Pacar Toxic 10"Hai, Yang. Baru pulang, ya?" Hidup lagi capek-capeknya, hati lagi suntuk-suntuknya. Eh, lihat gerandong sudah nongkrong aja di teras kosan. Bikin mood makin ancur aja. Sudah baik dia nggak nongol beberapa hari ini. Hidupku terasa lebih damai, tanpa dia. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Aku bilang sedikit, ya. Nggak berani banyak-banyak, karena mahluk satu itu tempramental. Kalau dia tersinggung, bisa ditampol aku. "Lho, kok ngapain. Ya ngapelin kamu, lah! Ini malam minggu, apa kamu lupa?" Aku menepuk jidat gemas. Karena tekanan pekerjaan, aku sampai lupa hari. Padahal hari ini aku tidak masuk kantor, tadi ke tempat pengrajin lihat proges furniture pesanan Pak Maher. Kenapa aku bisa lupa? "Terus kalau malam minggu kenapa?" tanyaku pura-pura tak paham arah pembicaraannya. Sejak dia pinjam sejuta itu, tiap jalan ke luar selalu aku yang bayar. Jadi, rasanya males kalau harus pergi sama dia. Ujung-ujungnya aku lagi yang modal. "Kamu gimana sih
Pacar Toxic 11 Kalau diminta nagih ke Raymond, aku angkat tangan. Uangku yang sejuta saja, aku nggak berani nagih. "Tolong hubungi saya, kalau Reymond datang ke kosan anda," ucap Kevin kemudian. Hah! Menghubungi Kevin pas Raymond ke kosan? Gak bahaya, tah? Duh! Tiba-tiba aku terserang sakit kepala. Anak itu banyak sekali masalahnya. Sudahlah emosian, tukang ngutang, malas kerja pula. Habis ini apalagi? Aku hanya pacar, apapun yang dia lakukan diluar sana, aku tidak tahu. Aku bukan ibu atau pengasuhnya, yang harus mengawasi dia sepanjang waktu. Kalau tiba-tiba ada yang nagih utang kayak gini, aku jadi stres sendiri. Aku ini nggak tahu apa-apa. Lagian, buat apa sih semua uang itu? Selama menjalin hubungan dengan aku juga, aku yang keluar duit. Akhir-akhir ini aja dia mau modal. Dan satu lagi pertanyaanku, kalau dia sudah tidak kerja di perusahaan ekspedisi itu, dia dapat duit dari mana buat, bawain aku makanan? Minta ibunya? Tau-ah, pusing pala berbie. "Aduh Mas, maaf saya nggak
Pacar Toxic 12 Setelah berfikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Karimun saja. Di sini keadaannya sudah tidak kondusif lagi. Menjalin hubungan setengah hati dengan Reymond, bukan hal yang menyenangkan untuk dijalani. Apalagi akhir-akhir ini banyak masalah yang membelit cowok itu, dari hutang Pinjol sampai penggelapan uang kantor. Kalau terus bertahan di sini, lama-lama aku terseret dan aku tidak mau terjadi. Raymond bahkan pernah berkelahi dengan Pak Tema, gara-gara aku. Yang kutakutkan, kalau aku masih terlihat berdua dengan cowok itu dan Pak Tema melihat, lalu dipecat. Kan, aku yang rugi sendiri. Mencari pekerjaan yang sesuai dengan background pendidikan dan pasionku, bukan perkara mudah. Aku sampai rela meninggalkan kampung halaman, dan jauh dari keluarga hanya demi mengejar cita-citaku ini. "Bapak Ibu mendukung apapun keputusan yang kamu ambil, selama itu untuk kemajuan karir kamu," ucap Ibu, ketika kusampaikan niatku pindah ke Karimun Jawa. Lega rasanya, ked
Pacar Toxic 13Aku sedang menekuri angka yang tertera di layar laptop, ketika tiba-tiba ponselku kembali berbunyi nyaring. Yang membuatku enggan mengangkat, nomor asing yang terpampang di layarnya. Meski ragu, akhirnya aku angkat juga. Takutnya dari keluargaku di Kudus, dan penting. "Selamat siang, dengan saudari Luluk Habibah?" tanya suara diseberang sana. Mendengar suara itu, aku mulai curiga. "Iya, saya sendiri. Maaf saya bicara dengan siapa?" Aku terbiasa bicara dengan bahasa formal, kalau bicara dengan orang asing. "Saya Candra, dari jasa pinjaman online--" belum sempat orang itu melanjutkan ucapannya, aku langsung memotongnya. "Maaf, saya tidak pernah meminjam uang pada lembaga keuangan manapun. Jadi saya mohon jangan menelfon lagi, karena saya merasa sangat terganggu," tegasku, lalu menutup panggilan secara sepihak. Dan langsung memblokir nomor itu, biar tidak bisa menelfonku lagi. Bener dugaanku, yang nelfon Pinjol. Pasti mau nagih utangnya Reymond. Memang si*alan itu c
Pacar Toxic 14 Saking semangatnya bekerja, karena ingin menyelesaikan sisa tugas yang ada. Aku sampai melewatkan jam makan siang. Jam 3 sore perutku sudah melilit, cacing di dalamnya meronta menuntut haknya. Karena tak ada lagi pekerjaan, aku memutuskan pulang. Rencananya mau makan di warung bakso dekat kosan. Tapi ketika sampai di lobi kantor, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok yang sangat ingin kuhindari. "Hai, Yang. Pulang, yuk!" Mati, aku. Aku menoleh kanan kiri, berharap ada orang yang bisa dimintai tolong. Tapi nihil, kantor sepi. Entah kemana Mbak Rini yang biasa standby di lobby? Berharap pada Diani, pun percuma. Dia ada meeting dengan klien. Kepalang tanggung, Reymond sudah terlanjur melihatku. Mau kabur juga percuma, nanti malah terjadi huru-hara. Mana dia langsung menghampiri dan menggandeng tanganku, kemudian membawaku keluar lobi. Aku jadi macam kerbau dicucuk hidungnya. "Motormu mana, Rey?" tanyaku heran, etika dia melewatkan parkiran begitu saja, dan la
Pacar Toxic 15 "Lho, Luk. Sejak kapan kamu di sini?" Diani nampak terkejut melihatku duduk manis di teras rumahnya. Dari rumah makan tadi aku langsung meluncur ke rumah Diani, mau curhat dan minta bantuannya. Masalah Reymond ini tidak bisa dianggap sepele, aku butuh masukan untuk mencari jalan keluar, agar terbebas dari hubungan tak sehat ini. Tak mungkin aku cerita sama orang tuaku, takut mereka kepikiran. "Sejak pulang kantor tadi, Di." Diani melirik jam tangannya. "Berarti sudah lumayan lama, ya? Sudah ketemu Mama, belum?" Tante Mira, mamanya Diani orangnya ramah banget, tutur bahasanya lembut. Bukan macam Diani yang bar-bar, dan songong kalau ngomong. Kadang kupikir, Diani itu anak pungut, bukan anak kandung. Sifatnya bertolak belakang dengan mamanya. Tadi kami sempat ngobrol sebentar, tapi beliau masuk lagi karena ada urusan. Dan taka lama kemudian datang Diani, yang baru pulang kantor. "Sudah. Nih, udah dapat minum." Aku mengangkat gelas berisi es teh, yang isinya ti
Pacar Toxic 16 "Bismillahirrahmanirrahim.... " Setelah beberapa saat menguatkan hati dan mental, aku beranikan diri menghadap Pak Tema, atasanku. Bukan tanpa alasan aku lebih seperti akan bertemu malaikat Malik, penjaga neraka. Dibanding ketemu atasan. Beberapa waktu lalu, pernah terjadi perkelahian sengit antara Pak Tema dan Reymond gara-gara aku. Sejak itu Pak Bos seperti mendiamkanku, tak pernah menyapa meski berpapasan. Sepertinya beliau masih marah padaku. Wajar kalau rasa takut mencengkeram begitu kuat di hatiku, ketika harus menemui beliau. "Silahkan masuk!" Suara bariton itu terdengar begitu tegas menyahut, setelah kuketuk pintu. "Assalamu'alaikum, Pak. Selamat siang," sapaku sopan, seraya menutup kembali pintu. Pak Tema yang tengah sibuk dengan laptopnya itu mendongak. "Waalaikumsalam," Pak Tema menatapku, sejenak tatapan kami terkunci. Namun sedetik kemudian dia kembali menatap laptopnya. "Ada perlu apa?" tanyanya dingin, tanpa menatapku. Keberanian yang tadi be
Pacar Toxic 17 Tak ingin membuat Pak Tema menunggu, aku berlari kecil menuju tempat parkir yang sore ini nampak sepi. Entah kemana Pak Sapri? Pria paruh baya itu tak terlihat standby di depan, padahal biasanya dia mengatur keluar masuknya kendaraan. Hanya ada beberapa motor dan beberapa mobil yang salah salah satunya milik Pak Tema. "Yang!" Freeze. Aku membeku seketika mendengar suara familiar itu. Cowok yang beberapa bulan terakhir ini jadi pacarku itu, kini sudah berdiri di depanku. Penampilan terlihat sedikit berantakan, tapi terlihat lebih baik dibanding kemarin sore. "Rey----mond, kamu ma--mau apa?" tanyaku gemetaran. Kejadian kemarin sore kembali berkelebat, mencengkram hati dalam ketakutan. "Kok, mau apa? Ya mau jemput pacarku, lah, Yang. Pulang, yuk!" sahutnya enteng. Aku menggeleng tegas. Setelah kejadian kemarin sore, mana mau aku diantar dia pulang. Yang ada nanti kena palak! Apalagi yang mau dia rampas dariku? Reymond mendekat padaku, dia berusaha meraih tan
Pacar Toxic 51 Pov Tema "Kalau Mama tidak melarang Luluk makan rujak, pasti dia tidak seperti itu. Dia ngejar tukang rujak, pasti karena pengen banget," sesal Mama. Sejak datang Mama terus saja menangis, melontarkan semua penyesalan, atas sikapnya yang terlalu protektif terhadap Luluk, soal makanan. Mama orang yang paling merasa bersalah. "Namanya ngidam, kan, memang susah ditahan. Orang yang mau bukan dia, tapi bayinya. Mama juga pernah merasakan ngidam, tahu rasanya kalau lagi pengen sesuatu itu kayak apa. Harusnya Mama menuruti Luluk, bukan malah melarang dia makan makanan yang dia inginkan. Jadi tersiksa kan, dia. Terus ngejar tukang rujak, sampai ninggalin kantor," lanjut Mama. "Nggak ada yang salah, Ma. Semua yang terjadi sudah jadi kehendak-Nya. Kita doakan saja, semoga dokter bisa menyelamatkan anak dan istriku." Aku hampir tak bisa menahan tangis ketika berkata. Bayangan Luluk tengah bertaruh nyawa di meja operasi, membayang di pelupuk mata. Luluk dalam keadaan tida
Pacar Toxic 50 Pov Tema "Nyari Luluk, Mas?" tanya Diani ketika aku mendatangi ruangannya. Saat tiba di kantor, Luluk pamit ke ruangan Diani. Kangen katanya. Tentu saja aku tidak melarang. Dua sahabat itu sudah lama tidak bertatap muka, biarlah kangen-kangenan. Setelah Luluk melahirkan nanti, momen seperti itu akan sulit mereka temukan. Luluk akan sibuk dengan anak kami, apalagi kalau kemudian Diani menikah. Makin susah mereka buat ketemuan. Biarlah mereka menikmati kebersamaan ini. Begitu pikirku. Sementara Luluk melepas kangen dengan Diani, aku memeriksa beberapa berkas sebelum ditandatangani, dan menerima laporan secara online dari beberapa proyek yang masih dalam proses pengerjaan. Setelah selesai, aku menyusul Luluk. Aku sudah janji akan mengantarnya membeli perlengkapan anak kami. Sudah mepet waktu melahirkan. Sudah lama juga kami tidak pernah keluar berdua. Anggap saja kami pacaran lagi, sebelum disibukkan dengan kehadiran si kecil. "Tadi dia kesini, kan?" Agak aneh, ti
Pacar Toxic 49 "Gue nggak mau ikut campur, kalau sampai bos ngamuk. Yang lo lakuin ini bahaya tau, nggak? Kita harusnya menghindari masalah, biar nggak berurusan dengan polisi. Eh, elu malah cari gara-gara." "Gue cuma memanfaatkan kesempatan yang ada, Bro. Santai dikit, lah!" "Elo memang susah dibilangin! Masuk lagi tau rasa, lo!" "Tenang, Bro! Semua bakal aman, tempat ini masih steril." "Bos, Rey. Bos! Lo pikir dia nggak tahu tempat ini?" "Asal lo nggak ngomong, Bos gak bakal tahu. Lagipula aku yakin, Bos tidak akan marah. Toh, kita sudah mengerjakan tugas yang dia berikan dengan baik." "Terserah, Lo. Yang penting jangan libatkan gue." "Iya! Khawatir banget, sih, lo." "Oke, kalau begitu gue pergi sekarang. Ingat! Jangan bawa-bawa nama gue, kalau ada apa-apa." "Sip! Thanks bantuannya, Bro." "Gue cabut!" Lamat-lamat kudengar orang berbincang, entah siapa dia. Aku tak kenal suaranya. Meski terasa lengket, aku tetap berusaha membuka mata. Aku terkejut, mendapati diri ten
Pacar Toxic 48 Sejak tahu aku hamil, sikap Mas Tema semakin posesif padaku. Apa-apa nggak boleh, ini itu dilarang. Sudahlah nggak diijinin kerja, nggak dibolehin kemana-mana pula. Suruh anteng di rumah, bahkan ngantar jemput Syina sekolah juga dilarang. Dia pikir aku nggak bosen apa? Parahnya lagi, dia minta bantuan ibuku buat mantau aku di rumah. Bahkan dia datangkan Ibu dari Kudus, demi menemani aku ketika dia acara di luar kota. Bukan hanya sampai disitu, karena Ibu masih aktif sebagai ASN, maka tak bisa berlama-lama di Jakarta. Setelah Mas Tema pulang, Ibu langsung kembali ke Kudus. Sebagai gantinya, Mas Tema mendatangkan Mama. Kebangetan, nggak? Kalau sama Ibu, aku masih berani membantah bahkan mendebat. Tapi Mama? Aku langsung mati kutu. Tak mau dicap sebagai menantu durhaka, akhirnya aku hanya bisa manut pada wanita sebaya ibuku itu. Apalagi awal hubungan, Mama sempat tidak merestui. Alhasil aku harus berkata dan bersikap hati-hati, demi tidak menyinggung perasaan wanita
Pacar Toxic 47 Pov Tema Hampir setiap hari Luluk muntah-muntah, setiap makanan yang masuk ke perutnya langsung dikeluarkan. Ditambah lagi dia tidak mau dekat-dekat aku, katanya aku ini bau. Padahal sudah mandi, dan pakai minyak wangi. Yang terakhirnya dia mengeluh lemas, nggak bisa melakukan aktivitas apapun. Karena merasa khawatir, akupun membawanya ke dokter. Tapi sama dokter umum disarankan periksa ke Obsgin. Dan disinilah kami sekarang. "Wah.... Selamat ya, Pak. Sudah delapan minggu, ini," ucap dokter debat tag name dr. Anita Kusuma Wardani itu. Spog. itu. Delapan minggu? Apa artinya Luluk sudah hamil delapan, atau bagaimana? Ucapan dokter yang menurutku ambigu itu, membuatku bingung. "Maksudnya dokter?" Luluk menyenggol lenganku. "Aku hamil delapan minggu, Mas," bisik Luluk di tekingaku, tentu saja disertasi pelototan. Akhi-akhir ini dia berubah jadi galak. "Istri saya hamil, Dokter?" tanyaku memastikan. Bukannya tidak senang mendapat kabar istri lagi hamil, aku ha
Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka
Pacar Toxic 45 Babak baru sebagai Nyonya Tema dimulai. Kami sudah kembali ke Jakarta, dan kini tinggal di rumah Mas Tema. Siap menyambut aktivitas yang beberapa waktu kami tinggalkan, demi menjalani prosesi akad nikah dan resepsi. Walau bukan pesta mewah, nyatanya tetap melelahkan juga. Pagi ini sebagai istri dan ibu sambung, aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Jangan kalian pikir aku yang masak, bukan. Ini semua hasil karya Bu Mini, pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah ini. Aku hanya membantu menyiapkan. "Mau disuapin, Unda.... " rengek Syina, manja. Padahal setiap hari makan sendiri, tapi sejak ada aku dia maunya disuapi. Bukan hanya ketika makan, mandi, tidur, belajar pun minta sama Unda, panggilan sayang Syina untukku. "Katanya sudah gede, kok, minta disuapin, sih?" Bibir Syina mengerucut, tanda dia tak suka dengan ucapanku. "Oke, deh. Bunda suapin, tapi besok makan sendiri ya?" Gadis itu tak menjawab, hanya anggukan yang dia berikan. "Syina makan se
Pacar Toxic 44 Akhirnya hari bahagia itu tiba, aku dan Mas Tema resmi menikah. Akad dan resepsi di gelar di Kudus, kota kelahiranku. Di Jakarta, keluarga suamiku menggelar acara sama sekali. Kata Mas Tema. "Aku ini kan duda, sudah pernah menggelar acara yang sama. Nggak enak aja, ngerepotin orang terus." "Nggak masalah, emang? Kalau mereka merasa nggak dianggap gimana? Terus tersinggung, dan mutusin kontrak kerja sama," tanyaku saat itu. "Ya biarin aja. Belum rejeki berarti," jawabnya santai. "Kenapa, sih? Malu punya istri bukan dari kalangan orang kaya?" kejarku. Aku sempat kepikiran, Mas Tema malu kalau koleganya tahu, bahwa istrinya ini status sosialnya tidak sepadan. Tapi Mas Tema mengelak. Dia bilang memang tak suka pesta, dan hura-hura. Lagipula dia tidak mau ada yang iri, dan sakit hati melihat Mas Tema menggelar pesta pernikahan besar-besaran. "Sayang, kamu nggak tahu di luar sana ada orang yang tidak suka melihat kita bahagia. Namanya orang tidak suka, sakit hati,
Pacar Toxic 43 "Lho, Mas. Kok, nggak ke kantor?" Jelas aku heran, mobil yang disopiri Mas Tema bukannya belok ke kantor, tapi justru melewatinya begitu saja. "Kamu nggak usah ke kantor dulu, Sayang. Ke rumah aja, ya. Belajar ngurus Syina, antar dia sekolah," jawab Mas Tema tanpa menatapku. "Kan, ada Suster Sari, Mas. Biasanya juga dia yang ngurus kebutuhan Syina," sanggahku. "Kamu bakal jadi Ibu sambungnya. Mulai sekarang kamu harus lebih dekat dengan Syina, tahu apa saja kebiasaan dan kegiatannya." Mas Tema masih enggan menatapku. Aku sudah dipertemukan dengan Syina, kami juga sudah menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabkan diri satu sama sama lain. Gadis hampir empat tahun terlihat menggemaskan, mudah akrab dengan orang baru termasuk aku. Aku rasa tak perlu mengorbankan waktu kerja demi mendekati gadis itu. "Mas, perjanjiannya kemarin nggak gitu, deh. Kamu bilang hari ini bisa mulai masuk kantor lagi, kenapa sekarang jadi berubah haluan? Ada apa sih?" Entahlah, aku