Pacar Toxic 24 Hari ke-3 di rumah sakit. "Di, aku ngrasa, kok, nggak enak sama Pak Tema, ya?" ucapku pada Diani yang sore ini datang menjengukku. Dahi Diani berkerut, dia menatapku. "Kenapa?" "Ya, nggak enak aja. Tiap hari dia repot-repot nungguin aku, sementara ada istri di rumah yang menunggu. Aku takut istrinya salah paham. Aku nggak mau mereka berselisih gara-gara aku. Tolong kamu ngomong ke Pak Tema, gak usah nungguin aku," ucapku mengeluarkan unek-unek dalam hatiku. Sejak di rawat, tiap pagi sebelum berangkat kerja, Pak Tema selalu menyempatkan diri untuk menjengukku. Dan sepulang kerja dia akan mampir lagi. Tak lupa bawa cemilan. Meski tak sampai menginap, tetap saja aku merasa tidak enak. Selain menghindari gunjingan, aku tidak mau tumbuh rasa yang tidak pada tempatnya, mengingat statusnya sebagai suami orang. "Kenapa kamu nggak ngomong sendiri aja?" "Sudah, tapi Pak Tema bilang nggak papa, nggak merasa direpotkan juga." "Ya, udah. Kalau begitu kamu nggak perlu merasa
Pacar Toxic 25 Usai menjalani perawatan, aku kembali menjalani aktivitasku seperti biasa. Hari ini aku masuk kerja karena ada meeting dan persiapan keberangkatan ke Karimun. Memang proyek ini bukan menjadi tanggung jawabku saja, melainkan semua tim yang dilibatkan. Aku bahkan paling akhir bergabung, semua sudah diurus sejak beberapa bulan lalu. Vendor, perijinan, dan segala tetek bengeknya, kantor semua yang ngurus. Banyak yang harus diselesaikan sebelum aku berangkat ke Karimun. Selain urusan kantor, aku juga akan datang ke kantor polisi siang ini. Untuk memberikan keterangan. Aku tidak sendiri nanti, tapi ada pengacara yang mendampingi. Pak Lukman namanya. Kami akan bertemu di kantor polisi nanti. Meski sudah ada pengacara, entah mengapa Pak Tema kekeh ikut menemani. Aneh, kan? "Saya bisa berangkat sendiri, Pak. Bapak nggak perlu repot-repot mengantar," tolak ku halus, saat Pak Tema mengutarakan maksudnya. "Mau naik apa, kamu?" "Ojol, Pak." "Ck! Nggak aman, kalau ternyat
Pacar Toxic 26 "Tante Rumi, saya minta maaf tidak bisa ngobrol lama-lama. Ada meeting penting yang harus saya hadiri," bohongku. Kalau aku bilang akan ke kantor polisi, bisa terjadi drama berjilid-jilid. "Oh, iya. Silahkan! Sekali lagi saya mohon, pertimbangkan permintaan saya, Mbak Luluk," pintanya sebelum pergi. Lekas aku meninggalkan Tante Rumi, yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Ada setitik sesal dalam hati, karena menolak permintaan Tante Rumi. Tapi mau bagaimana lagi? kesalahan Reymond bukan kesalahan sepele, yang bisa selesai hanya dengan kata maaf. Kalau kali ini kumaafkan, bisa jadi kejadian serupa terulang lagi. Mungkin dengan begini dia bisa instropeksi diri, dan mau berubah lebih baik. Aku tipe orang yang gak enakan, kadang rela mengalah pada orang lain, meski akhirnya aku sendiri yang kesulitan. Semua ini bukan tanpa alasan, ibuku pernah berpesan. "Hati-hati dalam berucap dan bersikap, jangan sampai menyinggung, apalagi menyakiti perasaan orang lain. Orang
Pacar Toxic 27 "Dasar lont*! Wajahmu aja yang kelihatan lugu, ternyata kamu jadi simpanan suami orang!" Makian Reymond kembali terngiang, namun sekuat mungkin aku menepis. Beberapa kalian ku pukul-pukul kepalaku sendiri, untuk menghilangkan bayangan itu. Menyadari perubahan sikapku, Pak Tema menoleh. Melihat Reymond berjalan ke arah kami, Pak Tema berdiri di sisiku. Diraihnya jemariku, lalu diremasnya lembut menyalurkan kekuatan. Langkah Reymond semakin lama semakin dekat, ketakutan yang kurasakan semakin mencengkeram. Tanpa sadar aku membalas genggaman Pak Tema. "Bug!" "Pak Tema!" Aku dan Pak Lukman memekik bersamaan. Rupanya, meski tangan terborgol tak menghentikan aksi Reymond untuk menyakitiku. Dia bermaksud menendangku, namun Pak Tema gesit melindungi. Hingga kaki Reymond menyasar ke tubuh atasanku itu, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Kejadiannya begitu cepat, dan sama sekali diluar prediksi. Sebelumnya Pak Lukman menjelaskan, bahwa aku tidak ak
Pacar Toxic 28 Tak terasa tiga bulan sudah aku berada di pulau, yang menurutku seperti surga ini. Pantai dengan pasir putih membentang, memanjakan mata yang memandang. Proyek yang sedang pegang ini kebetulan berada di tepi pantai, jadi hampir setiap hari aku bisa menikmati sunset dan sunrise. Jangan tanya bagaimana rupaku saat ini, hitam manis Say. Karimun panasnya nampol. Setiap hari mandi sinar matahari, mengawasi dan mengarahkan pekerja, agar pekerjaan nggak asal-asalan. Tahu sendiri, tukang kalau gak diawasi suka semaunya sendiri. Membuat kulitku menggelap secara alami. Meski kulitku sudah taning, tapi belum ada satu bule pun yang kecantol. Mungkin perlu pakai bikini kali, ya? Biar mereka mau melirik Luluk yang nggak bohay ini. Bekerja di sini ternyata menyenangkan sekali kerjanya santai, nggak dikejar deadline, nggak diprotes klien dan bebas diomelin bos. Nggak perlu pakai pakaian resmi, seperti layaknya kerja ke kantor. Setiap hari cukup pakai jeans dan kaos oblong. Di s
Pacar Toxic 29 Pov Pak Tema "Iya, Sus, ada apa?" "Ibu, Pak. Ibu----" "Oke, saya dalam perjalanan pulang," sahutku tanpa mendengar penjelasan Suster Ani, wanita yang ku pekerjakan untuk menjaga dan merawat Melly. Aku mendesah lelah, entah apalagi yang dilakukan istriku? Ini bukan yang pertama, melainkan kesekian kalinya Mella berulah. Beberapa bulan yang lalu, dia berusaha memotong nadinya. Sempat kehilangan banyak darah, untung tertolong. Pernah juga sengaja menelan semua persediaan obat, yang ada di kamar. Mencoba melompat dari jendela, padahal kamarnya terletak di lantai 2. Hingga aku memutuskan memindahkan kamarnya di lantai bawah, menjauhkan dia dari benda tajam atau sekiranya yang bisa membahayakan. Meletakkan obat di tempat lain, bukan di kamar. Segala upaya sudah kami lakukan, agar Melly tidak lagi menyakiti dirinya. Dan sekarang tiba-tiba Suster Ani menelfon dengan suara panik. Apalagi yang Melly lakukan? Namanya Mellyna, kami kenal, dekat lalu pacaran ketika kuliah
Pacar Toxic 30 Pov Pak Tema Jenazah Melly baru saja dikebumikan, setelah diautopsi pihak rumah sakit. Memang benar, Melly dinyatakan meninggal karena keracunan obat. Tapi obat yang merenggut nyawa Melly bukan obat yang biasa dia konsumsi. Bahkan obat untuk Melly masih utuh di tempatnya. Kini yang jadi pertanyaan, siapa orang yang ingin menyingkirkan Melly? Tersangka pertama Suster Ani, dia yang paling dekat dengan almarhumah dan sering berinteraksi. Sangat mungkin dia mencekoki obat itu, mengingat dia selalu berada di dekat Melly. Tapi apa motifnya? Tersangka kedua Mama Sita, ibu kandung Melly sekaligus mertuaku. Dia orang terakhir yang bertemu Melly, sebelum ditemukan meninggal. Tapi alasan apa yang membuat dia tega menghabisi putrinya sendiri? Mengingat Melly adalah anak semata wayang. Aku melihat betul, bagaimana terpukulnya ibu mertuaku itu saat tahu Melly sudah meninggal. Beliau bahkan tak berhenti menangis, sampai jenazah selesai dikebumikan. Rasanya tak mungkin Mama Sita
Pacar Toxic 1"Maaf nggak bisa, Yang. Aku lagi di lokasi proyek sama klien," tolakku halus pada Raymond, kekasihku.Seperti biasa, dia mengajakku mana siang tiap jam istirahat. Dia akan menjemputku di kantor, lalu kami akan makan berdua di rumah makan dekat-dekat kantor. Tapi, masalahnya sekarang aku sedang di lapangan, bertemu klien. Jadi dengan berat hati aku menolak ajakannya. "Ini kan jam istirahat, masa nggak boleh sih? Kerja kok ada istirahatnya, kayak kerja rodi aja," sergah Raymond di seberang sana. Dia memang posesif banget, semua kegiatanku harus atas sepengetahuannya. Dan yang bikin sebel, dia sering mengajakku keluar saat aku masih bekerja. Tak peduli aku ini bekerja untuk orang lain, bukan bos yang bisa mengatur waktuku sendiri. "Ini kami lagi makan bareng, sama saja istirahat, kan?" jelasku kemudian. "Kamu bilang lagi di proyek, kok, malah makan-makan? Jangan-jangan kamu nggak lagi sama klien, tapi sama laki-laki lain!" bentak Rey. Aku memijit keningku, kepalaku ter