Ucapan Wira itu membuat Jefri merasa tertantang dan tersinggung. Jefri langsung membuang ponselnya, kemudian menyingsingkan lengan bajunya dan meninju Wira dengan kencang."Hei, aku akan mengingatnya dalam satu minggu!"Wira tidak memberikan tanggapan apa pun. Dia hanya balas tersenyum dengan kesan mencibir, lalu mengambil laptopnya dan berjalan keluar.Jefri yang masih tidak terima dengan sikap arogan Wira pun berniat mengejar Wira dan menghajarnya lagi, tetapi Jihan menghentikan adiknya.Jihan menatap sisa-sisa sinar matahari yang terbenam di luar jendela sana. Sorot matanya yang dulu terlihat berbinar kini tampak suram.Jefri pun berhenti memicu onar, lalu duduk di sebelah Jihan dan bertanya dengan suara lembut, "Kak Jihan, apa ada hal lain yang mau Kak Jihan katakan kepadaku?"Jihan menurunkan pandangannya, lalu menjawab dengan suara pelan, "Tolong jaga dia baik-baik. Jangan sampai ada yang mengusik hidupnya."Tentu saja Jefri tahu siapa yang dimaksud oleh Jihan. Jefri pun berujar,
Tiba-tiba, Winata menoleh ke belakang seolah-olah dia menyadari ada yang menatapnya. Begitu melihat yang menatapnya adalah Jihan, ekspresi Winata langsung menjadi gembira."Jihan! Kamu akhirnya bersedia menemuiku ...."Winata pun segera berlari menghampiri Jihan."Jihan, kamu tahu nggak aku kangen banget denganmu! Selama tiga tahun ini kamu terus saja menolak kehadiranku!""Kamu kangen padaku?" cibir Jihan.Winata pun mengangguk, air matanya mulai mengalir turun. "Jihan, sudah kubilang 'kan sejak kecil aku menyukaimu! Mana mungkin aku nggak kangen padamu?""Terus, kakakku?" sahut Jihan sambil menatap Winata dengan dingin.Wajah Winata sontak menjadi pucat. Sorot tatapannya tampak agak bersalah, tetapi dia tetap menjawab dengan nada mantap, "Aku nggak pernah mencintai kakakmu, satu-satunya orang yang kucintai ya kamu. Kalau bukan karena sejak kecil kamu adalah orang yang sulit didekati, mana mungkin aku sudi berkencan dengan kakakmu ...."Winata pun mengulurkan tangannya hendak menggeng
Jihan memang tidak meneruskan ucapannya, tetapi Winata sudah tahu.Seandainya saja Ryder tidak mencintai Winata, pasti Jihan sudah menghabisinya sejak dulu.Winata merasa begitu marah, wajahnya sampai terlihat pucat. Hatinya mendadak menjadi mati rasa.Jika ... jika Jihan tahu soal masalah itu ....Akan tetapi, Winata tidak berani membayangkan lebih lanjut. Dia juga tidak berani terus membuat masalah di depan Jihan.Winata mengepalkan tangannya sambil menggertakkan giginya. Dia menatap mobil Jihan yang melaju menuju rumah dengan marah.Jihan memang tidak mungkin tahu soal kejadian yang sudah berlalu, tetapi Winata bisa memanfaatkan titik lemah Jihan.'Lihat saja, Jihan! Sebentar lagi, kamu akan menerima ganjarannya karena sudah mengingkari janji!'Sekembalinya ke vila, Jihan melepas mantelnya dan menyerahkannya kepada pelayan. Setelah itu, Jihan meminta salah satu pelayannya untuk mengambilkan sebotol disinfektan.Si pelayan pun segera membawakan pesanan Jihan. Setelah membuka botol, J
Begitu tahu bahwa Ivan dan Jihan sama-sama sudah pergi, Sara bergegas ke rumah sakit.Wina terbaring di ranjang rumah sakit, luka di punggungnya masih bernanah bahkan setelah diberi obat.Wina menoleh menatap pemandangan di luar jendela dengan murung dan sambil melamun.Saat sudah berada cukup dekat dengan Wina, barulah Sara menyadari Wina sedang menahan sakit sampai berkeringat dingin. Namun, Wina hanya diam.Kedua tangan Wina mencengkeram seprai dengan kuat seolah-olah mencoba untuk menahan rasa sakit di punggungnya.Sara pun tidak kuasa menahan air matanya, dia ikut merasa sedih dengan kondisi Wina. "Wina ...."Mendengar suara Sara ini, Wina menengadahkan kepalanya dan menatap sosok di hadapannya selama beberapa saat, pandangannya tidak mau fokus.Begitu samar-samar bisa melihat sosok Sara, barulah Wina membuka bibirnya yang kering dan menyapa dengan suara pelan, "Kak Sara ...."Wina jarang sekali memanggil Sara dengan sebutan seperti itu, biasanya Wina hanya melakukannya di saat se
Begitu memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dokternya, Lilia pun melihat seorang pria tampan yang berpakaian modis sedang berjalan menuju kamar rawat VIP tempat Wina berada.Begitu melihat Lilia, alis pria itu pun terangkat dan dia bertanya sambil tersenyum dengan lebar, "Bu Dokter, apa ada pasien bernama Nona Wina di kamar ini?"Ekspresi Lilia sontak menjadi kaku. Jangan bilang orang lain yang menyukai Wina langsung datang secepat ini?Walaupun Lilia merasa kebingungan, dia tetap menjawab sambil tersenyum, "Iya, benar. Anda siapa, ya?"Pria itu mengeluarkan kartu namanya dari dalam saku jasnya, lalu menyerahkannya kepada Lilia. "Oh, nama saya Sam."Lilia pun menatap kartu nama berwarna emas itu. Di atasnya tertulis Kepala Desainer PT Vera Construction. "Oh ya, halo," sapa Lilia sambil tersenyum.Sam berjabat tangan dengan Lilia, lalu meletakkan kartu namanya ke atas telapak tangan Lilia sambil tersenyum. "Kalau Bu Dokter mau mendesain rumah, silakan hubungi saya. Nanti saya kasih di
Setelah Sam pergi, Sara langsung mengomel, "Dia itu siapa sih? Senyumannya aneh banget, caranya bicara juga kasar."Wina sebenarnya sudah terlalu lelah sehabis meladeni Sam, tetapi dia tetap menghibur Sara, "Sudah, nggak usah dipikirin. Desainer 'kan memang agak eksentrik ...."Sara yang masih merasa sangat kesal pun mengeluarkan ponselnya dan mencari informasi tentang Sam di internet. Sara ingin tahu seberapa hebatnya Sam dan kenapa pria itu begitu terkenal.Setelah membaca riwayat karier Sam, Sara memutuskan untuk melupakan kekesalannya. Dia tidak mau berdebat dengan orang pintar semacam Sam.Sara meletakkan ponselnya sambil berpura-pura tidak peduli, lalu bertanya dengan lembut kepada Wina, "Kamu lapar, Wina? Biar kubelikan makanan."Wina menggelengkan kepalanya, pandangannya yang tertuju ke arah Sara menjadi makin kabur. "Sara, kamu ingat 'kan aku ada membawa sekotak obat waktu pindah ke vilamu? Bisa nggak pas kamu ke sini lagi tolong bawakan kotak itu?"Sara refleks melirik ke ara
Sekitar satu bulan kemudian, punggung Wina sudah tidak terasa begitu nyeri.Akan tetapi, masalah pencangkokkan kulit pada punggung Wina masih menjadi sebuah kekhawatiran besar bagi Lilia. "Aku berniat meminta tolong pada seorang dokter bedah plastik terkemuka di dunia, tapi dia nggak bisa kuhubungi."Dokter yang Lilia maksud adalah Dokter Olivia Annasy. Walaupun kemampuan Olivia sangat hebat, sulit sekali mempekerjakannya sekalipun sudah siap menghabiskan banyak uang.Wina pun menanggapi ucapan Lilia, "Nggak masalah, dokter bedah plastik biasa juga boleh. Bekas luka di punggung 'kan nggak akan terlihat karena tertutup baju."Sara yang sedang mengupas jeruk langsung berkata, "Wanita itu nggak boleh sampai punya bekas luka, nanti jelek banget ....""Aku juga punya bekas luka operasi bedah jantung, nggak masalah kalau nambah lagi," sahut Wina dengan cuek.Sara melirik Wina dengan sedih. "Kamu ini cantik banget, tapi sayang ada bekas luka di tubuhmu.""Aku 'kan bukan artis, jadi nggak masa
Jemari Wina pun terasa agak tegang, tetap ekspresinya tetap terlihat datar. "Itu urusan pribadi Dokter Olivia dan nggak ada hubungannya denganku.""Baiklah kalau kamu bilang begitu," sahut Olivia sambil tersenyum dengan anggun.Olivia pun berbalik badan dengan anggun, lalu menatap Lilia dan berkata, "Sampai ketemu di ruang operasi, Dokter Lilia."Setelah berkata seperti itu, Olivia yang mengenakan sepatu hak tinggi pun segera melangkah keluar dari kamar rawat.Begitu Olivia pergi, Sara langsung berujar dengan sangat kesal sambil menggertakkan giginya, "Kalau bukan karena aku takut dia nggak jadi mengoperasimu, pasti dari tadi aku sudah memakinya!"Lilia juga merasa agak kesal, tetapi dia tidak memberikan tanggapan apa-apa. Dia hanya mengeluarkan ponselnya dan terus mencoba menelepon Jihan.Jihan sudah sebulan terisolasi di pangkalan penerbangan, jadi harusnya sekarang dia memeriksa ponselnya, 'kan?Akan tetapi, ternyata ponsel Jihan masih mati. Lilia jadi merasa sangat putus asa. Dia m