"Oke."Jefri menepuk pahanya, lalu bangkit berdiri dari salah satu sofa."Ya ampun, hidupku ini kasihan banget sih. Aku sengaja meninggalkan istriku sendirian supaya bisa ke sini merawatmu, tapi aku malah langsung diusir."Jefri sengaja berjalan perlahan sambil mengeluh, tetapi sayangnya dia sama sekali tidak dibujuk untuk tetap tinggal. Jihan malah melanjutkan ucapannya ...."Tutup pintunya.""..."Jefri pun menutup pintu dengan ekspresi muram.Dia menggertakkan gigi dengan kesal sambil mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan video ke Sara. Dia mengeluhkan sikap kakak keduanya yang kurang ajar itu!Sementara itu, Wina yang berada di dalam kamar rawat pun refleks tersenyum saat melihat Jefri berjalan pergi sambil merutuk itu."Kamu kok jahat banget sih sama Jefri?""Siapa suruh dia nggak peka?"Jihan menjawab dengan acuh tak acuh, ekspresinya kembali berubah menjadi dingin saat dokter yang Daris panggilkan berjalan masuk.Untunglah dokter tersebut cukup peka. Setelah mengobati l
Sekalipun diliputi hawa nafsu, Jihan tetap bisa berpikir dengan kepala dingin. Setelah mencium Wina selama beberapa saat, dia akhirnya kembali tenang dan bahkan mengusap-usap pipi Wina dengan hidungnya yang mancung."Boleh cium lagi selama lima menit?"Di sisi lain, napas Wina menjadi terengah-engah dan tubuhnya terasa seperti habis disedot. Kondisinya tidak lebih baik daripada Jihan. Kadar hormon yang meningkat selama kehamilan membuat tubuh Wina terasa panas seperti terbakar."Kamu lagi terluka, tolong jangan gerak-gerak lagi."Wina pun mendorong suaminya untuk kembali berbaring, tetapi Jihan menggenggam pergelangan tangan dan merangkul pinggang Wina. Setelah itu, Jihan memeluk Wina dengan satu tarikan kuat.Tanpa meminta izin lagi kepada Wina, Jihan langsung menekan bagian belakang kepala dan menindih tubuh Wina, lalu mencium bibir Wina lagi.Saat tubuhnya dibalikkan, Wina bisa merasakan bagian bawah tubuh Jihan yang menindihnya dan juga bagian bawah tubuhnya sendiri .... Wajah Wina
Jihan menahan hawa nafsunya, tetapi dia menatap Wina dengan sorot tatapan penuh gairah selayaknya binatang buas."Sayang, kemungkinan besar aku nggak akan melepaskanmu setelah kamu melahirkan dan kesehatanmu pulih."Pria yang sudah terlanjur terangsang baru bisa terpuaskan jika dibiarkan menggila.Gerakan lembut seperti ini hanya bisa dianggap sebagai kenyamanan kecil, tetapi tetap membuatnya panik.Wina pun balas menatap Jihan yang dikuasai hawa nafsu itu dengan tidak fokus.Namun, dia mendadak teringat adegan penyiksaan sebanyak tujuh kali dalam satu malam itu dan bergidik."Boleh nggak kalau aku nggak mau?"Jihan sengaja berhenti bergerak, lalu memegang dahu Wina."Mau atau nggak?"Wina yang sudah terangsang itu merasa agak malu, jadi dia akhirnya mengatakan tidak mau dengan tegas.Namun, Jihan bergerak lagi sehingga wajah Wina menjadi makin merah padam."Coba ulang lagi, Sayang."Saat Wina hendak membuka mulutnya, Jihan mencondongkan tubuhnya ke depan lagi dan mencium bagian yang s
Nama "Ethel" dan "Edna" itu sontak melenyapkan semua rasa bangga, kebahagiaan dan kegembiraan dalam hati Jefri."Kak Jihan jahat banget sih! Aku nggak mau bicara lagi denganmu! Aku ...."Namun, Jihan langsung memutuskan sambungan telepon menyela ucapan Jefri. Jefri merasa sangat marah."Dasar Kak Jihan sialan! Lihat saja, nanti setelah anakmu lahir, akan kuberikan dia nama yang jelek juga!"Jefri menyimpan kembali ponselnya sambil menggertakkan gigi. Dia menunggu Sara di luar ruang bersalin sambil membawa sebuket bunga.Jihan juga menurunkan ponselnya sambil tersenyum dan mengangkat alisnya menatap Wina yang terlihat agak kaget. "Apa?"Wina memegang dagunya dengan satu tangan dan memiringkan kepalanya sambil berbalik menatap Jihan. "Ternyata suamiku punya sisi jahat."Jihan pun menundukkan kepalanya dan mengusap-usapkan pangkal hidungnya. "Bukannya sudah telat kalau baru menyadarinya sekarang?""Ya, rasanya seperti masuk ke mulut harimau," jawab Wina sambil tersenyum kecil dan menghiru
Sara mengambil hadiah itu, lalu menatap Wina sambil tersenyum."Ngapain kamu beli hadiah segala? Yang penting 'kan kamu kembali dengan selamat."Beberapa waktu yang lalu, Wina tidak bisa dihubungi selama beberapa hari karena sedang menemui keluarganya. Sara menjadi sangat cemas karena tidak ada satu teleponnya pun yang tersambung.Jika Jihan tidak kembali dan Jefri tidak menghiburnya, Sara mungkin akan nekat pergi ke Medan Hitam untuk menemukan Wina dengan perut buncitnya.Untung saja setelah itu Jefri membantu Jihan. Jefri tahu dia tidak mungkin merahasiakan apa-apa dari istrinya, jadi Jefri menceritakan dengan jujur.Setelah itu, Sara terpaksa menunggu kabar tentang Jihan dan Wina dengan hati yang gelisah.Untung saja beberapa hari setelah itu Jihan kembali bersama Wina.Sara tahu mereka berdua masih ada di luar negeri karena Jihan sedang dirawat habis tertembak. Sara yang merasa lega akhirnya bisa melahirkan secara alami.Namun, Jefri tidak memberi tahu Sara tentang cip dalam kepala
"Maaf ya, Jefri, kakakmu yang satu ini memang nggak pintar bicara."Wina pun menatap Jihan dengan kesan menyalahkan."Kamu pulang saja dulu, aku mau di sini sebentar menemani bayi-bayi Sara."Jihan yang sudah duduk di sofa pun sedikit menengadah, sorot tatapannya terlihat agak tajam."Biar kutemani."Itu berarti dia tidak akan pergi apabila Wina tidak pergi.Jefri pun menatap Wina dengan kesan memelas.Wina menghela napas, lalu akhirnya mengembalikan bayi itu kepada Sisilia dengan sangat enggan.Setelah mengambil cucunya kembali, barulah Sisilia menyadari bahwa wajah cucunya memang agak jelek.Sisilia pun mengernyit menatap cucunya, lalu ke Jefri dan Sara. Orang tuanya anak ini tidak jelek, jadi kenapa anak mereka jelek sekali?Makin lama Sisilia memperhatikan cucunya, makin dia merasa cucunya ini jelek. Sisilia pun menyerahkan anak itu kembali kepada Wina. "Kamu 'kan bibinya, lebih baik kamu gendong dia lebih lama."Wina pun menggendong bayi itu kembali dengan senang hati. "Kalau gitu
Ivan yang berdiri di luar pintu tampak rapi dan segar dengan kemeja putihnya.Dibandingkan dengan saat dia masih menggunakan kursi roda, aura Ivan saat berdiri benar-benar tidak terkalahkan.Pandangan Wina yang lembut dan tenang pun berpindah dari wajah tampan Ivan ke kaki pria itu.Saat melihat kaki Ivan yang sudah bisa berdiri dengan tegak bahkan berjalan dengan mantap memasuki ruang bersalin, rasa bersalah dalam hati Wina perlahan menghilang.Ivan akhirnya bisa berdiri lagi dan tidak harus menghabiskan hidupnya di kursi roda. Mulai sekarang, dia bisa menjalani kehidupan yang baik seperti orang lain kebanyakan.Sorot tatapan Wina terlihat bahagia, dia mendoakan hidup Ivan baik-baik saja. Namun, Wina tidak berani menatap Ivan dengan terlalu terang-terangan karena ada Jihan di sini. Wina hanya balas mengangguk, lalu memalingkan wajahnya.Ivan juga tidak berani terlalu fokus terhadap Wina. Dia tidak akan terbuai dalam rasa sakit hatinya jika tidak melihat Wina. Terkadang ada perasaan ya
Artha diam-diam mengawasi Aulia yang menemani Ivan melewati masa-masa sulit, dia bisa melihat bagaimana sosok Ivan sedikit demi sedikit memenuhi relung hati Aulia ....Ternyata lebih menyakitkan melihat orang yang dicintai perlahan-lahan jatuh cinta dengan orang lain daripada berhenti jatuh cinta. Ucapan Aulia itu seperti belati yang menghujam jantung Artha ....Rasa sakit yang hebat itu seolah menggerogoti tulang Artha dan menyebar ke sekujur tubuhnya. Dia mendadak merasa hidupnya tidak berarti lagi.Artha pun bersandar di dinding dan membalikkan punggungnya, lalu perlahan mengangkat matanya yang berkaca-kaca. Langit masih terlihat biru dan dunia masih cukup indah, tetapi kenapa hatinya terasa begitu hampa?Artha sudah siap menjaga Aulia secara diam-diam selamanya, asalkan mereka tidak saling jatuh cinta dengan orang lain. Kenapa Aulia dulu yang melanggar satu-satunya aturan yang tersisa di antara mereka berdua?Artha sepertinya lupa bahwa dia sendiri yang membuat aturan ini tanpa mel
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je