Pacar Toxic 9 Aku terpaksa menjalani back street dengan Reymond, kali ini bukan karena takut ketahuan orang tua, tapi takut ketahuan Diani dan Pak Bos. Lucu emang. Untungnya Reymond mau menuruti permintaanku, untuk tidak menelfon dijam kerja, dan mengantar jemput aku lagi. Keluar berdua pun, hanya sekirtan kosan. Biar nggak ketahuan. Untuk sementara ini hubungan kami aman. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sejak menjalin hubungan lagi dengan Reymond. Jawabnya hambar, nggak ada rasa. Aku menjalani kisah ini hanya atas dasar kasihan. Yang penting nggak ada drama bunuh diri lagi. "Rey, bangun!" Kuguncang pelan bahu Rey, yang tertidur di kursi teras kosan. "Eh, Yang. Baru pulang?" Rey mengucek mata sambil mengeliat. "Jam berapa ini?" tanyanya lagi. "Jam 7. Kamu sejak kapan di sini?" "Sejak sore tadi, kelamaan nungguin kamu jadi ketiduran." Dia menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya. Ini yang sering membuatku tak tega ninggalin Rey. Usahanya untuk mengambil kembali ha
Pacar Toxic 10"Hai, Yang. Baru pulang, ya?" Hidup lagi capek-capeknya, hati lagi suntuk-suntuknya. Eh, lihat gerandong sudah nongkrong aja di teras kosan. Bikin mood makin ancur aja. Sudah baik dia nggak nongol beberapa hari ini. Hidupku terasa lebih damai, tanpa dia. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Aku bilang sedikit, ya. Nggak berani banyak-banyak, karena mahluk satu itu tempramental. Kalau dia tersinggung, bisa ditampol aku. "Lho, kok ngapain. Ya ngapelin kamu, lah! Ini malam minggu, apa kamu lupa?" Aku menepuk jidat gemas. Karena tekanan pekerjaan, aku sampai lupa hari. Padahal hari ini aku tidak masuk kantor, tadi ke tempat pengrajin lihat proges furniture pesanan Pak Maher. Kenapa aku bisa lupa? "Terus kalau malam minggu kenapa?" tanyaku pura-pura tak paham arah pembicaraannya. Sejak dia pinjam sejuta itu, tiap jalan ke luar selalu aku yang bayar. Jadi, rasanya males kalau harus pergi sama dia. Ujung-ujungnya aku lagi yang modal. "Kamu gimana sih
Pacar Toxic 11 Kalau diminta nagih ke Raymond, aku angkat tangan. Uangku yang sejuta saja, aku nggak berani nagih. "Tolong hubungi saya, kalau Reymond datang ke kosan anda," ucap Kevin kemudian. Hah! Menghubungi Kevin pas Raymond ke kosan? Gak bahaya, tah? Duh! Tiba-tiba aku terserang sakit kepala. Anak itu banyak sekali masalahnya. Sudahlah emosian, tukang ngutang, malas kerja pula. Habis ini apalagi? Aku hanya pacar, apapun yang dia lakukan diluar sana, aku tidak tahu. Aku bukan ibu atau pengasuhnya, yang harus mengawasi dia sepanjang waktu. Kalau tiba-tiba ada yang nagih utang kayak gini, aku jadi stres sendiri. Aku ini nggak tahu apa-apa. Lagian, buat apa sih semua uang itu? Selama menjalin hubungan dengan aku juga, aku yang keluar duit. Akhir-akhir ini aja dia mau modal. Dan satu lagi pertanyaanku, kalau dia sudah tidak kerja di perusahaan ekspedisi itu, dia dapat duit dari mana buat, bawain aku makanan? Minta ibunya? Tau-ah, pusing pala berbie. "Aduh Mas, maaf saya nggak
Pacar Toxic 12 Setelah berfikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Karimun saja. Di sini keadaannya sudah tidak kondusif lagi. Menjalin hubungan setengah hati dengan Reymond, bukan hal yang menyenangkan untuk dijalani. Apalagi akhir-akhir ini banyak masalah yang membelit cowok itu, dari hutang Pinjol sampai penggelapan uang kantor. Kalau terus bertahan di sini, lama-lama aku terseret dan aku tidak mau terjadi. Raymond bahkan pernah berkelahi dengan Pak Tema, gara-gara aku. Yang kutakutkan, kalau aku masih terlihat berdua dengan cowok itu dan Pak Tema melihat, lalu dipecat. Kan, aku yang rugi sendiri. Mencari pekerjaan yang sesuai dengan background pendidikan dan pasionku, bukan perkara mudah. Aku sampai rela meninggalkan kampung halaman, dan jauh dari keluarga hanya demi mengejar cita-citaku ini. "Bapak Ibu mendukung apapun keputusan yang kamu ambil, selama itu untuk kemajuan karir kamu," ucap Ibu, ketika kusampaikan niatku pindah ke Karimun Jawa. Lega rasanya, ked
Pacar Toxic 13Aku sedang menekuri angka yang tertera di layar laptop, ketika tiba-tiba ponselku kembali berbunyi nyaring. Yang membuatku enggan mengangkat, nomor asing yang terpampang di layarnya. Meski ragu, akhirnya aku angkat juga. Takutnya dari keluargaku di Kudus, dan penting. "Selamat siang, dengan saudari Luluk Habibah?" tanya suara diseberang sana. Mendengar suara itu, aku mulai curiga. "Iya, saya sendiri. Maaf saya bicara dengan siapa?" Aku terbiasa bicara dengan bahasa formal, kalau bicara dengan orang asing. "Saya Candra, dari jasa pinjaman online--" belum sempat orang itu melanjutkan ucapannya, aku langsung memotongnya. "Maaf, saya tidak pernah meminjam uang pada lembaga keuangan manapun. Jadi saya mohon jangan menelfon lagi, karena saya merasa sangat terganggu," tegasku, lalu menutup panggilan secara sepihak. Dan langsung memblokir nomor itu, biar tidak bisa menelfonku lagi. Bener dugaanku, yang nelfon Pinjol. Pasti mau nagih utangnya Reymond. Memang si*alan itu c
Pacar Toxic 14 Saking semangatnya bekerja, karena ingin menyelesaikan sisa tugas yang ada. Aku sampai melewatkan jam makan siang. Jam 3 sore perutku sudah melilit, cacing di dalamnya meronta menuntut haknya. Karena tak ada lagi pekerjaan, aku memutuskan pulang. Rencananya mau makan di warung bakso dekat kosan. Tapi ketika sampai di lobi kantor, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok yang sangat ingin kuhindari. "Hai, Yang. Pulang, yuk!" Mati, aku. Aku menoleh kanan kiri, berharap ada orang yang bisa dimintai tolong. Tapi nihil, kantor sepi. Entah kemana Mbak Rini yang biasa standby di lobby? Berharap pada Diani, pun percuma. Dia ada meeting dengan klien. Kepalang tanggung, Reymond sudah terlanjur melihatku. Mau kabur juga percuma, nanti malah terjadi huru-hara. Mana dia langsung menghampiri dan menggandeng tanganku, kemudian membawaku keluar lobi. Aku jadi macam kerbau dicucuk hidungnya. "Motormu mana, Rey?" tanyaku heran, etika dia melewatkan parkiran begitu saja, dan la
Pacar Toxic 15 "Lho, Luk. Sejak kapan kamu di sini?" Diani nampak terkejut melihatku duduk manis di teras rumahnya. Dari rumah makan tadi aku langsung meluncur ke rumah Diani, mau curhat dan minta bantuannya. Masalah Reymond ini tidak bisa dianggap sepele, aku butuh masukan untuk mencari jalan keluar, agar terbebas dari hubungan tak sehat ini. Tak mungkin aku cerita sama orang tuaku, takut mereka kepikiran. "Sejak pulang kantor tadi, Di." Diani melirik jam tangannya. "Berarti sudah lumayan lama, ya? Sudah ketemu Mama, belum?" Tante Mira, mamanya Diani orangnya ramah banget, tutur bahasanya lembut. Bukan macam Diani yang bar-bar, dan songong kalau ngomong. Kadang kupikir, Diani itu anak pungut, bukan anak kandung. Sifatnya bertolak belakang dengan mamanya. Tadi kami sempat ngobrol sebentar, tapi beliau masuk lagi karena ada urusan. Dan taka lama kemudian datang Diani, yang baru pulang kantor. "Sudah. Nih, udah dapat minum." Aku mengangkat gelas berisi es teh, yang isinya ti
Pacar Toxic 16 "Bismillahirrahmanirrahim.... " Setelah beberapa saat menguatkan hati dan mental, aku beranikan diri menghadap Pak Tema, atasanku. Bukan tanpa alasan aku lebih seperti akan bertemu malaikat Malik, penjaga neraka. Dibanding ketemu atasan. Beberapa waktu lalu, pernah terjadi perkelahian sengit antara Pak Tema dan Reymond gara-gara aku. Sejak itu Pak Bos seperti mendiamkanku, tak pernah menyapa meski berpapasan. Sepertinya beliau masih marah padaku. Wajar kalau rasa takut mencengkeram begitu kuat di hatiku, ketika harus menemui beliau. "Silahkan masuk!" Suara bariton itu terdengar begitu tegas menyahut, setelah kuketuk pintu. "Assalamu'alaikum, Pak. Selamat siang," sapaku sopan, seraya menutup kembali pintu. Pak Tema yang tengah sibuk dengan laptopnya itu mendongak. "Waalaikumsalam," Pak Tema menatapku, sejenak tatapan kami terkunci. Namun sedetik kemudian dia kembali menatap laptopnya. "Ada perlu apa?" tanyanya dingin, tanpa menatapku. Keberanian yang tadi be