Wina berjalan keluar dari rumah sakit sambil membawa laporan itu. Dia memperhatikan lalu lintas yang ramai dan mendadak tidak tahu harus ke mana.Setelah berdiri termangu selama beberapa saat, Wina akhirnya bersandar ke dinding dan duduk perlahan di tangga. Pikirannya yang terasa kosong dipenuhi dengan gambaran Jihan yang menggendongnya, menciumnya dan mengutarakan rasa cintanya.Wina membayangkan akan seperti apa ekspresi Jihan seandainya Jihan ada di sini dan tahu mengenai kehamilannya? Apa wajah Jihan yang sedingin es itu akan tampak bahagia? Atau apa mungkin Jihan akan menggendongnya seperti calon ayah kebanyakan di luar sana saking bahagianya?Wina tidak bisa membayangkan ekspresi Jihan. Yang jelas, Wina sangat merindukan Jihan. Rindu yang tidak manis, melainkan begitu pilu. Rasa rindu karena kehilangan orang yang dia cintai selamanya.Wina memandangi kerumunan orang yang berjalan seorang diri. Dia berharap Jihan yang ketampanannya tidak tertandingi oleh siapa pun itu akan mendada
"Aku nggak apa-apa, aku cuma susah tidur. Aku minta dokter meresepkan obat lebih banyak," jawab Wina dengan tenang sambil menggelengkan kepalanya.Alta pun hendak mengambil obat itu dari tangan Wina, tetapi Wina menghindar. "Aku bisa sendiri kok, ini bukan masalah besar."Alta tidak bertanya lagi, dia hanya menatap ke arah daun emas yang semula Wina pegang. Jaraknya terlalu jauh tadi, jadi Alta tidak melihat ukiran di belakang daun emas itu ataupun catatan yang ada di dalam kotak. Yang Alta tahu, ada seorang laki-laki yang meminta si anak perempuan untuk memberikan sehelai daun emas kepada Wina.Wina tidak mengatakan apa-apa soal itu dan Alta juga tidak enak bertanya, jadi Alta berpura-pura tidak tahu. Bagaimanapun juga, tugasnya adalah melindungi Wina. Masalah pribadi Wina lainnya berada di luar kendalinya.Saat Wina berbalik membawa obatnya, dia melihat Jodie yang tingginya sama dengan Jihan berdiri di pintu lobi rumah sakit dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Jodie sedang menung
Setibanya di rumah, mata Wina sontak berkaca-kaca saat melihat Sara dan Gisel yang sedang sibuk di dapur.Dia bisa saja pergi menemui Jihan, tetapi ada dua orang yang paling dia khawatirkan di dapur ini.Wina tidak begitu khawatir dengan Sara karena dia sudah menikah dengan Jefri. Sara punya suami yang akan melindunginya dan anak mereka yang akan lahir, tetapi Gisel ....Gisel sudah kehilangan orang tua dan ayah angkatnya. Satu-satunya yang bisa Gisel andalkan hanyalah Wina dan Jihan.Sekarang Jihan sudah tiada, sedangkan Wina mungkin akan segera pergi. Bagaimana dengan gisel?Wina berdiri diam selama beberapa saat, lalu akhirnya berbalik badan dan berjalan naik. Dia mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan kepada Jeana.Setelah gugatan penculikan anak itu selesai, Jeana sesekali datang menjenguk Gisel. Sepertinya Jeana luluh karena melihat toleransi dan kemurahan hati Wina, serta bagaimana Wina mendidik Gisel.Sama seperti nenek mana pun yang datang mengunjungi cucunya, Jeana pasti
Jodie menghentikan mobil Wina, lalu membuka pintu dan berjalan mendekat. Jodie mengetuk jendela mobil Wina sambil berkata, "Buka pintunya!"Wina pun terpaksa menurunkan jendela dan menatap Jodie di luar sana. "Ada apa, Tuan Muda Jodie?""Cessa nggak percaya Zeno sudah mati dan terus berseru akan mencari Zeno," jawab Jodie sambil mengedikkan dagunya. "Supaya dia menyerah, aku berencana pergi ke Medan Hitam. Kebetulan kamu juga mau ke sana, 'kan? Ayo kita pergi bareng."Wina sontak mematung. Dia tidak menyangka Jodie benar-benar menyadari bahwa dia akan pergi ke Medan Hitam, bahkan sampai mengajaknya pergi bersama.Setelah pulih dari keterkejutannya, Wina pun melirik ke arah Jodie yang bertubuh besar. "Zeno dan yang lainnya saja nggak bisa kabur walaupun mereka sehebat itu. Kalau kamu yang lemah dan sakit-sakitan ini ke sana, takutnya ....""Kalau aku lemah dan sakit-sakitan, masa kamu lebih kuat daripadaku?" sela Jodie dengan dingin.Kekuatan fisik Jodie dan Wina itu mirip, bisa-bisanya
"Tuan Muda Jodie, aku bukan pergi buat bermain. Aku itu mau mencari suamiku," bantah Wina tidak setuju."Kamu mencari suamimu dan aku mau mencari adik iparku. Apa masalahnya?" balas Jodie sambil menatap Wina dengan angkuh.Wina sontak terdiam, Jodie pun bertanya lagi, "Aku tahu kondisi Medan Hitam, tapi memangnya kamu tahu?"Wina takut Vian tahu dia berniat pergi ke Medan Hitam, jadi Wina tidak bertanya secara rinci. "Aku cuma tahu alamatnya.""Kok kamu bisa tahu alamat Medan Hitam?" tanya Jodie dengan ekspresi yang menegang.Wina berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk memercayai Jodie. Dia mengeluarkan daun emas dan catatan itu, lalu menyerahkannya kepada Jodie. "Aku sebenarnya nggak tahu alamatnya, tapi ada seorang anak perempuan yang memberiku dua barang ini hari ini."Jodie melihat sekilas catatan itu, lalu mengambil daun emas dan mengamatinya. "Daun emas ini adalah kartu undangan dari Medan Hitam. Huruf A di belakangnya adalah kode nama Medan Hitam, disebut Arom."Jodie pun kemba
Yang kedua adalah tentang kondisi Arom. Jodie mengatakan bahwa Arom sangat tersembunyi dan tidak semua orang bisa masuk. Hanya mereka yang mendapatkan undangan dari Arom dan mendapatkan alamat yang Arom tentukan yang bisa pergi.Tentu saja siapa pun yang diundang oleh Arom berhak untuk tidak pergi, tetapi masih ada beberapa penjudi kaya yang ke sana karena penasaran. Menurut Jodie, orang yang sudah mencapai level kekayaan tertentu akan mulai merasa bosan dengan hidupnya. Mereka merasa hanya bisa mendapatkan kesenangan dengan menantang bahaya seperti ini. Sementara bagi orang yang benar-benar miskin, mereka baru bisa dipuaskan dengan uang yang tidak ada habisnya.Anggota Organisasi Shallon menyamar karena Arom tahu bahwa sebagian besar anggota organisasi berasal dari keluarga kaya raya. Mereka bahkan mengirimkan kartu undangan ke banyak anak keluarga kaya raya itu secara acak demi menemukan anggota organisasi. Mereka yang menerima undangan diperbolehkan pergi ke lokasi yang ditentukan k
Penjelasan Jodie membuat bulu kuduk di sekujur punggung Wina meremang. Tubuhnya bahkan terasa dingin, wajahnya juga seketika memucat. Meskipun Tuan Alastor dan yang lainnya belum mengetahui identitas mereka, tetap saja mereka berada dalam bahaya. Selain itu ....Wina menenangkan diri, lalu menepikan mobilnya dan bertanya kepada Jodie, "Tadi kamu bilang Medan Hitam memanfaatkan Jihan untuk memancingku, 'kan?"Jodie mengangguk. "Memangnya kenapa?""Jihan pernah memberitahuku kalau Tuan Alastor dan Winata punya daftar nama anggota Organisasi Shallon," kata Wina sambil perlahan mengepalkan tangannya. "Winata sendiri punya dendam pribadi denganku sebelumnya. Apa mungkin dialah yang memancingku?"Jodie tahu apa yang terjadi antara Winata dan Jihan dulu, tetapi .... "Apa kamu bisa menyingkirkannya? Bagaimana kalau memang dia yang memancingmu? Apa kamu masih berani untuk ke sana?"Wina tidak peduli dia dalam bahaya atau tidak. Yang dia pedulikan hanyalah Jihan. "Kalau Jihan belum mati dan aku
Jodie terkejut dengan kuatnya tekad Wina yang terpancar dari sorot tatapan wanita itu. Baru pada saat inilah Jodie menyadari betapa dalamnya cinta Wina kepada Jihan sampai-sampai Wina tidak peduli dengan nyawanya sendiri.Bagi Wina, Jihan adalah fajar. Jika fajar itu tidak datang menyingsing keesokan hari sesuai kesepakatan, maka Wina memilih untuk berhenti di senja kemarin.Bagi Jihan dan Wina, sehidup semati bukanlah kata-kata belaka.Menyadari hal ini membuat Jodie untuk pertama kalinya merasa bahwa dia tidak mungkin bisa menang dari Jihan. Karena sedari awal, Jodie sudah kalah dari Jihan.Akan tetapi, Wina berhasil meluluhkan perasaan Jodie yang beku dan membuka pintu hatinya. Itu berarti Jodie juga harus berusaha untuk membuka pintu hatinya. Jika tidak, punya hak apa dia mengatakan suka pada Wina?Wina tidak tahu apa yang ada dalam benak Jodie, jadi dia berkata, "Tuan Muda Jodie, lebih baik kamu nggak usah ikut. Walaupun kamu bilang Arom itu sangat menjunjung tinggi aturan, tetap