Pacar Toxic 21 Pov Pak Tema Luluk segera mendapat penanganan dari tim medis rumah sakit, dan sekarang sudah berada di kamar perawatan. Tubuhnya sudah dibersihkan, dan sudah dipakaikan baju sama perawat. Bukan aku, ya. Aku yang sempat mengkhawatirkan kondisinya, sekarang bisa bernafas lega setelah mendengar penjelasan dokter. "Pasien hanya mengalami luka luar, tak ada organ dalam yang luka," jelas dokter yang menangani Luluk. "Apa pasien sampai diperkosa, Dok? Maksud saya apa pelaku berhasil memperkosa korban?" Bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Ketika menerobos masuk, kulihat Reymond berada di atas tubuh Luluk. Bukan tidak mungkin saat itu dia sudah berhasil menodai gadis itu. "Kami tidak menemukan bekas aktivitas seksual. Untuk hasil yang lebih akurat, kami menunggu pemeriksaan dari dokter forensik. Yang mengeluarkan surat visum juga dokter forensik nanti. Jadi, hasilnya itu bisa anda gunakan sebagai bukti untuk melaporkan tersangka," jelas Dokter itu. Aku be
Pacar Toxic 22 Sayup-sayup suara azan menarik kembali kesadaranku. Meski mata terpejam, aku bisa rasakan tubuh kaku dan nyeri di sekujur badan. Jangan tanya bagaimana rasanya. Ya Allah.... Sakitnya minta ampun. "Sshh..." Aku mendesis kesakitan, manakala berusaha menggerakkan badan. Nyeri itu semakin menyiksa. Jangankan untuk bergerak membuka mata saja sakitnya luar biasa. Perlahan ku coba kembali merangkai kembali kepingan ingatan, sebelum aku tersadar kembali. Ya, aku ingat sekarang. Raymond menerobos masuk ke kamarku dalam keadaan mabuk, lalu membabi-buta menghajarku. Sebelum aku pingsan, kudengar suara Diani meneriakkan namaku. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Bahkan sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, kupikir aku sudah kehilangan nyawa. Meski susah payah, Akhirnya aku berhasil membuka mata. Hal pertama yang tertangkap inderaku, adalah ruangan serba putih, bau obat yang menyengat, dan selang infus menancap di tangan kiriku. Hal yang membuatku yakin sedang berada d
Pacar Toxic 23 Sehari rasanya seperti se-abad, membosankan sekali berada di rumah sakit sendirian. Tak ada teman ngobrol, hanya HP yang dari tadi menemani. Tapi lama-lama bosan juga. Beralih ke TV acaranya tidak ada yang menarik sama sekali. Mau tidur lagi, seharian ini aku sudah kebanyakan tidur. Menunggu Diani datang, yang ditunggu-tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Huft! Membosankan! Kalau tidak ingat lagi sakit, sudah kabur aku. Kalau seperti ini aku jadi kangen Ibu dan bapakku. Bagaimana kalau mereka tahu anaknya babak belur dianiaya orang? Pasti aku disuruh pulang, dan tak diijinkan lagi bekerja di sini. Di kotaku, paling aku hanya menjadi admin perusahaan rokok, elektronik atau garmen. Sedangkan menjadi desainer interior adalah impianku sejak dulu. Ah, lebih baik mereka tidak tahu keadaanku. "Hallo Bestie .... How are you to day....?" Akhirnya Diani datang juga, dengan gaya khasnya yang menyebalkan. Dia nanyain kabar? Hallo.... Dia nggak lihat bagaimana ke
Pacar Toxic 24 Hari ke-3 di rumah sakit. "Di, aku ngrasa, kok, nggak enak sama Pak Tema, ya?" ucapku pada Diani yang sore ini datang menjengukku. Dahi Diani berkerut, dia menatapku. "Kenapa?" "Ya, nggak enak aja. Tiap hari dia repot-repot nungguin aku, sementara ada istri di rumah yang menunggu. Aku takut istrinya salah paham. Aku nggak mau mereka berselisih gara-gara aku. Tolong kamu ngomong ke Pak Tema, gak usah nungguin aku," ucapku mengeluarkan unek-unek dalam hatiku. Sejak di rawat, tiap pagi sebelum berangkat kerja, Pak Tema selalu menyempatkan diri untuk menjengukku. Dan sepulang kerja dia akan mampir lagi. Tak lupa bawa cemilan. Meski tak sampai menginap, tetap saja aku merasa tidak enak. Selain menghindari gunjingan, aku tidak mau tumbuh rasa yang tidak pada tempatnya, mengingat statusnya sebagai suami orang. "Kenapa kamu nggak ngomong sendiri aja?" "Sudah, tapi Pak Tema bilang nggak papa, nggak merasa direpotkan juga." "Ya, udah. Kalau begitu kamu nggak perlu merasa
Pacar Toxic 25 Usai menjalani perawatan, aku kembali menjalani aktivitasku seperti biasa. Hari ini aku masuk kerja karena ada meeting dan persiapan keberangkatan ke Karimun. Memang proyek ini bukan menjadi tanggung jawabku saja, melainkan semua tim yang dilibatkan. Aku bahkan paling akhir bergabung, semua sudah diurus sejak beberapa bulan lalu. Vendor, perijinan, dan segala tetek bengeknya, kantor semua yang ngurus. Banyak yang harus diselesaikan sebelum aku berangkat ke Karimun. Selain urusan kantor, aku juga akan datang ke kantor polisi siang ini. Untuk memberikan keterangan. Aku tidak sendiri nanti, tapi ada pengacara yang mendampingi. Pak Lukman namanya. Kami akan bertemu di kantor polisi nanti. Meski sudah ada pengacara, entah mengapa Pak Tema kekeh ikut menemani. Aneh, kan? "Saya bisa berangkat sendiri, Pak. Bapak nggak perlu repot-repot mengantar," tolak ku halus, saat Pak Tema mengutarakan maksudnya. "Mau naik apa, kamu?" "Ojol, Pak." "Ck! Nggak aman, kalau ternyat
Pacar Toxic 26 "Tante Rumi, saya minta maaf tidak bisa ngobrol lama-lama. Ada meeting penting yang harus saya hadiri," bohongku. Kalau aku bilang akan ke kantor polisi, bisa terjadi drama berjilid-jilid. "Oh, iya. Silahkan! Sekali lagi saya mohon, pertimbangkan permintaan saya, Mbak Luluk," pintanya sebelum pergi. Lekas aku meninggalkan Tante Rumi, yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Ada setitik sesal dalam hati, karena menolak permintaan Tante Rumi. Tapi mau bagaimana lagi? kesalahan Reymond bukan kesalahan sepele, yang bisa selesai hanya dengan kata maaf. Kalau kali ini kumaafkan, bisa jadi kejadian serupa terulang lagi. Mungkin dengan begini dia bisa instropeksi diri, dan mau berubah lebih baik. Aku tipe orang yang gak enakan, kadang rela mengalah pada orang lain, meski akhirnya aku sendiri yang kesulitan. Semua ini bukan tanpa alasan, ibuku pernah berpesan. "Hati-hati dalam berucap dan bersikap, jangan sampai menyinggung, apalagi menyakiti perasaan orang lain. Orang
Pacar Toxic 27 "Dasar lont*! Wajahmu aja yang kelihatan lugu, ternyata kamu jadi simpanan suami orang!" Makian Reymond kembali terngiang, namun sekuat mungkin aku menepis. Beberapa kalian ku pukul-pukul kepalaku sendiri, untuk menghilangkan bayangan itu. Menyadari perubahan sikapku, Pak Tema menoleh. Melihat Reymond berjalan ke arah kami, Pak Tema berdiri di sisiku. Diraihnya jemariku, lalu diremasnya lembut menyalurkan kekuatan. Langkah Reymond semakin lama semakin dekat, ketakutan yang kurasakan semakin mencengkeram. Tanpa sadar aku membalas genggaman Pak Tema. "Bug!" "Pak Tema!" Aku dan Pak Lukman memekik bersamaan. Rupanya, meski tangan terborgol tak menghentikan aksi Reymond untuk menyakitiku. Dia bermaksud menendangku, namun Pak Tema gesit melindungi. Hingga kaki Reymond menyasar ke tubuh atasanku itu, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Kejadiannya begitu cepat, dan sama sekali diluar prediksi. Sebelumnya Pak Lukman menjelaskan, bahwa aku tidak ak
Pacar Toxic 28 Tak terasa tiga bulan sudah aku berada di pulau, yang menurutku seperti surga ini. Pantai dengan pasir putih membentang, memanjakan mata yang memandang. Proyek yang sedang pegang ini kebetulan berada di tepi pantai, jadi hampir setiap hari aku bisa menikmati sunset dan sunrise. Jangan tanya bagaimana rupaku saat ini, hitam manis Say. Karimun panasnya nampol. Setiap hari mandi sinar matahari, mengawasi dan mengarahkan pekerja, agar pekerjaan nggak asal-asalan. Tahu sendiri, tukang kalau gak diawasi suka semaunya sendiri. Membuat kulitku menggelap secara alami. Meski kulitku sudah taning, tapi belum ada satu bule pun yang kecantol. Mungkin perlu pakai bikini kali, ya? Biar mereka mau melirik Luluk yang nggak bohay ini. Bekerja di sini ternyata menyenangkan sekali kerjanya santai, nggak dikejar deadline, nggak diprotes klien dan bebas diomelin bos. Nggak perlu pakai pakaian resmi, seperti layaknya kerja ke kantor. Setiap hari cukup pakai jeans dan kaos oblong. Di s