Share

Bab 2

last update Last Updated: 2024-09-30 22:29:06

Pacar Toxic 2

Diani menghentikan langkah, lalu menatapku tajam. "Aku hanya kasihan sama kamu, kalian baru pacaran, tapi dia sudah ngatur-ngatur gitu. Gimana kalau kalian menikah? Bisa tersiksa hidup kamu. Kalau aku punya pacar kek gitu, sudah kuputusin dari dulu-dulu."

Ucapan Diani ada benernya juga, Reymond memang berlebihan. Aku sendiri kadang merasa tidak nyaman, dengan sikap posesifnya itu. Tapi tak pernah terlintas dalam fikiranku untuk berpisah. Gimana lagi? Aku sudah terlanjur sayang.

"Putus? Masa putus sih, Di? Dia kayak gitu karena sayang banget sama aku. Dia itu baik banget," sanggahku.

"Bela teruuus ...! Susah emang, menasehati bucin kayak kamu. Bener kata orang bijak, orang paling susah dinasehi itu ada dua, orang bodoh dan gila, kayak kamu!"

"Tapi aku cinta sama dia, Di."

"Aku nggak ngerti sama jalan fikiran kamu, kalian itu baru pacaran lho? Masa sudah segitunya, apa-apa harus laporan, emang dia siapa? Bapakmu? Bahkan bapakmu sekalipun nggak se-posesif itu, kan? Apa sih, yang kamu dapat dari hubungan toxic kayak gitu? Dia sudah memberi nafkah? Hingga dia berhak ngatur-ngatur kamu?" Aku menggeleng.

"Oh, biar ditraktir makan setiap hari, atau dapat tumpangan gratisan? Kemana-mana ada yang nganterin, gitu? Ojol juga bisa, Luk. Atau kamu jenis cewek matre?" lanjut Diani.

"Ditraktir gimana? Orang kalau makan bareng, seringnya aku yang bayarin, bensin pun aku yang beliin." ucapku tak Terima, dikatain matre, sama Diani.

Diani mlongo mendengar jawabanku, dia menatapku tajam. "Hah?! Jadi selama ini kamu yang modal? Ck... ck... ck, Luluk.... Luluk.... Aku nggak habis pikir aku, sama sekali nggak nyangka kamu se-guoblok itu!" sinis Diani, lalu melanjutkan langkahnya.

Masa sih aku goublok? Yang namanya hubungan itu kan saling bantu, bahu membahu. Saling memberi dan menerima, begitu menurut fikiranku selama ini.

"Di, kamu sadis banget sih? Ngatain aku guoblok," protesku.

"Nggak cuma guoblok, tapi pake maksimal. Guoblok nggak ketulungan, otak encer, wajah cantik, bodi oke. Mau-maunya dimanfaatin cowok. Kalau aku mending jadi jomblo," ucap Diani jengkel.

Seburuk itukah aku? Ucapan Diani berhasil membuat moodku berantakan, hingga kerjaku nggak fokus. Padahal Pak Maher itu orangnya teliti banget, kalau salah sedikit saja, bisa panjang urusannya.

*****

Akhirnya pekerjaanku selesai juga, meski molor dari jadwal waktunya. Mandi lalu tidur adalah hal paling kuinginkan saat ini. Untung Diani mau memberi tumpangan, hingga aku tak perlu naik angkot. Biar kalau ngomong suka bar-bar tanpa saringan, Diani itu baik.

Di depan kamar kosku Reymond sudah menunggu dengan wajah tak bersahabat.

"Dari mana kamu?" tanya Reynald dingin.

"Kerja."

"Aku tadi ke kantormu, satpam bilang kamu sudah pulang dari siang. Mampir kemana dulu?"

"Kan aku sudah bilang, aku lagi di lokasi proyek," jawabku tak suka. Bukankah tadi siang aku memberi tahu dia, kenapa tanya lagi? Orang kok curiga terus.

"Kenapa telfonmu nggak aktif?"

Aku meraba tasku, mengambil benda pipih yang kusimpan di sana.

"Ups, sorry. Aku lupa nyalain, setelah meeting tadi," jawabku merasa bersalah.

"Ya udah, yang penting kamu baik-baik saja. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Ini kota besar, banyak orang jahat," ucap Reymond. Suaranya terdengar melunak. Perhatian Reymond seperti ini lah, yang membuatku meleleh, dan sulit berpaling.

"Oh ya, itu apa?" Aku menunjuk bungkusan plastik kresek besar.

"Oh, ini baju aku. Yang di lemari sudah habis semua, tolong kamu cuciin ya? Sekalian setrika."

Dengan entengnya Reymond memintaku mencucikan pakaiannya. Memang aku beberapa kali mencucikan pakaian dia yang tertinggal di kamar mandi. Aku paling nggak suka, ada pakaian kotor tergantung di kamar mandi. Sebel aja lihatnya.

Jangan berfikir ngeres dulu, Reymond pernah numpang mandi. Waktu itu dia mau keluar kota, katanya nggak keburu kalau pulang ke rumah dulu. Dan pakaiannya dia tinggalkan begitu saja.

Tapi itu hanya sepotong dua potong, sekalian aku cuci pas mandi. Tapi kalau sekantong gede gitu, jelas aku mikir seribu kali. Aku sudah capek kerja, masak masih harus nyuciin baju dia? Bajuku sendiri kadang aku bawa ke loundry, kalau lagi nggak sempat nyuci.

"Kenapa nggak dibawa ke loundry aja? Di depan gank situ kan ada loundry," usulku.

"Kamu yang bawa, ya?"

"Kok aku? Yang punya motor kan kamu? Masa iya, aku jalan kaki bawa bungkusan segede itu?"

"Iya, iya. Aku yang bawa, tapi nanti kamu yang bayarin, ya?"

Aku mengernyitkan dahi, menatap Reymond dengan pandangan tak mengerti. Maksud dia apa? Jangan-jangan ucapan Diani benar, Reynald hanya memanfaatkan aku saja.

Kan, aneh, ya? Dia itu kerja, masih tinggal sama orang tua, otomatis pengeluaran dia nggak banyak dong? Nggak perlu bayar kos, makan tinggal makan. Kalaupun di luar, seringnya aku yang traktir. Bensin aku yang beliin, kok loundry aku juga yang bayarin, emang duit dia dikemanain?.

Aku jadi teringat ucapan dia Diani siang tadi.

"Kamu harus berani ambil sikap, jangan nggak enakan gitu. Kalau kamu terus ngalah, nurutin semua kemauannya, dia makin semena-mena."

"Kalau dia mutusin aku gimana?"

"Ya bagus, dong! Stock cowok di muka ini masih banyak, nggak usah takut nggak laku."

"Aku cinta banget sama dia."

"Nah itu, goublok maksimal emang. Kalau dia bener cinta dan sayang sama kamu, dia akan berusaha untuk berubah. Kalau dia kekeh dengan sikapnya, fixs! Dia cuma manfatin kamu."

"Rey, kayaknya kita break dulu aja, deh! Kamu nggak usah menemui aku, nggak usah telfon. Kita masing-masing instropeksi diri, kayaknya hubungan kita sudah nggak sehat lagi," ucapku setenang mungkin, meski dadaku bergemuruh hebat. Takut Rey marah dan justru memutuskan aku.

"Break? Maksud kamu?"

"Kita rehat sebentar, sambil mikir apa hubungan kita layak dipertahankan."

"Kenapa kamu tiba-tiba berubah gini? Pasti ada laki-laki yang mempengaruhi kamu, katakan siapa?" bentak Reymond, tangannya mencengkeram lenganku kuat, hingga aku meringis kesakitan.

"Ng---nggak ada," ucapku ketakutan. Ngeri aku lihat sorot tajam mata Reymond.

"Sakit, lepas Rey," melasku.

Reymond menepis tanganku begitu saja, masih dengan tatapan tajam dia berkata, "Oke, kita break dulu, tapi beri aku alasan!"

"Kamu terlalu posesif, aku merasa tidak nyaman," ucapku pelan.

"Aku melakukannya karena sayang sama kamu," ucap Reymond sendu, membuat pendirianku mulai goyah.

"Ingat! Jangan mudah terbujuk rayuan gombalnya! Laki-laki memang begitu kalau ada maunya. Pokoknya kamu harus tegas! Te-gas!" ucapan Diani kembali terngiang-ngiang di telingaku.

"Kalau kamu sayang aku, ubah sikapmu Rey. Tadi siang aku ditegur bosku, karena telfonmu saat meeting."

"Ngapain bosmu ikut campur urusan pribadi karyawannya? Nggak profesional banget jadi orang."

"Kan, memang aku dibayar untuk bekerja, bukan untuk telfonan."

"Kok, kamu malah membela Bosmu itu? Jangan-jangan---"

"Sudah lah Rey, aku capek. Aku mau istirahat." Aku segera masuk kamar, dan mengunci pintunya rapat, tak mau Rey menerobos masuk.

"Yang, buka, Yang!" Rey mengetuk kasar pintu kamar.

"Yang! Oke, aku akan berubah, tapi kamu jangan marah dong?" melas Rey dari balik pintu, tapi aku tetap tak peduli.

"Yang, aku minta maaf. Kita break, tapi jangan minta putus, ya?" Suara Rey membuatku terenyuh, tapi lagi aku teringat ucapan Diani. "Kamu harus tegas, TE-GAS!"

Rey terus mengetuk pintu, lelah aku diabaikan akhirnya dia pergi.

Hhhh, ternyata punya pacar posesif itu melelahkan. Lelah jiwa raga, apa sebaiknya aku putus saja sama dia? Dia mulai ngawur, masa iya cemburu sama Pak Tema, orang galak gitu.

Bersambung....

Gimana nih enaknya? Putus apa lanjut hubungan mereka? Ditunggu krisannya, ya?

Yuk dukung penulis dengan memberi subscribe dan rate bintang lima. Suport kalian, mood booster bagi Mak'e. Terima kasih.

Related chapters

  • Pacar Toxic   Bab 3

    Pacar Toxic 3Kepalaku terasa pening pagi ini. semalaman mata ini sulit dipejamkan, gara-gara mikirin Reymond. Dini hari aku baru bisa tidur. Kuraba ponselku yang tergelat diatas meja samping tempat tidur. Hah? Hampir jam enam pagi? Aku kesiangan, bisa telat masuk kerja ini. Mana aku belum sholat shubuh, laporan kemarin belum selesai, padahal hari ini harus ditandatangani Pak Bos, biar dananya bisa cair, dan bisa membayar DP pengrajin. "Huh! Semua gara-gara Reynald!" dengkusku kesal. Aku segera bangkit dari tempat tidur, biar pun telat, solat tetap kutunaikan. Ambil wudlu sekalian mandi, usai sholat segera bersiap berangkat kerja. Gegas aku menuju jalan raya, nyegat angkot menuju kantor. "Tumben telat kamu, Luk?" sapa Diani, aku melihat jam yang melingkar di tanganku, jarum menunjuk angka 08:10. Padahal aku berangkat jam 06:30 tadi, kok masih telat? Biasanya diantar Rey berangkat dengan jam yang sama, masih mampir sarapan pula, tapi nggak telat. Untungnya perusahaan ini tidak te

    Last Updated : 2024-09-30
  • Pacar Toxic   Bab 4

    Pacar Toxic 4Pak Bos tetap menemui klien meski wajah babak belur. Kepada mereka, Pak Bos cerita kalau tadi mengalami sedikit kecelakaan. Meeting berjalan lancar, mereka bersepakat menjalin kerja sama. Tentu saja aku merasa lega, insiden tadi tidak berpengaruh terhadap jalannya meeting. Usai meeting kami langsung kembali ke kantor, sepanjang perjalanan Pak Bos sama sekali tidak bicara, sikapnya acuh. Seolah aku ini tidak ada. Takut dan perasaan bersalah semakin mencengkram pikiranku. Bagiku lebih baik dimaki-maki, dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Rasanya aku seperti terpidana mati, yang menunggu eksekusi, tegang sekali. Sampai kantor pun, Pak Bos masih diam seribu bahasa. Mirip emak-emak diselingkuhin suaminya, sumpah. "Kenapa muka kamu kusut begitu?" tanya Diani ketika kami berpapasan di lobi kantor. "Kacau, Di, kacau," ucapku lesu. "Lha itu, kenapa muka bos kita babak belur gitu? Wah, pasti ada yang nggak beres ini, kamu harus cerita," tanya Diani penasaran, saat meli

    Last Updated : 2024-09-30
  • Pacar Toxic   Bab 5

    Pacar Toxic 5Sejak resmi memutuskan hubungan dengan Reymond daku fokus dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak mengalami patah hati, tapi lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu aku tak sempat mikirin Reymond. Mau jalan-jalan ya nggak mungkin, aku kurang tahu daerah sini. Nggak ada temennya juga. Diani sibuk sama pacarnya. Lagipula aku anak rantau, harus ekstra hemat agar bisa nabung. Masa iya habis merantau masih miskin juga? Memang hubungan kami baru setahun jalan, tapi banyak kenangan dan momen yang sudah kami lewati. Dan bukan perkara mudah untuk melupakan semua itu. Apalagi selama tinggal di kota ini, duniaku hanya seputar kantor dan Reymond. Tahu sendiri, di kota ini hanya dia dan Diani yang akrab denganku. Pagi berangkat kerja, diantar Reymond. Di tempat kerja, hampir tiap jam Reymond nelfon nanya aku sedang apa? Makan siang, sama Reymond juga. Pulang kantor pun di jemput Reymond. Reymond lagi, Reymond lagi. Jadi, melupakan Reymond effortnya luar biasa.

    Last Updated : 2024-09-30
  • Pacar Toxic   Bab 6

    Pacar Toxic 6 "Maaf, ini siapa ya?" Tentu aku tidak mau langsung menjawab iya. takut penelfon ternyata sindikat penipu. Jaman sekarang kejahatan makin banyak modusnya. "Saya Tante Rumi, ibunya Rey. Ini bener Mbak Luluk, kan?" tanya suara itu lagi Deg! Ibunya Rey? Ada apa ini? "Iya, Tante, saya Luluk. Maaf ada apa, ya?" tanyaku ragu. "Rey---Mond, Mbak Luluk. Dia ...." ucap Tante Rumi terbata-bata. Membuatku cemas dan menduga-duga. "Reymond kenapa, Tante?" "Sudah dua hari ini dia mengurung diri di kamar, nggak keluar sama sekali. Dipanggil pun nggak nyahut, Tante jadi kepikiran kalau dia melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya," lirih ibunya Reymond. "Mbak Luluk? Mbak Luluk masih di situ, kan?" Tanah Tante Rumi memastikan, karena aku tak merespon ucapannya. "Eh, iya. Tante, Gimana?" jawabku gugup. "Apa kalian sedang berantem? Karena sudah seminggu ini Reynald kayak orang frustasi, nggak mau kerja, nggak mau makan, dan sering marah nggak jelas." Duh aku jadi bingu

    Last Updated : 2024-10-14
  • Pacar Toxic   Bab 7

    Pacar Toxic 7 Setelah bertanya pada pegawai rumah sakit, akhirnya aku menemukan kamar di mana Reymond dirawat. "Mbak Luluk? Masuk sini!" sapa Tante Rumi ramah, tangannya melambai kepada-Ku, kode agar aku mendekat. Dia berdiri di depan kamar inap. "Maaf Tante, baru bisa datang," balasku. "Silahkan duduk!" Tante Rumi menyodorkan kursi plastik ke depanku, untuk kududuki. "Kok sampai masuk rumah sakit Tante? Gimana ceritanya?" tanyaku pelan, karena kulihat Reymond sedang tertidur pulas. "Setelah nelfon kamu, Tante minta bantuan tetangga untuk membobol kunci kamar. Ternyata Reymond ditemukan dalam keadaan pingsan, tangannya ada luka bekas sayatan, rupanya dia mencoba bunuh diri." Tante Rumi menjeda ucapannya. "Reymond memang labil, tempramen. Ini semua karena Tante salah mendidik dia. Sejak kecil dia selalu dimanja, semua keinginannya dituruti. Namanya juga anak laki-laki satu-satunya, bungsu lagi. Reymond tak pernah ditegur, apalagi dimarahi, semua kesalahannya selalu kami ma

    Last Updated : 2024-10-15
  • Pacar Toxic   Bab 8

    Pacar Toxic 8 "Nggak mau, sebelum kamu janji, kita bakal balik lagi," sergahnya. Aduh.... gimana ini? "Rey, turun Rey. Please...." Reymond tetap bergeming, dia bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat. "Nggak! Sebelum kamu janji mau balikan sama aku!" ancamnya. Membuatku makin ketar-ketar dan tidak bisa berfikir jernih lagi. "Jangan....!" teriak kami bersamaan, saat Rey hampir melompat, yang sukses membuat Rey menghentikan aksinya. "Mbak Luluk, Tante mohon?" melas Tante Rumi. Aku jadi nggak tega, melihat tatapan penuh permohonan dari wanita paruh baya itu. Hati yang semula sudah mantap untuk tidak lagi untuk Rey, kini mulai goyah. Apalagi melihat Rey kembali siap melompat. Gimana aku nggak tertekan? "Iya, Mbak. Terima aja! Kasihan Masnya, kalau sampai beneran bunuh diri? Rumah sakit ini bisa kena kasus nanti?" timpal perawat itu. "Mbak, nggak takut dihantui kalau beneran dia mati? Udah, kalian balikan aja. Cuma masalah cinta saja sudah bikin repot banyak o

    Last Updated : 2024-10-16
  • Pacar Toxic   Bab 9

    Pacar Toxic 9 Aku terpaksa menjalani back street dengan Reymond, kali ini bukan karena takut ketahuan orang tua, tapi takut ketahuan Diani dan Pak Bos. Lucu emang. Untungnya Reymond mau menuruti permintaanku, untuk tidak menelfon dijam kerja, dan mengantar jemput aku lagi. Keluar berdua pun, hanya sekirtan kosan. Biar nggak ketahuan. Untuk sementara ini hubungan kami aman. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sejak menjalin hubungan lagi dengan Reymond. Jawabnya hambar, nggak ada rasa. Aku menjalani kisah ini hanya atas dasar kasihan. Yang penting nggak ada drama bunuh diri lagi. "Rey, bangun!" Kuguncang pelan bahu Rey, yang tertidur di kursi teras kosan. "Eh, Yang. Baru pulang?" Rey mengucek mata sambil mengeliat. "Jam berapa ini?" tanyanya lagi. "Jam 7. Kamu sejak kapan di sini?" "Sejak sore tadi, kelamaan nungguin kamu jadi ketiduran." Dia menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya. Ini yang sering membuatku tak tega ninggalin Rey. Usahanya untuk mengambil kembali ha

    Last Updated : 2024-10-17
  • Pacar Toxic   Bab 10

    Pacar Toxic 10"Hai, Yang. Baru pulang, ya?" Hidup lagi capek-capeknya, hati lagi suntuk-suntuknya. Eh, lihat gerandong sudah nongkrong aja di teras kosan. Bikin mood makin ancur aja. Sudah baik dia nggak nongol beberapa hari ini. Hidupku terasa lebih damai, tanpa dia. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Aku bilang sedikit, ya. Nggak berani banyak-banyak, karena mahluk satu itu tempramental. Kalau dia tersinggung, bisa ditampol aku. "Lho, kok ngapain. Ya ngapelin kamu, lah! Ini malam minggu, apa kamu lupa?" Aku menepuk jidat gemas. Karena tekanan pekerjaan, aku sampai lupa hari. Padahal hari ini aku tidak masuk kantor, tadi ke tempat pengrajin lihat proges furniture pesanan Pak Maher. Kenapa aku bisa lupa? "Terus kalau malam minggu kenapa?" tanyaku pura-pura tak paham arah pembicaraannya. Sejak dia pinjam sejuta itu, tiap jalan ke luar selalu aku yang bayar. Jadi, rasanya males kalau harus pergi sama dia. Ujung-ujungnya aku lagi yang modal. "Kamu gimana sih

    Last Updated : 2024-10-18

Latest chapter

  • Pacar Toxic   Bab 46

    Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka

  • Pacar Toxic   Bab 45

    Pacar Toxic 45 Babak baru sebagai Nyonya Tema dimulai. Kami sudah kembali ke Jakarta, dan kini tinggal di rumah Mas Tema. Siap menyambut aktivitas yang beberapa waktu kami tinggalkan, demi menjalani prosesi akad nikah dan resepsi. Walau bukan pesta mewah, nyatanya tetap melelahkan juga. Pagi ini sebagai istri dan ibu sambung, aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Jangan kalian pikir aku yang masak, bukan. Ini semua hasil karya Bu Mini, pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah ini. Aku hanya membantu menyiapkan. "Mau disuapin, Unda.... " rengek Syina, manja. Padahal setiap hari makan sendiri, tapi sejak ada aku dia maunya disuapi. Bukan hanya ketika makan, mandi, tidur, belajar pun minta sama Unda, panggilan sayang Syina untukku. "Katanya sudah gede, kok, minta disuapin, sih?" Bibir Syina mengerucut, tanda dia tak suka dengan ucapanku. "Oke, deh. Bunda suapin, tapi besok makan sendiri ya?" Gadis itu tak menjawab, hanya anggukan yang dia berikan. "Syina makan se

  • Pacar Toxic   Bab 44

    Pacar Toxic 44 Akhirnya hari bahagia itu tiba, aku dan Mas Tema resmi menikah. Akad dan resepsi di gelar di Kudus, kota kelahiranku. Di Jakarta, keluarga suamiku menggelar acara sama sekali. Kata Mas Tema. "Aku ini kan duda, sudah pernah menggelar acara yang sama. Nggak enak aja, ngerepotin orang terus." "Nggak masalah, emang? Kalau mereka merasa nggak dianggap gimana? Terus tersinggung, dan mutusin kontrak kerja sama," tanyaku saat itu. "Ya biarin aja. Belum rejeki berarti," jawabnya santai. "Kenapa, sih? Malu punya istri bukan dari kalangan orang kaya?" kejarku. Aku sempat kepikiran, Mas Tema malu kalau koleganya tahu, bahwa istrinya ini status sosialnya tidak sepadan. Tapi Mas Tema mengelak. Dia bilang memang tak suka pesta, dan hura-hura. Lagipula dia tidak mau ada yang iri, dan sakit hati melihat Mas Tema menggelar pesta pernikahan besar-besaran. "Sayang, kamu nggak tahu di luar sana ada orang yang tidak suka melihat kita bahagia. Namanya orang tidak suka, sakit hati,

  • Pacar Toxic   Bab 43

    Pacar Toxic 43 "Lho, Mas. Kok, nggak ke kantor?" Jelas aku heran, mobil yang disopiri Mas Tema bukannya belok ke kantor, tapi justru melewatinya begitu saja. "Kamu nggak usah ke kantor dulu, Sayang. Ke rumah aja, ya. Belajar ngurus Syina, antar dia sekolah," jawab Mas Tema tanpa menatapku. "Kan, ada Suster Sari, Mas. Biasanya juga dia yang ngurus kebutuhan Syina," sanggahku. "Kamu bakal jadi Ibu sambungnya. Mulai sekarang kamu harus lebih dekat dengan Syina, tahu apa saja kebiasaan dan kegiatannya." Mas Tema masih enggan menatapku. Aku sudah dipertemukan dengan Syina, kami juga sudah menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabkan diri satu sama sama lain. Gadis hampir empat tahun terlihat menggemaskan, mudah akrab dengan orang baru termasuk aku. Aku rasa tak perlu mengorbankan waktu kerja demi mendekati gadis itu. "Mas, perjanjiannya kemarin nggak gitu, deh. Kamu bilang hari ini bisa mulai masuk kantor lagi, kenapa sekarang jadi berubah haluan? Ada apa sih?" Entahlah, aku

  • Pacar Toxic   Bab 42

    Pacar Toxic 42 Pov Pak Tema "Mama sayang, jangan marah-marah terus, dong! Nanti cantiknya ilang, lho!" Kupeluk dan kucium keningnya. Hal yang biasa kulakukan, kalau Mama merajuk. Biasanya sih Mama langsung luluh, tapi sekarang entah kenapa dia malah melengos pergi. Apa artinya Mama marah dan menolak Luluk sebagai calon menantunya? Aku bermaksud mengejar Mama, tapi Papa menahan tanganku. "Sudah, biarkan saja! Kamu kayak nggak kenal Mamamu saja. Ayo kita makan! Nanti mubazir, sudah terlanjur disajikan tamunya malah pada pulang. Ayo, nak Luluk!" Papa memang terdabes, selalu mensikapi segala sesuatu dengan bijak. Beda dengan Mama yang impulsif, dan emosional. Meski begitu aku bersyukur, lahir dari rahimnya. "Oh, ya. Katanya nak Luluk asli kudus? Kudusnya mana? Saya dulu punya teman kuliah, namanya Muhammad Ihsan kalau gak salah. Rumahnya dekat menoro, saya pernah main ke sana," tanya Papa ketika kami sudah melingkari meja makan. "Saya kudusnya Ploso, Om. Dekat RSUD," jawab Lu

  • Pacar Toxic   Bab 41

    Pacar Toxic 41 Pov Tema. "Tema, kamu mau bikin Mama kena serangan jantung atau bagaimana?" tanya Mama setelah memaksaku duduk. Tanpa ba-bi-bu, wanita lima puluh lima tahu itu langsung menyeretku ke ruang makan, begitu aku memperkenalkan Luluk sebagai calon istri. Dan sekarang aku harus siap mendapat omelan panjang kali lebar kali tinggi, dari wanita yang melahirkanku ini. "Mama ini ngomong apa, sih? Mana ada Tema punya maksud jahat begitu? Memang salah Tema apa, sampai bikin Mama jantungan?" jawabku santai. Mama lagi tegang gitu, kalau ikut-ikutan ngegas, bisa terjadi huru-hara nanti. Mama kalau lagi emosi, pantang ditandingi. Dari dulu sampai sekarang, dia tidak pernah berubah. Kalau sudah marah, suka main tangan. Tak peduli usia anaknya ini sudah kepala tiga, tapi diperlakukan seperti anak kecil. Jewer telinga, cubit pantat atau paha, biasa Mama lakukan kalau lagi jengkel. Bahkan rambutku pernah dijambaknya, waktu menolak perintahnya. Untung nggak ada orang, coba kalau ada

  • Pacar Toxic   Bab 40

    Pacar Toxic 40 Setelah melalui perdebatan panjang, dan drama eyel-eyelan. Akhirnya aku memutuskan mengikuti rencana Pak Tema, untuk menemui orang tuaku. Tak lupa aku memberinya syarat. "Oke, saya mau jadi istrinya Pak Tema. Tapi dengan satu syarat, kita tinggal di kampung halaman saya, bukan di Jakarta. Sanggup?" Terpaksa aku mengajukan syarat yang sulit Pak Tema kabulkan. Bukan untuk menolak lamarannya, tapi karena kota metropolitan itu meninggalkan trauma di dada. Pak Tema menjentik keningku. "Sakit, Pak! Seneng banget main kasar! Belum jadi istri saja sudah dianiaya, gimana kalau sudah jadi istri?" kesalku tak terima. "Habisnya kamu ngeselin! Ngasih syarat nggak masuk akal, nggak sekalian minta dibuatin candi dalam satu malam? Yang bener aja, dong! Emang kamu mau punya suami pengangguran?" balasnya ketus. "Ya sudah kalau nggak mau, kita nggak usah nikah! Karena saya nggak mau kembali ke Jakarta! Trauma, saya!" "Ck, lebai! Masih takut sama Reymond?" Aku mengangguk cepat.

  • Pacar Toxic   Bab 39

    Pacar Toxic 39 Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran Pak Tema, ngajak nikah kayak nagih hutang saja. Harus dibayar saat itu juga. Ini soal masa depan, butuh banyak pertimbangan, dan pemikiran yang matang. Bukan seperti beli barang, lihat, suka, bayar dan langsung angkut pulang. Oke lah, dia itu sempurna sebagai pria. Good looking dan good rekening, idaman semua wanita. Orangnya care banget, aku tahu itu. Tapi untuk menjatuhkan nggak gegabah begini. Ah, pusing aku mikirin duda satu itu. "Mbak Luluk, bangun, Mbak! Sudah pagi, Mbak!" Indria menggoyang pelan bahuku. Meski males setengah mati, aku tetap memaksa membuka mata. "Jam berapa sekarang, In?" tanyaku malas. "Setengah enam, Mbak. Kita kesiangan ini! Mbak Luluk, sih! Pulangnya malem banget, jadi kesiangan, kan!" omel gadis remaja itu. Semalam aku pulang sekitar jam sebelas-an, gara-gara Pak Tema yang nggak mau ngantar pulang kalau aku belum menerima lamarannya. "Kita bakal di sini semalaman, kalau kamu gak bilang, iy

  • Pacar Toxic   Bab 38

    Pacar Toxic 38 Usai dengan makanannya, Pak Tema nampak merogoh sakunya. Ambil dompet untuk bayar makanan, begitu pikirku. Namun aku terkejut, ketika dia menyodorkan kotak beludru di depanku. Aku menatap kotak warna merah marun itu, kemudian beralih menatap Pak Tema. "Ini apa, Pak?" tanyaku bingung. Tanpa dijelaskan pun aku tahu, kotak itu berisi cincin. Tapi aku ingin tahu untuk apa dia menyodorkan benda itu padaku? Dia mau minta bantuanku untuk melamar Marisa, atau bagaimana. "Cincin, Luk. Kamu pikir apa?" jawabnya menyebalkan. "Iya, saya tahu isinya cincin. Tapi buat apa? Bapak mau saya jualin cincin itu?" Pak Tema berdecak kesal, mendengar jawaban konyolku. "Kamu tahu nggak, sih? Apa artinya laki-laki ngasih cincin pada wanita?" Bukannya menjawab, dia malah ngasih teka-teki. "Melamar? Ngajak nikah?" jawabku ragu-ragu, takut pertanyaannya hanya jebakan. Kalau di novel romans yang sering aku baca, atau drama Korea yang pernah ku tonton. Cowok ngasih cincin ke cewek y

DMCA.com Protection Status