Angga berjalan dengan langkah cepat, matanya melirik ke segala arah sambil mencoba mencari-cari sosok Ziandra. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Ziandra terlibat keributan dengan salah satu karyawan di dapur kantor, namun entah mengapa, meski sudah menanyakan ke beberapa orang, tak ada yang tahu pasti di mana keberadaannya sekarang. Keresahan mulai menyelimuti pikirannya.
Ketika ia melangkah melewati sudut gedung, langkahnya terhenti sejenak. Di sana, ia melihat Elden sedang berdiri dengan ekspresi lesu.
Angga mendekatinya, dan tanpa basa-basi bertanya. “Elden, kau lihat Ziandra?”
Elden menatap Angga sejenak, tidak banyak bicara, hanya mengangguk pelan. “Dia ada di rooftop,” jawabnya singkat.
Angga mengernyit bingung mendengar jawaban itu. “Rooftop? Kenapa dia di sana? Apa yang terjadi?”
Elden tidak memberi jawaban lebih lanjut, malah berbalik dan berjalan menjauh, tampak seolah ingin menghindari percakapan lebi
Ziandra melangkah keluar gedung dengan langkah sedikit lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat mobil Angga yang terparkir di dekat pintu masuk, ia segera masuk dan duduk di kursi penumpang. Namun, alih-alih bersikap santai seperti biasa, tubuhnya terasa sedikit kaku.Angga yang duduk di kursi pengemudi langsung menyadari perubahan sikapnya. Ia menoleh sekilas sebelum menyalakan mesin mobil. “Ada apa? Kau terlihat melamun,” tanyanya dengan nada lembut, tapi penuh perhatian.Ziandra menggigit bibirnya, menimbang apakah ia harus menceritakan pertemuannya dengan Liona atau tidak. Tapi setelah menghela napas panjang, ia akhirnya memilih untuk jujur.“Aku sempat bertemu dengan Liona di lobi kantor,” ujarnya pelan. “Dia ... mengancamku. Katanya dia akan merebut apa yang aku miliki saat ini.”Kening Angga berkerut. “Apa maksudnya?”Ziandra menggeleng, mencoba menepis keresahan yang tiba-tiba menyergapnya. &
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Apartemen sudah sunyi, hanya terdengar suara napas tenang dari Angga yang tertidur lelap di sisi ranjang. Di sisi lain, Ziandra duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang tergeletak di meja nakas dengan pandangan kosong.Pesan singkat dari Liona masih terpampang di layar. [Kafe Vitory, aku tunggu sampai jam 3.]Ziandra menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Pikirannya berkecamuk. Ia tahu ia seharusnya tak mempercayai Liona, wanita yang berkali-kali mencoba mengusiknya. Tapi rasa penasaran dan kekhawatiran perlahan-lahan mengikis logikanya.Ia menoleh ke arah Angga, memperhatikan wajah pria itu yang tertidur damai. Hatinya terasa perih. “Apa mungkin dia menyakitiku tanpa sadar?” gumamnya sangat lirih, yang hanya mampu didengar olehnya sendiri.Dengan langkah pelan dan hati-hati, ia menyelinap keluar dari tempat tidur. Ia memakai hoodie tipis dan mengambil tas kecil sebelum ke
Suasana kantin kantor siang itu tidak terlalu ramai. Ziandra duduk sendiri di sudut ruangan, nampak tidak benar-benar menikmati makan siangnya. Sepiring nasi dengan lauk lezat tersaji di depannya, yang hampir tak tersentuh. Satu tangannya menopang dagu, sementara tatapannya kosong menembus jendela.Pikirannya kembali terpatri pada lembaran foto yang Liona sodorkan semalam. Wajah Angga yang tertidur di ranjang hotel, telanjang dada, dengan tubuh Liona di sampingnya. Sekuat apa pun ia menyangkal, gambar itu terlalu jelas menunjukkan apa yang terjadi.Meskipun ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu terjadi di masa lalu, rasa perih di hatinya tak dapat dihindari. Terlebih, Liona mengklaim bahwa dirinya lebih dulu mengenal Angga dan bahwa seharusnya dia yang menjadi istri pria itu.Lamunannya buyar, saat sebuah suara menyela dengan ringan namun mengganggu.“Kalau hanya untuk dipandangi, mungkin lebih baik makanan itu disumbangkan.”Zian
Elden berniat mengejar Ziandra, tapi langkahnya terhenti ketika Angga tiba-tiba muncul dan berdiri tepat di depannya. Dengan geram, Angga menarik lengan Elden menjauh dari kantin. Beberapa karyawan yang sempat melihatnya hanya terdiam, tak berani ikut campur. Angga membawa Elden ke lorong samping yang jarang dilewati orang.Sesampainya di sana, Angga melepaskan cengkeramannya kasar. Sorot matanya tajam menusuk.“Aku tidak peduli urusan masa lalu kalian,” ujar Angga pelan tapi dingin. “Tapi mulai sekarang jauhi istriku. Jangan lagi kau berani menyentuhnya, apalagi memancing emosinya.”Elden menyeringai, seakan tidak terintimidasi sedikit pun. “Istrimu?” Ia menekankan kata itu dengan nada meremehkan. “Bapak yakin dia masih menganggapmu seperti itu?”Angga mengepalkan tangan. “Apa maksudmu?”“Lihat saja wajahnya hari ini. Apa kau tidak sadar?” Elden melipat tangan di depan dada. &
Angga mendekat, namun Ziandra mundur setapak. “Itu tidak akan terjadi. Aku hanya mencintaimu, satu-satunya,” ucap Angga lirih. “Aku dengan Liona hanya masa lalu. Itu hanya satu malam yang bahkan tak kuingat dengan jelas. Sama sekali tak berarti. Aku tahu kelakuanku tak dibenarkan, tapi itu hanya masa lalu yang kelam. Sekarang, aku sudah berubah. Aku hanya mencintaimu dan selamanya akan begitu.”Ziandra menatapnya dalam diam, menunggu kelanjutan dari penjelasan itu.“Aku bodoh karena menyembunyikannya. Aku hanya tak ingin kau tahu betapa brengseknya aku di masa lalu. Aku ingin terlihat baik di matamu,” lanjut Angga. “Aku minta maaf. Kupikir dengan diam, kau takkan pernah mempertanyakan masa laluku dan semuanya akan baik-baik saja. Sekali ini saja beri aku pengampunanmu.”Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir di pipi Ziandra. Ia menunduk, menggenggam tangannya erat-erat. Luka itu belum sepenuhnya sembuh
Ziandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.“Sebaiknya aku bawakan Elden maka
Ziandra berangkat ke kantor jauh lebih awal dari biasanya. Bukannya langsung masuk ke dalam, ia malah duduk di bagian lobi kantor untuk menunggu seseorang. Dan tepat 20 menit kemudian, sosok Elden langsung mencuri perhatiannya.Ziandra berlari mendekati Elden dan memanggilnya terburu-buru. Tentu saja Elden merasa aneh dengan sikap Ziandra. Dirinya pikir kemarin Ziandra itu marah besar padanya dan tentu saja hubungan mereka bisa dikatakan berakhir, bukan?Senyuman Elden terbit ketika Ziandra yang sudah berdiri di depannya langsung memegang lengannya. “Ada apa, Sayang? Tumben pagi-pagi sudah menungguiku,” ungkapnya membuat Ziandra langsung melepaskan pegangannya.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Dan biar kuperingatkan padamu satu hal, bahwa kita sudah putus jadi jangan memanggilku dengan sebutan sayang! Kau tidak amnesia soal semalam, ‘kan?” sinis Ziandra lalu menyuruh Elden agar mengikutinya.Keduanya tiba di rooftop kantor yang sama sekali tidak ada orang selain mereka. Ziandra l
Selesai acara pengenalan CEO baru, Ziandra buru-buru keluar dari aula dan duduk ke kursinya dengan resah. Sambil terus membisiki dirinya sendiri, “Itu tidak mungkin. Pria semalam tidak mungkin bosku.”Ia menolak keras kebenaran bahwa pria yang tidur dengannya adalah orang yang sama. Sedang mengkhawatirkan hal itu, ia dikejutkan sapaan beberapa teman kantornya yang tiba-tiba saja mengerubungi mejanya.“Ada apa?” tanya Ziandra mengangkat sebelah alisnya.Salah satu dari mereka malah menertawakannya. Ia menyentil bahu Ziandra dengan gaya angkuhnya.“Kudengar bahwa kau dan Elden sudah putus, ya? Astaga, akhirnya Elden sadar juga bahwa kau itu tidak layak bersanding dengannya. Selamat atas kandasnya hubungan kalian, ya,” ejeknya dengan suara sengaja dilantangkan agar semua yang ada di sana mendengar berita itu.Banyak karyawan yang berasal dari divisi lain ikut menengok ke arah Ziandra ketika tak sengaja berjalan di mejanya, membuat Ziandra tentu saja merasa malu yang teramat sangat karena
Angga mendekat, namun Ziandra mundur setapak. “Itu tidak akan terjadi. Aku hanya mencintaimu, satu-satunya,” ucap Angga lirih. “Aku dengan Liona hanya masa lalu. Itu hanya satu malam yang bahkan tak kuingat dengan jelas. Sama sekali tak berarti. Aku tahu kelakuanku tak dibenarkan, tapi itu hanya masa lalu yang kelam. Sekarang, aku sudah berubah. Aku hanya mencintaimu dan selamanya akan begitu.”Ziandra menatapnya dalam diam, menunggu kelanjutan dari penjelasan itu.“Aku bodoh karena menyembunyikannya. Aku hanya tak ingin kau tahu betapa brengseknya aku di masa lalu. Aku ingin terlihat baik di matamu,” lanjut Angga. “Aku minta maaf. Kupikir dengan diam, kau takkan pernah mempertanyakan masa laluku dan semuanya akan baik-baik saja. Sekali ini saja beri aku pengampunanmu.”Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir di pipi Ziandra. Ia menunduk, menggenggam tangannya erat-erat. Luka itu belum sepenuhnya sembuh
Elden berniat mengejar Ziandra, tapi langkahnya terhenti ketika Angga tiba-tiba muncul dan berdiri tepat di depannya. Dengan geram, Angga menarik lengan Elden menjauh dari kantin. Beberapa karyawan yang sempat melihatnya hanya terdiam, tak berani ikut campur. Angga membawa Elden ke lorong samping yang jarang dilewati orang.Sesampainya di sana, Angga melepaskan cengkeramannya kasar. Sorot matanya tajam menusuk.“Aku tidak peduli urusan masa lalu kalian,” ujar Angga pelan tapi dingin. “Tapi mulai sekarang jauhi istriku. Jangan lagi kau berani menyentuhnya, apalagi memancing emosinya.”Elden menyeringai, seakan tidak terintimidasi sedikit pun. “Istrimu?” Ia menekankan kata itu dengan nada meremehkan. “Bapak yakin dia masih menganggapmu seperti itu?”Angga mengepalkan tangan. “Apa maksudmu?”“Lihat saja wajahnya hari ini. Apa kau tidak sadar?” Elden melipat tangan di depan dada. &
Suasana kantin kantor siang itu tidak terlalu ramai. Ziandra duduk sendiri di sudut ruangan, nampak tidak benar-benar menikmati makan siangnya. Sepiring nasi dengan lauk lezat tersaji di depannya, yang hampir tak tersentuh. Satu tangannya menopang dagu, sementara tatapannya kosong menembus jendela.Pikirannya kembali terpatri pada lembaran foto yang Liona sodorkan semalam. Wajah Angga yang tertidur di ranjang hotel, telanjang dada, dengan tubuh Liona di sampingnya. Sekuat apa pun ia menyangkal, gambar itu terlalu jelas menunjukkan apa yang terjadi.Meskipun ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu terjadi di masa lalu, rasa perih di hatinya tak dapat dihindari. Terlebih, Liona mengklaim bahwa dirinya lebih dulu mengenal Angga dan bahwa seharusnya dia yang menjadi istri pria itu.Lamunannya buyar, saat sebuah suara menyela dengan ringan namun mengganggu.“Kalau hanya untuk dipandangi, mungkin lebih baik makanan itu disumbangkan.”Zian
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Apartemen sudah sunyi, hanya terdengar suara napas tenang dari Angga yang tertidur lelap di sisi ranjang. Di sisi lain, Ziandra duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang tergeletak di meja nakas dengan pandangan kosong.Pesan singkat dari Liona masih terpampang di layar. [Kafe Vitory, aku tunggu sampai jam 3.]Ziandra menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Pikirannya berkecamuk. Ia tahu ia seharusnya tak mempercayai Liona, wanita yang berkali-kali mencoba mengusiknya. Tapi rasa penasaran dan kekhawatiran perlahan-lahan mengikis logikanya.Ia menoleh ke arah Angga, memperhatikan wajah pria itu yang tertidur damai. Hatinya terasa perih. “Apa mungkin dia menyakitiku tanpa sadar?” gumamnya sangat lirih, yang hanya mampu didengar olehnya sendiri.Dengan langkah pelan dan hati-hati, ia menyelinap keluar dari tempat tidur. Ia memakai hoodie tipis dan mengambil tas kecil sebelum ke
Ziandra melangkah keluar gedung dengan langkah sedikit lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat mobil Angga yang terparkir di dekat pintu masuk, ia segera masuk dan duduk di kursi penumpang. Namun, alih-alih bersikap santai seperti biasa, tubuhnya terasa sedikit kaku.Angga yang duduk di kursi pengemudi langsung menyadari perubahan sikapnya. Ia menoleh sekilas sebelum menyalakan mesin mobil. “Ada apa? Kau terlihat melamun,” tanyanya dengan nada lembut, tapi penuh perhatian.Ziandra menggigit bibirnya, menimbang apakah ia harus menceritakan pertemuannya dengan Liona atau tidak. Tapi setelah menghela napas panjang, ia akhirnya memilih untuk jujur.“Aku sempat bertemu dengan Liona di lobi kantor,” ujarnya pelan. “Dia ... mengancamku. Katanya dia akan merebut apa yang aku miliki saat ini.”Kening Angga berkerut. “Apa maksudnya?”Ziandra menggeleng, mencoba menepis keresahan yang tiba-tiba menyergapnya. &
Angga berjalan dengan langkah cepat, matanya melirik ke segala arah sambil mencoba mencari-cari sosok Ziandra. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Ziandra terlibat keributan dengan salah satu karyawan di dapur kantor, namun entah mengapa, meski sudah menanyakan ke beberapa orang, tak ada yang tahu pasti di mana keberadaannya sekarang. Keresahan mulai menyelimuti pikirannya.Ketika ia melangkah melewati sudut gedung, langkahnya terhenti sejenak. Di sana, ia melihat Elden sedang berdiri dengan ekspresi lesu.Angga mendekatinya, dan tanpa basa-basi bertanya. “Elden, kau lihat Ziandra?”Elden menatap Angga sejenak, tidak banyak bicara, hanya mengangguk pelan. “Dia ada di rooftop,” jawabnya singkat.Angga mengernyit bingung mendengar jawaban itu. “Rooftop? Kenapa dia di sana? Apa yang terjadi?”Elden tidak memberi jawaban lebih lanjut, malah berbalik dan berjalan menjauh, tampak seolah ingin menghindari percakapan lebi
Ziandra masih berdiri dengan napas memburu, emosinya belum juga reda setelah kejadian barusan. Liona pergi dengan wajah merah padam, tapi Ziandra tahu bahwa wanita itu tidak akan diam begitu saja. Tak hanya Liona, tapi hampir semua orang yang ada di sana juga sudah menyingkir, tak ingin kena amuk oleh Ziandra sama seperti Liona.Di sisi lain, Elden masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Bukan senyum mengejek, bukan juga tatapan yang bermaksud menenangkan—hanya sekedar menatap, seolah sedang menilai sesuatu.“Sudah puas melabraknya?” suara Elden akhirnya terdengar, datar tapi sarat makna.Ziandra mendengus, merapikan lengan bajunya yang tadi terangkat saat bertengkar. “Seharusnya aku menamparnya sekalian.”Elden mengangkat alis, lalu tanpa peringatan meraih pergelangan tangan Ziandra. “Ikut aku.”Ziandra sontak menepis tangannya. “Apa-apaan kau? Aku tidak ada urusan
Ziandra sedang di pantry dapur kantor untuk membuat minuman untuknya sendiri dan juga kopi untuk Angga yang sedang berkutat sibuk di ruangannya. Hampir 2 jam lebih Angga belum keluar dari ruangannya, dan itu cukup membuatnya agak khawatir. Untuk itu ia sengaja membuatkan kopi sebagai alasan masuk ke ruangannya, sekedar mengecek keadaan Angga di dalam.Tapi saat sedang santai mengaduk kopi, beberapa karyawan wanita berdatangan untuk istirahat di dapur. Mereka tidak menyadari keberadaan Ziandra dan menganggapnya sebagai karyawan divisi lain. Mereka dengan santai duduk di kursi yang memang disediakan untuk para karyawan yang ingin menikmati kopinya di sana.“Kau sudah dengar gosipnya juga, kan?”Salah satu dari mereka mulai bicara. Suaranya terdengar sinis.“Iya, aku tak sangka bahwa Ziandra akan melakukan hal itu. Pantas saja dia diangkat jadi sekretaris dalam waktu sangat cepat, dan malah dinikahi oleh Pak Angga, atasannya sendiri.”
Angga menegang. “Apa?”“Atau setidaknya, bersikap biasa saja padanya.” Pak Yuda menatap putranya dalam-dalam. “Jangan biarkan Devan berpikir kau terlalu mencintai istrimu. Jika dia menangkap itu, dia akan memanfaatkannya sebagai senjata untuk menjatuhkanmu.”Angga mengepalkan tangannya erat. “Aku tidak akan menceraikan Ziandra.”Pak Yuda menghela napas. “Aku tahu kau akan bilang begitu.”Hening sejenak.Pak Yuda bangkit dari kursinya, berjalan mendekati jendela besar di belakang meja. “Aku hanya ingin kau selalu waspada dan jangan lengah. Jangan biarkan Devan mengendalikanmu karena perasaan cinta butamu pada Ziandra.”Angga tetap diam, tapi di dalam kepalanya, ia sudah bertekad.Ziandra adalah miliknya, seutuhnya. Dan tidak akan ada seorang pun—terutama Devan—yang bisa mengambilnya.*****Ziandra melangkah keluar dari aula rapat dengan ha