Pacar Toxic 27 "Dasar lont*! Wajahmu aja yang kelihatan lugu, ternyata kamu jadi simpanan suami orang!" Makian Reymond kembali terngiang, namun sekuat mungkin aku menepis. Beberapa kalian ku pukul-pukul kepalaku sendiri, untuk menghilangkan bayangan itu. Menyadari perubahan sikapku, Pak Tema menoleh. Melihat Reymond berjalan ke arah kami, Pak Tema berdiri di sisiku. Diraihnya jemariku, lalu diremasnya lembut menyalurkan kekuatan. Langkah Reymond semakin lama semakin dekat, ketakutan yang kurasakan semakin mencengkeram. Tanpa sadar aku membalas genggaman Pak Tema. "Bug!" "Pak Tema!" Aku dan Pak Lukman memekik bersamaan. Rupanya, meski tangan terborgol tak menghentikan aksi Reymond untuk menyakitiku. Dia bermaksud menendangku, namun Pak Tema gesit melindungi. Hingga kaki Reymond menyasar ke tubuh atasanku itu, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Kejadiannya begitu cepat, dan sama sekali diluar prediksi. Sebelumnya Pak Lukman menjelaskan, bahwa aku tidak ak
Pacar Toxic 28 Tak terasa tiga bulan sudah aku berada di pulau, yang menurutku seperti surga ini. Pantai dengan pasir putih membentang, memanjakan mata yang memandang. Proyek yang sedang pegang ini kebetulan berada di tepi pantai, jadi hampir setiap hari aku bisa menikmati sunset dan sunrise. Jangan tanya bagaimana rupaku saat ini, hitam manis Say. Karimun panasnya nampol. Setiap hari mandi sinar matahari, mengawasi dan mengarahkan pekerja, agar pekerjaan nggak asal-asalan. Tahu sendiri, tukang kalau gak diawasi suka semaunya sendiri. Membuat kulitku menggelap secara alami. Meski kulitku sudah taning, tapi belum ada satu bule pun yang kecantol. Mungkin perlu pakai bikini kali, ya? Biar mereka mau melirik Luluk yang nggak bohay ini. Bekerja di sini ternyata menyenangkan sekali kerjanya santai, nggak dikejar deadline, nggak diprotes klien dan bebas diomelin bos. Nggak perlu pakai pakaian resmi, seperti layaknya kerja ke kantor. Setiap hari cukup pakai jeans dan kaos oblong. Di s
Pacar Toxic 29 Pov Pak Tema "Iya, Sus, ada apa?" "Ibu, Pak. Ibu----" "Oke, saya dalam perjalanan pulang," sahutku tanpa mendengar penjelasan Suster Ani, wanita yang ku pekerjakan untuk menjaga dan merawat Melly. Aku mendesah lelah, entah apalagi yang dilakukan istriku? Ini bukan yang pertama, melainkan kesekian kalinya Mella berulah. Beberapa bulan yang lalu, dia berusaha memotong nadinya. Sempat kehilangan banyak darah, untung tertolong. Pernah juga sengaja menelan semua persediaan obat, yang ada di kamar. Mencoba melompat dari jendela, padahal kamarnya terletak di lantai 2. Hingga aku memutuskan memindahkan kamarnya di lantai bawah, menjauhkan dia dari benda tajam atau sekiranya yang bisa membahayakan. Meletakkan obat di tempat lain, bukan di kamar. Segala upaya sudah kami lakukan, agar Melly tidak lagi menyakiti dirinya. Dan sekarang tiba-tiba Suster Ani menelfon dengan suara panik. Apalagi yang Melly lakukan? Namanya Mellyna, kami kenal, dekat lalu pacaran ketika kuliah
Pacar Toxic 30 Pov Pak Tema Jenazah Melly baru saja dikebumikan, setelah diautopsi pihak rumah sakit. Memang benar, Melly dinyatakan meninggal karena keracunan obat. Tapi obat yang merenggut nyawa Melly bukan obat yang biasa dia konsumsi. Bahkan obat untuk Melly masih utuh di tempatnya. Kini yang jadi pertanyaan, siapa orang yang ingin menyingkirkan Melly? Tersangka pertama Suster Ani, dia yang paling dekat dengan almarhumah dan sering berinteraksi. Sangat mungkin dia mencekoki obat itu, mengingat dia selalu berada di dekat Melly. Tapi apa motifnya? Tersangka kedua Mama Sita, ibu kandung Melly sekaligus mertuaku. Dia orang terakhir yang bertemu Melly, sebelum ditemukan meninggal. Tapi alasan apa yang membuat dia tega menghabisi putrinya sendiri? Mengingat Melly adalah anak semata wayang. Aku melihat betul, bagaimana terpukulnya ibu mertuaku itu saat tahu Melly sudah meninggal. Beliau bahkan tak berhenti menangis, sampai jenazah selesai dikebumikan. Rasanya tak mungkin Mama Sita
Pacar Toxic 1"Maaf nggak bisa, Yang. Aku lagi di lokasi proyek sama klien," tolakku halus pada Raymond, kekasihku.Seperti biasa, dia mengajakku mana siang tiap jam istirahat. Dia akan menjemputku di kantor, lalu kami akan makan berdua di rumah makan dekat-dekat kantor. Tapi, masalahnya sekarang aku sedang di lapangan, bertemu klien. Jadi dengan berat hati aku menolak ajakannya. "Ini kan jam istirahat, masa nggak boleh sih? Kerja kok ada istirahatnya, kayak kerja rodi aja," sergah Raymond di seberang sana. Dia memang posesif banget, semua kegiatanku harus atas sepengetahuannya. Dan yang bikin sebel, dia sering mengajakku keluar saat aku masih bekerja. Tak peduli aku ini bekerja untuk orang lain, bukan bos yang bisa mengatur waktuku sendiri. "Ini kami lagi makan bareng, sama saja istirahat, kan?" jelasku kemudian. "Kamu bilang lagi di proyek, kok, malah makan-makan? Jangan-jangan kamu nggak lagi sama klien, tapi sama laki-laki lain!" bentak Rey. Aku memijit keningku, kepalaku ter
Pacar Toxic 2Diani menghentikan langkah, lalu menatapku tajam. "Aku hanya kasihan sama kamu, kalian baru pacaran, tapi dia sudah ngatur-ngatur gitu. Gimana kalau kalian menikah? Bisa tersiksa hidup kamu. Kalau aku punya pacar kek gitu, sudah kuputusin dari dulu-dulu."Ucapan Diani ada benernya juga, Reymond memang berlebihan. Aku sendiri kadang merasa tidak nyaman, dengan sikap posesifnya itu. Tapi tak pernah terlintas dalam fikiranku untuk berpisah. Gimana lagi? Aku sudah terlanjur sayang. "Putus? Masa putus sih, Di? Dia kayak gitu karena sayang banget sama aku. Dia itu baik banget," sanggahku. "Bela teruuus ...! Susah emang, menasehati bucin kayak kamu. Bener kata orang bijak, orang paling susah dinasehi itu ada dua, orang bodoh dan gila, kayak kamu!""Tapi aku cinta sama dia, Di." "Aku nggak ngerti sama jalan fikiran kamu, kalian itu baru pacaran lho? Masa sudah segitunya, apa-apa harus laporan, emang dia siapa? Bapakmu? Bahkan bapakmu sekalipun nggak se-posesif itu, kan? Apa
Pacar Toxic 3Kepalaku terasa pening pagi ini. semalaman mata ini sulit dipejamkan, gara-gara mikirin Reymond. Dini hari aku baru bisa tidur. Kuraba ponselku yang tergelat diatas meja samping tempat tidur. Hah? Hampir jam enam pagi? Aku kesiangan, bisa telat masuk kerja ini. Mana aku belum sholat shubuh, laporan kemarin belum selesai, padahal hari ini harus ditandatangani Pak Bos, biar dananya bisa cair, dan bisa membayar DP pengrajin. "Huh! Semua gara-gara Reynald!" dengkusku kesal. Aku segera bangkit dari tempat tidur, biar pun telat, solat tetap kutunaikan. Ambil wudlu sekalian mandi, usai sholat segera bersiap berangkat kerja. Gegas aku menuju jalan raya, nyegat angkot menuju kantor. "Tumben telat kamu, Luk?" sapa Diani, aku melihat jam yang melingkar di tanganku, jarum menunjuk angka 08:10. Padahal aku berangkat jam 06:30 tadi, kok masih telat? Biasanya diantar Rey berangkat dengan jam yang sama, masih mampir sarapan pula, tapi nggak telat. Untungnya perusahaan ini tidak te
Pacar Toxic 4Pak Bos tetap menemui klien meski wajah babak belur. Kepada mereka, Pak Bos cerita kalau tadi mengalami sedikit kecelakaan. Meeting berjalan lancar, mereka bersepakat menjalin kerja sama. Tentu saja aku merasa lega, insiden tadi tidak berpengaruh terhadap jalannya meeting. Usai meeting kami langsung kembali ke kantor, sepanjang perjalanan Pak Bos sama sekali tidak bicara, sikapnya acuh. Seolah aku ini tidak ada. Takut dan perasaan bersalah semakin mencengkram pikiranku. Bagiku lebih baik dimaki-maki, dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Rasanya aku seperti terpidana mati, yang menunggu eksekusi, tegang sekali. Sampai kantor pun, Pak Bos masih diam seribu bahasa. Mirip emak-emak diselingkuhin suaminya, sumpah. "Kenapa muka kamu kusut begitu?" tanya Diani ketika kami berpapasan di lobi kantor. "Kacau, Di, kacau," ucapku lesu. "Lha itu, kenapa muka bos kita babak belur gitu? Wah, pasti ada yang nggak beres ini, kamu harus cerita," tanya Diani penasaran, saat meli