Setelah selesai, Jihan pun bertanya dengan lembut, "Mau lagi?"Wina menggelengkan kepalanya, lalu menyadari bekas luka bakar pada jari-jemari Jihan.Wina langsung menengadah menatap Jihan. "Tanganmu ...."Jihan refleks menekuk sedikit jemarinya agar Wina tidak bisa melihat lukanya lagi, lalu tangannya yang tidak terluka mengambil handuk bersih dan mengelap bibir Wina.Karena Jihan tidak menjawab, Wina pun tidak bertanya lebih lanjut. Dia menatap sekeliling dengan saksama, lalu bertanya, "Sudah berapa lama aku nggak sadar?"Setelah mengeringkan bibir Wina, Jihan pun menjawab, "Setengah bulan lebih."Wina pikir dia tidak sadarkan diri selama paling beberapa hari, tidak disangka sampai setengah bulan lebih.Di mana Sara dan Ivan? Kenapa yang dia lihat begitu siuman hanyalah Jihan?Wina ingin bertanya kepada Jihan, tetapi dia memperhatikan Jihan yang memegang kedua sisi wajahnya dengan lembut dan mengganti bantal yang Wina gunakan dengan yang baru.Setelah itu, Jihan mengambil perlengkapan
Jihan membuka pintu kamar rawat. Dia menatap Ivan yang duduk di atas kursi roda, lalu berjalan pergi.Ivan tidak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan Jihan dengan Wina di dalam sana. Dia pikir Jihan berjalan pergi karena ada urusan mendadak, jadi dia juga tidak begitu ambil pusing.Ivan memandang Wina yang terbaring di atas ranjang rumah sakit, lalu menggerakkan kursi rodanya memasuki kamar rawat ....Wina sedang melamun menatap ke luar jendela dengan kepala yang dimiringkan. Dia baru tersadar dari lamunannya saat ada seseorang yang menghalangi pandangannya."Ivan ...."Wina pun tersenyum kecil. "Kamu datang ...."Ivan balas mengangguk singkat. Saat melihat perban yang menutupi punggung Wina, ekspresi Ivan pun terlihat pilu."Kamu pasti kesakitan ya, Wina ...."Wina sebenarnya ingin menjawab tidak sambil tersenyum, tetapi begitu bergerak sedikit, rasa sakit yang memilukan langsung menghujamnya sampai-sampai keringat dingin muncul.Ivan refleks hendak menyentuh bahu Wina, tetapi tang
Ivan menatap Wina yang hanya terdiam, sorot matanya menyorotkan senyuman lega."Wina, aku sudah pernah melihat seperti apa sosokmu saat benar-benar mencintai seseorang.""Kamu begitu pemberani dan rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawamu, demi orang yang kamu cintai ....""Jadi, aku tahu kamu melindungi Jihan bukan sebatas kamu ingin balas budi, tapi lebih karena kamu mencintainya ...."Ivan menatap wanita yang dia cintai selama separuh hidupnya ini, sorot matanya perlahan-lahan tampak getir ...."Cara kamu mencintainya sekarang sama seperti saat kamu mencintaiku waktu itu. Tapi, aku sudah kehilangan dirimu dan nggak mungkin bisa mendapatkanmu lagi ...."Hati Wina sontak terasa pedih. Matanya pun menjadi berkaca-kaca. "Maaf, Ivan .... Justru akulah yang lebih dulu mengkhianatimu ...."Ivan menggelengkan kepalanya, dia sama sekali tidak menyalahkan Wina. "Akulah yang membuatmu marah sampai kecelakaan mobil itu terjadi. Itu semua gara-gara aku."Sebenarnya, kecelakaan mobil delapan ta
Ivan pun memberikan kontrak itu kepada Wina sambil tersenyum datar.Wina yang berbaring di atas ranjang rumah sakit pun menoleh menatap Ivan dalam diam. Rasanya, dia seperti kembali ke masa lalu.Wina seolah bisa melihat Ivan yang duduk di baris paling belakang di kelas sambil bersandar di meja dengan satu tangan. Ivan balas menatapnya melalui jendela.Sosok Ivan saat itu sama seperti sekarang, tampak berwibawa, elegan, bermartabat dan acuh tak acuh.Ivan dan Wina pun berpandangan seolah-olah sedang saling mengucapkan selamat tinggal kepada sosok mereka di masa lalu.Beberapa saat kemudian, Ivan akhirnya memalingkan pandangannya menatap jam tangan. Saat menengadah menatap Wina lagi, dia terlihat seperti sudah memantapkan hati."Wina, aku akan kembali ke Kota Ostia jam 16.15."Sebenarnya, Wina masih merasa bersalah. Namun, saat melihat sorot tatapan Ivan yang terkesan lega, Wina menyimpan kembali apa yang hendak dia katakan.Wina pun menatap Ivan dengan lembut, sama seperti tatapannya s
Belasan mobil mewah pun diparkir di depan pintu gedung Grup Lionel.Jihan turun dari mobil dengan ekspresi dingin, kaki jenjangnya melangkah menuju ruang CEO.Begitu melihat Jihan buru-buru berjalan pergi, Daris beserta sekelompok pengawal pun segera mengikuti Jihan.Sambil berjalan, Jihan memerintahkan Daris dengan suara dingin, "Siapkan pesawat pribadi ke Walston."Daris mengiakan perintah Jihan, lalu bertanya, "Berapa lama Pak Jihan akan tinggal di Walston kali ini?""Satu tahun," jawab Jihan dengan nada datar.Daris sontak tertegun menatap Jihan. "Kenapa lama sekali, Pak Jihan?"Jihan tidak memberikan jawaban, sorot matanya benar-benar terlihat acuh tak acuh.Daris pun langsung mengerti dan tidak bertanya apa-apa lagi."Baiklah, malam ini aku akan menyiapkan semua keperluan Pak Jihan."Jihan balas mengangguk singkat, lalu berjalan memasuki lift khusus CEO.Di dalam ruang CEO, Jefri sedang duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Begitu melihat Jihan berjalan masuk, Jefri langsung
Ucapan Wira itu membuat Jefri merasa tertantang dan tersinggung. Jefri langsung membuang ponselnya, kemudian menyingsingkan lengan bajunya dan meninju Wira dengan kencang."Hei, aku akan mengingatnya dalam satu minggu!"Wira tidak memberikan tanggapan apa pun. Dia hanya balas tersenyum dengan kesan mencibir, lalu mengambil laptopnya dan berjalan keluar.Jefri yang masih tidak terima dengan sikap arogan Wira pun berniat mengejar Wira dan menghajarnya lagi, tetapi Jihan menghentikan adiknya.Jihan menatap sisa-sisa sinar matahari yang terbenam di luar jendela sana. Sorot matanya yang dulu terlihat berbinar kini tampak suram.Jefri pun berhenti memicu onar, lalu duduk di sebelah Jihan dan bertanya dengan suara lembut, "Kak Jihan, apa ada hal lain yang mau Kak Jihan katakan kepadaku?"Jihan menurunkan pandangannya, lalu menjawab dengan suara pelan, "Tolong jaga dia baik-baik. Jangan sampai ada yang mengusik hidupnya."Tentu saja Jefri tahu siapa yang dimaksud oleh Jihan. Jefri pun berujar,
Tiba-tiba, Winata menoleh ke belakang seolah-olah dia menyadari ada yang menatapnya. Begitu melihat yang menatapnya adalah Jihan, ekspresi Winata langsung menjadi gembira."Jihan! Kamu akhirnya bersedia menemuiku ...."Winata pun segera berlari menghampiri Jihan."Jihan, kamu tahu nggak aku kangen banget denganmu! Selama tiga tahun ini kamu terus saja menolak kehadiranku!""Kamu kangen padaku?" cibir Jihan.Winata pun mengangguk, air matanya mulai mengalir turun. "Jihan, sudah kubilang 'kan sejak kecil aku menyukaimu! Mana mungkin aku nggak kangen padamu?""Terus, kakakku?" sahut Jihan sambil menatap Winata dengan dingin.Wajah Winata sontak menjadi pucat. Sorot tatapannya tampak agak bersalah, tetapi dia tetap menjawab dengan nada mantap, "Aku nggak pernah mencintai kakakmu, satu-satunya orang yang kucintai ya kamu. Kalau bukan karena sejak kecil kamu adalah orang yang sulit didekati, mana mungkin aku sudi berkencan dengan kakakmu ...."Winata pun mengulurkan tangannya hendak menggeng
Jihan memang tidak meneruskan ucapannya, tetapi Winata sudah tahu.Seandainya saja Ryder tidak mencintai Winata, pasti Jihan sudah menghabisinya sejak dulu.Winata merasa begitu marah, wajahnya sampai terlihat pucat. Hatinya mendadak menjadi mati rasa.Jika ... jika Jihan tahu soal masalah itu ....Akan tetapi, Winata tidak berani membayangkan lebih lanjut. Dia juga tidak berani terus membuat masalah di depan Jihan.Winata mengepalkan tangannya sambil menggertakkan giginya. Dia menatap mobil Jihan yang melaju menuju rumah dengan marah.Jihan memang tidak mungkin tahu soal kejadian yang sudah berlalu, tetapi Winata bisa memanfaatkan titik lemah Jihan.'Lihat saja, Jihan! Sebentar lagi, kamu akan menerima ganjarannya karena sudah mengingkari janji!'Sekembalinya ke vila, Jihan melepas mantelnya dan menyerahkannya kepada pelayan. Setelah itu, Jihan meminta salah satu pelayannya untuk mengambilkan sebotol disinfektan.Si pelayan pun segera membawakan pesanan Jihan. Setelah membuka botol, J