Pacar Toxic 4Pak Bos tetap menemui klien meski wajah babak belur. Kepada mereka, Pak Bos cerita kalau tadi mengalami sedikit kecelakaan. Meeting berjalan lancar, mereka bersepakat menjalin kerja sama. Tentu saja aku merasa lega, insiden tadi tidak berpengaruh terhadap jalannya meeting. Usai meeting kami langsung kembali ke kantor, sepanjang perjalanan Pak Bos sama sekali tidak bicara, sikapnya acuh. Seolah aku ini tidak ada. Takut dan perasaan bersalah semakin mencengkram pikiranku. Bagiku lebih baik dimaki-maki, dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Rasanya aku seperti terpidana mati, yang menunggu eksekusi, tegang sekali. Sampai kantor pun, Pak Bos masih diam seribu bahasa. Mirip emak-emak diselingkuhin suaminya, sumpah. "Kenapa muka kamu kusut begitu?" tanya Diani ketika kami berpapasan di lobi kantor. "Kacau, Di, kacau," ucapku lesu. "Lha itu, kenapa muka bos kita babak belur gitu? Wah, pasti ada yang nggak beres ini, kamu harus cerita," tanya Diani penasaran, saat meli
Pacar Toxic 5Sejak resmi memutuskan hubungan dengan Reymond daku fokus dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak mengalami patah hati, tapi lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu aku tak sempat mikirin Reymond. Mau jalan-jalan ya nggak mungkin, aku kurang tahu daerah sini. Nggak ada temennya juga. Diani sibuk sama pacarnya. Lagipula aku anak rantau, harus ekstra hemat agar bisa nabung. Masa iya habis merantau masih miskin juga? Memang hubungan kami baru setahun jalan, tapi banyak kenangan dan momen yang sudah kami lewati. Dan bukan perkara mudah untuk melupakan semua itu. Apalagi selama tinggal di kota ini, duniaku hanya seputar kantor dan Reymond. Tahu sendiri, di kota ini hanya dia dan Diani yang akrab denganku. Pagi berangkat kerja, diantar Reymond. Di tempat kerja, hampir tiap jam Reymond nelfon nanya aku sedang apa? Makan siang, sama Reymond juga. Pulang kantor pun di jemput Reymond. Reymond lagi, Reymond lagi. Jadi, melupakan Reymond effortnya luar biasa.
Pacar Toxic 6 "Maaf, ini siapa ya?" Tentu aku tidak mau langsung menjawab iya. takut penelfon ternyata sindikat penipu. Jaman sekarang kejahatan makin banyak modusnya. "Saya Tante Rumi, ibunya Rey. Ini bener Mbak Luluk, kan?" tanya suara itu lagi Deg! Ibunya Rey? Ada apa ini? "Iya, Tante, saya Luluk. Maaf ada apa, ya?" tanyaku ragu. "Rey---Mond, Mbak Luluk. Dia ...." ucap Tante Rumi terbata-bata. Membuatku cemas dan menduga-duga. "Reymond kenapa, Tante?" "Sudah dua hari ini dia mengurung diri di kamar, nggak keluar sama sekali. Dipanggil pun nggak nyahut, Tante jadi kepikiran kalau dia melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya," lirih ibunya Reymond. "Mbak Luluk? Mbak Luluk masih di situ, kan?" Tanah Tante Rumi memastikan, karena aku tak merespon ucapannya. "Eh, iya. Tante, Gimana?" jawabku gugup. "Apa kalian sedang berantem? Karena sudah seminggu ini Reynald kayak orang frustasi, nggak mau kerja, nggak mau makan, dan sering marah nggak jelas." Duh aku jadi bingu
Pacar Toxic 7 Setelah bertanya pada pegawai rumah sakit, akhirnya aku menemukan kamar di mana Reymond dirawat. "Mbak Luluk? Masuk sini!" sapa Tante Rumi ramah, tangannya melambai kepada-Ku, kode agar aku mendekat. Dia berdiri di depan kamar inap. "Maaf Tante, baru bisa datang," balasku. "Silahkan duduk!" Tante Rumi menyodorkan kursi plastik ke depanku, untuk kududuki. "Kok sampai masuk rumah sakit Tante? Gimana ceritanya?" tanyaku pelan, karena kulihat Reymond sedang tertidur pulas. "Setelah nelfon kamu, Tante minta bantuan tetangga untuk membobol kunci kamar. Ternyata Reymond ditemukan dalam keadaan pingsan, tangannya ada luka bekas sayatan, rupanya dia mencoba bunuh diri." Tante Rumi menjeda ucapannya. "Reymond memang labil, tempramen. Ini semua karena Tante salah mendidik dia. Sejak kecil dia selalu dimanja, semua keinginannya dituruti. Namanya juga anak laki-laki satu-satunya, bungsu lagi. Reymond tak pernah ditegur, apalagi dimarahi, semua kesalahannya selalu kami ma
Pacar Toxic 8 "Nggak mau, sebelum kamu janji, kita bakal balik lagi," sergahnya. Aduh.... gimana ini? "Rey, turun Rey. Please...." Reymond tetap bergeming, dia bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat. "Nggak! Sebelum kamu janji mau balikan sama aku!" ancamnya. Membuatku makin ketar-ketar dan tidak bisa berfikir jernih lagi. "Jangan....!" teriak kami bersamaan, saat Rey hampir melompat, yang sukses membuat Rey menghentikan aksinya. "Mbak Luluk, Tante mohon?" melas Tante Rumi. Aku jadi nggak tega, melihat tatapan penuh permohonan dari wanita paruh baya itu. Hati yang semula sudah mantap untuk tidak lagi untuk Rey, kini mulai goyah. Apalagi melihat Rey kembali siap melompat. Gimana aku nggak tertekan? "Iya, Mbak. Terima aja! Kasihan Masnya, kalau sampai beneran bunuh diri? Rumah sakit ini bisa kena kasus nanti?" timpal perawat itu. "Mbak, nggak takut dihantui kalau beneran dia mati? Udah, kalian balikan aja. Cuma masalah cinta saja sudah bikin repot banyak o
Pacar Toxic 9 Aku terpaksa menjalani back street dengan Reymond, kali ini bukan karena takut ketahuan orang tua, tapi takut ketahuan Diani dan Pak Bos. Lucu emang. Untungnya Reymond mau menuruti permintaanku, untuk tidak menelfon dijam kerja, dan mengantar jemput aku lagi. Keluar berdua pun, hanya sekirtan kosan. Biar nggak ketahuan. Untuk sementara ini hubungan kami aman. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sejak menjalin hubungan lagi dengan Reymond. Jawabnya hambar, nggak ada rasa. Aku menjalani kisah ini hanya atas dasar kasihan. Yang penting nggak ada drama bunuh diri lagi. "Rey, bangun!" Kuguncang pelan bahu Rey, yang tertidur di kursi teras kosan. "Eh, Yang. Baru pulang?" Rey mengucek mata sambil mengeliat. "Jam berapa ini?" tanyanya lagi. "Jam 7. Kamu sejak kapan di sini?" "Sejak sore tadi, kelamaan nungguin kamu jadi ketiduran." Dia menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya. Ini yang sering membuatku tak tega ninggalin Rey. Usahanya untuk mengambil kembali ha
Pacar Toxic 10"Hai, Yang. Baru pulang, ya?" Hidup lagi capek-capeknya, hati lagi suntuk-suntuknya. Eh, lihat gerandong sudah nongkrong aja di teras kosan. Bikin mood makin ancur aja. Sudah baik dia nggak nongol beberapa hari ini. Hidupku terasa lebih damai, tanpa dia. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Aku bilang sedikit, ya. Nggak berani banyak-banyak, karena mahluk satu itu tempramental. Kalau dia tersinggung, bisa ditampol aku. "Lho, kok ngapain. Ya ngapelin kamu, lah! Ini malam minggu, apa kamu lupa?" Aku menepuk jidat gemas. Karena tekanan pekerjaan, aku sampai lupa hari. Padahal hari ini aku tidak masuk kantor, tadi ke tempat pengrajin lihat proges furniture pesanan Pak Maher. Kenapa aku bisa lupa? "Terus kalau malam minggu kenapa?" tanyaku pura-pura tak paham arah pembicaraannya. Sejak dia pinjam sejuta itu, tiap jalan ke luar selalu aku yang bayar. Jadi, rasanya males kalau harus pergi sama dia. Ujung-ujungnya aku lagi yang modal. "Kamu gimana sih
Pacar Toxic 11 Kalau diminta nagih ke Raymond, aku angkat tangan. Uangku yang sejuta saja, aku nggak berani nagih. "Tolong hubungi saya, kalau Reymond datang ke kosan anda," ucap Kevin kemudian. Hah! Menghubungi Kevin pas Raymond ke kosan? Gak bahaya, tah? Duh! Tiba-tiba aku terserang sakit kepala. Anak itu banyak sekali masalahnya. Sudahlah emosian, tukang ngutang, malas kerja pula. Habis ini apalagi? Aku hanya pacar, apapun yang dia lakukan diluar sana, aku tidak tahu. Aku bukan ibu atau pengasuhnya, yang harus mengawasi dia sepanjang waktu. Kalau tiba-tiba ada yang nagih utang kayak gini, aku jadi stres sendiri. Aku ini nggak tahu apa-apa. Lagian, buat apa sih semua uang itu? Selama menjalin hubungan dengan aku juga, aku yang keluar duit. Akhir-akhir ini aja dia mau modal. Dan satu lagi pertanyaanku, kalau dia sudah tidak kerja di perusahaan ekspedisi itu, dia dapat duit dari mana buat, bawain aku makanan? Minta ibunya? Tau-ah, pusing pala berbie. "Aduh Mas, maaf saya nggak