Pacar Toxic 2
Diani menghentikan langkah, lalu menatapku tajam. "Aku hanya kasihan sama kamu, kalian baru pacaran, tapi dia sudah ngatur-ngatur gitu. Gimana kalau kalian menikah? Bisa tersiksa hidup kamu. Kalau aku punya pacar kek gitu, sudah kuputusin dari dulu-dulu." Ucapan Diani ada benernya juga, Reymond memang berlebihan. Aku sendiri kadang merasa tidak nyaman, dengan sikap posesifnya itu. Tapi tak pernah terlintas dalam fikiranku untuk berpisah. Gimana lagi? Aku sudah terlanjur sayang. "Putus? Masa putus sih, Di? Dia kayak gitu karena sayang banget sama aku. Dia itu baik banget," sanggahku. "Bela teruuus ...! Susah emang, menasehati bucin kayak kamu. Bener kata orang bijak, orang paling susah dinasehi itu ada dua, orang bodoh dan gila, kayak kamu!" "Tapi aku cinta sama dia, Di." "Aku nggak ngerti sama jalan fikiran kamu, kalian itu baru pacaran lho? Masa sudah segitunya, apa-apa harus laporan, emang dia siapa? Bapakmu? Bahkan bapakmu sekalipun nggak se-posesif itu, kan? Apa sih, yang kamu dapat dari hubungan toxic kayak gitu? Dia sudah memberi nafkah? Hingga dia berhak ngatur-ngatur kamu?" Aku menggeleng. "Oh, biar ditraktir makan setiap hari, atau dapat tumpangan gratisan? Kemana-mana ada yang nganterin, gitu? Ojol juga bisa, Luk. Atau kamu jenis cewek matre?" lanjut Diani. "Ditraktir gimana? Orang kalau makan bareng, seringnya aku yang bayarin, bensin pun aku yang beliin." ucapku tak Terima, dikatain matre, sama Diani. Diani mlongo mendengar jawabanku, dia menatapku tajam. "Hah?! Jadi selama ini kamu yang modal? Ck... ck... ck, Luluk.... Luluk.... Aku nggak habis pikir aku, sama sekali nggak nyangka kamu se-guoblok itu!" sinis Diani, lalu melanjutkan langkahnya. Masa sih aku goublok? Yang namanya hubungan itu kan saling bantu, bahu membahu. Saling memberi dan menerima, begitu menurut fikiranku selama ini. "Di, kamu sadis banget sih? Ngatain aku guoblok," protesku. "Nggak cuma guoblok, tapi pake maksimal. Guoblok nggak ketulungan, otak encer, wajah cantik, bodi oke. Mau-maunya dimanfaatin cowok. Kalau aku mending jadi jomblo," ucap Diani jengkel. Seburuk itukah aku? Ucapan Diani berhasil membuat moodku berantakan, hingga kerjaku nggak fokus. Padahal Pak Maher itu orangnya teliti banget, kalau salah sedikit saja, bisa panjang urusannya. ***** Akhirnya pekerjaanku selesai juga, meski molor dari jadwal waktunya. Mandi lalu tidur adalah hal paling kuinginkan saat ini. Untung Diani mau memberi tumpangan, hingga aku tak perlu naik angkot. Biar kalau ngomong suka bar-bar tanpa saringan, Diani itu baik. Di depan kamar kosku Reymond sudah menunggu dengan wajah tak bersahabat. "Dari mana kamu?" tanya Reynald dingin. "Kerja." "Aku tadi ke kantormu, satpam bilang kamu sudah pulang dari siang. Mampir kemana dulu?" "Kan aku sudah bilang, aku lagi di lokasi proyek," jawabku tak suka. Bukankah tadi siang aku memberi tahu dia, kenapa tanya lagi? Orang kok curiga terus. "Kenapa telfonmu nggak aktif?" Aku meraba tasku, mengambil benda pipih yang kusimpan di sana. "Ups, sorry. Aku lupa nyalain, setelah meeting tadi," jawabku merasa bersalah. "Ya udah, yang penting kamu baik-baik saja. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Ini kota besar, banyak orang jahat," ucap Reymond. Suaranya terdengar melunak. Perhatian Reymond seperti ini lah, yang membuatku meleleh, dan sulit berpaling. "Oh ya, itu apa?" Aku menunjuk bungkusan plastik kresek besar. "Oh, ini baju aku. Yang di lemari sudah habis semua, tolong kamu cuciin ya? Sekalian setrika." Dengan entengnya Reymond memintaku mencucikan pakaiannya. Memang aku beberapa kali mencucikan pakaian dia yang tertinggal di kamar mandi. Aku paling nggak suka, ada pakaian kotor tergantung di kamar mandi. Sebel aja lihatnya. Jangan berfikir ngeres dulu, Reymond pernah numpang mandi. Waktu itu dia mau keluar kota, katanya nggak keburu kalau pulang ke rumah dulu. Dan pakaiannya dia tinggalkan begitu saja. Tapi itu hanya sepotong dua potong, sekalian aku cuci pas mandi. Tapi kalau sekantong gede gitu, jelas aku mikir seribu kali. Aku sudah capek kerja, masak masih harus nyuciin baju dia? Bajuku sendiri kadang aku bawa ke loundry, kalau lagi nggak sempat nyuci. "Kenapa nggak dibawa ke loundry aja? Di depan gank situ kan ada loundry," usulku. "Kamu yang bawa, ya?" "Kok aku? Yang punya motor kan kamu? Masa iya, aku jalan kaki bawa bungkusan segede itu?" "Iya, iya. Aku yang bawa, tapi nanti kamu yang bayarin, ya?" Aku mengernyitkan dahi, menatap Reymond dengan pandangan tak mengerti. Maksud dia apa? Jangan-jangan ucapan Diani benar, Reynald hanya memanfaatkan aku saja. Kan, aneh, ya? Dia itu kerja, masih tinggal sama orang tua, otomatis pengeluaran dia nggak banyak dong? Nggak perlu bayar kos, makan tinggal makan. Kalaupun di luar, seringnya aku yang traktir. Bensin aku yang beliin, kok loundry aku juga yang bayarin, emang duit dia dikemanain?. Aku jadi teringat ucapan dia Diani siang tadi. "Kamu harus berani ambil sikap, jangan nggak enakan gitu. Kalau kamu terus ngalah, nurutin semua kemauannya, dia makin semena-mena." "Kalau dia mutusin aku gimana?" "Ya bagus, dong! Stock cowok di muka ini masih banyak, nggak usah takut nggak laku." "Aku cinta banget sama dia." "Nah itu, goublok maksimal emang. Kalau dia bener cinta dan sayang sama kamu, dia akan berusaha untuk berubah. Kalau dia kekeh dengan sikapnya, fixs! Dia cuma manfatin kamu." "Rey, kayaknya kita break dulu aja, deh! Kamu nggak usah menemui aku, nggak usah telfon. Kita masing-masing instropeksi diri, kayaknya hubungan kita sudah nggak sehat lagi," ucapku setenang mungkin, meski dadaku bergemuruh hebat. Takut Rey marah dan justru memutuskan aku. "Break? Maksud kamu?" "Kita rehat sebentar, sambil mikir apa hubungan kita layak dipertahankan." "Kenapa kamu tiba-tiba berubah gini? Pasti ada laki-laki yang mempengaruhi kamu, katakan siapa?" bentak Reymond, tangannya mencengkeram lenganku kuat, hingga aku meringis kesakitan. "Ng---nggak ada," ucapku ketakutan. Ngeri aku lihat sorot tajam mata Reymond. "Sakit, lepas Rey," melasku. Reymond menepis tanganku begitu saja, masih dengan tatapan tajam dia berkata, "Oke, kita break dulu, tapi beri aku alasan!" "Kamu terlalu posesif, aku merasa tidak nyaman," ucapku pelan. "Aku melakukannya karena sayang sama kamu," ucap Reymond sendu, membuat pendirianku mulai goyah. "Ingat! Jangan mudah terbujuk rayuan gombalnya! Laki-laki memang begitu kalau ada maunya. Pokoknya kamu harus tegas! Te-gas!" ucapan Diani kembali terngiang-ngiang di telingaku. "Kalau kamu sayang aku, ubah sikapmu Rey. Tadi siang aku ditegur bosku, karena telfonmu saat meeting." "Ngapain bosmu ikut campur urusan pribadi karyawannya? Nggak profesional banget jadi orang." "Kan, memang aku dibayar untuk bekerja, bukan untuk telfonan." "Kok, kamu malah membela Bosmu itu? Jangan-jangan---" "Sudah lah Rey, aku capek. Aku mau istirahat." Aku segera masuk kamar, dan mengunci pintunya rapat, tak mau Rey menerobos masuk. "Yang, buka, Yang!" Rey mengetuk kasar pintu kamar. "Yang! Oke, aku akan berubah, tapi kamu jangan marah dong?" melas Rey dari balik pintu, tapi aku tetap tak peduli. "Yang, aku minta maaf. Kita break, tapi jangan minta putus, ya?" Suara Rey membuatku terenyuh, tapi lagi aku teringat ucapan Diani. "Kamu harus tegas, TE-GAS!" Rey terus mengetuk pintu, lelah aku diabaikan akhirnya dia pergi. Hhhh, ternyata punya pacar posesif itu melelahkan. Lelah jiwa raga, apa sebaiknya aku putus saja sama dia? Dia mulai ngawur, masa iya cemburu sama Pak Tema, orang galak gitu. Bersambung.... Gimana nih enaknya? Putus apa lanjut hubungan mereka? Ditunggu krisannya, ya? Yuk dukung penulis dengan memberi subscribe dan rate bintang lima. Suport kalian, mood booster bagi Mak'e. Terima kasih.Pacar Toxic 3Kepalaku terasa pening pagi ini. semalaman mata ini sulit dipejamkan, gara-gara mikirin Reymond. Dini hari aku baru bisa tidur. Kuraba ponselku yang tergelat diatas meja samping tempat tidur. Hah? Hampir jam enam pagi? Aku kesiangan, bisa telat masuk kerja ini. Mana aku belum sholat shubuh, laporan kemarin belum selesai, padahal hari ini harus ditandatangani Pak Bos, biar dananya bisa cair, dan bisa membayar DP pengrajin. "Huh! Semua gara-gara Reynald!" dengkusku kesal. Aku segera bangkit dari tempat tidur, biar pun telat, solat tetap kutunaikan. Ambil wudlu sekalian mandi, usai sholat segera bersiap berangkat kerja. Gegas aku menuju jalan raya, nyegat angkot menuju kantor. "Tumben telat kamu, Luk?" sapa Diani, aku melihat jam yang melingkar di tanganku, jarum menunjuk angka 08:10. Padahal aku berangkat jam 06:30 tadi, kok masih telat? Biasanya diantar Rey berangkat dengan jam yang sama, masih mampir sarapan pula, tapi nggak telat. Untungnya perusahaan ini tidak te
Pacar Toxic 4Pak Bos tetap menemui klien meski wajah babak belur. Kepada mereka, Pak Bos cerita kalau tadi mengalami sedikit kecelakaan. Meeting berjalan lancar, mereka bersepakat menjalin kerja sama. Tentu saja aku merasa lega, insiden tadi tidak berpengaruh terhadap jalannya meeting. Usai meeting kami langsung kembali ke kantor, sepanjang perjalanan Pak Bos sama sekali tidak bicara, sikapnya acuh. Seolah aku ini tidak ada. Takut dan perasaan bersalah semakin mencengkram pikiranku. Bagiku lebih baik dimaki-maki, dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Rasanya aku seperti terpidana mati, yang menunggu eksekusi, tegang sekali. Sampai kantor pun, Pak Bos masih diam seribu bahasa. Mirip emak-emak diselingkuhin suaminya, sumpah. "Kenapa muka kamu kusut begitu?" tanya Diani ketika kami berpapasan di lobi kantor. "Kacau, Di, kacau," ucapku lesu. "Lha itu, kenapa muka bos kita babak belur gitu? Wah, pasti ada yang nggak beres ini, kamu harus cerita," tanya Diani penasaran, saat meli
Pacar Toxic 5Sejak resmi memutuskan hubungan dengan Reymond daku fokus dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak mengalami patah hati, tapi lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu aku tak sempat mikirin Reymond. Mau jalan-jalan ya nggak mungkin, aku kurang tahu daerah sini. Nggak ada temennya juga. Diani sibuk sama pacarnya. Lagipula aku anak rantau, harus ekstra hemat agar bisa nabung. Masa iya habis merantau masih miskin juga? Memang hubungan kami baru setahun jalan, tapi banyak kenangan dan momen yang sudah kami lewati. Dan bukan perkara mudah untuk melupakan semua itu. Apalagi selama tinggal di kota ini, duniaku hanya seputar kantor dan Reymond. Tahu sendiri, di kota ini hanya dia dan Diani yang akrab denganku. Pagi berangkat kerja, diantar Reymond. Di tempat kerja, hampir tiap jam Reymond nelfon nanya aku sedang apa? Makan siang, sama Reymond juga. Pulang kantor pun di jemput Reymond. Reymond lagi, Reymond lagi. Jadi, melupakan Reymond effortnya luar biasa.
Pacar Toxic 6 "Maaf, ini siapa ya?" Tentu aku tidak mau langsung menjawab iya. takut penelfon ternyata sindikat penipu. Jaman sekarang kejahatan makin banyak modusnya. "Saya Tante Rumi, ibunya Rey. Ini bener Mbak Luluk, kan?" tanya suara itu lagi Deg! Ibunya Rey? Ada apa ini? "Iya, Tante, saya Luluk. Maaf ada apa, ya?" tanyaku ragu. "Rey---Mond, Mbak Luluk. Dia ...." ucap Tante Rumi terbata-bata. Membuatku cemas dan menduga-duga. "Reymond kenapa, Tante?" "Sudah dua hari ini dia mengurung diri di kamar, nggak keluar sama sekali. Dipanggil pun nggak nyahut, Tante jadi kepikiran kalau dia melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya," lirih ibunya Reymond. "Mbak Luluk? Mbak Luluk masih di situ, kan?" Tanah Tante Rumi memastikan, karena aku tak merespon ucapannya. "Eh, iya. Tante, Gimana?" jawabku gugup. "Apa kalian sedang berantem? Karena sudah seminggu ini Reynald kayak orang frustasi, nggak mau kerja, nggak mau makan, dan sering marah nggak jelas." Duh aku jadi bingu
Pacar Toxic 7 Setelah bertanya pada pegawai rumah sakit, akhirnya aku menemukan kamar di mana Reymond dirawat. "Mbak Luluk? Masuk sini!" sapa Tante Rumi ramah, tangannya melambai kepada-Ku, kode agar aku mendekat. Dia berdiri di depan kamar inap. "Maaf Tante, baru bisa datang," balasku. "Silahkan duduk!" Tante Rumi menyodorkan kursi plastik ke depanku, untuk kududuki. "Kok sampai masuk rumah sakit Tante? Gimana ceritanya?" tanyaku pelan, karena kulihat Reymond sedang tertidur pulas. "Setelah nelfon kamu, Tante minta bantuan tetangga untuk membobol kunci kamar. Ternyata Reymond ditemukan dalam keadaan pingsan, tangannya ada luka bekas sayatan, rupanya dia mencoba bunuh diri." Tante Rumi menjeda ucapannya. "Reymond memang labil, tempramen. Ini semua karena Tante salah mendidik dia. Sejak kecil dia selalu dimanja, semua keinginannya dituruti. Namanya juga anak laki-laki satu-satunya, bungsu lagi. Reymond tak pernah ditegur, apalagi dimarahi, semua kesalahannya selalu kami ma
Pacar Toxic 8 "Nggak mau, sebelum kamu janji, kita bakal balik lagi," sergahnya. Aduh.... gimana ini? "Rey, turun Rey. Please...." Reymond tetap bergeming, dia bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat. "Nggak! Sebelum kamu janji mau balikan sama aku!" ancamnya. Membuatku makin ketar-ketar dan tidak bisa berfikir jernih lagi. "Jangan....!" teriak kami bersamaan, saat Rey hampir melompat, yang sukses membuat Rey menghentikan aksinya. "Mbak Luluk, Tante mohon?" melas Tante Rumi. Aku jadi nggak tega, melihat tatapan penuh permohonan dari wanita paruh baya itu. Hati yang semula sudah mantap untuk tidak lagi untuk Rey, kini mulai goyah. Apalagi melihat Rey kembali siap melompat. Gimana aku nggak tertekan? "Iya, Mbak. Terima aja! Kasihan Masnya, kalau sampai beneran bunuh diri? Rumah sakit ini bisa kena kasus nanti?" timpal perawat itu. "Mbak, nggak takut dihantui kalau beneran dia mati? Udah, kalian balikan aja. Cuma masalah cinta saja sudah bikin repot banyak o
Pacar Toxic 9 Aku terpaksa menjalani back street dengan Reymond, kali ini bukan karena takut ketahuan orang tua, tapi takut ketahuan Diani dan Pak Bos. Lucu emang. Untungnya Reymond mau menuruti permintaanku, untuk tidak menelfon dijam kerja, dan mengantar jemput aku lagi. Keluar berdua pun, hanya sekirtan kosan. Biar nggak ketahuan. Untuk sementara ini hubungan kami aman. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sejak menjalin hubungan lagi dengan Reymond. Jawabnya hambar, nggak ada rasa. Aku menjalani kisah ini hanya atas dasar kasihan. Yang penting nggak ada drama bunuh diri lagi. "Rey, bangun!" Kuguncang pelan bahu Rey, yang tertidur di kursi teras kosan. "Eh, Yang. Baru pulang?" Rey mengucek mata sambil mengeliat. "Jam berapa ini?" tanyanya lagi. "Jam 7. Kamu sejak kapan di sini?" "Sejak sore tadi, kelamaan nungguin kamu jadi ketiduran." Dia menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya. Ini yang sering membuatku tak tega ninggalin Rey. Usahanya untuk mengambil kembali ha
Pacar Toxic 10"Hai, Yang. Baru pulang, ya?" Hidup lagi capek-capeknya, hati lagi suntuk-suntuknya. Eh, lihat gerandong sudah nongkrong aja di teras kosan. Bikin mood makin ancur aja. Sudah baik dia nggak nongol beberapa hari ini. Hidupku terasa lebih damai, tanpa dia. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Aku bilang sedikit, ya. Nggak berani banyak-banyak, karena mahluk satu itu tempramental. Kalau dia tersinggung, bisa ditampol aku. "Lho, kok ngapain. Ya ngapelin kamu, lah! Ini malam minggu, apa kamu lupa?" Aku menepuk jidat gemas. Karena tekanan pekerjaan, aku sampai lupa hari. Padahal hari ini aku tidak masuk kantor, tadi ke tempat pengrajin lihat proges furniture pesanan Pak Maher. Kenapa aku bisa lupa? "Terus kalau malam minggu kenapa?" tanyaku pura-pura tak paham arah pembicaraannya. Sejak dia pinjam sejuta itu, tiap jalan ke luar selalu aku yang bayar. Jadi, rasanya males kalau harus pergi sama dia. Ujung-ujungnya aku lagi yang modal. "Kamu gimana sih