Pacar Toxic 35 "Hai, Yang! Apa kabar?" Tubuhku membeku seketika demi melihat siapa yang berdiri di depanku. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Aku tak pernah cerita padanya, akan pindah ke pulau terpencil ini. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba ada disini? "Lama nggak ketemu, kamu makin cantik aja, Yang. Jadi pengen meluk kamu," ujarnya dengan ekspresi mesum. Seperti biasa, tiap diri dicekam ketakutan. Sesak nafas melanda dan tubuh kaku sulit digerakkan. Bahkan untuk menjerit minta tolong saja, sulit sekali dilakukan. "Pe---pergi!" Hanya kata itu yang meluncur dari bibirku. Padahal aku ingin sekali mengusir dan memakinya. "Hei.... Kamu nggak kangen sama aku? Padahal aku setengah mati menahan kangen sama kamu, Yang. Sini dong, peluk aku! Reymond berkata sambil terus berjalan ke arahku. Membuat ketakutan semakin mencengkram batinku. Aku bergedik ngeri, membayangkan tubuh ini dalam dekapan pria lucknut itu. Sekuat tenaga aku berusaha mundur, menjauhi laki-laki yang sangat kub
Pacar Toxic 36 Sekitar jam sebelas siang, mobil Andre memasuki area proyek. Mobil oprasional yang biasanya dekil itu, terlihat bersih. Pasti Andre sudah mencucinya sebelum pergi. Namanya juga menjemput tamu penting. Tapi bukan itu yang ingin ku bahas, melainkan sosok familiar yang tengah duduk di belakang Andre. Aku mengucek mata beberapa kali, untuk memperjelas penglihatan. Tapi tetap saja sosok itu tidak berubah sama sekali, itu artinya aku tidak salah lihat. Bukannya tadi pagi Andre pamit jemput Mr Tanaka? Kenapa sekarang jadi Pak Tema? Aku jadi curiga, Diani yang bohong, atau Andre? Tapi apa keuntungannya membohongiku? "Mbak Luluk, ini mana dulu yang dikerjakan?" Suara Pak Rudi, salah satu tukang batu. Menarik kembali kesadaranku. Saat ini aku tengah memberi pengarahan pada pria 40 tahun itu. Namun fokus ku terbagi, saat melihat Andre datang membawa tamu. "Bagian dalam dulu, Pak." Pria itu mengangguk sopan, kemudian berlalu. Kini tinggal aku yang berdiri terpaku, men
Pacar Toxic 37 "Memang kita mau kemana, Pak?" Sebagai gadis yang baik, aku tidak mau asal ikut pergi dengan laki-laki. Tragedi malam itu itu, membuatku selalu bersikap waspada dan hati-hati. Pada semua manusia berjenis laki-laki. "Ada hal penting yang mau saya bicarakan dengan kamu!" Seketika puluhan bunga bermekaran di dadaku, tapi begitu menyadari ada sosok wanita bernama Marisa, bunga itu layu seketika. Mengingat aku akan pergi dengan atasan, aku berganti baju yang sedikit layak. Tak mungkin pakai celana pendek yang mengumbar paha, entar dikira Pak Tema aku sedang promo. Tak lupa memoles wajah dengan bedak dan lipstik tipis, biar tidak terlihat kucel. Sepanjang perjalanan Pak Tema hanya diam, laki-laki itu fokus pada jalan yang memang terlihat lebih gelap, daripada jalanan di Jakarta. Dalam hati aku sibuk menerka-nerka, apa gerangan yang ingin Pak Tema bicarakan denganku? Apa soal pekerjaan? Kalau iya, kenapa tidak langsung ngomong saja tadi? Kenapa harus ngajak keluar seg
Pacar Toxic 38 Usai dengan makanannya, Pak Tema nampak merogoh sakunya. Ambil dompet untuk bayar makanan, begitu pikirku. Namun aku terkejut, ketika dia menyodorkan kotak beludru di depanku. Aku menatap kotak warna merah marun itu, kemudian beralih menatap Pak Tema. "Ini apa, Pak?" tanyaku bingung. Tanpa dijelaskan pun aku tahu, kotak itu berisi cincin. Tapi aku ingin tahu untuk apa dia menyodorkan benda itu padaku? Dia mau minta bantuanku untuk melamar Marisa, atau bagaimana. "Cincin, Luk. Kamu pikir apa?" jawabnya menyebalkan. "Iya, saya tahu isinya cincin. Tapi buat apa? Bapak mau saya jualin cincin itu?" Pak Tema berdecak kesal, mendengar jawaban konyolku. "Kamu tahu nggak, sih? Apa artinya laki-laki ngasih cincin pada wanita?" Bukannya menjawab, dia malah ngasih teka-teki. "Melamar? Ngajak nikah?" jawabku ragu-ragu, takut pertanyaannya hanya jebakan. Kalau di novel romans yang sering aku baca, atau drama Korea yang pernah ku tonton. Cowok ngasih cincin ke cewek y
Pacar Toxic 39 Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran Pak Tema, ngajak nikah kayak nagih hutang saja. Harus dibayar saat itu juga. Ini soal masa depan, butuh banyak pertimbangan, dan pemikiran yang matang. Bukan seperti beli barang, lihat, suka, bayar dan langsung angkut pulang. Oke lah, dia itu sempurna sebagai pria. Good looking dan good rekening, idaman semua wanita. Orangnya care banget, aku tahu itu. Tapi untuk menjatuhkan nggak gegabah begini. Ah, pusing aku mikirin duda satu itu. "Mbak Luluk, bangun, Mbak! Sudah pagi, Mbak!" Indria menggoyang pelan bahuku. Meski males setengah mati, aku tetap memaksa membuka mata. "Jam berapa sekarang, In?" tanyaku malas. "Setengah enam, Mbak. Kita kesiangan ini! Mbak Luluk, sih! Pulangnya malem banget, jadi kesiangan, kan!" omel gadis remaja itu. Semalam aku pulang sekitar jam sebelas-an, gara-gara Pak Tema yang nggak mau ngantar pulang kalau aku belum menerima lamarannya. "Kita bakal di sini semalaman, kalau kamu gak bilang, iy
Pacar Toxic 40 Setelah melalui perdebatan panjang, dan drama eyel-eyelan. Akhirnya aku memutuskan mengikuti rencana Pak Tema, untuk menemui orang tuaku. Tak lupa aku memberinya syarat. "Oke, saya mau jadi istrinya Pak Tema. Tapi dengan satu syarat, kita tinggal di kampung halaman saya, bukan di Jakarta. Sanggup?" Terpaksa aku mengajukan syarat yang sulit Pak Tema kabulkan. Bukan untuk menolak lamarannya, tapi karena kota metropolitan itu meninggalkan trauma di dada. Pak Tema menjentik keningku. "Sakit, Pak! Seneng banget main kasar! Belum jadi istri saja sudah dianiaya, gimana kalau sudah jadi istri?" kesalku tak terima. "Habisnya kamu ngeselin! Ngasih syarat nggak masuk akal, nggak sekalian minta dibuatin candi dalam satu malam? Yang bener aja, dong! Emang kamu mau punya suami pengangguran?" balasnya ketus. "Ya sudah kalau nggak mau, kita nggak usah nikah! Karena saya nggak mau kembali ke Jakarta! Trauma, saya!" "Ck, lebai! Masih takut sama Reymond?" Aku mengangguk cepat.
Pacar Toxic 41 Pov Tema. "Tema, kamu mau bikin Mama kena serangan jantung atau bagaimana?" tanya Mama setelah memaksaku duduk. Tanpa ba-bi-bu, wanita lima puluh lima tahu itu langsung menyeretku ke ruang makan, begitu aku memperkenalkan Luluk sebagai calon istri. Dan sekarang aku harus siap mendapat omelan panjang kali lebar kali tinggi, dari wanita yang melahirkanku ini. "Mama ini ngomong apa, sih? Mana ada Tema punya maksud jahat begitu? Memang salah Tema apa, sampai bikin Mama jantungan?" jawabku santai. Mama lagi tegang gitu, kalau ikut-ikutan ngegas, bisa terjadi huru-hara nanti. Mama kalau lagi emosi, pantang ditandingi. Dari dulu sampai sekarang, dia tidak pernah berubah. Kalau sudah marah, suka main tangan. Tak peduli usia anaknya ini sudah kepala tiga, tapi diperlakukan seperti anak kecil. Jewer telinga, cubit pantat atau paha, biasa Mama lakukan kalau lagi jengkel. Bahkan rambutku pernah dijambaknya, waktu menolak perintahnya. Untung nggak ada orang, coba kalau ada
Pacar Toxic 42 Pov Pak Tema "Mama sayang, jangan marah-marah terus, dong! Nanti cantiknya ilang, lho!" Kupeluk dan kucium keningnya. Hal yang biasa kulakukan, kalau Mama merajuk. Biasanya sih Mama langsung luluh, tapi sekarang entah kenapa dia malah melengos pergi. Apa artinya Mama marah dan menolak Luluk sebagai calon menantunya? Aku bermaksud mengejar Mama, tapi Papa menahan tanganku. "Sudah, biarkan saja! Kamu kayak nggak kenal Mamamu saja. Ayo kita makan! Nanti mubazir, sudah terlanjur disajikan tamunya malah pada pulang. Ayo, nak Luluk!" Papa memang terdabes, selalu mensikapi segala sesuatu dengan bijak. Beda dengan Mama yang impulsif, dan emosional. Meski begitu aku bersyukur, lahir dari rahimnya. "Oh, ya. Katanya nak Luluk asli kudus? Kudusnya mana? Saya dulu punya teman kuliah, namanya Muhammad Ihsan kalau gak salah. Rumahnya dekat menoro, saya pernah main ke sana," tanya Papa ketika kami sudah melingkari meja makan. "Saya kudusnya Ploso, Om. Dekat RSUD," jawab Lu
Ekstra part 2 Pov Tema. "Aaa.... " Jeritan Luluk menarik paksa kesadaranku dari alam mimpi. Ku tengok istriku tengah duduk dengan nafas memburu, tangannya memegang dada. Sudah beberapa hari ini dia sering menjerit ketakutan dalam tidurnya. Entah mimpi buruk apa yang tengah menterornya, hingga istriku ketakutan seperti ini. "Mimpi buruk lagi?" Tanya lembut, seraya memeluknya. Luluk mengangguk dalam dekapanku. Aku merasa tidak ada masalah dalam hidup kami. Hubungan kami baik-baik saja, malah sedang mesra-mesranya. Ezra sudah mandiri sekarang, sudah berani tidur di kamarnya sendiri. Jadi aku dan Luluk kembali seperti pengantin baru lagi. Lalu masalah apa hingga membebani pikiran Luluk, hingga terbawa dalam mimpi? "Memang kamu mimpiin apa?" Tanyaku lagi. Kuelus lembut punggungnya. "Mas nggak marah, kan? Kalau aku cerita?" Aku terkekeh mendengar jawaban Luluk. Masak iya aku marah hanya karena dia mimpi buruk? Ada-ada saja istriku ini. "Memang kamu mimpi apa? Selingkuh? Kalau
Pacar Toxic 53 Extra Part Sehari setelah kedatangan Tante Rumi, aku Diani mengabarkan bahwa Raymond meninggal. Aku dan Mas Tama sepakat mengirim karangan bunga, sebagai pengganti kehadiran kami. Datang ke pemakaman mantan, bukan opsi yang tepat untukku yang masih menyimpan trauma. Diani yang selama ini mengikuti kasus Raymond, menceritakan bahwa harusnya mantan pacarku itu sudah mendapat vonis, dan menjalani hukuman. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, kasus ditunda menunggu sampai Raymond sadar. Aku sempat heran, kenapa Diani begitu up-to-date terhadap kasusnya Raymond. Padahal Mas Tema yang punya kepentingan saja, sudah angkat tangan. Dia bilang padaku. "Awalnya aku dendam banget, Bund. Pengen menjebloskan dia di penjara lebih lama, kalau perlu menuntut dia dengan hukuman mati. Tapi pernyataan dokter yang menyatakan lucknut itu sudah mati batang otak, aku memilih tak peduli. Buat apa? Orang sudah nggak ada harapan gitu. Orang tuanya saja yang bodoh, buang-buan
Pacar Toxic 52 "Sayang, hati-hati nanti jatuh!" ujar Mas Tema, seraya mengejar putra kami yang berlarian di kebun belakang. "Hap! Ketangkap kamu!" tawa bapak dan anak itu berderai bersama, kemudian mereka bergulingan di rumput. Pemandangan ini hanya bisa kunikmati di akhir pekan, senin sampai jumat, Mas Tema akan sibuk di kantor atau proyeknya. Meski hanya bisa memiliki dia seutuhnya di akhir pekan, kami sangat bahagia. "Ayo! Kita lomba nangkap Bunda, siapa yang menang boleh nyium dan meluk Bunda." Ada-ada saja kelakuan bapak dua anak itu. Mana ada lomba seperti itu, jelas dia lah pemenangnya. Kalau pun kalah tetap saja dia tak ngalah sama anaknya, berebut peluk dan cium aku. "Adek enan! Adek enan!" Dengan suara cadelnya dia berseru senang. Diciumnya wajahku berkali-kali, hingga wajah ini basah oleh air liurnya. "Papa juga mau cium Bunda, dong!" Mas Tema merangsek ke arah kami, tapi dihalangi Erza. "Ndak boyeh!" Tangan mungilnya menahan wajah Mas Tema. "Kal
Pacar Toxic 51 Pov Tema "Kalau Mama tidak melarang Luluk makan rujak, pasti dia tidak seperti itu. Dia ngejar tukang rujak, pasti karena pengen banget," sesal Mama. Sejak datang Mama terus saja menangis, melontarkan semua penyesalan, atas sikapnya yang terlalu protektif terhadap Luluk, soal makanan. Mama orang yang paling merasa bersalah. "Namanya ngidam, kan, memang susah ditahan. Orang yang mau bukan dia, tapi bayinya. Mama juga pernah merasakan ngidam, tahu rasanya kalau lagi pengen sesuatu itu kayak apa. Harusnya Mama menuruti Luluk, bukan malah melarang dia makan makanan yang dia inginkan. Jadi tersiksa kan, dia. Terus ngejar tukang rujak, sampai ninggalin kantor," lanjut Mama. "Nggak ada yang salah, Ma. Semua yang terjadi sudah jadi kehendak-Nya. Kita doakan saja, semoga dokter bisa menyelamatkan anak dan istriku." Aku hampir tak bisa menahan tangis ketika berkata. Bayangan Luluk tengah bertaruh nyawa di meja operasi, membayang di pelupuk mata. Luluk dalam keadaan tida
Pacar Toxic 50 Pov Tema "Nyari Luluk, Mas?" tanya Diani ketika aku mendatangi ruangannya. Saat tiba di kantor, Luluk pamit ke ruangan Diani. Kangen katanya. Tentu saja aku tidak melarang. Dua sahabat itu sudah lama tidak bertatap muka, biarlah kangen-kangenan. Setelah Luluk melahirkan nanti, momen seperti itu akan sulit mereka temukan. Luluk akan sibuk dengan anak kami, apalagi kalau kemudian Diani menikah. Makin susah mereka buat ketemuan. Biarlah mereka menikmati kebersamaan ini. Begitu pikirku. Sementara Luluk melepas kangen dengan Diani, aku memeriksa beberapa berkas sebelum ditandatangani, dan menerima laporan secara online dari beberapa proyek yang masih dalam proses pengerjaan. Setelah selesai, aku menyusul Luluk. Aku sudah janji akan mengantarnya membeli perlengkapan anak kami. Sudah mepet waktu melahirkan. Sudah lama juga kami tidak pernah keluar berdua. Anggap saja kami pacaran lagi, sebelum disibukkan dengan kehadiran si kecil. "Tadi dia kesini, kan?" Agak aneh, ti
Pacar Toxic 49 "Gue nggak mau ikut campur, kalau sampai bos ngamuk. Yang lo lakuin ini bahaya tau, nggak? Kita harusnya menghindari masalah, biar nggak berurusan dengan polisi. Eh, elu malah cari gara-gara." "Gue cuma memanfaatkan kesempatan yang ada, Bro. Santai dikit, lah!" "Elo memang susah dibilangin! Masuk lagi tau rasa, lo!" "Tenang, Bro! Semua bakal aman, tempat ini masih steril." "Bos, Rey. Bos! Lo pikir dia nggak tahu tempat ini?" "Asal lo nggak ngomong, Bos gak bakal tahu. Lagipula aku yakin, Bos tidak akan marah. Toh, kita sudah mengerjakan tugas yang dia berikan dengan baik." "Terserah, Lo. Yang penting jangan libatkan gue." "Iya! Khawatir banget, sih, lo." "Oke, kalau begitu gue pergi sekarang. Ingat! Jangan bawa-bawa nama gue, kalau ada apa-apa." "Sip! Thanks bantuannya, Bro." "Gue cabut!" Lamat-lamat kudengar orang berbincang, entah siapa dia. Aku tak kenal suaranya. Meski terasa lengket, aku tetap berusaha membuka mata. Aku terkejut, mendapati diri ten
Pacar Toxic 48 Sejak tahu aku hamil, sikap Mas Tema semakin posesif padaku. Apa-apa nggak boleh, ini itu dilarang. Sudahlah nggak diijinin kerja, nggak dibolehin kemana-mana pula. Suruh anteng di rumah, bahkan ngantar jemput Syina sekolah juga dilarang. Dia pikir aku nggak bosen apa? Parahnya lagi, dia minta bantuan ibuku buat mantau aku di rumah. Bahkan dia datangkan Ibu dari Kudus, demi menemani aku ketika dia acara di luar kota. Bukan hanya sampai disitu, karena Ibu masih aktif sebagai ASN, maka tak bisa berlama-lama di Jakarta. Setelah Mas Tema pulang, Ibu langsung kembali ke Kudus. Sebagai gantinya, Mas Tema mendatangkan Mama. Kebangetan, nggak? Kalau sama Ibu, aku masih berani membantah bahkan mendebat. Tapi Mama? Aku langsung mati kutu. Tak mau dicap sebagai menantu durhaka, akhirnya aku hanya bisa manut pada wanita sebaya ibuku itu. Apalagi awal hubungan, Mama sempat tidak merestui. Alhasil aku harus berkata dan bersikap hati-hati, demi tidak menyinggung perasaan wanita
Pacar Toxic 47 Pov Tema Hampir setiap hari Luluk muntah-muntah, setiap makanan yang masuk ke perutnya langsung dikeluarkan. Ditambah lagi dia tidak mau dekat-dekat aku, katanya aku ini bau. Padahal sudah mandi, dan pakai minyak wangi. Yang terakhirnya dia mengeluh lemas, nggak bisa melakukan aktivitas apapun. Karena merasa khawatir, akupun membawanya ke dokter. Tapi sama dokter umum disarankan periksa ke Obsgin. Dan disinilah kami sekarang. "Wah.... Selamat ya, Pak. Sudah delapan minggu, ini," ucap dokter debat tag name dr. Anita Kusuma Wardani itu. Spog. itu. Delapan minggu? Apa artinya Luluk sudah hamil delapan, atau bagaimana? Ucapan dokter yang menurutku ambigu itu, membuatku bingung. "Maksudnya dokter?" Luluk menyenggol lenganku. "Aku hamil delapan minggu, Mas," bisik Luluk di tekingaku, tentu saja disertasi pelototan. Akhi-akhir ini dia berubah jadi galak. "Istri saya hamil, Dokter?" tanyaku memastikan. Bukannya tidak senang mendapat kabar istri lagi hamil, aku ha
Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka