Ivan pun memberikan kontrak itu kepada Wina sambil tersenyum datar.Wina yang berbaring di atas ranjang rumah sakit pun menoleh menatap Ivan dalam diam. Rasanya, dia seperti kembali ke masa lalu.Wina seolah bisa melihat Ivan yang duduk di baris paling belakang di kelas sambil bersandar di meja dengan satu tangan. Ivan balas menatapnya melalui jendela.Sosok Ivan saat itu sama seperti sekarang, tampak berwibawa, elegan, bermartabat dan acuh tak acuh.Ivan dan Wina pun berpandangan seolah-olah sedang saling mengucapkan selamat tinggal kepada sosok mereka di masa lalu.Beberapa saat kemudian, Ivan akhirnya memalingkan pandangannya menatap jam tangan. Saat menengadah menatap Wina lagi, dia terlihat seperti sudah memantapkan hati."Wina, aku akan kembali ke Kota Ostia jam 16.15."Sebenarnya, Wina masih merasa bersalah. Namun, saat melihat sorot tatapan Ivan yang terkesan lega, Wina menyimpan kembali apa yang hendak dia katakan.Wina pun menatap Ivan dengan lembut, sama seperti tatapannya s
Belasan mobil mewah pun diparkir di depan pintu gedung Grup Lionel.Jihan turun dari mobil dengan ekspresi dingin, kaki jenjangnya melangkah menuju ruang CEO.Begitu melihat Jihan buru-buru berjalan pergi, Daris beserta sekelompok pengawal pun segera mengikuti Jihan.Sambil berjalan, Jihan memerintahkan Daris dengan suara dingin, "Siapkan pesawat pribadi ke Walston."Daris mengiakan perintah Jihan, lalu bertanya, "Berapa lama Pak Jihan akan tinggal di Walston kali ini?""Satu tahun," jawab Jihan dengan nada datar.Daris sontak tertegun menatap Jihan. "Kenapa lama sekali, Pak Jihan?"Jihan tidak memberikan jawaban, sorot matanya benar-benar terlihat acuh tak acuh.Daris pun langsung mengerti dan tidak bertanya apa-apa lagi."Baiklah, malam ini aku akan menyiapkan semua keperluan Pak Jihan."Jihan balas mengangguk singkat, lalu berjalan memasuki lift khusus CEO.Di dalam ruang CEO, Jefri sedang duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Begitu melihat Jihan berjalan masuk, Jefri langsung
Ucapan Wira itu membuat Jefri merasa tertantang dan tersinggung. Jefri langsung membuang ponselnya, kemudian menyingsingkan lengan bajunya dan meninju Wira dengan kencang."Hei, aku akan mengingatnya dalam satu minggu!"Wira tidak memberikan tanggapan apa pun. Dia hanya balas tersenyum dengan kesan mencibir, lalu mengambil laptopnya dan berjalan keluar.Jefri yang masih tidak terima dengan sikap arogan Wira pun berniat mengejar Wira dan menghajarnya lagi, tetapi Jihan menghentikan adiknya.Jihan menatap sisa-sisa sinar matahari yang terbenam di luar jendela sana. Sorot matanya yang dulu terlihat berbinar kini tampak suram.Jefri pun berhenti memicu onar, lalu duduk di sebelah Jihan dan bertanya dengan suara lembut, "Kak Jihan, apa ada hal lain yang mau Kak Jihan katakan kepadaku?"Jihan menurunkan pandangannya, lalu menjawab dengan suara pelan, "Tolong jaga dia baik-baik. Jangan sampai ada yang mengusik hidupnya."Tentu saja Jefri tahu siapa yang dimaksud oleh Jihan. Jefri pun berujar,
Tiba-tiba, Winata menoleh ke belakang seolah-olah dia menyadari ada yang menatapnya. Begitu melihat yang menatapnya adalah Jihan, ekspresi Winata langsung menjadi gembira."Jihan! Kamu akhirnya bersedia menemuiku ...."Winata pun segera berlari menghampiri Jihan."Jihan, kamu tahu nggak aku kangen banget denganmu! Selama tiga tahun ini kamu terus saja menolak kehadiranku!""Kamu kangen padaku?" cibir Jihan.Winata pun mengangguk, air matanya mulai mengalir turun. "Jihan, sudah kubilang 'kan sejak kecil aku menyukaimu! Mana mungkin aku nggak kangen padamu?""Terus, kakakku?" sahut Jihan sambil menatap Winata dengan dingin.Wajah Winata sontak menjadi pucat. Sorot tatapannya tampak agak bersalah, tetapi dia tetap menjawab dengan nada mantap, "Aku nggak pernah mencintai kakakmu, satu-satunya orang yang kucintai ya kamu. Kalau bukan karena sejak kecil kamu adalah orang yang sulit didekati, mana mungkin aku sudi berkencan dengan kakakmu ...."Winata pun mengulurkan tangannya hendak menggeng
Jihan memang tidak meneruskan ucapannya, tetapi Winata sudah tahu.Seandainya saja Ryder tidak mencintai Winata, pasti Jihan sudah menghabisinya sejak dulu.Winata merasa begitu marah, wajahnya sampai terlihat pucat. Hatinya mendadak menjadi mati rasa.Jika ... jika Jihan tahu soal masalah itu ....Akan tetapi, Winata tidak berani membayangkan lebih lanjut. Dia juga tidak berani terus membuat masalah di depan Jihan.Winata mengepalkan tangannya sambil menggertakkan giginya. Dia menatap mobil Jihan yang melaju menuju rumah dengan marah.Jihan memang tidak mungkin tahu soal kejadian yang sudah berlalu, tetapi Winata bisa memanfaatkan titik lemah Jihan.'Lihat saja, Jihan! Sebentar lagi, kamu akan menerima ganjarannya karena sudah mengingkari janji!'Sekembalinya ke vila, Jihan melepas mantelnya dan menyerahkannya kepada pelayan. Setelah itu, Jihan meminta salah satu pelayannya untuk mengambilkan sebotol disinfektan.Si pelayan pun segera membawakan pesanan Jihan. Setelah membuka botol, J
Begitu tahu bahwa Ivan dan Jihan sama-sama sudah pergi, Sara bergegas ke rumah sakit.Wina terbaring di ranjang rumah sakit, luka di punggungnya masih bernanah bahkan setelah diberi obat.Wina menoleh menatap pemandangan di luar jendela dengan murung dan sambil melamun.Saat sudah berada cukup dekat dengan Wina, barulah Sara menyadari Wina sedang menahan sakit sampai berkeringat dingin. Namun, Wina hanya diam.Kedua tangan Wina mencengkeram seprai dengan kuat seolah-olah mencoba untuk menahan rasa sakit di punggungnya.Sara pun tidak kuasa menahan air matanya, dia ikut merasa sedih dengan kondisi Wina. "Wina ...."Mendengar suara Sara ini, Wina menengadahkan kepalanya dan menatap sosok di hadapannya selama beberapa saat, pandangannya tidak mau fokus.Begitu samar-samar bisa melihat sosok Sara, barulah Wina membuka bibirnya yang kering dan menyapa dengan suara pelan, "Kak Sara ...."Wina jarang sekali memanggil Sara dengan sebutan seperti itu, biasanya Wina hanya melakukannya di saat se
Begitu memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dokternya, Lilia pun melihat seorang pria tampan yang berpakaian modis sedang berjalan menuju kamar rawat VIP tempat Wina berada.Begitu melihat Lilia, alis pria itu pun terangkat dan dia bertanya sambil tersenyum dengan lebar, "Bu Dokter, apa ada pasien bernama Nona Wina di kamar ini?"Ekspresi Lilia sontak menjadi kaku. Jangan bilang orang lain yang menyukai Wina langsung datang secepat ini?Walaupun Lilia merasa kebingungan, dia tetap menjawab sambil tersenyum, "Iya, benar. Anda siapa, ya?"Pria itu mengeluarkan kartu namanya dari dalam saku jasnya, lalu menyerahkannya kepada Lilia. "Oh, nama saya Sam."Lilia pun menatap kartu nama berwarna emas itu. Di atasnya tertulis Kepala Desainer PT Vera Construction. "Oh ya, halo," sapa Lilia sambil tersenyum.Sam berjabat tangan dengan Lilia, lalu meletakkan kartu namanya ke atas telapak tangan Lilia sambil tersenyum. "Kalau Bu Dokter mau mendesain rumah, silakan hubungi saya. Nanti saya kasih di
Setelah Sam pergi, Sara langsung mengomel, "Dia itu siapa sih? Senyumannya aneh banget, caranya bicara juga kasar."Wina sebenarnya sudah terlalu lelah sehabis meladeni Sam, tetapi dia tetap menghibur Sara, "Sudah, nggak usah dipikirin. Desainer 'kan memang agak eksentrik ...."Sara yang masih merasa sangat kesal pun mengeluarkan ponselnya dan mencari informasi tentang Sam di internet. Sara ingin tahu seberapa hebatnya Sam dan kenapa pria itu begitu terkenal.Setelah membaca riwayat karier Sam, Sara memutuskan untuk melupakan kekesalannya. Dia tidak mau berdebat dengan orang pintar semacam Sam.Sara meletakkan ponselnya sambil berpura-pura tidak peduli, lalu bertanya dengan lembut kepada Wina, "Kamu lapar, Wina? Biar kubelikan makanan."Wina menggelengkan kepalanya, pandangannya yang tertuju ke arah Sara menjadi makin kabur. "Sara, kamu ingat 'kan aku ada membawa sekotak obat waktu pindah ke vilamu? Bisa nggak pas kamu ke sini lagi tolong bawakan kotak itu?"Sara refleks melirik ke ara