James tertegun sesaat dan menatap Wina dengan penuh kebencian. Untuk sesaat, wajah Wina tampak seperti mantannya, Ishara.Mungkin karena Ishara, James menahan semua amarahnya dan tidak berdebat dengan Wina yang memberontak, "Andrew, bawa adikmu kembali ke ruang kendali utama untuk beristirahat."Andrew pikir kakeknya akan sangat marah dan akan menampar adiknya, dia tidak menyangka ternyata kakeknya terlihat tenang bahkan menyuruhnya membawa minta ke ruang kendali utama?Andrew tidak bisa menebak apa yang dipikirkan James, jadi dia menarik Wina dan berjalan keluar. Wina ingin membantu Andrew melampiaskan amarahnya, tapi Andrew memberinya isyarat, menyuruhnya untuk tidak bersikap impulsif. Lebih baik sekarang Wina cari cara untuk meninggalkan Medan Hitam dan bukannya membuang waktu di sini.Wina pun mengendurkan tangannya yang terkepal dan mengikuti Andrew pergi. Tanpa diduga, begitu mereka berdua keluar dari pintu, suara dingin James terdengar dari belakang, "Wina, sebelum kamu datang k
Di luar Mebasta, helikopter diparkir dengan mantap di pada rumput. Pria berjas di kursi pengemudi menoleh dan menatap seorang pria yang memejamkan matanya. "Tuan Kesembilan, silakan turun dari pesawat, kita akan pindah."Mata Jihan terbuka dan aura pembunuh yang dingin meluap dari dasar matanya. Pria berjas itu merasakan hawa dingin di tengkuknya, seketika pandangannya menggelap dan dia tiba-tiba jatuh pingsan di tempat.Jihan menarik kembali tangan rampingnya dan tanpa ekspresi melonggarkan dasinya. Kemudian, dia turun dari helikopter.Para staf helikopter yang berjaga di luar langsung mengepung Jihan begitu melihat Jihan membuat pilot itu pingsan.Jihan melilitkan dasi di jari-jarinya, lalu dia mengepalkan tangannya dan siap menghadapi semua orang yang mengepungnya. Dalam hitungan detik, Jihan meluluhlantakkan para staf yang mengepungnya.Jihan sangat hebat, meski terluka, mereka ini bukan tandingannya.Jihan menendang keluar pilot yang tadi pingsan keluar. Dengan tatapan yang masih
Begitu melihat sosok Jihan, Daris dan Alta saling bertatapan, lalu langsung membuka pintu mobil dan berlari menghampiri Jihan."Pak Jihan!""Tuan!"Saat Jihan melihat dua pria bertubuh besar itu berlari ke arahnya dengan air mata berlinang, hati Jihan sedikit tergerak, tetapi kakinya refleks mundur selangkah.Ketika Daris dan Alta melihat Jihan mundur, sebuah kalimat langsung muncul di benak mereka, 'Jangan dekat-dekat!'Keduanya berhenti melangkah, tetapi masih berlinang air mata. mereka hanya menatap Jihan yang berdiri menghadap cahaya dan cahaya itu makin membuat Jihan bersinar."Pak Jihan, senang sekali akhirnya kamu pulang! Kami khawatir setengah mati!"Setelah Jihan menatap keduanya selama beberapa detik, dia menepuk bahu Daris dan Alta."Maaf sudah membuat kalian khawatir."Suara yang tenang dan dalam, juga sentuhan Jihan entah mengapa membuat Daris dan Alta merasa aman. Seolah asal Jihan pulang, semua masalah akan selesai.Karena sedang di tempat umum, mereka tidak leluasa bica
Setelah setengah tahun, Paman Rudi melihat Jihan yang masih hidup akhirnya kembali."Tuan Muda Jihan, akhirnya Tuan pulang, kupikir ....""Aku baik-baik saja."Jihan menepuk bahu Paman Rudi. Setelah menghibur lelaki tua itu, Jihan langsung menuju ke ruang kerja.Melihat Jihan yang sangat sibuk, Paman Rudi pun tidak berani mengganggunya. Dengan hati sukacita, dia memerintahkan koki untuk menyiapkan makanan enak, setelah itu dia pergi ke sekolah untuk menjemput Gisel.Sejak Jihan dan Wina pergi meninggalkan rumah, Gisel selalu membicarakan mereka, katanya dunia orang dewasa sangat berbahaya.Paman Rudi takut Gisel khawatir, jadi dia berkata Jihan dan Wina sedang dalam perjalanan bisnis. Namun, Gisel jauh lebih pintar daripada anak-anak pada umumnya, dia tidak percaya mereka berdua sedang dalam perjalanan bisnis dan begitu sibuk sampai tidak bisa ditelepon.Untung di saat Paman Rudi mulai kewalahan menyembunyikan fakta ini, Jihan pulang. Sekarang Paman Rudi menghela napas lega karena dia
Jari-jarinya yang ramping langsung berselancar di papan keyboard. Kode di layar secara bertahap mulai terbuka, hanya saja ....Jefri yang sedang membongkar kode itu spontan langsung menatap Jihan saat melihat kode program cip."Kak Jihan, dulu ada peretas yang bilang kode ini digunakan untuk memantau dan mengendalikan tubuh manusia. Kok Kak Jihan bisa tahu kode ini?"Jihan yang duduk tenang dengan tangan terlipat di samping Jefri pun balas menatap Jefri yang tampak bingung."Cip itu ada di kepalaku."Jantung Jefri tercekik dan darah di sekujur tubuhnya seketika terasa membeku. Kalimat singkat ini seperti ular yang menjerat kakinya dan perlahan melata membelit sekujur tubuhnya."Kak ... Kak Jihan, ini senjata pembunuh yang paling mematikan. Kok bisa? Kok bisa ada di kepalamu?"Jefri membelalak kaget, tapi Jihan sangat tenang, bahkan seolah-olah dia sudah terbiasa."Ya gitu deh. Intinya, kamu bisa nggak mematikan sistem ini."Padahal Jihan sendiri yang menderita, tapi dia enggan mencerit
Jefri terjatuh lunglai di kursinya dan membelalak tidak percaya, "Maksudmu, sejak cip ini dipasang di otak Kak Jihan, dia sudah ditakdirkan akan mati?"Para dokter tidak bisa menjawab, Jefri mendadak menjadi marah, "Aku nggak peduli, kalian 'kan dokter terbaik yang didukung Keluarga Lionel. Pokoknya kalian harus bisa mengeluarkan cip itu dan menyembuhkan Kak Jihan!"Para dokter menunduk malu dan menatap Jihan yang sedari tadi diam. "Pak Jihan, kami bisa mengeluarkan cip itu, tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan pribadimu, kami sangat nggak menyarankan mengeluarkannya."Jihan menatap dokter itu. Setelah terdiam beberapa detik, dia menjawab pelan, "Nggak ada yang boleh buka mulut tentang kejadian ini."Jefri kecewa berat, dia pikir Jihan akan berjuang, tapi ternyata dia malah menyerah. "Kak Jihan, kalau mereka nggak bisa, kita bisa coba sama dokter lain, aku nggak percaya ..."Jihan langsung menyela Jefri dengan nada dingin, "Mereka sudah bisa mendeteksi ada virus di cip itu, art
Permana minta maaf dan menambahkan, "Sinyal di Medan Hitam juga sudah diblokir. Aku nggak bisa menghubungi orang-orang di dalam."Wajah Jihan terlihat sangat dingin. Di saat dia sedang mencari cara, ternyata James juga menyusun strategi.Karena tidak bisa menyelamatkan Wina lebih dulu, maka Jihan harus membereskan bom. Selama James tidak bisa mengendalikannya, Jihan bisa menyelamatkan Wina.Jihan pun menutup telepon dan menatap Jefri, "Kalau kamu nggak bisa mematikan sistem peledakan, perpanjang saja waktu peledakannya."Jefri yang sedang melakukan simulasi program saat ini sangat lelah. Matanya hampir terpejam, tapi tekad yang kuat yang membantunya bertahan, "Kasih aku waktu sedikit lagi, aku pasti bisa menemukan cara untuk mematikannya."Di sini Jefri tidak semerta-merta hanya mematikan program yang dibuat James. Dia juga perlu memanipulasi, memodifikasi dan mengenkripsi sistem agar pihak lawan tidak bisa memprogram ulang kode yang sudah dibuatnya.Dengan pikiran ini, Jefri pun kemba
Para manipulator terhenyak dan sangat khawatir. "Secepat itu?"James mengangguk, "Kalau aku di posisinya, tanpa kendala pemantauan, penentuan posisi dan ancaman ledakan, aku pasti akan kembali balas dendam secepat mungkin."Apalagi Jihan mengkhawatirkan Wina, mana mungkin Jihan bersikap lemah dan menunda mengambil tindakan? Satu-satunya hal yang harus Jihan lakukan sekarang adalah mencegah James memodifikasi program peledakan.Begitu terpikir hal ini, James mengusir salah satu pemrogram. Dia turun tangan dan dengan mudah menonaktifkan sistem enkripsi rumit yang dibuat oleh Jefri, lalu mempersingkat waktu peledakan dengan sangat cepat.Jefri yang sedang duduk di depan komputer dan mengamati situasi pun melihat pihak James sudah mengubah waktu yang susah payah akhirnya bisa dia perpanjang. Seketika, Jefri jadi geram, dia kembali mengangkat jari-jarinya yang hampir kram dan terus mengetik kode.Dalam beberapa saat, Jefri kembali berhasil memperpanjang waktu. James tersenyum memuji, "Anak