Sara duduk di sofa ruang tamu sambil memperhatikan sekeliling interior vila. Hari ini, dia mengenakan gaun hitam dengan model punggung yang terbuka sambil membawa sebuah tas bermerek.Begitu melihat Wina berjalan menuruni tangga berbentuk spiral itu, Sara pun segera bangkit berdiri hendak menghampiri Wina. Akan tetapi, Wina langsung berlari ke arahnya."Hei, pelan-pelan, jangan sampai jatuh."Sara menopang tubuh Wina, lalu mengelus rambut Wina yang sekarang dipotong pendek. "Dulu rambutmu panjang, tapi dipotong pendek begini membuatmu terlihat lebih energik."Wina merasa agak getir, tetapi dia sengaja menyembunyikannya di hadapan Sara. "Ya, dulu 'kan aku sakit parah, sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik.""Yang penting kamu merasa begitu," hibur Sara sambil tersenyum."Kamu sudah sarapan, Sara?" tanya Wina sambil ikut tersenyum."Sudah," jawab Sara sambil mengangguk.Kemudian, dia melihat ke sekeliling sambil bertanya pada Wina, "Mana Pak Alvin?"Wina pun menengadah menatap kamar
Wina langsung merasa tersentuh. Sara memang tidak pernah berubah, dia selalu bersedia memberikan segalanya demi Wina.Sara bukan hanya seorang kakak yang baik, tetapi juga cahaya harapan bagi Wina.Mana mungkin Wina rela membiarkan Sara yang sebaik ini berada dalam bahaya karena mengikutinya ke Britton?"Hubunganku dengan Alvin terlalu rumit, aku nggak tahu ke depannya akan seperti apa. Aku nggak mau membahayakanmu.""Aku tahu apa yang kamu khawatirkan, tapi Wina ...."Sara menatap Wina dan berkata dengan penuh tekad, "Kamu satu-satunya keluargaku yang tersisa. Rumahku adalah di mana pun kamu berada."Kalimat terakhir Sara itu membuat air mata yang sedari tadi Wina tahan langsung mengalir turun.Sara pun menepuk-nepuk punggung Wina dengan lembut. "Sudah, sudah, jangan nangis, Wina. Aku 'kan belum pernah ke Britton, jadi anggap saja aku lagi keliling melihat dunia."Wina hendak membujuk Sara lagi, tetapi Sara tiba-tiba memekik dengan panik, "Ya ampun, aku hampir saja lupa! Aku 'kan ngga
Dulu, Jefri paling khawatir kakak keduanya ini akan jatuh cinta pada Wina.Setelah beberapa kali mencari tahu, Jefri menyimpulkan bahwa Jihan tidak mencintai Wina. Barulah setelah itu Jefri berhenti memedulikan urusan Jihan.Siapa sangka setelah Wina meninggal, Jihan malah mencoba membunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Jihan bahkan sampai kecanduan obat-obatan.Sekarang setelah Jihan berhasil diselamatkan dari ambang kematian, dia langsung mencabut jarum infus begitu siuman dan pulang demi minum-minum secara gila-gilaan. Jihan benar-benar terlihat seperti mau mati saja.Jihan tidak mengacuhkan nasihat Jefri, dia menggoyangkan jarinya untuk mengisyaratkan Jefri agar mengembalikan botol anggurnya. "Berikan padaku."Akan tetapi, Jefri tetap memegang botol itu sambil berkata, "Kalau Kakak terus minum begini, bisa-bisa Kakak mati. Kakak nggak boleh minum lagi!""Sedari awal aku juga nggak mau hidup," cibir Jihan.Ekspresi Jefri langsung terlihat kaku. Dia jadi teringat bagaima
Jihan terkekeh dengan dingin, sorot tatapannya seolah sedang menghina dirinya sendiri.Dia menelan rasa sakit yang menyesakkan ini, lalu mengambil gelas anggurnya dan menenggak isinya lagi.Jakunnya bergerak naik turun menelan semua kegetirannya bersama dengan aliran anggur.Akan tetapi, sepertinya anggur saja tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakitnya. Jihan meletakkan gelas anggurnya, lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju lantai dua dengan terhuyung-huyung ....Melihat sosok Jihan yang tampak kesepian dan dingin itu, Jefri tiba-tiba teringat ucapan kakeknya. Sepertinya kakeknya benar, Jihan bukannya tidak punya perasaan.Jihan memang dididik sejak kecil untuk tidak pernah menunjukkan perasaannya, tetapi sebenarnya dialah yang paling sensitif.Jefri menggoyang-goyangkan gelas anggurnya, lalu melirik Daris yang tampak khawatir juga sambil bertanya, "Kenapa Kak Jihan masih sedepresi ini kalau tahu Nona Wina masih hidup? Jangan-jangan dia meminta rujuk pada Wina, tapi ditolak?"Dar
Setelah berkata seperti itu, Jefri meletakkan gelas anggurnya dan mengambil mantelnya, lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi.Begitu dia berjalan keluar dan membuka pintu mobil, Sara meneleponnya.Sambil duduk di dalam mobil, Jefri mengangkat telepon itu. "Kenapa?""Tuan Muda Jefri lagi di mana? Ada yang ingin kubicarakan," jawab Sara dari ujung telepon sana.Jefri pun menengadah menatap matahari yang masih bersinar, lalu menjawab sambil mengernyit, "'Kan sudah kubilang kita ketemunya pas malam saja?"Gara-gara memacari seorang janda, Jefri berulang kali diejek oleh teman-temannya yang kaya raya.Namun, Jefri sudah terlanjut terpikat oleh Sara. Itu sebabnya walaupun diejek, dia tetap memacari Sara.Meskipun begitu, jangan harap Jefri akan menemui Sara di siang bolong. Jika teman-temannya sampai lihat, bisa-bisa dia jadi bulan-bulanan.Sara melirik vila Jefri, lalu berkata, "Pulanglah, aku ada di depan rumahmu."Jefri merasa agak kesal, tetapi dia tetap menjawab dengan lembut, "Oke, t
Sara mengira Jefri akan kesal karena Sara mengajaknya bertemu di siang hari, jadi tentu saja dia merasa sangat kaget saat mendengar kalimat pertama Jefri adalah larangan merokok.Dia awalnya ingin memutuskan hubungannya dengan Jefri begitu saja, lalu berbalik badan dan berjalan pergi, tetapi lidah Sara mendadak terasa kelu.Jefri menggandeng tangan Sara, lalu berjalan ke arah vilanya sambil bertanya, "Kenapa kamu mau menemuiku? Kamu kangen aku, ya?"Sara yang semula merasa agak tersentuh pun langsung menjadi serius setelah mendengar pertanyaan Jefri. "Nggak, aku mau ...."Akan tetapi, Jefri langsung menyelanya dengan ciuman.Ciuman yang panjang dan ganas ini membuat Sara sulit bernapas, jadi dia mencubit pinggang Jefri dengan kuat agar pria itu berhenti.Saat Sara baru menarik napas, tiba-tiba Jefri menggendongnya sambil berjalan ke kamar tidur.Jefri melemparkan tubuh Sara ke atas kasur, lalu melepas dasinya dan membuka kancing kerah kemejanya. Setelah itu, Jefri menindih tubuh Sara.
Karena bisnis klub berjalan dengan lancar, jadi sayang sekali apabila sampai dijual. Lebih baik Sara percayakan orang lain untuk mengelolanya.Sara memberikan sejumlah saham kepada manajernya, lalu meminta manajernya untuk melaporkan pendapatan klub setiap bulannya secara teratur. Setelah itu, Sara meninggalkan klub.Dia pulang dan mengemasi barang-barangnya, lalu mengirim pesan kepada Wina. Sara memberi tahu Wina bahwa urusannya sudah selesai dan dia siap berangkat.Sesaat kemudian, Wina membalas pesannya. Wina meminta Sara untuk menunggu karena Alvin perlu mengajukan rute pesawat pribadinya terlebih dulu.Sara pikir itu akan memakan waktu lama. Tidak disangka Alvin yang sangat pandai menghasilkan uang itu bisa mengurus masalah ini dengan cepat.Sebelum membawa keluar koper-kopernya yang berukuran besar, Sara memperhatikan kembali vila yang dia beli ini.Awalnya dia ingin menjual vila ini, tetapi tidak jadi karena berpikir mungkin saja suatu saat nanti dia bisa mengajak Wina kabur dar
Sara mengibas-ngibaskan tangannya, dia tidak peduli soal itu. Yang dia pedulikan adalah Jihan yang datang menemui Wina."Kenapa Jihan datang menemuimu?" tanya Sara dengan bingung.Wina kembali teringat akan sosok Jihan yang tidak bisa mengendalikan perasaannya itu, entah kenapa rasanya ada yang mengganjal hati Wina. "Dia bilang dia selalu mencintaiku selama delapan tahun ini dan memintaku memberinya kesempatan.""Bukankah menurutmu itu konyol, Sara?" tanya Wina sambil tersenyum dengan getir.Setelah memperlakukannya seperti itu, Jihan masih berani-beraninya mengaku mencintainya. Wina tidak percaya rasa sayang Jihan yang muncul terlambat itu benar-benar tulus.Setelah Sara pulih dari keterkejutannya, sorot matanya tampak berkecamuk."Wina, ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu.""Sebenarnya, setelah kamu dinyatakan tiada, Jihan datang menemuimu.""Waktu dia tahu kamu meninggal, dia terlihat begitu sengsara.""Tapi, waktu itu aku nggak ambil pusing karena aku sendiri merasa begitu