Saat Jefri tiba di sana, operasi sudah dimulai. Daris dan Alta berdiri tegak menunggu di luar ruang tindakan UGD.Wina duduk di kursi luar, satu tangannya mengusap-usap perutnya, sementara tangannya yang satu lagi berada di atas sandaran tangan.Wina mencengkeram sandaran tangan itu dengan cukup kuat. Jika diperhatikan dengan saksama, terlihat jelas bagaimana buku-buku jarinya memutih.Wajahnya juga kurang terlihat bugar. Selama beberapa hari dikurung, dia tidak makan atau tidur dengan nyaman.Ditambah lagi, dia malah bertemu dengan Jihan yang terluka. Wajar saja Wina makin merasa stres.Untung saja dokter bilang tembakan Jihan tidak mengenai bagian vital apa pun atau Wina pasti tidak akan sanggup menahan semua tekanan ini.Wina dan Sara sama-sama sedang hamil, tetapi berat badan Sara bertambah banyak, sedangkan Wina terlihat begitu kurus.Jefri bukan tipe orang yang mudah bersimpati dengan wanita lain, tetapi dia refleks mengernyit saat melihat ekspresi Wina yang tampak sangat lelah.
"Oke."Jefri menepuk pahanya, lalu bangkit berdiri dari salah satu sofa."Ya ampun, hidupku ini kasihan banget sih. Aku sengaja meninggalkan istriku sendirian supaya bisa ke sini merawatmu, tapi aku malah langsung diusir."Jefri sengaja berjalan perlahan sambil mengeluh, tetapi sayangnya dia sama sekali tidak dibujuk untuk tetap tinggal. Jihan malah melanjutkan ucapannya ...."Tutup pintunya.""..."Jefri pun menutup pintu dengan ekspresi muram.Dia menggertakkan gigi dengan kesal sambil mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan video ke Sara. Dia mengeluhkan sikap kakak keduanya yang kurang ajar itu!Sementara itu, Wina yang berada di dalam kamar rawat pun refleks tersenyum saat melihat Jefri berjalan pergi sambil merutuk itu."Kamu kok jahat banget sih sama Jefri?""Siapa suruh dia nggak peka?"Jihan menjawab dengan acuh tak acuh, ekspresinya kembali berubah menjadi dingin saat dokter yang Daris panggilkan berjalan masuk.Untunglah dokter tersebut cukup peka. Setelah mengobati l
Sekalipun diliputi hawa nafsu, Jihan tetap bisa berpikir dengan kepala dingin. Setelah mencium Wina selama beberapa saat, dia akhirnya kembali tenang dan bahkan mengusap-usap pipi Wina dengan hidungnya yang mancung."Boleh cium lagi selama lima menit?"Di sisi lain, napas Wina menjadi terengah-engah dan tubuhnya terasa seperti habis disedot. Kondisinya tidak lebih baik daripada Jihan. Kadar hormon yang meningkat selama kehamilan membuat tubuh Wina terasa panas seperti terbakar."Kamu lagi terluka, tolong jangan gerak-gerak lagi."Wina pun mendorong suaminya untuk kembali berbaring, tetapi Jihan menggenggam pergelangan tangan dan merangkul pinggang Wina. Setelah itu, Jihan memeluk Wina dengan satu tarikan kuat.Tanpa meminta izin lagi kepada Wina, Jihan langsung menekan bagian belakang kepala dan menindih tubuh Wina, lalu mencium bibir Wina lagi.Saat tubuhnya dibalikkan, Wina bisa merasakan bagian bawah tubuh Jihan yang menindihnya dan juga bagian bawah tubuhnya sendiri .... Wajah Wina
Jihan menahan hawa nafsunya, tetapi dia menatap Wina dengan sorot tatapan penuh gairah selayaknya binatang buas."Sayang, kemungkinan besar aku nggak akan melepaskanmu setelah kamu melahirkan dan kesehatanmu pulih."Pria yang sudah terlanjur terangsang baru bisa terpuaskan jika dibiarkan menggila.Gerakan lembut seperti ini hanya bisa dianggap sebagai kenyamanan kecil, tetapi tetap membuatnya panik.Wina pun balas menatap Jihan yang dikuasai hawa nafsu itu dengan tidak fokus.Namun, dia mendadak teringat adegan penyiksaan sebanyak tujuh kali dalam satu malam itu dan bergidik."Boleh nggak kalau aku nggak mau?"Jihan sengaja berhenti bergerak, lalu memegang dahu Wina."Mau atau nggak?"Wina yang sudah terangsang itu merasa agak malu, jadi dia akhirnya mengatakan tidak mau dengan tegas.Namun, Jihan bergerak lagi sehingga wajah Wina menjadi makin merah padam."Coba ulang lagi, Sayang."Saat Wina hendak membuka mulutnya, Jihan mencondongkan tubuhnya ke depan lagi dan mencium bagian yang s
Nama "Ethel" dan "Edna" itu sontak melenyapkan semua rasa bangga, kebahagiaan dan kegembiraan dalam hati Jefri."Kak Jihan jahat banget sih! Aku nggak mau bicara lagi denganmu! Aku ...."Namun, Jihan langsung memutuskan sambungan telepon menyela ucapan Jefri. Jefri merasa sangat marah."Dasar Kak Jihan sialan! Lihat saja, nanti setelah anakmu lahir, akan kuberikan dia nama yang jelek juga!"Jefri menyimpan kembali ponselnya sambil menggertakkan gigi. Dia menunggu Sara di luar ruang bersalin sambil membawa sebuket bunga.Jihan juga menurunkan ponselnya sambil tersenyum dan mengangkat alisnya menatap Wina yang terlihat agak kaget. "Apa?"Wina memegang dagunya dengan satu tangan dan memiringkan kepalanya sambil berbalik menatap Jihan. "Ternyata suamiku punya sisi jahat."Jihan pun menundukkan kepalanya dan mengusap-usapkan pangkal hidungnya. "Bukannya sudah telat kalau baru menyadarinya sekarang?""Ya, rasanya seperti masuk ke mulut harimau," jawab Wina sambil tersenyum kecil dan menghiru
Sara mengambil hadiah itu, lalu menatap Wina sambil tersenyum."Ngapain kamu beli hadiah segala? Yang penting 'kan kamu kembali dengan selamat."Beberapa waktu yang lalu, Wina tidak bisa dihubungi selama beberapa hari karena sedang menemui keluarganya. Sara menjadi sangat cemas karena tidak ada satu teleponnya pun yang tersambung.Jika Jihan tidak kembali dan Jefri tidak menghiburnya, Sara mungkin akan nekat pergi ke Medan Hitam untuk menemukan Wina dengan perut buncitnya.Untung saja setelah itu Jefri membantu Jihan. Jefri tahu dia tidak mungkin merahasiakan apa-apa dari istrinya, jadi Jefri menceritakan dengan jujur.Setelah itu, Sara terpaksa menunggu kabar tentang Jihan dan Wina dengan hati yang gelisah.Untung saja beberapa hari setelah itu Jihan kembali bersama Wina.Sara tahu mereka berdua masih ada di luar negeri karena Jihan sedang dirawat habis tertembak. Sara yang merasa lega akhirnya bisa melahirkan secara alami.Namun, Jefri tidak memberi tahu Sara tentang cip dalam kepala
"Maaf ya, Jefri, kakakmu yang satu ini memang nggak pintar bicara."Wina pun menatap Jihan dengan kesan menyalahkan."Kamu pulang saja dulu, aku mau di sini sebentar menemani bayi-bayi Sara."Jihan yang sudah duduk di sofa pun sedikit menengadah, sorot tatapannya terlihat agak tajam."Biar kutemani."Itu berarti dia tidak akan pergi apabila Wina tidak pergi.Jefri pun menatap Wina dengan kesan memelas.Wina menghela napas, lalu akhirnya mengembalikan bayi itu kepada Sisilia dengan sangat enggan.Setelah mengambil cucunya kembali, barulah Sisilia menyadari bahwa wajah cucunya memang agak jelek.Sisilia pun mengernyit menatap cucunya, lalu ke Jefri dan Sara. Orang tuanya anak ini tidak jelek, jadi kenapa anak mereka jelek sekali?Makin lama Sisilia memperhatikan cucunya, makin dia merasa cucunya ini jelek. Sisilia pun menyerahkan anak itu kembali kepada Wina. "Kamu 'kan bibinya, lebih baik kamu gendong dia lebih lama."Wina pun menggendong bayi itu kembali dengan senang hati. "Kalau gitu
Ivan yang berdiri di luar pintu tampak rapi dan segar dengan kemeja putihnya.Dibandingkan dengan saat dia masih menggunakan kursi roda, aura Ivan saat berdiri benar-benar tidak terkalahkan.Pandangan Wina yang lembut dan tenang pun berpindah dari wajah tampan Ivan ke kaki pria itu.Saat melihat kaki Ivan yang sudah bisa berdiri dengan tegak bahkan berjalan dengan mantap memasuki ruang bersalin, rasa bersalah dalam hati Wina perlahan menghilang.Ivan akhirnya bisa berdiri lagi dan tidak harus menghabiskan hidupnya di kursi roda. Mulai sekarang, dia bisa menjalani kehidupan yang baik seperti orang lain kebanyakan.Sorot tatapan Wina terlihat bahagia, dia mendoakan hidup Ivan baik-baik saja. Namun, Wina tidak berani menatap Ivan dengan terlalu terang-terangan karena ada Jihan di sini. Wina hanya balas mengangguk, lalu memalingkan wajahnya.Ivan juga tidak berani terlalu fokus terhadap Wina. Dia tidak akan terbuai dalam rasa sakit hatinya jika tidak melihat Wina. Terkadang ada perasaan ya