Setelah mereka pergi, Wina duduk di atas sofa dengan sorot tatapan yang terlihat kosong dan putus asa."Tolong biarkan aku sendiri dulu sebentar, Vian."Suara Wina yang terdengar kesepian, begitu dingin dan putus asa itu pun terdengar menggema di ruang tamu yang sepi.Vian menatap wajah Wina yang agak bengkak dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak mengatakan apa pun.Suara langkah Vian yang berat berangsur-angsur berjalan pergi sehingga akhirnya hanya Wina seorang yang tetap berada di ruangan besar itu.Wina tampak begitu kesepian, aura keberadaannya bahkan nyaris tidak ada. Deru napasnya juga terdengar pelan ....Wina duduk bersandar di atas sofa selama beberapa saat, lalu menengadah menatap matahari terbenam di luar jendela sana dengan pandangan yang mengabur ....Matahari masih bersinar dan dunia masih berputar, hanya Jihan miliknya yang menghilang.Tidak ada yang bisa memahami perasaan Wina saat ini, dia juga tidak bisa memaksakan perasaannya kepada siapa pun.Wi
Alta mengangguk setuju dan menyuruh Gisel untuk menunggu Jihan pulang di rumah dengan patuh. "Aku pasti akan menunggu dengan patuh sampai Paman kembali," janji Gisel. "Paman juga sudah berjanji kepadaku akan menemaniku tumbuh dewasa, lalu menikahkanku."Anak-anak itu mudah dibujuk karena cara pikir mereka sederhana, tetapi Alta tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Dia pun menengadah menatap matahari terbenam di puncak gunung. Sama seperti matahari itu, Alta berharap Tuan Malam akan bangkit kembali seperti fajar.Saat Alta sedang menemani Gisel sambil menunggu orang-orang di dalam rumah keluar, tiba-tiba sebuah mobil melaju di luar pintu. Bunyi klakson menyadarkan Paman Rudi yang sedang menjaga pintu sambil melamun.Tubuhnya yang sudah tua perlahan bangkit berdiri dan menatap orang yang duduk di dalam mobil. Setelah melihat dengan saksama, Paman Rudi menekan tombol buka dengan gemetar.Hari ini adalah hari yang istimewa. Wina memang meliburkan para pelayan, tetapi Paman Rudi sudah di
Wina tidak menolak tawaran Sara untuk tinggal menemaninya. Wina tahu bahwa orang-orang di sekitarnya akan diam-diam menemaninya dan memberinya rasa nyaman di tengah situasi seperti ini.Wina tidak menangis atau merajuk, dia hanya diam membiarkan Sara merawatnya dan sesekali menemani Gisel mengerjakan PR. Segalanya berjalan seperti biasa tanpa ada yang berbeda.Bahkan Paman Rudi dan Alta mengira Wina sudah perlahan-lahan bisa bangkit dari rasa sedihnya. Tentu saja mereka ikut merasa bahagia. Setelah kehilangan tuan mereka, satu-satunya sosok yang tetap bisa menguatkan mereka saat ini adalah nyonya mereka.Wina membuat semua orang menurunkan penjagaan mereka, lalu membawa guci abu Zeno ke rumah sakit.Sejak mengetahui kematian Zeno, Cessa jatuh sakit dan harus mengandalkan infus untuk bertahan hidup.Begitu melihat Wina muncul sambil membawa guci abu itu, Cessa yang sudah berhenti menangis kembali menitikkan air matanya.Namun, kali ini dia tidak buru-buru menampar atau menyalahkan Wina
Masalahnya, begitu akal sehat seseorang kembali, mereka cenderung bisa menerima hal-hal yang semula tidak bisa mereka terima.Jitu sebabnya saat Cessa melihat tulang-belulang yang berserakan itu, dia menyadari bahwa Zeno memang benar-benar sudah tiada ....Lama sekali Cessa hanya menatap tulang-belulang yang berserakan itu, lalu perlahan mendorong Jodie yang juga tertegun menjauh. Sambil bertumpu pada tepi ranjang rumah sakit, Cessa perlahan berjongkok merentangkan kakinya dan meletakkannya di atas lantai yang dingin.Cessa menyentuh tulang-tulang itu dengan jari-jarinya yang kurus, rasanya dia bisa melihat pemandangan menyedihkan Zeno yang ditelan ular. Bahkan sekilas bayangan itu saja sudah cukup untuk membuat Cessa gemetar ketakutan ....Cessa mengambil sebuah tulang dengan gemetar dan memeluknya. Dia tiba-tiba tidak mampu berbicara seolah-olah dia adalah patung.Sepertinya Cessa lebih putus asa mengetahui bahwa Zeno meninggal dengan tragis dibandingkan saat tahu bahwa Zeno sudah ti
Wina berjalan keluar dari rumah sakit sambil membawa laporan itu. Dia memperhatikan lalu lintas yang ramai dan mendadak tidak tahu harus ke mana.Setelah berdiri termangu selama beberapa saat, Wina akhirnya bersandar ke dinding dan duduk perlahan di tangga. Pikirannya yang terasa kosong dipenuhi dengan gambaran Jihan yang menggendongnya, menciumnya dan mengutarakan rasa cintanya.Wina membayangkan akan seperti apa ekspresi Jihan seandainya Jihan ada di sini dan tahu mengenai kehamilannya? Apa wajah Jihan yang sedingin es itu akan tampak bahagia? Atau apa mungkin Jihan akan menggendongnya seperti calon ayah kebanyakan di luar sana saking bahagianya?Wina tidak bisa membayangkan ekspresi Jihan. Yang jelas, Wina sangat merindukan Jihan. Rindu yang tidak manis, melainkan begitu pilu. Rasa rindu karena kehilangan orang yang dia cintai selamanya.Wina memandangi kerumunan orang yang berjalan seorang diri. Dia berharap Jihan yang ketampanannya tidak tertandingi oleh siapa pun itu akan mendada
"Aku nggak apa-apa, aku cuma susah tidur. Aku minta dokter meresepkan obat lebih banyak," jawab Wina dengan tenang sambil menggelengkan kepalanya.Alta pun hendak mengambil obat itu dari tangan Wina, tetapi Wina menghindar. "Aku bisa sendiri kok, ini bukan masalah besar."Alta tidak bertanya lagi, dia hanya menatap ke arah daun emas yang semula Wina pegang. Jaraknya terlalu jauh tadi, jadi Alta tidak melihat ukiran di belakang daun emas itu ataupun catatan yang ada di dalam kotak. Yang Alta tahu, ada seorang laki-laki yang meminta si anak perempuan untuk memberikan sehelai daun emas kepada Wina.Wina tidak mengatakan apa-apa soal itu dan Alta juga tidak enak bertanya, jadi Alta berpura-pura tidak tahu. Bagaimanapun juga, tugasnya adalah melindungi Wina. Masalah pribadi Wina lainnya berada di luar kendalinya.Saat Wina berbalik membawa obatnya, dia melihat Jodie yang tingginya sama dengan Jihan berdiri di pintu lobi rumah sakit dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Jodie sedang menung
Setibanya di rumah, mata Wina sontak berkaca-kaca saat melihat Sara dan Gisel yang sedang sibuk di dapur.Dia bisa saja pergi menemui Jihan, tetapi ada dua orang yang paling dia khawatirkan di dapur ini.Wina tidak begitu khawatir dengan Sara karena dia sudah menikah dengan Jefri. Sara punya suami yang akan melindunginya dan anak mereka yang akan lahir, tetapi Gisel ....Gisel sudah kehilangan orang tua dan ayah angkatnya. Satu-satunya yang bisa Gisel andalkan hanyalah Wina dan Jihan.Sekarang Jihan sudah tiada, sedangkan Wina mungkin akan segera pergi. Bagaimana dengan gisel?Wina berdiri diam selama beberapa saat, lalu akhirnya berbalik badan dan berjalan naik. Dia mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan kepada Jeana.Setelah gugatan penculikan anak itu selesai, Jeana sesekali datang menjenguk Gisel. Sepertinya Jeana luluh karena melihat toleransi dan kemurahan hati Wina, serta bagaimana Wina mendidik Gisel.Sama seperti nenek mana pun yang datang mengunjungi cucunya, Jeana pasti
Jodie menghentikan mobil Wina, lalu membuka pintu dan berjalan mendekat. Jodie mengetuk jendela mobil Wina sambil berkata, "Buka pintunya!"Wina pun terpaksa menurunkan jendela dan menatap Jodie di luar sana. "Ada apa, Tuan Muda Jodie?""Cessa nggak percaya Zeno sudah mati dan terus berseru akan mencari Zeno," jawab Jodie sambil mengedikkan dagunya. "Supaya dia menyerah, aku berencana pergi ke Medan Hitam. Kebetulan kamu juga mau ke sana, 'kan? Ayo kita pergi bareng."Wina sontak mematung. Dia tidak menyangka Jodie benar-benar menyadari bahwa dia akan pergi ke Medan Hitam, bahkan sampai mengajaknya pergi bersama.Setelah pulih dari keterkejutannya, Wina pun melirik ke arah Jodie yang bertubuh besar. "Zeno dan yang lainnya saja nggak bisa kabur walaupun mereka sehebat itu. Kalau kamu yang lemah dan sakit-sakitan ini ke sana, takutnya ....""Kalau aku lemah dan sakit-sakitan, masa kamu lebih kuat daripadaku?" sela Jodie dengan dingin.Kekuatan fisik Jodie dan Wina itu mirip, bisa-bisanya