Share

Bab 4

Pacar Toxic 4

Pak Bos tetap menemui klien meski wajah babak belur. Kepada mereka, Pak Bos cerita kalau tadi mengalami sedikit kecelakaan.

Meeting berjalan lancar, mereka bersepakat menjalin kerja sama. Tentu saja aku merasa lega, insiden tadi tidak berpengaruh terhadap jalannya meeting.

Usai meeting kami langsung kembali ke kantor, sepanjang perjalanan Pak Bos sama sekali tidak bicara, sikapnya acuh. Seolah aku ini tidak ada. Takut dan perasaan bersalah semakin mencengkram pikiranku.

Bagiku lebih baik dimaki-maki, dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Rasanya aku seperti terpidana mati, yang menunggu eksekusi, tegang sekali.

Sampai kantor pun, Pak Bos masih diam seribu bahasa. Mirip emak-emak diselingkuhin suaminya, sumpah.

"Kenapa muka kamu kusut begitu?" tanya Diani ketika kami berpapasan di lobi kantor.

"Kacau, Di, kacau," ucapku lesu.

"Lha itu, kenapa muka bos kita babak belur gitu? Wah, pasti ada yang nggak beres ini, kamu harus cerita," tanya Diani penasaran, saat melihat Pak Bos melewati kami, tanpa menyapa sama sekali. Padahal Pak Bos itu orangnya ramah, tapi disiplin dan tegas.

"Hah? Kepar*t emang si Rey itu. Fix putusin aja cowok model begitu, gila dia!" Diani kaget mendengar ceritaku, tentang Reymond yang tiba-tiba menyerang Pak Bos, hingga memicu terjadinya baku hantam.

"Itulah, Di. Aku bingung," lirihku.

"Kenapa, kamu masih cinta? Denger ya, Luk! Sikap Rey itu sudah diluar batas kewajaran, alias sudah keterlaluan. Cemburu sih cemburu, tapi nggak membabi buta begitu, dong!" salak Diani galak. Kelihatan dia jengkel sekali pada Reymond, padahal nggak ada orangnya.

"Terus, aku harus bagaimana?"

"Kok, bagaimana? Ya putusin aja, apa susahnya, sih! Denger ya, Luk! Kamu bisa dipecat gara-gara masalah ini. Oke lah kamu bisa nyari kerjaan lain, di tempat baru, dengan orang baru yang tidak tahu menahu masalah ini. Tapi kalau kamu masih pacaran sama cowok "sakit" itu, kamu bakal terus dapat masalah. Percaya aku, deh. Dah, putusin aja! Mau sampai kapan kamu kayak gini? Pacar toxic dipelihara, mending dieempanin ke kandang buaya aja!" ucap Diani berapi-api, sementara aku hanya bisa menelan ludah. Persis anak kecil yang diomelin maknya, gegara telat pulang main.

"Tapi aku takut, Di. Kalau aku putusin dia, takutnya dia nekat. Kan, kamu tahu sendiri dia seperti apa? Kalau dia nyakitin aku gimana?"

"Tinggal lapor polisi, gitu aja kok repot!" jawabnya enteng.

Dia sih enak tinggal ngomong. Lha aku? Berhadapan dengan Reymond nggak semudah yang dia katakan.

"Masuk penjara dong, dia?"

"Biar itu jadi pelajaran buat dia, jangan seenaknya jadi orang," pungkas Diani.

Iya aku mau putus, tapi aku bingung bagaimana caranya ngomong sama Reymond, tanpa membuat dia sakit hati, dan bisa menerima kenyataan, kalau hubungan kami sudah tak mungkin lagi dipertahankan.

"Huf!" Aku membuang nafas kasar, kenapa semua jadi rumit begini?

Otakku buntu, pikiranku semrawut, memikirkan kejadian tadi siang, dan kemungkinan aku kehilangan pekerjaan. Reymond, Reymond.... Kenapa sih, kamu suka banget bikin masalah.

Pikiran lagi suntuk-suntuknya, tiba-tiba panggilan dari Reymond masuk. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Karena lagi sebel sama dia, panggilan aku reject. Tapi bukan Rey namanya, kalau menyerah begitu saja. Berpuluh-puluh pesan dia kirim, yang didominasi kata maaf dan penyesalan. Reymond memang begitu, mudah membuat kekacuan, mudah pula minta maaf, nggak mikir kalau akibat perbuatannya bisa merugikan orang lain.

Ingin sekali aku ke ruangan Pak Bos, mengobati lukanya dan meminta maaf, tapi aku tidak punya cukup nyali. Melihatku saja dia enggan, mungkin dia sangat marah, entahlah.

"Luk! Dari tadi bengong aja, sudah waktu pulang." Ucapan Diani membuyarkan lamunanku.

"Eh iya, sampai nggak nyadar sudah sore."

"Aku duluan ya? Atau mau bareng?" tawarnya.

"Boleh deh." Aku mengambil tas dan mengikuti langkah Diani.

Tiba di lobby kantor, aku lihat Rey duduk di atas motor, sepertinya dia sengaja menungguku.

"Di, kamu duluan aja," ucapku langsung balik arah.

"Eits, mau kemana?" Diani menahan tanganku.

"Tuh!" Aku menunjuk keluar dengan tatapan.

"Hmmm, pantes. Ditungguin preman to? Dah, kamu tunggu di sini. Biar aku yang mengatasi kepar*t itu. Berani-beraninya datang ke kandang macan." Diani menyingsingkan lengan bajunya, seolah siap berkelahi.

"Di, jangan!" Diani melangkah menuju parkiran, mendatangi Reymond tanpa menghiraukan laranganku.

Bukannya aku takut terjadi apa-apa sama Diani. Di sini ada satpam, juga karyawan lainnya. Kalau Reymond macam-macam, bisa dipastikan justru dia yang akan mendapat kesulitan. Yang kukhawatirkan itu, Reymond berbuat onar, dan membuat Pak Bos makin marah. Runyam kan, jadinya?

Entah apa yang dikatakan Diani, Reynald pergi begitu saja meninggalkan parkiran.

"Beres, kan? Diani gitu loh!" ucap Diani pongah.

"Emang kamu ngomong apa sama dia?" tanyaku penasaran.

"Aku bilang kamu keluar sama Pak Bos, belum kembali ke kantor, itu saja."

"Kok, dia percaya begitu saja?"

"Tahu tuh! Sebelum pergi dia titip pesan buat kamu. Katanya dia menyesal dan janji nggak ngulangi lagi," jelas Diani.

"Oh, tapi aku beneran takut tadi. Takutnya kamu diapa-apain sama dia."

"Kamu terlalu cemas berlebihan, yuk ah kita pulang," ajak Diani.

Aku dan Diani menuju parkiran, mengambil motor, kemudian pulang. Sepanjang perjalanan, Diani banyak menasehatiku. Ya menasehatiku, karena kali ini kata-katanya bijak, nggak bar-bar kayak biasanya.

"Kamu sebaiknya pindah kosan, ganti sim card sekalian. Pokoknya tutup semua akses dia, untuk menghubungimu. kalau kamu benar-benar ingin putus dengan Reymond," jawab Diani, kala kukatakan aku ingin putus dari Reymond saja, tapi takut dia terus mencariku.

"Kalian ketemu di mana, sih? Kok bisa-bisanya kamu kenal cowok kek gitu?"

Aku ketemu Reymond di terminal, waktu itu baru saja menginjakkan kaki di kota ini. Aku yang belum tahu-tahu apa, bertanya pada Ibu pemilik warung, alamat kosan yang murah, yang deket kantor. Reymond yang kebetulan sedih makan di sana, pun menjawab pertanyaanku. Dia juga mengantarkan aku ke kosan, kata dia temannya ada yang kos di sini.

Hubungan kami berlanjut, Reymond sering nelfon bahkan berkunjung. Lama-lama tumbuh rasa, dan kami pun menjalin cinta. Awalnya aku merasa nyaman, di sini aku sendirian. Sementara Reymond begitu baik dan perhatian.

Tapi akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman, karena perhatiannya yang berlebihan. Dan akhirnya menimbulkan masalah untukku.

Menuruti Diani, aku pun mengirim pesan pada Reymond.

["Rey, aku minta maaf"]

["Maaf untuk apa? Harusnya aku yang minta maaf"] balasnya.

["Maaf atas kesalahanku selama ini"]

["Maaf, karena tidak sanggup lagi menjadi kekasihmu"] tulisku beruntun.

["Maksudmu apa?"]

["Jangan-jangan bosmu yang nyuruh"]

Tuh, kan. Belum apa-apa dia sudah berprasangka buruk, membuatku semakin yakin untuk berpisah darinya.

["Ini tidak ada hubungannya dengan siapapun"]

["Aku ingin kita putus"]

["Maaf dan terima kasih atas kebaikan kamu selama ini"] pungkasku.

Setelah menulis pesan terakhir, aku buru memblokir kontak Reymond, dan semua medsosnya. Lega sekaligus was-was, takut dia berulah. Mengingat bagaimana kerasnya watak cowok yang kini sudah jadi mantan pacarku itu.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status