Share

Bab 5

Pacar Toxic 5

Sejak resmi memutuskan hubungan dengan Reymond daku fokus dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak mengalami patah hati, tapi lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu aku tak sempat mikirin Reymond. Mau jalan-jalan ya nggak mungkin, aku kurang tahu daerah sini. Nggak ada temennya juga. Diani sibuk sama pacarnya. Lagipula aku anak rantau, harus ekstra hemat agar bisa nabung. Masa iya habis merantau masih miskin juga?

Memang hubungan kami baru setahun jalan, tapi banyak kenangan dan momen yang sudah kami lewati. Dan bukan perkara mudah untuk melupakan semua itu. Apalagi selama tinggal di kota ini, duniaku hanya seputar kantor dan Reymond. Tahu sendiri, di kota ini hanya dia dan Diani yang akrab denganku.

Pagi berangkat kerja, diantar Reymond. Di tempat kerja, hampir tiap jam Reymond nelfon nanya aku sedang apa? Makan siang, sama Reymond juga. Pulang kantor pun di jemput Reymond. Reymond lagi, Reymond lagi. Jadi, melupakan Reymond effortnya luar biasa. Butuh waktu dan perjuangan, apalagi dia pacar pertamaku. Aku berharap kesibukan dan seiring berjalannya waktu, Reymond terlupakan dan lukaku sembuh dengan sendirinya.

Entah terlalu cinta, atau bagaimana. Kadang aku kangen Reymond juga. Kangen diantar jemput, kangen makan bareng, kangen perhatiannya, kangen suaranya, senyum manisnya. Pokoknya aku kangen semua tentang Reymond. Namun begitu aku tetap berusaha sebisa mungkin untuk melupakan sosoknya, mengingat betapa toxicnya hubungan kami.

'Ya Allah .... Ternyata patah hati se-nyesek ini'

"Senyum, Luk! Senyum! Tegang amat itu muka. Biar patah hati, wajah harus tetap ceria!" Seperti biasa, Diani selalu mengganggu ketenanganku.

Dia yang menjadi tempat curhatku selama ini. Jadi, dia yang paling tahu apa kurasakan saat ini.

Aku menarik bibirku ke atas, hingga lengkungan menyerupai senyum.

"Senyumnya yang ihlas, dong.... Jangan kaku begitu." Diani menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

"Udah deh, Di! Aku mau kerja, kamu jangan ganggu terus! Entar ketahuan Pak Bos kerja nggak serius terus dapat SP, nangis!" Aku menepis tangan Diani dari wajahku.

"Nggak takut, tuh! Kan, aku aku punya orang dalam. Jadi aman lah posisiku." Diani pernah cerita, dia masih ada hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan.

"Kamu aman! Nah, aku?" Diani terkekeh mendengar ucapanku.

"Serius amat, Jeng! Kerja itu harus dengan hati yang bahagia, biar hasilnya maksimal. Lah, kamu? Muka kaku kek kanebo kering gitu. Senyum, dong! Biar aura positif menghampiri, dan hasil pekerjaanmu memuaskan. Lagian kamu ini, putus sama cowok kampret aja galaunya nggak habis-habis. Move on, Jeng, move on! Hidup harus tetap berjalan meski nggak punya pacar," ucap Diani berapi-api. Sudah seperti motivator aja dia!

"Udah pidatonya?" sinisku.

"Ih, kamu ini ya! Diberi pencerahan bukannya terima kasih malah sinis begitu. Yang aku omongin semuanya bener, Luk! Patah hati boleh, sedih juga nggak ada yang larang. Tapi jangan berlebihan gitu, dong! Kayak cowok di dunia tinggal Reymond aja!" Bukannya berhenti, Diani justru semakin menjadi.

Diani memegang kedua bahuku, dia memaksaku menatap ke padanya. "Luluk, lihat aku! Aku perhatiin kamu sudah seperti robot tahu, nggak. Hidup hanya sekedar hidup, jiwamu melayang entah kemana. Semangat, Luk! Semangat! Tatap masa depan! Aku paham nggak mudah buat kamu lupain Reymond, tapi jangan letoy gini, dong! Atau kamu cari cowok baru aja, biar cepet nglupain si Reymond itu."

"Sudah selesai tausiyah, Ustadzah? Saya harus kembali bekerja, tugas saya masih banyak," sahutku kesal sambil menepis tangan Diani dari bahuku.

"Diani! Kamu dibayar untuk bekerja, bukan untuk ngerumpi!" Suara tegas Pak Bos menginterupsi obrolan kami. Sontak aku dan Diani kalang kabut berlari ke kubikel masing-masing.

"Saya mau ini yang terakhir, saya melihat karyawan ngobrol yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, di jam kerja!" ucap Pak Bos lagi.

Kami berdua tak berkutik sama sekali, hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Meski dikit, ucapan Pak Bos ini termasuk kalimat sakti yang harus dipatuhi karyawan di sini. Bisa jadi masalah besar, kalau berani membantah. Jangan sampai kalimat keramat meluncur dari bibirnya. Bahaya! Karena aku sudah pernah bikin masalah, jadi paling aman cukup diam saja.

Hening, di antara kami berdua tak ada yang berani angkat bicara. Pak Bos pun masih diam di tempatnya, entah siapa yang ditatap. Aku atau Diani, aku tak tahu. Karena dari tadi hanya menunduk.

"Diani! Kamu ke ruangan saya sekarang!" titah suara itu dengan tegas.

Tak ada jawaban dari Diani. Aku tebak dia mengangguk sopan. Aku mana berani melihat? Melirik aja takut.

Mereka berdua meninggalkan ruangan, itu bisa kudengar dari suara sepatunya yang beradu dengan lantai, dan semakin menjauh hingga akhirnya tak terdengar.

"Hhh...." Akhirnya aku bisa bernafas lega sekarang. Mereka sudah pergi.

Kenapa Diani dipanggil, ya? Bukannya deadline laporannya masih nanti sore? Apa Diani dapat sanksi, karena ketahuan ngobrol di jam kerja? Kalau iya, kenapa hanya Diani saja? Kok, aku enggak? Ih, Pak Bos pilih kasih.

Ah ya, aku lupa. Pak Bos masih marah karena kejadian di resto waktu itu. Pak Bos bahkan mendiamkan aku, nggak akan bicara kalau nggak penting banget. Itu pun hanya sepatah dua patah kata.

'Aku harus apa, Bos? Agar dapat maafmu' Batinku bermonolog.

* * * * * * * * * * * * *

Aku punya kebiasaan aneh, sejak putus dari Reymond. Tiap di kosan, aku selalu mengunci pintu kamar, lampu pun aku matikan. Antisipasi kalau Reymond datang, agar dia pikir aku sedang pergi. Aku memang setakut itu pada cowok tempramen itu.

Seminggu berlalu, Reynald tak pernah menememuiku. Kupikir dia sudah bisa menerima keputusanku, dan move dengan cari gandengan baru. Meski nggak ganteng-genteng banget, Reymond termasuk good looking. Aku rasa dia bisa dengan mudah mencari penggantiku. Kalau mikir kesitu, hatiku bagai ditusuk sembilu.

'Hati, kenapa kamu plin-plan begini?'

Lagi asik-asiknya melamun, tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring. Sebuah panggilan dari nomor asing masuk. Aku harap itu bukan Reymond yang pakai nomer baru.

"Halo, Assalamu'alaikum ...." Meski ragu, aku tetap mengangkat panggilan itu. Takut kalau ternyata ada panggilan penting.

"Waalaikum salam. Benar ini saya sedang bicara sama, Mbak Luluk?" sapa suara wanita dari seberang sana.

"Maaf, ini siapa ya?" Tentu aku tidak mau langsung menjawab iya. takut penelfon ternyata sindikat penipu. Jaman sekarang kejahatan makin banyak modusnya.

"Saya Tante Rumi, ibunya Rey. Ini bener Mbak Luluk, kan?" tanya suara itu lagi

Deg! Ibunya Rey? Ada apa ini?

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status