Jihan menahan hawa nafsunya, tetapi dia menatap Wina dengan sorot tatapan penuh gairah selayaknya binatang buas."Sayang, kemungkinan besar aku nggak akan melepaskanmu setelah kamu melahirkan dan kesehatanmu pulih."Pria yang sudah terlanjur terangsang baru bisa terpuaskan jika dibiarkan menggila.Gerakan lembut seperti ini hanya bisa dianggap sebagai kenyamanan kecil, tetapi tetap membuatnya panik.Wina pun balas menatap Jihan yang dikuasai hawa nafsu itu dengan tidak fokus.Namun, dia mendadak teringat adegan penyiksaan sebanyak tujuh kali dalam satu malam itu dan bergidik."Boleh nggak kalau aku nggak mau?"Jihan sengaja berhenti bergerak, lalu memegang dahu Wina."Mau atau nggak?"Wina yang sudah terangsang itu merasa agak malu, jadi dia akhirnya mengatakan tidak mau dengan tegas.Namun, Jihan bergerak lagi sehingga wajah Wina menjadi makin merah padam."Coba ulang lagi, Sayang."Saat Wina hendak membuka mulutnya, Jihan mencondongkan tubuhnya ke depan lagi dan mencium bagian yang s
Nama "Ethel" dan "Edna" itu sontak melenyapkan semua rasa bangga, kebahagiaan dan kegembiraan dalam hati Jefri."Kak Jihan jahat banget sih! Aku nggak mau bicara lagi denganmu! Aku ...."Namun, Jihan langsung memutuskan sambungan telepon menyela ucapan Jefri. Jefri merasa sangat marah."Dasar Kak Jihan sialan! Lihat saja, nanti setelah anakmu lahir, akan kuberikan dia nama yang jelek juga!"Jefri menyimpan kembali ponselnya sambil menggertakkan gigi. Dia menunggu Sara di luar ruang bersalin sambil membawa sebuket bunga.Jihan juga menurunkan ponselnya sambil tersenyum dan mengangkat alisnya menatap Wina yang terlihat agak kaget. "Apa?"Wina memegang dagunya dengan satu tangan dan memiringkan kepalanya sambil berbalik menatap Jihan. "Ternyata suamiku punya sisi jahat."Jihan pun menundukkan kepalanya dan mengusap-usapkan pangkal hidungnya. "Bukannya sudah telat kalau baru menyadarinya sekarang?""Ya, rasanya seperti masuk ke mulut harimau," jawab Wina sambil tersenyum kecil dan menghiru
Sara mengambil hadiah itu, lalu menatap Wina sambil tersenyum."Ngapain kamu beli hadiah segala? Yang penting 'kan kamu kembali dengan selamat."Beberapa waktu yang lalu, Wina tidak bisa dihubungi selama beberapa hari karena sedang menemui keluarganya. Sara menjadi sangat cemas karena tidak ada satu teleponnya pun yang tersambung.Jika Jihan tidak kembali dan Jefri tidak menghiburnya, Sara mungkin akan nekat pergi ke Medan Hitam untuk menemukan Wina dengan perut buncitnya.Untung saja setelah itu Jefri membantu Jihan. Jefri tahu dia tidak mungkin merahasiakan apa-apa dari istrinya, jadi Jefri menceritakan dengan jujur.Setelah itu, Sara terpaksa menunggu kabar tentang Jihan dan Wina dengan hati yang gelisah.Untung saja beberapa hari setelah itu Jihan kembali bersama Wina.Sara tahu mereka berdua masih ada di luar negeri karena Jihan sedang dirawat habis tertembak. Sara yang merasa lega akhirnya bisa melahirkan secara alami.Namun, Jefri tidak memberi tahu Sara tentang cip dalam kepala
"Maaf ya, Jefri, kakakmu yang satu ini memang nggak pintar bicara."Wina pun menatap Jihan dengan kesan menyalahkan."Kamu pulang saja dulu, aku mau di sini sebentar menemani bayi-bayi Sara."Jihan yang sudah duduk di sofa pun sedikit menengadah, sorot tatapannya terlihat agak tajam."Biar kutemani."Itu berarti dia tidak akan pergi apabila Wina tidak pergi.Jefri pun menatap Wina dengan kesan memelas.Wina menghela napas, lalu akhirnya mengembalikan bayi itu kepada Sisilia dengan sangat enggan.Setelah mengambil cucunya kembali, barulah Sisilia menyadari bahwa wajah cucunya memang agak jelek.Sisilia pun mengernyit menatap cucunya, lalu ke Jefri dan Sara. Orang tuanya anak ini tidak jelek, jadi kenapa anak mereka jelek sekali?Makin lama Sisilia memperhatikan cucunya, makin dia merasa cucunya ini jelek. Sisilia pun menyerahkan anak itu kembali kepada Wina. "Kamu 'kan bibinya, lebih baik kamu gendong dia lebih lama."Wina pun menggendong bayi itu kembali dengan senang hati. "Kalau gitu
Ivan yang berdiri di luar pintu tampak rapi dan segar dengan kemeja putihnya.Dibandingkan dengan saat dia masih menggunakan kursi roda, aura Ivan saat berdiri benar-benar tidak terkalahkan.Pandangan Wina yang lembut dan tenang pun berpindah dari wajah tampan Ivan ke kaki pria itu.Saat melihat kaki Ivan yang sudah bisa berdiri dengan tegak bahkan berjalan dengan mantap memasuki ruang bersalin, rasa bersalah dalam hati Wina perlahan menghilang.Ivan akhirnya bisa berdiri lagi dan tidak harus menghabiskan hidupnya di kursi roda. Mulai sekarang, dia bisa menjalani kehidupan yang baik seperti orang lain kebanyakan.Sorot tatapan Wina terlihat bahagia, dia mendoakan hidup Ivan baik-baik saja. Namun, Wina tidak berani menatap Ivan dengan terlalu terang-terangan karena ada Jihan di sini. Wina hanya balas mengangguk, lalu memalingkan wajahnya.Ivan juga tidak berani terlalu fokus terhadap Wina. Dia tidak akan terbuai dalam rasa sakit hatinya jika tidak melihat Wina. Terkadang ada perasaan ya
Artha diam-diam mengawasi Aulia yang menemani Ivan melewati masa-masa sulit, dia bisa melihat bagaimana sosok Ivan sedikit demi sedikit memenuhi relung hati Aulia ....Ternyata lebih menyakitkan melihat orang yang dicintai perlahan-lahan jatuh cinta dengan orang lain daripada berhenti jatuh cinta. Ucapan Aulia itu seperti belati yang menghujam jantung Artha ....Rasa sakit yang hebat itu seolah menggerogoti tulang Artha dan menyebar ke sekujur tubuhnya. Dia mendadak merasa hidupnya tidak berarti lagi.Artha pun bersandar di dinding dan membalikkan punggungnya, lalu perlahan mengangkat matanya yang berkaca-kaca. Langit masih terlihat biru dan dunia masih cukup indah, tetapi kenapa hatinya terasa begitu hampa?Artha sudah siap menjaga Aulia secara diam-diam selamanya, asalkan mereka tidak saling jatuh cinta dengan orang lain. Kenapa Aulia dulu yang melanggar satu-satunya aturan yang tersisa di antara mereka berdua?Artha sepertinya lupa bahwa dia sendiri yang membuat aturan ini tanpa mel
Setelah itu, saat Aulia menyebut soal Ivan lagi, Sara pun bertanya kepadanya bagaimana dia bisa jatuh cinta pada Ivan.Aulia mengaku dia merasa Ivan begitu kasihan dan kesepian setiap kali Aulia melihat pria itu duduk sendirian di dekat jendela sambil memandangi hamparan bunga.Dia merasa bahwa ketika seorang wanita mulai merasa kasihan pada seorang pria, itu berarti sudah ada rasa romantis di sana. Aulia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya, sementara Ivan yang terjebak dalam masa lalu tidak mau menerima orang baru lagi.Baginya, hidup dan dunianya milik Wina seorang. Ivan menolak semua bentuk perhatian dan kasih sayang dari Aulia, bahkan tidak mau menerima perawatan dan kunjungan dari Aulia lagi.Ivan lebih memilih tersiksa karena depresinya daripada membuka kembali hatinya dan menerima wanita lain, dia takut akan melupakan Wina lagi.Ivan menyalahkan amnesianya atas semua hal yang dia sesali tentang Wina. Itu sebabnya dia menolak mengizinkan siapa pun memasuki hatinya lagi.Meski
Membahas soal Zeno membuat sorot tatapan Jihan yang dingin menjadi sendu dan penuh penyesalan.Dia menurunkan pandangannya, bulu matanya yang lentik membentuk bayangan di bagian bawah matanya.Lama sekali Jihan hanya diam hingga sorot tatapannya yang sedih itu lenyap, lalu akhirnya dia menengadah menatap Jodie lagi dengan ekspresi serius."Siapa nama orang itu?""Favian Yusril."Favian Yusril.Jihan mengangguk kecil sambil mengingat-ingat nama itu."Aku lagi pulang karena kebetulan ada urusan, jadi sekalian saja aku ke sini untuk memberitahumu."Sebenarnya, Jodie tidak perlu sengaja ke sini demi memberi tahu Jihan. Dia cukup menelepon Jihan. Terlihat jelas dia punya maksud lain.Mana mungkin Jihan tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam benak Jodie? Jodie juga tidak pintar mengendalikan emosinya, dia selalu bersikap sesukanya.Dalam kurun waktu ini, Jodie juga sempat bermimpi yang aneh. Dia mimpi Wina berulang kali tersandung menghampirinya. Jodie menangkap tubuhnya dengan kuat, lalu