"Nggak! Aku nggak ngerti!"Wina menatap Jihan dengan penuh kebencian, kedua tangannya terkepal dengan erat."Kamu sengaja menggunakan identitas palsu untuk memaksaku dan membuatku selalu berpikir aku ini sudah dinodai oleh orang asing.""Aku benar-benar merasa tersiksa, butuh waktu lama bagiku untuk bisa pulih dari tekanan ini ....""Tapi kamu selalu menyembunyikan semua fakta yang ada dan nggak pernah mengungkitnya sama sekali. Kamu pernah mikir nggak sih seperti apa perasaanku?"Ucapan Wina itu menghujam hati nurani Jihan dengan telak."Wina, aku bukannya sengaja mau menyembunyikan semua ini darimu. Masalahnya, setelah kamu kembali, ada begitu banyak hal yang terjadi di antara kita.""Aku cuma memikirkan gimana caranya bisa kembali denganmu, aku benar-benar nggak kepikiran soal Tuan Malam ...."Setelah selesai bicara, Jihan kembali memeluk erat Wina yang masih marah."Maaf ya, Wina. Ini semua salahku karena sudah terlalu egois dan nggak mikirin perasaanmu ...."Tubuh mungil Wina yang
Wina pun menengadah menatap wajah Jihan yang terlihat pucat."Mendingan kamu ke rumah sakit dulu ...."Terakhir saat mereka masih di Walston, Jihan juga pernah mengeluhkan sakit kepala. Akan tetapi, kali ini Jihan sampai nyaris terjungkal setelah Wina dorong. Wina tidak tahu penyakit apa yang sebenarnya Jihan alami."Buatku, yang paling penting itu kamu."Jihan pun mengangkat tubuh Wina dan mendudukkan wanita itu di atas pangkuannya, lalu menyandarkan kepalanya di sofa sambil menatap Wina.Posisi duduk seperti ini membuat suasana di antara mereka menjadi lebih intim. Wina berusaha untuk turun dari pangkuan Jihan, tetapi Jihan mencengkeram pinggang Wina dengan kuat."Jangan gerak-gerak, Wina ...."Wina sontak berhenti bergerak, dia bisa merasakan bagian sensitif Jihan mulai bereaksi. Wina pun akhirnya hanya menatap Jihan.Sambil tetap menahan tubuh Wina, Jihan menenangkan dirinya dan mulai menjelaskan."Wina, Tuan Malam bukan identitas palsu, sebenarnya itu adalah identitasku yang lain
Jihan terdiam sejenak, dia menatap Wina dengan matanya yang tampak begitu lelah karena sudah berhari-hari tidak tidur nyenyak."Wina, restoran yang kamu datangi kemarin itu bukan tempat makan khusus para pasangan, itu cuma restoran biasa.""Restoran itu menggunakan kaca Low-E, jadi kalau malam, mereka yang berada di dalam nggak bisa lihat apa yang ada di luar ...."Wina sontak termangu, matanya tampak berkaca-kaca.Jemari Jihan membelai alis dan mata Wina dengan penuh kelembutan seolah ingin menenangkan Wina yang kalut."Identitas Valeria melibatkan keluarga bangsawan yang cukup berpengaruh dari Britton. Kalau mau bertindak, Valeria harus punya alibi yang kuat.""Aku sebenarnya menolak waktu dia memintaku berpura-pura menjadi pacarnya. Waktu itu aku menoleh ke luar jendela dan kebetulan kamu di sana."Jihan pun memeluk Wina dan menatap Wina dengan tatapan yang terlihat sangat bersalah."Wina, aku minta maaf karena nggak aku nggak melihatmu waktu itu. Kalau aku tahu kamu ada di luar, ak
Ciuman Jihan begitu lembut, mungkin lebih tepatnya disebut kecupan.Jemari Jihan yang kekar menyusuri rambut dan membelai wajah wanita di hadapannya yang terasa sedingin es.Wina melirik ke jemari Jihan yang sedang menelusuri alisnya, lalu mengelak dengan halus.Tindakan sepele ini seperti badai yang menghapus bersih seluruh sisa rasa dan seketika langsung membuat hati Jihan merasa pilu.Sorot tatapan Jihan sontak terlihat begitu terluka, matanya yang memerah tampak nanar."Kamu ... nggak mau?"Jihan sudah tahu apa jawaban Wina, tetapi dia memutuskan untuk tetap bertanya."Iya ...."Wina mengangguk, perasaannya yang semula terasa campur aduk perlahan-lahan kembali tenang.Jihan sontak merasa tidak berdaya, nada bicara Wina yang terdengar begitu yakin langsung menghancurkan secercah harapan yang tersisa dalam hati Jihan."Kenapa ...."Bukankah semua kesalahpahaman ini sudah diluruskan? Kenapa Wina masih tidak mau kembali padanya?Jihan sudah berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan Win
Jihan pun mengangkat ujung jarinya yang gemetar untuk terus menyeka air mata di pipi Wina.Ekspresi Wina yang tampak begitu sedih membuat mata Jihan juga menjadi berkaca-kaca.Ini pertama kalinya dia mendengar ungkapan cinta dan kekecewaan Wina yang begitu mendalam terhadapnya.Baru pada saat inilah Jihan menyadari betapa Wina sangat mencintainya ....Namun, Jihan sudah menyakitinya dan gagal memberinya rasa aman, itulah sebabnya Wina menjadi sangat sensitif.Jihan hanya fokus dengan keinginannya mendapatkan Wina tanpa pernah memikirkan betapa tersiksanya batin Wina.Jemari Jihan menerobos helaian rambut Wina dan menggenggam tengkuk Wina. Jihan membiarkan Wina bersandar di bahunya sambil menangis sejadi-jadinya."Wina, aku janji mulai sekarang, nggak akan ada lagi wanita yang akan muncul di sisiku kecuali kamu."Jihan mengucapkan kata-kata ini seperti sebuah sumpah. Dari matanya terpancar keyakinan yang tak tergoyahkan seperti sedang berkomitmen seumur hidup.Wina bersandar di bahu Jih
Jihan menatap Wina dengan tenang selama beberapa saat, lalu berkata, "Wina, aku nggak pernah peduli dengan asal usulmu. Yang aku cintai itu pribadi kamu. Aku nggak peduli apa identitasmu atau siapa kamu. Kamu hanya perlu menjadi diri sendiri, itu sudah cukup ...."Justru karena prinsip ini, Jihan tidak pernah terpikir semua kekhawatiran Wina tadi. Dia juga tidak pernah terpikir kalau ternyata dalam hati Wina mengukur pribadi mereka berdua seperti ini.Penilaian Wina inilah yang membuat jarak di antara mereka berdua, tapi di mata Jihan semua ini bukan penghalang.Dia mengangkat ujung jarinya untuk menyentuh pipi Wina dan berkata dengan penuh kasih sayang, "Punyaku itu punyamu. Selama kamu mau, aku bisa kasih semuanya sekarang ...."Setelah mendengar ini, Wina tersenyum padanya dan tidak berkata apa-apa lagi.Jihan memang bisa memberikan segalanya, tapi dia tidak bisa memberikan arti dari kekayaan yang sesungguhnya.Kekayaan yang berhubungan dengan cara berpikir semacam ini hanya dapat d
Wina sontak memiringkan kepalanya sedikit dan menatap Jihan dengan agak kebingungan. "Apa penjelasanku masih kurang atau justru kamu masih belum mengerti?"Dia mengusap pipinya dengan ujung jarinya dan berkata dengan lembut, "Aku nggak pernah mengejarmu. Mulai sekarang, aku akan mengejarmu. Kalau sudah seperti ini saja kamu masih merasa kita nggak cocok, aku akan melepaskanmu dan nggak akan pernah mengganggumu lagi."Wina hendak menolak, tetapi ujung jari Jihan lagi-lagi menekan bibir Wina. Jihan berkata, "Kamu perlu waktu untuk memulihkan luka batinmu, jadi biarkan aku menggunakan kesempatan ini untuk mengejarmu. Kita bisa melewatinya bersama."Padahal, Wina bermaksud untuk bertumbuh sendirian, bukannya bersama Jihan.Jihan pun langsung mengakhiri pembicaraan dengan tegas. "Sudah, begitu saja. Kamu boleh keluar."Wina sontak mengernyit. "Kamu ...."Jihan kembali merangkul pinggang Wina, lalu menarik tubuh Wina mendekat sehingga bagian bawah tubuh mereka saling menempel."Kalau kamu ng
Setelah selesai memberikan perintah, Jihan meletakkan ponselnya. Dia menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang kerjanya.Dia mengeluarkan ponsel lain yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anggota organisasi dan mengirim pesan ke Zeno.Setelah membawa Winata ke ruang bawah tanah, Zeno pun melepaskan topengnya dan mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Zeno membaca pesan yang masuk, kemudian segera mengirimkan balasannya.Setelah membalas pesan Jihan, Zeno pun melirik sekeliling dengan santai dan mematikan ponselnya. Zeno mengambil secangkir kopi di atas meja dan meminumnya dalam sekali teguk.Dia mengenakan sarung tangan hitamnya, lalu mengambil topengnya dan bergegas keluar. Saat berjalan menuju lift, dia samar-samar bisa mendengar omelan Sam."Aduh, dasar kalian ini keparat semua! Kenapa nggak menghajar atau memakiku dan hanya berulang kali mengangkatku naik turun, hah? Kalian sebenarnya mau apa!"Empat orang pengawal bertubuh tegap mencengkeram kedua tanga