Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Apartemen sudah sunyi, hanya terdengar suara napas tenang dari Angga yang tertidur lelap di sisi ranjang. Di sisi lain, Ziandra duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang tergeletak di meja nakas dengan pandangan kosong.
Pesan singkat dari Liona masih terpampang di layar. [Kafe Vitory, aku tunggu sampai jam 3.]
Ziandra menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Pikirannya berkecamuk. Ia tahu ia seharusnya tak mempercayai Liona, wanita yang berkali-kali mencoba mengusiknya. Tapi rasa penasaran dan kekhawatiran perlahan-lahan mengikis logikanya.
Ia menoleh ke arah Angga, memperhatikan wajah pria itu yang tertidur damai. Hatinya terasa perih. “Apa mungkin dia menyakitiku tanpa sadar?” gumamnya sangat lirih, yang hanya mampu didengar olehnya sendiri.
Dengan langkah pelan dan hati-hati, ia menyelinap keluar dari tempat tidur. Ia memakai hoodie tipis dan mengambil tas kecil sebelum ke
Suasana kantin kantor siang itu tidak terlalu ramai. Ziandra duduk sendiri di sudut ruangan, nampak tidak benar-benar menikmati makan siangnya. Sepiring nasi dengan lauk lezat tersaji di depannya, yang hampir tak tersentuh. Satu tangannya menopang dagu, sementara tatapannya kosong menembus jendela.Pikirannya kembali terpatri pada lembaran foto yang Liona sodorkan semalam. Wajah Angga yang tertidur di ranjang hotel, telanjang dada, dengan tubuh Liona di sampingnya. Sekuat apa pun ia menyangkal, gambar itu terlalu jelas menunjukkan apa yang terjadi.Meskipun ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu terjadi di masa lalu, rasa perih di hatinya tak dapat dihindari. Terlebih, Liona mengklaim bahwa dirinya lebih dulu mengenal Angga dan bahwa seharusnya dia yang menjadi istri pria itu.Lamunannya buyar, saat sebuah suara menyela dengan ringan namun mengganggu.“Kalau hanya untuk dipandangi, mungkin lebih baik makanan itu disumbangkan.”Zian
Elden berniat mengejar Ziandra, tapi langkahnya terhenti ketika Angga tiba-tiba muncul dan berdiri tepat di depannya. Dengan geram, Angga menarik lengan Elden menjauh dari kantin. Beberapa karyawan yang sempat melihatnya hanya terdiam, tak berani ikut campur. Angga membawa Elden ke lorong samping yang jarang dilewati orang.Sesampainya di sana, Angga melepaskan cengkeramannya kasar. Sorot matanya tajam menusuk.“Aku tidak peduli urusan masa lalu kalian,” ujar Angga pelan tapi dingin. “Tapi mulai sekarang jauhi istriku. Jangan lagi kau berani menyentuhnya, apalagi memancing emosinya.”Elden menyeringai, seakan tidak terintimidasi sedikit pun. “Istrimu?” Ia menekankan kata itu dengan nada meremehkan. “Bapak yakin dia masih menganggapmu seperti itu?”Angga mengepalkan tangan. “Apa maksudmu?”“Lihat saja wajahnya hari ini. Apa kau tidak sadar?” Elden melipat tangan di depan dada. &
Angga mendekat, namun Ziandra mundur setapak. “Itu tidak akan terjadi. Aku hanya mencintaimu, satu-satunya,” ucap Angga lirih. “Aku dengan Liona hanya masa lalu. Itu hanya satu malam yang bahkan tak kuingat dengan jelas. Sama sekali tak berarti. Aku tahu kelakuanku tak dibenarkan, tapi itu hanya masa lalu yang kelam. Sekarang, aku sudah berubah. Aku hanya mencintaimu dan selamanya akan begitu.”Ziandra menatapnya dalam diam, menunggu kelanjutan dari penjelasan itu.“Aku bodoh karena menyembunyikannya. Aku hanya tak ingin kau tahu betapa brengseknya aku di masa lalu. Aku ingin terlihat baik di matamu,” lanjut Angga. “Aku minta maaf. Kupikir dengan diam, kau takkan pernah mempertanyakan masa laluku dan semuanya akan baik-baik saja. Sekali ini saja beri aku pengampunanmu.”Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir di pipi Ziandra. Ia menunduk, menggenggam tangannya erat-erat. Luka itu belum sepenuhnya sembuh
Keputusan Angga memecat Liona, nyatanya belum bisa membuatnya puas. Yang ada hanya satu rasa sesak di dadanya, cemas akan Ziandra yang belum memaafkannya. Langkah kakinya cepat menyusuri lorong demi lorong, memeriksa ruang kerja, bahkan menuju pantry. Tak ada jejak Ziandra.Beberapa karyawan sempat menatapnya penasaran, tapi Angga tidak peduli. Ia hanya ingin menemukan istrinya, menjelaskan semuanya, dan memohon maaf.Setelah hampir lima belas menit berkeliling, akhirnya ia menemukan sosok itu di rooftop kantor—sendirian, membelakangi pagar pengaman, dengan angin sore menerpa rambutnya.Angga menelan ludah. Jarak beberapa langkah terasa sangat jauh sekarang. Tapi ia tetap mendekat, hati-hati, seperti mendekati sesuatu yang rapuh dan bisa hancur kapan saja.“Ziandra,” panggilnya pelan.Wanita itu tak bergeming.“Aku ingin bicara.”Masih tak ada respons.Angga menarik napas dalam. “Tolong denga
Setelah percakapan panjang di rooftop, suasana hati Ziandra sedikit lebih ringan. Ia dan Jenna kini bisa saling memandang tanpa beban besar seperti sebelumnya. Mungkin belum benar-benar pulih, tetapi langkah menuju perbaikan sudah dimulai.Saat jam istirahat usai, Ziandra kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi kerja, memandangi layar komputer yang masih menampilkan dokumen yang belum rampung. Jemarinya sempat mengambang di atas keyboard, tapi pikirannya masih belum fokus.Namun, ketika Jenna sengaja lewat ke tempatnya dan mengedipkan mata sambil menunjukkan isyarat akan pulang bersama nanti, seulas senyum tipis akhirnya mengembang di wajahnya. Setidaknya, hari ini tidak sepenuhnya buruk.*****Sementara itu, di ruangannya, Angga hanya bisa memandangi jam dinding yang terasa berjalan lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti menyiksa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ziandra sekarang, apakah hatinya sudah sedikit terbuka, atau justru semakin tert
Langkah Ziandra pelan memasuki apartemen. Sepi. Lampu ruang tamu menyala redup, menyambutnya dengan kehangatan yang tak ia sangka-sangka. Saat menutup pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang terbaring di sofa—Angga.Laki-laki itu tertidur dalam posisi setengah duduk, tangan kanannya menjuntai ke lantai, sementara ponselnya tergeletak tak jauh dari sana. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Untuk sesaat, semua amarah yang sempat menggelayuti hati Ziandra menguap begitu saja.Ia mendekat pelan, berjongkok agar sejajar dengan wajah Angga. Cahaya lembut dari lampu mengenainya dari samping, membuat sorot wajah itu tampak lebih damai dari biasanya.Seperti bayi ... batin Ziandra.Tangan kanan Ziandra terangkat, mengelus pelan pipi Angga yang terasa hangat. Sentuhan itu lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia tersenyum kecil, mengagumi garis wajah suaminya yang—di balik semua kelakuan dan dinginnya sikap—
Pagi itu terasa biasa saja—hangat, tenang, dan penuh semangat. Setidaknya begitu yang dirasakan Angga dan Ziandra saat melangkah beriringan memasuki lobi kantor. Saling tersenyum kecil, menyapa beberapa staf yang membalas dengan tatapan lega, seolah menyambut kembalinya kedamaian antara keduanya.Namun, langkah mereka terhenti seketika.Di depan lift yang belum juga terbuka, berdiri seseorang dengan postur tegak dan senyum angkuh yang sangat dikenal oleh keduanya. Sosok itu menoleh perlahan—dan saat matanya bertemu dengan milik Ziandra dan Angga, senyum tipisnya makin melebar.“Selamat pagi, Pak Angga, Bu Ziandra.” Suaranya terdengar manis, tapi jelas terasa menusuk.Liona.Ziandra refleks menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Angga pun tidak kalah terkejut. Rahangnya mengeras, tubuhnya langsung menegang.Dengan langkah ringan, Liona mendekati mereka. Ia membungkuk kecil dengan sikap sopan yang dibuat-buat, lalu berdiri tegak kembali dengan ekspres
Angga menggeram pelan, lalu kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Satu kali lagi, ia mencoba menelepon ayahnya. Jari-jarinya menekan tombol cepat dengan gerakan tepat dan penuh amarah. Dada masih naik turun, rahangnya mengeras.Kali ini sambungan berhasil tersambung.Namun, yang menjawab bukan suara sang ayah.[“Halo?”]Suaranya lembut, tenang, dan sangat dikenal. Vidia.Angga langsung mendecih tajam, merasa perutnya melilit oleh rasa kesal yang makin mendidih. “Kenapa kau yang menjawab ponsel ayahku? Di mana dia?”[“Ayahmu sedang menikmati waktu bersama denganku. Kami baru saja sarapan, lho.”]“Aku tidak menelepon untuk mendengar omong kosongmu. Berikan telepon ini pada Ayah. Aku ingin bicara langsung dengannya.” Nada Angga tajam, tanpa basa-basi.[“Ayahmu sekarang sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu.”]“Tidak mungkin,” desis Angga. “Dia pasti bisa bicara. Kau hanya sengaja menjauhkannya dariku.”Terdengar helaan napas malas dari seberang. [“Kalau kau terlalu sibuk menaru
Angga menggeram pelan, lalu kembali mengeluarkan ponsel dari sakunya. Satu kali lagi, ia mencoba menelepon ayahnya. Jari-jarinya menekan tombol cepat dengan gerakan tepat dan penuh amarah. Dada masih naik turun, rahangnya mengeras.Kali ini sambungan berhasil tersambung.Namun, yang menjawab bukan suara sang ayah.[“Halo?”]Suaranya lembut, tenang, dan sangat dikenal. Vidia.Angga langsung mendecih tajam, merasa perutnya melilit oleh rasa kesal yang makin mendidih. “Kenapa kau yang menjawab ponsel ayahku? Di mana dia?”[“Ayahmu sedang menikmati waktu bersama denganku. Kami baru saja sarapan, lho.”]“Aku tidak menelepon untuk mendengar omong kosongmu. Berikan telepon ini pada Ayah. Aku ingin bicara langsung dengannya.” Nada Angga tajam, tanpa basa-basi.[“Ayahmu sekarang sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu.”]“Tidak mungkin,” desis Angga. “Dia pasti bisa bicara. Kau hanya sengaja menjauhkannya dariku.”Terdengar helaan napas malas dari seberang. [“Kalau kau terlalu sibuk menaru
Pagi itu terasa biasa saja—hangat, tenang, dan penuh semangat. Setidaknya begitu yang dirasakan Angga dan Ziandra saat melangkah beriringan memasuki lobi kantor. Saling tersenyum kecil, menyapa beberapa staf yang membalas dengan tatapan lega, seolah menyambut kembalinya kedamaian antara keduanya.Namun, langkah mereka terhenti seketika.Di depan lift yang belum juga terbuka, berdiri seseorang dengan postur tegak dan senyum angkuh yang sangat dikenal oleh keduanya. Sosok itu menoleh perlahan—dan saat matanya bertemu dengan milik Ziandra dan Angga, senyum tipisnya makin melebar.“Selamat pagi, Pak Angga, Bu Ziandra.” Suaranya terdengar manis, tapi jelas terasa menusuk.Liona.Ziandra refleks menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Angga pun tidak kalah terkejut. Rahangnya mengeras, tubuhnya langsung menegang.Dengan langkah ringan, Liona mendekati mereka. Ia membungkuk kecil dengan sikap sopan yang dibuat-buat, lalu berdiri tegak kembali dengan ekspres
Langkah Ziandra pelan memasuki apartemen. Sepi. Lampu ruang tamu menyala redup, menyambutnya dengan kehangatan yang tak ia sangka-sangka. Saat menutup pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok seseorang yang terbaring di sofa—Angga.Laki-laki itu tertidur dalam posisi setengah duduk, tangan kanannya menjuntai ke lantai, sementara ponselnya tergeletak tak jauh dari sana. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Untuk sesaat, semua amarah yang sempat menggelayuti hati Ziandra menguap begitu saja.Ia mendekat pelan, berjongkok agar sejajar dengan wajah Angga. Cahaya lembut dari lampu mengenainya dari samping, membuat sorot wajah itu tampak lebih damai dari biasanya.Seperti bayi ... batin Ziandra.Tangan kanan Ziandra terangkat, mengelus pelan pipi Angga yang terasa hangat. Sentuhan itu lembut, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Ia tersenyum kecil, mengagumi garis wajah suaminya yang—di balik semua kelakuan dan dinginnya sikap—
Setelah percakapan panjang di rooftop, suasana hati Ziandra sedikit lebih ringan. Ia dan Jenna kini bisa saling memandang tanpa beban besar seperti sebelumnya. Mungkin belum benar-benar pulih, tetapi langkah menuju perbaikan sudah dimulai.Saat jam istirahat usai, Ziandra kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi kerja, memandangi layar komputer yang masih menampilkan dokumen yang belum rampung. Jemarinya sempat mengambang di atas keyboard, tapi pikirannya masih belum fokus.Namun, ketika Jenna sengaja lewat ke tempatnya dan mengedipkan mata sambil menunjukkan isyarat akan pulang bersama nanti, seulas senyum tipis akhirnya mengembang di wajahnya. Setidaknya, hari ini tidak sepenuhnya buruk.*****Sementara itu, di ruangannya, Angga hanya bisa memandangi jam dinding yang terasa berjalan lambat. Setiap menit yang berlalu terasa seperti menyiksa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Ziandra sekarang, apakah hatinya sudah sedikit terbuka, atau justru semakin tert
Keputusan Angga memecat Liona, nyatanya belum bisa membuatnya puas. Yang ada hanya satu rasa sesak di dadanya, cemas akan Ziandra yang belum memaafkannya. Langkah kakinya cepat menyusuri lorong demi lorong, memeriksa ruang kerja, bahkan menuju pantry. Tak ada jejak Ziandra.Beberapa karyawan sempat menatapnya penasaran, tapi Angga tidak peduli. Ia hanya ingin menemukan istrinya, menjelaskan semuanya, dan memohon maaf.Setelah hampir lima belas menit berkeliling, akhirnya ia menemukan sosok itu di rooftop kantor—sendirian, membelakangi pagar pengaman, dengan angin sore menerpa rambutnya.Angga menelan ludah. Jarak beberapa langkah terasa sangat jauh sekarang. Tapi ia tetap mendekat, hati-hati, seperti mendekati sesuatu yang rapuh dan bisa hancur kapan saja.“Ziandra,” panggilnya pelan.Wanita itu tak bergeming.“Aku ingin bicara.”Masih tak ada respons.Angga menarik napas dalam. “Tolong denga
Angga mendekat, namun Ziandra mundur setapak. “Itu tidak akan terjadi. Aku hanya mencintaimu, satu-satunya,” ucap Angga lirih. “Aku dengan Liona hanya masa lalu. Itu hanya satu malam yang bahkan tak kuingat dengan jelas. Sama sekali tak berarti. Aku tahu kelakuanku tak dibenarkan, tapi itu hanya masa lalu yang kelam. Sekarang, aku sudah berubah. Aku hanya mencintaimu dan selamanya akan begitu.”Ziandra menatapnya dalam diam, menunggu kelanjutan dari penjelasan itu.“Aku bodoh karena menyembunyikannya. Aku hanya tak ingin kau tahu betapa brengseknya aku di masa lalu. Aku ingin terlihat baik di matamu,” lanjut Angga. “Aku minta maaf. Kupikir dengan diam, kau takkan pernah mempertanyakan masa laluku dan semuanya akan baik-baik saja. Sekali ini saja beri aku pengampunanmu.”Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir di pipi Ziandra. Ia menunduk, menggenggam tangannya erat-erat. Luka itu belum sepenuhnya sembuh
Elden berniat mengejar Ziandra, tapi langkahnya terhenti ketika Angga tiba-tiba muncul dan berdiri tepat di depannya. Dengan geram, Angga menarik lengan Elden menjauh dari kantin. Beberapa karyawan yang sempat melihatnya hanya terdiam, tak berani ikut campur. Angga membawa Elden ke lorong samping yang jarang dilewati orang.Sesampainya di sana, Angga melepaskan cengkeramannya kasar. Sorot matanya tajam menusuk.“Aku tidak peduli urusan masa lalu kalian,” ujar Angga pelan tapi dingin. “Tapi mulai sekarang jauhi istriku. Jangan lagi kau berani menyentuhnya, apalagi memancing emosinya.”Elden menyeringai, seakan tidak terintimidasi sedikit pun. “Istrimu?” Ia menekankan kata itu dengan nada meremehkan. “Bapak yakin dia masih menganggapmu seperti itu?”Angga mengepalkan tangan. “Apa maksudmu?”“Lihat saja wajahnya hari ini. Apa kau tidak sadar?” Elden melipat tangan di depan dada. &
Suasana kantin kantor siang itu tidak terlalu ramai. Ziandra duduk sendiri di sudut ruangan, nampak tidak benar-benar menikmati makan siangnya. Sepiring nasi dengan lauk lezat tersaji di depannya, yang hampir tak tersentuh. Satu tangannya menopang dagu, sementara tatapannya kosong menembus jendela.Pikirannya kembali terpatri pada lembaran foto yang Liona sodorkan semalam. Wajah Angga yang tertidur di ranjang hotel, telanjang dada, dengan tubuh Liona di sampingnya. Sekuat apa pun ia menyangkal, gambar itu terlalu jelas menunjukkan apa yang terjadi.Meskipun ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu terjadi di masa lalu, rasa perih di hatinya tak dapat dihindari. Terlebih, Liona mengklaim bahwa dirinya lebih dulu mengenal Angga dan bahwa seharusnya dia yang menjadi istri pria itu.Lamunannya buyar, saat sebuah suara menyela dengan ringan namun mengganggu.“Kalau hanya untuk dipandangi, mungkin lebih baik makanan itu disumbangkan.”Zian
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Apartemen sudah sunyi, hanya terdengar suara napas tenang dari Angga yang tertidur lelap di sisi ranjang. Di sisi lain, Ziandra duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang tergeletak di meja nakas dengan pandangan kosong.Pesan singkat dari Liona masih terpampang di layar. [Kafe Vitory, aku tunggu sampai jam 3.]Ziandra menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Pikirannya berkecamuk. Ia tahu ia seharusnya tak mempercayai Liona, wanita yang berkali-kali mencoba mengusiknya. Tapi rasa penasaran dan kekhawatiran perlahan-lahan mengikis logikanya.Ia menoleh ke arah Angga, memperhatikan wajah pria itu yang tertidur damai. Hatinya terasa perih. “Apa mungkin dia menyakitiku tanpa sadar?” gumamnya sangat lirih, yang hanya mampu didengar olehnya sendiri.Dengan langkah pelan dan hati-hati, ia menyelinap keluar dari tempat tidur. Ia memakai hoodie tipis dan mengambil tas kecil sebelum ke