beberapa kali untuk bangun dan tetap berakhir gagal, Jihan akhirnya menyerah ....Dia mengernyit mengingat s
Saat Jihan membuka matanya lagi, hari sudah berganti. Semua anggota Keluarga Lionel sudah memadati kamarnya dan menyambutnya dengan bahagia.Keluarga Lionel tahu bahwa Jihan menyukai suasana yang hening, jadi mereka hanya berdiri diam di samping ranjang. Namun, saking heningnya suasana kamar Jihan, justru malah terasa seperti sedang ada rapat keluarga.Seorang pria tua berusia 75 tahun duduk di depan ranjang rumah sakit, tubuhnya dibalut oleh satu setel jas dan kakinya tertutupi oleh sepasang sepatu kulit. Walaupun rambutnya sudah beruban, wajahnya terlihat bugar. Tubuhnya tampak tegap dan energik. Dia menatap Jihan yang terlihat pucat dan tirus dengan mata yang terlihat berkaca-kaca ....Pria tua itu mencengkeram tongkat jalannya dengan erat sambil berkata dengan suara yang agak tercekat, "Terima kasih sudah bertahan, Jihan."Suara pria tua itu sudah berubah dimakan waktu, tetapi tetap terdengar kuat dan berwibawa.Bukan hanya suaranya, aura yang terpancar dari tubuhnya juga terasa be
Sementara itu, di Norwen. Sinar matahari yang terbit menembus melalui kaca jendela vila dan menerangi bagian dalam rumah yang terbuat dari batu bata itu.Sinar matahari membuat Wina tampak seperti sosok dalam lukisan dari kejauhan. Punggungnya yang langsing tertutup oleh rambut panjangnya yang bergelombang.Wina memeluk Gisel sambil meraba-raba roti di piring, lalu merobeknya sedikit demi sedikit dengan tangannya yang mengenakan sarung tangan dan menyodorkan potongan roti itu ke mulut Gisel.Gisel pun menjulurkan lehernya untuk memakan suapan roti panggang dari bibinya. Setelah menggigit roti panggang yang lembut, dia menengadah menatap Alvin yang duduk di hadapannya.Alvin tampak sibuk memotong-motong steaknya dengan pisau dan garpu, lalu menyodorkan sepotong ke mulut Wina."Vera, buka mulutmu."Gisel sontak bertanya-tanya. Paman George bilang ibunya bernama Vera dan bibinya bernama Verina.Namun, akhir-akhir ini Paman Aneh selalu memanggil bibinya Vera. Gisel jadi bingung wanita ini
"Jihan sudah sadar," ulang asisten itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Alvin terkejut beberapa detik, lalu kembali ke ekspresi normal seolah-olah dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Dia tidak terlalu ambil pusing.Dengan santai Alvin mengambil serbet di meja makan dan menyeka bubur di jarinya ....Setelah menyeka hingga bersih, dia mengangkat kepalanya, melihat ke arah kamera pengintai dan berkata pada asistennya, "Karena sudah bangun, sekarang waktunya kita kasih dia hadiah."Alvin yakin Jihan akan sangat senang setelah melihat hadiah darinya, bahkan mungkin Jihan akan jatuh koma lagi karena terlalu bahagia ....Alvin mulai menantikan reaksi Jihan ....Jihan yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit melihat video rekaman kamera pengawas yang diunggah di ponselnya. Hatinya hancur, kesedihan yang hebat menyerangnya.Dengan ujung jari yang gemetar, Jihan mengklik video pertama. Video itu memperlihatkan Alvin yang menyuapi Wina. Jihan yang tidak bisa mengontrol diri mulai mengklik