Pacar Toxic 20 Pov Pak Tema. "Bukannya Papa mau mencampuri urusan rumah tanggamu, Papa hanya kasihan melihat kamu hidup seperti robot seperti itu. Mau sampai kapan kamu seperti ini? Ceraikan Meli, dan menikah lagi. Kalau kamu tidak tega, kamu bisa poligami dia dan tetap merawat dia tanpa perlu meninggalkannya. Apa kamu tidak ingin hidup normal seperti orang lain?" Selalu seperti itu. Ini bukan pertama kalinya Papa memintaku menceraikan Melly, wanita yang ku nikahi 5 tahun lalu. Bukan tanpa alasan Papa berkata seperti itu. Sejak melahirkan anak pertama kami, Melly tidak bisa menjalankan perannya sebagai istri. Anak kami pun tak pernah mendapat kasih sayang darinya, sejak lahir hingga sekarang. Papa bahkan pernah menyodorkan beberapa wanita, yang menurutnya layak menjadi istriku. Namun dengan tegas kutolak. Pernikahan bagiku sakral, bukan untuk dipermainkan. Sebagai laki-laki normal, tentu aku ingin dilayani istriku. Mendapat perhatian dan kasih sayang semestinya, tapi gangguan
Pacar Toxic 21 Pov Pak Tema Luluk segera mendapat penanganan dari tim medis rumah sakit, dan sekarang sudah berada di kamar perawatan. Tubuhnya sudah dibersihkan, dan sudah dipakaikan baju sama perawat. Bukan aku, ya. Aku yang sempat mengkhawatirkan kondisinya, sekarang bisa bernafas lega setelah mendengar penjelasan dokter. "Pasien hanya mengalami luka luar, tak ada organ dalam yang luka," jelas dokter yang menangani Luluk. "Apa pasien sampai diperkosa, Dok? Maksud saya apa pelaku berhasil memperkosa korban?" Bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Ketika menerobos masuk, kulihat Reymond berada di atas tubuh Luluk. Bukan tidak mungkin saat itu dia sudah berhasil menodai gadis itu. "Kami tidak menemukan bekas aktivitas seksual. Untuk hasil yang lebih akurat, kami menunggu pemeriksaan dari dokter forensik. Yang mengeluarkan surat visum juga dokter forensik nanti. Jadi, hasilnya itu bisa anda gunakan sebagai bukti untuk melaporkan tersangka," jelas Dokter itu. Aku be
Pacar Toxic 22 Sayup-sayup suara azan menarik kembali kesadaranku. Meski mata terpejam, aku bisa rasakan tubuh kaku dan nyeri di sekujur badan. Jangan tanya bagaimana rasanya. Ya Allah.... Sakitnya minta ampun. "Sshh..." Aku mendesis kesakitan, manakala berusaha menggerakkan badan. Nyeri itu semakin menyiksa. Jangankan untuk bergerak membuka mata saja sakitnya luar biasa. Perlahan ku coba kembali merangkai kembali kepingan ingatan, sebelum aku tersadar kembali. Ya, aku ingat sekarang. Raymond menerobos masuk ke kamarku dalam keadaan mabuk, lalu membabi-buta menghajarku. Sebelum aku pingsan, kudengar suara Diani meneriakkan namaku. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Bahkan sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, kupikir aku sudah kehilangan nyawa. Meski susah payah, Akhirnya aku berhasil membuka mata. Hal pertama yang tertangkap inderaku, adalah ruangan serba putih, bau obat yang menyengat, dan selang infus menancap di tangan kiriku. Hal yang membuatku yakin sedang berada d
Pacar Toxic 23 Sehari rasanya seperti se-abad, membosankan sekali berada di rumah sakit sendirian. Tak ada teman ngobrol, hanya HP yang dari tadi menemani. Tapi lama-lama bosan juga. Beralih ke TV acaranya tidak ada yang menarik sama sekali. Mau tidur lagi, seharian ini aku sudah kebanyakan tidur. Menunggu Diani datang, yang ditunggu-tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Huft! Membosankan! Kalau tidak ingat lagi sakit, sudah kabur aku. Kalau seperti ini aku jadi kangen Ibu dan bapakku. Bagaimana kalau mereka tahu anaknya babak belur dianiaya orang? Pasti aku disuruh pulang, dan tak diijinkan lagi bekerja di sini. Di kotaku, paling aku hanya menjadi admin perusahaan rokok, elektronik atau garmen. Sedangkan menjadi desainer interior adalah impianku sejak dulu. Ah, lebih baik mereka tidak tahu keadaanku. "Hallo Bestie .... How are you to day....?" Akhirnya Diani datang juga, dengan gaya khasnya yang menyebalkan. Dia nanyain kabar? Hallo.... Dia nggak lihat bagaimana ke
Pacar Toxic 24 Hari ke-3 di rumah sakit. "Di, aku ngrasa, kok, nggak enak sama Pak Tema, ya?" ucapku pada Diani yang sore ini datang menjengukku. Dahi Diani berkerut, dia menatapku. "Kenapa?" "Ya, nggak enak aja. Tiap hari dia repot-repot nungguin aku, sementara ada istri di rumah yang menunggu. Aku takut istrinya salah paham. Aku nggak mau mereka berselisih gara-gara aku. Tolong kamu ngomong ke Pak Tema, gak usah nungguin aku," ucapku mengeluarkan unek-unek dalam hatiku. Sejak di rawat, tiap pagi sebelum berangkat kerja, Pak Tema selalu menyempatkan diri untuk menjengukku. Dan sepulang kerja dia akan mampir lagi. Tak lupa bawa cemilan. Meski tak sampai menginap, tetap saja aku merasa tidak enak. Selain menghindari gunjingan, aku tidak mau tumbuh rasa yang tidak pada tempatnya, mengingat statusnya sebagai suami orang. "Kenapa kamu nggak ngomong sendiri aja?" "Sudah, tapi Pak Tema bilang nggak papa, nggak merasa direpotkan juga." "Ya, udah. Kalau begitu kamu nggak perlu merasa
Pacar Toxic 25 Usai menjalani perawatan, aku kembali menjalani aktivitasku seperti biasa. Hari ini aku masuk kerja karena ada meeting dan persiapan keberangkatan ke Karimun. Memang proyek ini bukan menjadi tanggung jawabku saja, melainkan semua tim yang dilibatkan. Aku bahkan paling akhir bergabung, semua sudah diurus sejak beberapa bulan lalu. Vendor, perijinan, dan segala tetek bengeknya, kantor semua yang ngurus. Banyak yang harus diselesaikan sebelum aku berangkat ke Karimun. Selain urusan kantor, aku juga akan datang ke kantor polisi siang ini. Untuk memberikan keterangan. Aku tidak sendiri nanti, tapi ada pengacara yang mendampingi. Pak Lukman namanya. Kami akan bertemu di kantor polisi nanti. Meski sudah ada pengacara, entah mengapa Pak Tema kekeh ikut menemani. Aneh, kan? "Saya bisa berangkat sendiri, Pak. Bapak nggak perlu repot-repot mengantar," tolak ku halus, saat Pak Tema mengutarakan maksudnya. "Mau naik apa, kamu?" "Ojol, Pak." "Ck! Nggak aman, kalau ternyat
Pacar Toxic 26 "Tante Rumi, saya minta maaf tidak bisa ngobrol lama-lama. Ada meeting penting yang harus saya hadiri," bohongku. Kalau aku bilang akan ke kantor polisi, bisa terjadi drama berjilid-jilid. "Oh, iya. Silahkan! Sekali lagi saya mohon, pertimbangkan permintaan saya, Mbak Luluk," pintanya sebelum pergi. Lekas aku meninggalkan Tante Rumi, yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Ada setitik sesal dalam hati, karena menolak permintaan Tante Rumi. Tapi mau bagaimana lagi? kesalahan Reymond bukan kesalahan sepele, yang bisa selesai hanya dengan kata maaf. Kalau kali ini kumaafkan, bisa jadi kejadian serupa terulang lagi. Mungkin dengan begini dia bisa instropeksi diri, dan mau berubah lebih baik. Aku tipe orang yang gak enakan, kadang rela mengalah pada orang lain, meski akhirnya aku sendiri yang kesulitan. Semua ini bukan tanpa alasan, ibuku pernah berpesan. "Hati-hati dalam berucap dan bersikap, jangan sampai menyinggung, apalagi menyakiti perasaan orang lain. Orang
Pacar Toxic 27 "Dasar lont*! Wajahmu aja yang kelihatan lugu, ternyata kamu jadi simpanan suami orang!" Makian Reymond kembali terngiang, namun sekuat mungkin aku menepis. Beberapa kalian ku pukul-pukul kepalaku sendiri, untuk menghilangkan bayangan itu. Menyadari perubahan sikapku, Pak Tema menoleh. Melihat Reymond berjalan ke arah kami, Pak Tema berdiri di sisiku. Diraihnya jemariku, lalu diremasnya lembut menyalurkan kekuatan. Langkah Reymond semakin lama semakin dekat, ketakutan yang kurasakan semakin mencengkeram. Tanpa sadar aku membalas genggaman Pak Tema. "Bug!" "Pak Tema!" Aku dan Pak Lukman memekik bersamaan. Rupanya, meski tangan terborgol tak menghentikan aksi Reymond untuk menyakitiku. Dia bermaksud menendangku, namun Pak Tema gesit melindungi. Hingga kaki Reymond menyasar ke tubuh atasanku itu, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Kejadiannya begitu cepat, dan sama sekali diluar prediksi. Sebelumnya Pak Lukman menjelaskan, bahwa aku tidak ak
Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka
Pacar Toxic 45 Babak baru sebagai Nyonya Tema dimulai. Kami sudah kembali ke Jakarta, dan kini tinggal di rumah Mas Tema. Siap menyambut aktivitas yang beberapa waktu kami tinggalkan, demi menjalani prosesi akad nikah dan resepsi. Walau bukan pesta mewah, nyatanya tetap melelahkan juga. Pagi ini sebagai istri dan ibu sambung, aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Jangan kalian pikir aku yang masak, bukan. Ini semua hasil karya Bu Mini, pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah ini. Aku hanya membantu menyiapkan. "Mau disuapin, Unda.... " rengek Syina, manja. Padahal setiap hari makan sendiri, tapi sejak ada aku dia maunya disuapi. Bukan hanya ketika makan, mandi, tidur, belajar pun minta sama Unda, panggilan sayang Syina untukku. "Katanya sudah gede, kok, minta disuapin, sih?" Bibir Syina mengerucut, tanda dia tak suka dengan ucapanku. "Oke, deh. Bunda suapin, tapi besok makan sendiri ya?" Gadis itu tak menjawab, hanya anggukan yang dia berikan. "Syina makan se
Pacar Toxic 44 Akhirnya hari bahagia itu tiba, aku dan Mas Tema resmi menikah. Akad dan resepsi di gelar di Kudus, kota kelahiranku. Di Jakarta, keluarga suamiku menggelar acara sama sekali. Kata Mas Tema. "Aku ini kan duda, sudah pernah menggelar acara yang sama. Nggak enak aja, ngerepotin orang terus." "Nggak masalah, emang? Kalau mereka merasa nggak dianggap gimana? Terus tersinggung, dan mutusin kontrak kerja sama," tanyaku saat itu. "Ya biarin aja. Belum rejeki berarti," jawabnya santai. "Kenapa, sih? Malu punya istri bukan dari kalangan orang kaya?" kejarku. Aku sempat kepikiran, Mas Tema malu kalau koleganya tahu, bahwa istrinya ini status sosialnya tidak sepadan. Tapi Mas Tema mengelak. Dia bilang memang tak suka pesta, dan hura-hura. Lagipula dia tidak mau ada yang iri, dan sakit hati melihat Mas Tema menggelar pesta pernikahan besar-besaran. "Sayang, kamu nggak tahu di luar sana ada orang yang tidak suka melihat kita bahagia. Namanya orang tidak suka, sakit hati,
Pacar Toxic 43 "Lho, Mas. Kok, nggak ke kantor?" Jelas aku heran, mobil yang disopiri Mas Tema bukannya belok ke kantor, tapi justru melewatinya begitu saja. "Kamu nggak usah ke kantor dulu, Sayang. Ke rumah aja, ya. Belajar ngurus Syina, antar dia sekolah," jawab Mas Tema tanpa menatapku. "Kan, ada Suster Sari, Mas. Biasanya juga dia yang ngurus kebutuhan Syina," sanggahku. "Kamu bakal jadi Ibu sambungnya. Mulai sekarang kamu harus lebih dekat dengan Syina, tahu apa saja kebiasaan dan kegiatannya." Mas Tema masih enggan menatapku. Aku sudah dipertemukan dengan Syina, kami juga sudah menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabkan diri satu sama sama lain. Gadis hampir empat tahun terlihat menggemaskan, mudah akrab dengan orang baru termasuk aku. Aku rasa tak perlu mengorbankan waktu kerja demi mendekati gadis itu. "Mas, perjanjiannya kemarin nggak gitu, deh. Kamu bilang hari ini bisa mulai masuk kantor lagi, kenapa sekarang jadi berubah haluan? Ada apa sih?" Entahlah, aku
Pacar Toxic 42 Pov Pak Tema "Mama sayang, jangan marah-marah terus, dong! Nanti cantiknya ilang, lho!" Kupeluk dan kucium keningnya. Hal yang biasa kulakukan, kalau Mama merajuk. Biasanya sih Mama langsung luluh, tapi sekarang entah kenapa dia malah melengos pergi. Apa artinya Mama marah dan menolak Luluk sebagai calon menantunya? Aku bermaksud mengejar Mama, tapi Papa menahan tanganku. "Sudah, biarkan saja! Kamu kayak nggak kenal Mamamu saja. Ayo kita makan! Nanti mubazir, sudah terlanjur disajikan tamunya malah pada pulang. Ayo, nak Luluk!" Papa memang terdabes, selalu mensikapi segala sesuatu dengan bijak. Beda dengan Mama yang impulsif, dan emosional. Meski begitu aku bersyukur, lahir dari rahimnya. "Oh, ya. Katanya nak Luluk asli kudus? Kudusnya mana? Saya dulu punya teman kuliah, namanya Muhammad Ihsan kalau gak salah. Rumahnya dekat menoro, saya pernah main ke sana," tanya Papa ketika kami sudah melingkari meja makan. "Saya kudusnya Ploso, Om. Dekat RSUD," jawab Lu
Pacar Toxic 41 Pov Tema. "Tema, kamu mau bikin Mama kena serangan jantung atau bagaimana?" tanya Mama setelah memaksaku duduk. Tanpa ba-bi-bu, wanita lima puluh lima tahu itu langsung menyeretku ke ruang makan, begitu aku memperkenalkan Luluk sebagai calon istri. Dan sekarang aku harus siap mendapat omelan panjang kali lebar kali tinggi, dari wanita yang melahirkanku ini. "Mama ini ngomong apa, sih? Mana ada Tema punya maksud jahat begitu? Memang salah Tema apa, sampai bikin Mama jantungan?" jawabku santai. Mama lagi tegang gitu, kalau ikut-ikutan ngegas, bisa terjadi huru-hara nanti. Mama kalau lagi emosi, pantang ditandingi. Dari dulu sampai sekarang, dia tidak pernah berubah. Kalau sudah marah, suka main tangan. Tak peduli usia anaknya ini sudah kepala tiga, tapi diperlakukan seperti anak kecil. Jewer telinga, cubit pantat atau paha, biasa Mama lakukan kalau lagi jengkel. Bahkan rambutku pernah dijambaknya, waktu menolak perintahnya. Untung nggak ada orang, coba kalau ada
Pacar Toxic 40 Setelah melalui perdebatan panjang, dan drama eyel-eyelan. Akhirnya aku memutuskan mengikuti rencana Pak Tema, untuk menemui orang tuaku. Tak lupa aku memberinya syarat. "Oke, saya mau jadi istrinya Pak Tema. Tapi dengan satu syarat, kita tinggal di kampung halaman saya, bukan di Jakarta. Sanggup?" Terpaksa aku mengajukan syarat yang sulit Pak Tema kabulkan. Bukan untuk menolak lamarannya, tapi karena kota metropolitan itu meninggalkan trauma di dada. Pak Tema menjentik keningku. "Sakit, Pak! Seneng banget main kasar! Belum jadi istri saja sudah dianiaya, gimana kalau sudah jadi istri?" kesalku tak terima. "Habisnya kamu ngeselin! Ngasih syarat nggak masuk akal, nggak sekalian minta dibuatin candi dalam satu malam? Yang bener aja, dong! Emang kamu mau punya suami pengangguran?" balasnya ketus. "Ya sudah kalau nggak mau, kita nggak usah nikah! Karena saya nggak mau kembali ke Jakarta! Trauma, saya!" "Ck, lebai! Masih takut sama Reymond?" Aku mengangguk cepat.
Pacar Toxic 39 Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran Pak Tema, ngajak nikah kayak nagih hutang saja. Harus dibayar saat itu juga. Ini soal masa depan, butuh banyak pertimbangan, dan pemikiran yang matang. Bukan seperti beli barang, lihat, suka, bayar dan langsung angkut pulang. Oke lah, dia itu sempurna sebagai pria. Good looking dan good rekening, idaman semua wanita. Orangnya care banget, aku tahu itu. Tapi untuk menjatuhkan nggak gegabah begini. Ah, pusing aku mikirin duda satu itu. "Mbak Luluk, bangun, Mbak! Sudah pagi, Mbak!" Indria menggoyang pelan bahuku. Meski males setengah mati, aku tetap memaksa membuka mata. "Jam berapa sekarang, In?" tanyaku malas. "Setengah enam, Mbak. Kita kesiangan ini! Mbak Luluk, sih! Pulangnya malem banget, jadi kesiangan, kan!" omel gadis remaja itu. Semalam aku pulang sekitar jam sebelas-an, gara-gara Pak Tema yang nggak mau ngantar pulang kalau aku belum menerima lamarannya. "Kita bakal di sini semalaman, kalau kamu gak bilang, iy
Pacar Toxic 38 Usai dengan makanannya, Pak Tema nampak merogoh sakunya. Ambil dompet untuk bayar makanan, begitu pikirku. Namun aku terkejut, ketika dia menyodorkan kotak beludru di depanku. Aku menatap kotak warna merah marun itu, kemudian beralih menatap Pak Tema. "Ini apa, Pak?" tanyaku bingung. Tanpa dijelaskan pun aku tahu, kotak itu berisi cincin. Tapi aku ingin tahu untuk apa dia menyodorkan benda itu padaku? Dia mau minta bantuanku untuk melamar Marisa, atau bagaimana. "Cincin, Luk. Kamu pikir apa?" jawabnya menyebalkan. "Iya, saya tahu isinya cincin. Tapi buat apa? Bapak mau saya jualin cincin itu?" Pak Tema berdecak kesal, mendengar jawaban konyolku. "Kamu tahu nggak, sih? Apa artinya laki-laki ngasih cincin pada wanita?" Bukannya menjawab, dia malah ngasih teka-teki. "Melamar? Ngajak nikah?" jawabku ragu-ragu, takut pertanyaannya hanya jebakan. Kalau di novel romans yang sering aku baca, atau drama Korea yang pernah ku tonton. Cowok ngasih cincin ke cewek y