Pacar Toxic 14 Saking semangatnya bekerja, karena ingin menyelesaikan sisa tugas yang ada. Aku sampai melewatkan jam makan siang. Jam 3 sore perutku sudah melilit, cacing di dalamnya meronta menuntut haknya. Karena tak ada lagi pekerjaan, aku memutuskan pulang. Rencananya mau makan di warung bakso dekat kosan. Tapi ketika sampai di lobi kantor, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok yang sangat ingin kuhindari. "Hai, Yang. Pulang, yuk!" Mati, aku. Aku menoleh kanan kiri, berharap ada orang yang bisa dimintai tolong. Tapi nihil, kantor sepi. Entah kemana Mbak Rini yang biasa standby di lobby? Berharap pada Diani, pun percuma. Dia ada meeting dengan klien. Kepalang tanggung, Reymond sudah terlanjur melihatku. Mau kabur juga percuma, nanti malah terjadi huru-hara. Mana dia langsung menghampiri dan menggandeng tanganku, kemudian membawaku keluar lobi. Aku jadi macam kerbau dicucuk hidungnya. "Motormu mana, Rey?" tanyaku heran, etika dia melewatkan parkiran begitu saja, dan la
Pacar Toxic 15 "Lho, Luk. Sejak kapan kamu di sini?" Diani nampak terkejut melihatku duduk manis di teras rumahnya. Dari rumah makan tadi aku langsung meluncur ke rumah Diani, mau curhat dan minta bantuannya. Masalah Reymond ini tidak bisa dianggap sepele, aku butuh masukan untuk mencari jalan keluar, agar terbebas dari hubungan tak sehat ini. Tak mungkin aku cerita sama orang tuaku, takut mereka kepikiran. "Sejak pulang kantor tadi, Di." Diani melirik jam tangannya. "Berarti sudah lumayan lama, ya? Sudah ketemu Mama, belum?" Tante Mira, mamanya Diani orangnya ramah banget, tutur bahasanya lembut. Bukan macam Diani yang bar-bar, dan songong kalau ngomong. Kadang kupikir, Diani itu anak pungut, bukan anak kandung. Sifatnya bertolak belakang dengan mamanya. Tadi kami sempat ngobrol sebentar, tapi beliau masuk lagi karena ada urusan. Dan taka lama kemudian datang Diani, yang baru pulang kantor. "Sudah. Nih, udah dapat minum." Aku mengangkat gelas berisi es teh, yang isinya ti
Pacar Toxic 16 "Bismillahirrahmanirrahim.... " Setelah beberapa saat menguatkan hati dan mental, aku beranikan diri menghadap Pak Tema, atasanku. Bukan tanpa alasan aku lebih seperti akan bertemu malaikat Malik, penjaga neraka. Dibanding ketemu atasan. Beberapa waktu lalu, pernah terjadi perkelahian sengit antara Pak Tema dan Reymond gara-gara aku. Sejak itu Pak Bos seperti mendiamkanku, tak pernah menyapa meski berpapasan. Sepertinya beliau masih marah padaku. Wajar kalau rasa takut mencengkeram begitu kuat di hatiku, ketika harus menemui beliau. "Silahkan masuk!" Suara bariton itu terdengar begitu tegas menyahut, setelah kuketuk pintu. "Assalamu'alaikum, Pak. Selamat siang," sapaku sopan, seraya menutup kembali pintu. Pak Tema yang tengah sibuk dengan laptopnya itu mendongak. "Waalaikumsalam," Pak Tema menatapku, sejenak tatapan kami terkunci. Namun sedetik kemudian dia kembali menatap laptopnya. "Ada perlu apa?" tanyanya dingin, tanpa menatapku. Keberanian yang tadi be
Pacar Toxic 17 Tak ingin membuat Pak Tema menunggu, aku berlari kecil menuju tempat parkir yang sore ini nampak sepi. Entah kemana Pak Sapri? Pria paruh baya itu tak terlihat standby di depan, padahal biasanya dia mengatur keluar masuknya kendaraan. Hanya ada beberapa motor dan beberapa mobil yang salah salah satunya milik Pak Tema. "Yang!" Freeze. Aku membeku seketika mendengar suara familiar itu. Cowok yang beberapa bulan terakhir ini jadi pacarku itu, kini sudah berdiri di depanku. Penampilan terlihat sedikit berantakan, tapi terlihat lebih baik dibanding kemarin sore. "Rey----mond, kamu ma--mau apa?" tanyaku gemetaran. Kejadian kemarin sore kembali berkelebat, mencengkram hati dalam ketakutan. "Kok, mau apa? Ya mau jemput pacarku, lah, Yang. Pulang, yuk!" sahutnya enteng. Aku menggeleng tegas. Setelah kejadian kemarin sore, mana mau aku diantar dia pulang. Yang ada nanti kena palak! Apalagi yang mau dia rampas dariku? Reymond mendekat padaku, dia berusaha meraih tan
Pacar Toxic 18 "Terima kasih, Pak! Sekali lagi saya minta maaf atas kejadian tadi." Pak Tema membisu. Dia anteng di belakang kemudi, dengan tatapan lurus ke depan. Mungkin masih marah padaku. Tak mendapat respon, aku pun melepas seat belt dan membuka pintu bermaksud turun. Namun tangan kekar Pak Tema menahanku. Aku menatap tangan kekar itu, lalu beralih ke wajahnya. Tatapan kami bersirobok, tapi hanya sesaat. Karena aku langsung menunduk. Mana kuat aku membalas tatapan itu? Bikin meleleh, Say.... Pak Tema kemudian melepaskan pegangannya. "Maaf." Hanya itu yang keluar dari bibirnya, setelah itu dia kembali diam. Dia melempar pandangan ke arah lain. "Iya, Pak." "Bukannya bermaksud mencampuri urusan pribadimu, saya hanya sedikit memberi saran. Sebaiknya kamu jauhi cowok kamu itu." "Mantan, Pak," ralatku. "Ya, mantan cowok kamu berbahaya. Mungkin dia dendam, sebaiknya kamu pindah kos secepatnya. Bukannya saya menakut-nakuti, hanya mengingatkan kamu untuk lebih wasp
Pacar Toxic 19 Ini bonus untuk pembaca setia Pacar Toxic, mulai Bab 20 akan dikunci tanpa candi. Yang pengen baca maraton bisa join di TELEGRAM berbayar. Satu koper, satu ransel dan 2 kardus sudah ku susun rapi di pojok kamar dekat pintu. Biar nanti tinggal angkat kalau Diani datang. Gadis itu janji mau ke sini malam ini bawa mobil, ngambil bawaanku. Dia bilang, biar besok pagi aku nggak perlu repot. Pulang kerja langsung pindah ke kosan temannya Erika. The best friend forever memang. Tiba-tiba pintu kamarku di ketuk, sontak aku bangkit dari tempatku duduk. Itu pasti Diani yang datang, begitu pikir. Namun betapa terkejutnya aku begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu. "Hai, Yang. Kaget, ya?" Aku langsung mendorong kasar tubuh itu sekuat tenaga, lalu berusaha menutup pintu. Tapi sayang, aku kalah gesit dan kalah tenaga. Reymond berhasil menerobos masuk, dia menutup pintu dan langsung menguncinya. Setelah itu kuncinya dia masukin kantong celana. Dan kini giliran dia y
Pacar Toxic 20 Pov Pak Tema. "Bukannya Papa mau mencampuri urusan rumah tanggamu, Papa hanya kasihan melihat kamu hidup seperti robot seperti itu. Mau sampai kapan kamu seperti ini? Ceraikan Meli, dan menikah lagi. Kalau kamu tidak tega, kamu bisa poligami dia dan tetap merawat dia tanpa perlu meninggalkannya. Apa kamu tidak ingin hidup normal seperti orang lain?" Selalu seperti itu. Ini bukan pertama kalinya Papa memintaku menceraikan Melly, wanita yang ku nikahi 5 tahun lalu. Bukan tanpa alasan Papa berkata seperti itu. Sejak melahirkan anak pertama kami, Melly tidak bisa menjalankan perannya sebagai istri. Anak kami pun tak pernah mendapat kasih sayang darinya, sejak lahir hingga sekarang. Papa bahkan pernah menyodorkan beberapa wanita, yang menurutnya layak menjadi istriku. Namun dengan tegas kutolak. Pernikahan bagiku sakral, bukan untuk dipermainkan. Sebagai laki-laki normal, tentu aku ingin dilayani istriku. Mendapat perhatian dan kasih sayang semestinya, tapi gangguan
Pacar Toxic 21 Pov Pak Tema Luluk segera mendapat penanganan dari tim medis rumah sakit, dan sekarang sudah berada di kamar perawatan. Tubuhnya sudah dibersihkan, dan sudah dipakaikan baju sama perawat. Bukan aku, ya. Aku yang sempat mengkhawatirkan kondisinya, sekarang bisa bernafas lega setelah mendengar penjelasan dokter. "Pasien hanya mengalami luka luar, tak ada organ dalam yang luka," jelas dokter yang menangani Luluk. "Apa pasien sampai diperkosa, Dok? Maksud saya apa pelaku berhasil memperkosa korban?" Bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Ketika menerobos masuk, kulihat Reymond berada di atas tubuh Luluk. Bukan tidak mungkin saat itu dia sudah berhasil menodai gadis itu. "Kami tidak menemukan bekas aktivitas seksual. Untuk hasil yang lebih akurat, kami menunggu pemeriksaan dari dokter forensik. Yang mengeluarkan surat visum juga dokter forensik nanti. Jadi, hasilnya itu bisa anda gunakan sebagai bukti untuk melaporkan tersangka," jelas Dokter itu. Aku be
Pacar Toxic 47 Pov Tema Hampir setiap hari Luluk muntah-muntah, setiap makanan yang masuk ke perutnya langsung dikeluarkan. Ditambah lagi dia tidak mau dekat-dekat aku, katanya aku ini bau. Padahal sudah mandi, dan pakai minyak wangi. Yang terakhirnya dia mengeluh lemas, nggak bisa melakukan aktivitas apapun. Karena merasa khawatir, akupun membawanya ke dokter. Tapi sama dokter umum disarankan periksa ke Obsgin. Dan disinilah kami sekarang. "Wah.... Selamat ya, Pak. Sudah delapan minggu, ini," ucap dokter debat tag name dr. Anita Kusuma Wardani itu. Spog. itu. Delapan minggu? Apa artinya Luluk sudah hamil delapan, atau bagaimana? Ucapan dokter yang menurutku ambigu itu, membuatku bingung. "Maksudnya dokter?" Luluk menyenggol lenganku. "Aku hamil delapan minggu, Mas," bisik Luluk di tekingaku, tentu saja disertasi pelototan. Akhi-akhir ini dia berubah jadi galak. "Istri saya hamil, Dokter?" tanyaku memastikan. Bukannya tidak senang mendapat kabar istri lagi hamil, aku ha
Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka
Pacar Toxic 45 Babak baru sebagai Nyonya Tema dimulai. Kami sudah kembali ke Jakarta, dan kini tinggal di rumah Mas Tema. Siap menyambut aktivitas yang beberapa waktu kami tinggalkan, demi menjalani prosesi akad nikah dan resepsi. Walau bukan pesta mewah, nyatanya tetap melelahkan juga. Pagi ini sebagai istri dan ibu sambung, aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Jangan kalian pikir aku yang masak, bukan. Ini semua hasil karya Bu Mini, pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah ini. Aku hanya membantu menyiapkan. "Mau disuapin, Unda.... " rengek Syina, manja. Padahal setiap hari makan sendiri, tapi sejak ada aku dia maunya disuapi. Bukan hanya ketika makan, mandi, tidur, belajar pun minta sama Unda, panggilan sayang Syina untukku. "Katanya sudah gede, kok, minta disuapin, sih?" Bibir Syina mengerucut, tanda dia tak suka dengan ucapanku. "Oke, deh. Bunda suapin, tapi besok makan sendiri ya?" Gadis itu tak menjawab, hanya anggukan yang dia berikan. "Syina makan se
Pacar Toxic 44 Akhirnya hari bahagia itu tiba, aku dan Mas Tema resmi menikah. Akad dan resepsi di gelar di Kudus, kota kelahiranku. Di Jakarta, keluarga suamiku menggelar acara sama sekali. Kata Mas Tema. "Aku ini kan duda, sudah pernah menggelar acara yang sama. Nggak enak aja, ngerepotin orang terus." "Nggak masalah, emang? Kalau mereka merasa nggak dianggap gimana? Terus tersinggung, dan mutusin kontrak kerja sama," tanyaku saat itu. "Ya biarin aja. Belum rejeki berarti," jawabnya santai. "Kenapa, sih? Malu punya istri bukan dari kalangan orang kaya?" kejarku. Aku sempat kepikiran, Mas Tema malu kalau koleganya tahu, bahwa istrinya ini status sosialnya tidak sepadan. Tapi Mas Tema mengelak. Dia bilang memang tak suka pesta, dan hura-hura. Lagipula dia tidak mau ada yang iri, dan sakit hati melihat Mas Tema menggelar pesta pernikahan besar-besaran. "Sayang, kamu nggak tahu di luar sana ada orang yang tidak suka melihat kita bahagia. Namanya orang tidak suka, sakit hati,
Pacar Toxic 43 "Lho, Mas. Kok, nggak ke kantor?" Jelas aku heran, mobil yang disopiri Mas Tema bukannya belok ke kantor, tapi justru melewatinya begitu saja. "Kamu nggak usah ke kantor dulu, Sayang. Ke rumah aja, ya. Belajar ngurus Syina, antar dia sekolah," jawab Mas Tema tanpa menatapku. "Kan, ada Suster Sari, Mas. Biasanya juga dia yang ngurus kebutuhan Syina," sanggahku. "Kamu bakal jadi Ibu sambungnya. Mulai sekarang kamu harus lebih dekat dengan Syina, tahu apa saja kebiasaan dan kegiatannya." Mas Tema masih enggan menatapku. Aku sudah dipertemukan dengan Syina, kami juga sudah menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabkan diri satu sama sama lain. Gadis hampir empat tahun terlihat menggemaskan, mudah akrab dengan orang baru termasuk aku. Aku rasa tak perlu mengorbankan waktu kerja demi mendekati gadis itu. "Mas, perjanjiannya kemarin nggak gitu, deh. Kamu bilang hari ini bisa mulai masuk kantor lagi, kenapa sekarang jadi berubah haluan? Ada apa sih?" Entahlah, aku
Pacar Toxic 42 Pov Pak Tema "Mama sayang, jangan marah-marah terus, dong! Nanti cantiknya ilang, lho!" Kupeluk dan kucium keningnya. Hal yang biasa kulakukan, kalau Mama merajuk. Biasanya sih Mama langsung luluh, tapi sekarang entah kenapa dia malah melengos pergi. Apa artinya Mama marah dan menolak Luluk sebagai calon menantunya? Aku bermaksud mengejar Mama, tapi Papa menahan tanganku. "Sudah, biarkan saja! Kamu kayak nggak kenal Mamamu saja. Ayo kita makan! Nanti mubazir, sudah terlanjur disajikan tamunya malah pada pulang. Ayo, nak Luluk!" Papa memang terdabes, selalu mensikapi segala sesuatu dengan bijak. Beda dengan Mama yang impulsif, dan emosional. Meski begitu aku bersyukur, lahir dari rahimnya. "Oh, ya. Katanya nak Luluk asli kudus? Kudusnya mana? Saya dulu punya teman kuliah, namanya Muhammad Ihsan kalau gak salah. Rumahnya dekat menoro, saya pernah main ke sana," tanya Papa ketika kami sudah melingkari meja makan. "Saya kudusnya Ploso, Om. Dekat RSUD," jawab Lu
Pacar Toxic 41 Pov Tema. "Tema, kamu mau bikin Mama kena serangan jantung atau bagaimana?" tanya Mama setelah memaksaku duduk. Tanpa ba-bi-bu, wanita lima puluh lima tahu itu langsung menyeretku ke ruang makan, begitu aku memperkenalkan Luluk sebagai calon istri. Dan sekarang aku harus siap mendapat omelan panjang kali lebar kali tinggi, dari wanita yang melahirkanku ini. "Mama ini ngomong apa, sih? Mana ada Tema punya maksud jahat begitu? Memang salah Tema apa, sampai bikin Mama jantungan?" jawabku santai. Mama lagi tegang gitu, kalau ikut-ikutan ngegas, bisa terjadi huru-hara nanti. Mama kalau lagi emosi, pantang ditandingi. Dari dulu sampai sekarang, dia tidak pernah berubah. Kalau sudah marah, suka main tangan. Tak peduli usia anaknya ini sudah kepala tiga, tapi diperlakukan seperti anak kecil. Jewer telinga, cubit pantat atau paha, biasa Mama lakukan kalau lagi jengkel. Bahkan rambutku pernah dijambaknya, waktu menolak perintahnya. Untung nggak ada orang, coba kalau ada
Pacar Toxic 40 Setelah melalui perdebatan panjang, dan drama eyel-eyelan. Akhirnya aku memutuskan mengikuti rencana Pak Tema, untuk menemui orang tuaku. Tak lupa aku memberinya syarat. "Oke, saya mau jadi istrinya Pak Tema. Tapi dengan satu syarat, kita tinggal di kampung halaman saya, bukan di Jakarta. Sanggup?" Terpaksa aku mengajukan syarat yang sulit Pak Tema kabulkan. Bukan untuk menolak lamarannya, tapi karena kota metropolitan itu meninggalkan trauma di dada. Pak Tema menjentik keningku. "Sakit, Pak! Seneng banget main kasar! Belum jadi istri saja sudah dianiaya, gimana kalau sudah jadi istri?" kesalku tak terima. "Habisnya kamu ngeselin! Ngasih syarat nggak masuk akal, nggak sekalian minta dibuatin candi dalam satu malam? Yang bener aja, dong! Emang kamu mau punya suami pengangguran?" balasnya ketus. "Ya sudah kalau nggak mau, kita nggak usah nikah! Karena saya nggak mau kembali ke Jakarta! Trauma, saya!" "Ck, lebai! Masih takut sama Reymond?" Aku mengangguk cepat.
Pacar Toxic 39 Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran Pak Tema, ngajak nikah kayak nagih hutang saja. Harus dibayar saat itu juga. Ini soal masa depan, butuh banyak pertimbangan, dan pemikiran yang matang. Bukan seperti beli barang, lihat, suka, bayar dan langsung angkut pulang. Oke lah, dia itu sempurna sebagai pria. Good looking dan good rekening, idaman semua wanita. Orangnya care banget, aku tahu itu. Tapi untuk menjatuhkan nggak gegabah begini. Ah, pusing aku mikirin duda satu itu. "Mbak Luluk, bangun, Mbak! Sudah pagi, Mbak!" Indria menggoyang pelan bahuku. Meski males setengah mati, aku tetap memaksa membuka mata. "Jam berapa sekarang, In?" tanyaku malas. "Setengah enam, Mbak. Kita kesiangan ini! Mbak Luluk, sih! Pulangnya malem banget, jadi kesiangan, kan!" omel gadis remaja itu. Semalam aku pulang sekitar jam sebelas-an, gara-gara Pak Tema yang nggak mau ngantar pulang kalau aku belum menerima lamarannya. "Kita bakal di sini semalaman, kalau kamu gak bilang, iy