Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-30 22:29:33

Pacar Toxic 3

Kepalaku terasa pening pagi ini. semalaman mata ini sulit dipejamkan, gara-gara mikirin Reymond. Dini hari aku baru bisa tidur. Kuraba ponselku yang tergelat diatas meja samping tempat tidur.

Hah? Hampir jam enam pagi? Aku kesiangan, bisa telat masuk kerja ini. Mana aku belum sholat shubuh, laporan kemarin belum selesai, padahal hari ini harus ditandatangani Pak Bos, biar dananya bisa cair, dan bisa membayar DP pengrajin.

"Huh! Semua gara-gara Reynald!" dengkusku kesal.

Aku segera bangkit dari tempat tidur, biar pun telat, solat tetap kutunaikan. Ambil wudlu sekalian mandi, usai sholat segera bersiap berangkat kerja.

Gegas aku menuju jalan raya, nyegat angkot menuju kantor.

"Tumben telat kamu, Luk?" sapa Diani, aku melihat jam yang melingkar di tanganku, jarum menunjuk angka 08:10. Padahal aku berangkat jam 06:30 tadi, kok masih telat? Biasanya diantar Rey berangkat dengan jam yang sama, masih mampir sarapan pula, tapi nggak telat. Untungnya perusahaan ini tidak terlalu ketat soal absen.

"Iya nih, tadi angkotnya sebentar-sebentar berhenti," sahutku malas.

"Kamu naik angkot? Tumben, ojol kamu kemana?" tanya Diani penuh selidik.

"Maksud kamu, Reymond?"

"Hem-hem."

"Kami break," lirihku.

"Good job." Diani mengacungkan kedua ibu jarinya, diiringi senyum merekah. Sementara aku hanya memutar bola mata malas, lalu duduk di kursiku.

"Hei, nggak usah manyun gitu. Kita ada meeting jam sembilan, sebaiknya kamu siap-siap sekarang," ujar Diani.

"Lain kali kamu kalau naik angkot, kamu harus berangkat lebih pagi. Atau pakai ojol saja, mereka bisa nyari jalan tikus kalau lagi macet. Kamu tinggal pilih ojol oren apa ijo," lanjut Diani, setelah melihatku hanya diam.

"Aku belum d******d aplikasinya."

"Down load, dong! Yuk ah, kita ke ruang meeting sekarang," ajak Diani.

"Sebentar Di, aku print dulu laporan kemarin." Aku berkutat dengan laptop sebentar, kemudian. "Dah selesai, yuk." Aku dan Diani meninggalkan ruangan kami.

Di ruang meeting beberapa staf sudah menunggu, aku dan Diani mengambil tempat duduk yang masih kosong, tak lama kemudian Pak Bos datang, dan meeting pun dimulai.

Beberapa yang hadir memberikan laporan mereka, kemudian Pak Bos berdiri memaparkan sesuatu, entah apa itu. Sekilas kudengar tentang orang Jepang yang ingin membuat resort di pulau Karimun Jawa. Selebihnya aku tidak mengerti, efek belum sarapan, dan kurang tidur, membuat konsentrasiku ambyar.

"Luluk!" Diani menyenggol bahuku pelan.

"Hhh?" Aku gelapan, karena dari tadi tidak fokus.

"Katanya kamu mau ngasih laporan, Buruan! Sebelum Pak Bos meninggalkan ruangan," bisik Diani.

"Eh iya, ya." Aku lekas bangkit, dan menghampiri petinggi perusahaan itu.

"Ini laporan hasil meeting dengan Pak Maher kemarin, Pak--" ucapku takut-takut. Pria itu tak menjawab, dia hanya melirikku sekilas.

"Bawa ke ruangan saya," potong Pak Bos. Lalu pergi begitu saja. Meninggalkan aku yang hanya bisa melongo, melihat kelakuan ajaib Pak Bos.

"Kamu kenapa, sih? Pagi-pagi sudah bengong aja," tanya Diani, yang entah sejak kapan berdiri di sampingku.

"Nggak tahu, kepalaku pusing. Aku ke ruangan Pak Bos dulu, ya?" pamitku pada Diani.

Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba kepalaku terasa kliyengan, pandanganku berkunang-kunang, lalu, "Ya Allah, Luluk...." Entah suara siapa itu, aku tidak tahu, karena semua menjadi gelap seketika.

Bau obat menyergap indra penciuman, aku mengerjapkan mata, ruangan serba putih yang pertama kali tertangkap penglihatanku.

"Alhamdulillah.... Akhirnya kamu sadar, Luk." Diani menatapku dengan senyum khasnya.

"Di mana ini, Di?"

"Klinik dekat kantor."

"Klinik bersalin "Bunda"? Memangnya aku lagi hamil?" ucapku jengkel.

"Halah lebay, ini klinik terdekat. Kamu tiba-tiba pingsan, kami panik. Lalu membawamu ke sini untuk mendapat pertolongan pertama. Untung aja kamu nggak pa-pa katanya hanya butuh istirahat dan makan. Kamu sih, terlalu mikirin cowok somplak, sampai lupa makan!" ketus Diani.

"He... he... aku bukan mikirin Reymond. Dari kemarin aku belum sempat makan, tadi mau sarapan tapi bangun kesiangan," jawabku cengengesan.

"Orang pada panik, kamunya cengengesan. Nih! Bubur ayam, dimakan! Aku beli di depan tadi."

Begitulah Diani, di balik mulut pedasnya, tersimpan hati penuh cinta.

"Makasih ya, Di. Kamu baik deh," pujiku.

"Basi! Buruan makan, terus vitaminnya diminum." Aku pun menyendok bubur yang ada di hadapanku, rasa hangat menjalar ketika makanan lembek itu masuk ke usus besarku. Rupanya aku memang benar-benar lapar.

* * * * *

"Luluk! Kamu sudah baikan? Kok kerja lagi?" ucap Pak Bos berdiri di ambang pintu.

"Su-dah, Pak," jawabku takut, mengingat bagaimana tatapan sengitnya, saat meeting tadi.

"Oh, laporanmu tadi sudah saya tanda tangani, bisa folow up sekarang."

"Ya Pak, makasih!"

"Hhh...." aku menarik nafas lega, Pak Bos tidak marah-marah seperti yang kubayangkan.

*****

Seminggu berlalu, sejak aku memutuskan break dulu dengan Reymond. Laki-laki itu beberapa kali mengirim pesan padaku, menanyakan kabar, atau sekedar menggombal. Tapi ku abaikan, aku memilih fokus menyelesaikan proyek Pak Maher.

Tak kupungkiri ada yang hilang dalam hatiku. Tanpa kehadiran Reymond, aku merasa hampa.

"Luk, kamu ikut saya meeting di Mahkota Resto, ya?" Pak Bos tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku.

"Jam berapa, Pak?"

"Meetingnya jam 11:00, kita berangkat sekarang."

"Sekarang? Diani ikut juga?" Aku dan Diani itu satu paket, tiap ada meeting biasanya selalu berdua, tapi kali ini kok?

"Diani menangani proyek gedung perkantoran. Perusahaan kita lumayan banyak tender ini, kita harus bagi-bagi tugas," ucap Pak Bos, seolah bisa membaca fikiranku.

"Dah, berangkat sana!" ucap Diani, dengan menaikan sebelah alisnya. Entah apa maksudnya.

Sampai Resto, kami menuju meja yang sudah kami reservasi. Masih kosong, kliennya belum datang, alhasil aku berdua saja dengan Pak Bos.

"Kita terlalu awal sepertinya, Pak," ucapku basa-basi. Jenuh aja dari tadi kami hanya diam.

"Ya nggak pa-pa, kita tunggu saja, sebentar lagi mereka juga sampai," jawab Pak Bos, lalu sibuk dengan gawainya.

Aku melihat sekeliling, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dari arah pintu masuk, aku lihat seorang kurir masuk membawa paket, dia berjalan melewatiku menuju kasir, tapi anehnya dia menatapku.

Kalau dilihat sekilas, perawakannya mirip Reymond. Tapi tidak mungkin, Reymond bekerja sebagai sales di show room mobil terkenal, aku pernah diajak ke kantornya.

Sedang asik berselancar ke dunia maya, tiba-tiba ada yang menarik kasar tanganku.

"Oh.... jadi ini alasanmu minta break dulu?" ketus laki-laki bermasker yang memakai seragam J&*.

"Rey---Reymond?"

"Kenapa? Kamu kaget, terciduk sedang selingkuh?" sinisnya.

Reymond mendorongku hingga punggungku membentur dinding.

"Aku lagi ada meeting, Rey," sergahku.

"Meeting berdua aja?"

"Rey, lepas! Malu dilihat orang." Reymond terlihat marah, tangannya mencengkeram daguku. Membuatku ketakutan.

"Lepaskan dia!" Rupanya Pak Bos mengikuti kami dari belakang.

"Jangan ikut campur orang lain!" balas Reynald sengit.

"Hanya laki-laki pengecut, yang kasar pada perempuan!"

"Nggak usah banyak bacot, kamu!"

"Rey, dia bosku. Jangan buat aku dipecat," lirihku, berharap bisa meredakan emosi Rey.

"Diam kamu!" bentak Rey, "laki-laki ini harus dikasih pelajaran!" Rey melayangkan satu pukulan pada Pak Bos, spontan aku menjerit minta tolong. Perkelahian tak terelakkan, Pak Bos dan Rey terlibat perkelahian.

"Tolong! Tolong!" teriakku histeris. Tak lama karyawan dan sekuriti resto datang, melerai perkelahian.

Pak Bos dan Rey, berhasil dilerai. Sekeruti berhasil menyeret Rey keluar, sementara aku mendekati Pak Bos, yang mukanya lebam-lebam.

"Bapak, nggak pa-pa? Saya minta maaf," ucapku penuh penyesalan.

"Kita kembali ke meja, lihat! Klien sudah datang," ucap Pak Bos dingin, tanpa menoleh padaku.

Hatiku seketika menciut, takut Pak Bos marah dan aku dipecat.

"Ya Allah... aku rela putus dari Rey sekarang juga, asal jangan dipecat." Doaku dalam hati.

Bersambung....

Yang mau memberi krisan monggo, dipersilahken ....

Bab terkait

  • Pacar Toxic   Bab 4

    Pacar Toxic 4Pak Bos tetap menemui klien meski wajah babak belur. Kepada mereka, Pak Bos cerita kalau tadi mengalami sedikit kecelakaan. Meeting berjalan lancar, mereka bersepakat menjalin kerja sama. Tentu saja aku merasa lega, insiden tadi tidak berpengaruh terhadap jalannya meeting. Usai meeting kami langsung kembali ke kantor, sepanjang perjalanan Pak Bos sama sekali tidak bicara, sikapnya acuh. Seolah aku ini tidak ada. Takut dan perasaan bersalah semakin mencengkram pikiranku. Bagiku lebih baik dimaki-maki, dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Rasanya aku seperti terpidana mati, yang menunggu eksekusi, tegang sekali. Sampai kantor pun, Pak Bos masih diam seribu bahasa. Mirip emak-emak diselingkuhin suaminya, sumpah. "Kenapa muka kamu kusut begitu?" tanya Diani ketika kami berpapasan di lobi kantor. "Kacau, Di, kacau," ucapku lesu. "Lha itu, kenapa muka bos kita babak belur gitu? Wah, pasti ada yang nggak beres ini, kamu harus cerita," tanya Diani penasaran, saat meli

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • Pacar Toxic   Bab 5

    Pacar Toxic 5Sejak resmi memutuskan hubungan dengan Reymond daku fokus dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak mengalami patah hati, tapi lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu aku tak sempat mikirin Reymond. Mau jalan-jalan ya nggak mungkin, aku kurang tahu daerah sini. Nggak ada temennya juga. Diani sibuk sama pacarnya. Lagipula aku anak rantau, harus ekstra hemat agar bisa nabung. Masa iya habis merantau masih miskin juga? Memang hubungan kami baru setahun jalan, tapi banyak kenangan dan momen yang sudah kami lewati. Dan bukan perkara mudah untuk melupakan semua itu. Apalagi selama tinggal di kota ini, duniaku hanya seputar kantor dan Reymond. Tahu sendiri, di kota ini hanya dia dan Diani yang akrab denganku. Pagi berangkat kerja, diantar Reymond. Di tempat kerja, hampir tiap jam Reymond nelfon nanya aku sedang apa? Makan siang, sama Reymond juga. Pulang kantor pun di jemput Reymond. Reymond lagi, Reymond lagi. Jadi, melupakan Reymond effortnya luar biasa.

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • Pacar Toxic   Bab 6

    Pacar Toxic 6 "Maaf, ini siapa ya?" Tentu aku tidak mau langsung menjawab iya. takut penelfon ternyata sindikat penipu. Jaman sekarang kejahatan makin banyak modusnya. "Saya Tante Rumi, ibunya Rey. Ini bener Mbak Luluk, kan?" tanya suara itu lagi Deg! Ibunya Rey? Ada apa ini? "Iya, Tante, saya Luluk. Maaf ada apa, ya?" tanyaku ragu. "Rey---Mond, Mbak Luluk. Dia ...." ucap Tante Rumi terbata-bata. Membuatku cemas dan menduga-duga. "Reymond kenapa, Tante?" "Sudah dua hari ini dia mengurung diri di kamar, nggak keluar sama sekali. Dipanggil pun nggak nyahut, Tante jadi kepikiran kalau dia melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya," lirih ibunya Reymond. "Mbak Luluk? Mbak Luluk masih di situ, kan?" Tanah Tante Rumi memastikan, karena aku tak merespon ucapannya. "Eh, iya. Tante, Gimana?" jawabku gugup. "Apa kalian sedang berantem? Karena sudah seminggu ini Reynald kayak orang frustasi, nggak mau kerja, nggak mau makan, dan sering marah nggak jelas." Duh aku jadi bingu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Pacar Toxic   Bab 7

    Pacar Toxic 7 Setelah bertanya pada pegawai rumah sakit, akhirnya aku menemukan kamar di mana Reymond dirawat. "Mbak Luluk? Masuk sini!" sapa Tante Rumi ramah, tangannya melambai kepada-Ku, kode agar aku mendekat. Dia berdiri di depan kamar inap. "Maaf Tante, baru bisa datang," balasku. "Silahkan duduk!" Tante Rumi menyodorkan kursi plastik ke depanku, untuk kududuki. "Kok sampai masuk rumah sakit Tante? Gimana ceritanya?" tanyaku pelan, karena kulihat Reymond sedang tertidur pulas. "Setelah nelfon kamu, Tante minta bantuan tetangga untuk membobol kunci kamar. Ternyata Reymond ditemukan dalam keadaan pingsan, tangannya ada luka bekas sayatan, rupanya dia mencoba bunuh diri." Tante Rumi menjeda ucapannya. "Reymond memang labil, tempramen. Ini semua karena Tante salah mendidik dia. Sejak kecil dia selalu dimanja, semua keinginannya dituruti. Namanya juga anak laki-laki satu-satunya, bungsu lagi. Reymond tak pernah ditegur, apalagi dimarahi, semua kesalahannya selalu kami ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Pacar Toxic   Bab 8

    Pacar Toxic 8 "Nggak mau, sebelum kamu janji, kita bakal balik lagi," sergahnya. Aduh.... gimana ini? "Rey, turun Rey. Please...." Reymond tetap bergeming, dia bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat. "Nggak! Sebelum kamu janji mau balikan sama aku!" ancamnya. Membuatku makin ketar-ketar dan tidak bisa berfikir jernih lagi. "Jangan....!" teriak kami bersamaan, saat Rey hampir melompat, yang sukses membuat Rey menghentikan aksinya. "Mbak Luluk, Tante mohon?" melas Tante Rumi. Aku jadi nggak tega, melihat tatapan penuh permohonan dari wanita paruh baya itu. Hati yang semula sudah mantap untuk tidak lagi untuk Rey, kini mulai goyah. Apalagi melihat Rey kembali siap melompat. Gimana aku nggak tertekan? "Iya, Mbak. Terima aja! Kasihan Masnya, kalau sampai beneran bunuh diri? Rumah sakit ini bisa kena kasus nanti?" timpal perawat itu. "Mbak, nggak takut dihantui kalau beneran dia mati? Udah, kalian balikan aja. Cuma masalah cinta saja sudah bikin repot banyak o

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Pacar Toxic   Bab 9

    Pacar Toxic 9 Aku terpaksa menjalani back street dengan Reymond, kali ini bukan karena takut ketahuan orang tua, tapi takut ketahuan Diani dan Pak Bos. Lucu emang. Untungnya Reymond mau menuruti permintaanku, untuk tidak menelfon dijam kerja, dan mengantar jemput aku lagi. Keluar berdua pun, hanya sekirtan kosan. Biar nggak ketahuan. Untuk sementara ini hubungan kami aman. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sejak menjalin hubungan lagi dengan Reymond. Jawabnya hambar, nggak ada rasa. Aku menjalani kisah ini hanya atas dasar kasihan. Yang penting nggak ada drama bunuh diri lagi. "Rey, bangun!" Kuguncang pelan bahu Rey, yang tertidur di kursi teras kosan. "Eh, Yang. Baru pulang?" Rey mengucek mata sambil mengeliat. "Jam berapa ini?" tanyanya lagi. "Jam 7. Kamu sejak kapan di sini?" "Sejak sore tadi, kelamaan nungguin kamu jadi ketiduran." Dia menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya. Ini yang sering membuatku tak tega ninggalin Rey. Usahanya untuk mengambil kembali ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Pacar Toxic   Bab 10

    Pacar Toxic 10"Hai, Yang. Baru pulang, ya?" Hidup lagi capek-capeknya, hati lagi suntuk-suntuknya. Eh, lihat gerandong sudah nongkrong aja di teras kosan. Bikin mood makin ancur aja. Sudah baik dia nggak nongol beberapa hari ini. Hidupku terasa lebih damai, tanpa dia. "Ngapain kamu kesini?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Aku bilang sedikit, ya. Nggak berani banyak-banyak, karena mahluk satu itu tempramental. Kalau dia tersinggung, bisa ditampol aku. "Lho, kok ngapain. Ya ngapelin kamu, lah! Ini malam minggu, apa kamu lupa?" Aku menepuk jidat gemas. Karena tekanan pekerjaan, aku sampai lupa hari. Padahal hari ini aku tidak masuk kantor, tadi ke tempat pengrajin lihat proges furniture pesanan Pak Maher. Kenapa aku bisa lupa? "Terus kalau malam minggu kenapa?" tanyaku pura-pura tak paham arah pembicaraannya. Sejak dia pinjam sejuta itu, tiap jalan ke luar selalu aku yang bayar. Jadi, rasanya males kalau harus pergi sama dia. Ujung-ujungnya aku lagi yang modal. "Kamu gimana sih

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Pacar Toxic   Bab 11

    Pacar Toxic 11 Kalau diminta nagih ke Raymond, aku angkat tangan. Uangku yang sejuta saja, aku nggak berani nagih. "Tolong hubungi saya, kalau Reymond datang ke kosan anda," ucap Kevin kemudian. Hah! Menghubungi Kevin pas Raymond ke kosan? Gak bahaya, tah? Duh! Tiba-tiba aku terserang sakit kepala. Anak itu banyak sekali masalahnya. Sudahlah emosian, tukang ngutang, malas kerja pula. Habis ini apalagi? Aku hanya pacar, apapun yang dia lakukan diluar sana, aku tidak tahu. Aku bukan ibu atau pengasuhnya, yang harus mengawasi dia sepanjang waktu. Kalau tiba-tiba ada yang nagih utang kayak gini, aku jadi stres sendiri. Aku ini nggak tahu apa-apa. Lagian, buat apa sih semua uang itu? Selama menjalin hubungan dengan aku juga, aku yang keluar duit. Akhir-akhir ini aja dia mau modal. Dan satu lagi pertanyaanku, kalau dia sudah tidak kerja di perusahaan ekspedisi itu, dia dapat duit dari mana buat, bawain aku makanan? Minta ibunya? Tau-ah, pusing pala berbie. "Aduh Mas, maaf saya nggak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19

Bab terbaru

  • Pacar Toxic   Bab 46

    Pacar Toxic 46 Pov Tema "Sayang, sudah dong.... Ngambeknya.... Aku kan sudah minta maaf tadi," pintaku dengan wajah semelas mungkin, berharap hati istriku luluh dan menghentikan aksi tutup mulutnya. Namun bukannya tersentuh, Luluk malah mlengos dan berniat meninggalkan kamar. Tapi aku tak tinggal diam, kupeluk tubuhnya dari belakang untuk menggagalkan niatnya. "Lepas!" Luluk berusaha menipis tanganku, tapi aku semakin mengeratkan pelukan. Bukan hanya memeluk, aku pun menciumi tengkuknya. "Lepas, geli, ih!" Luluk terus meronta. Apa aku akan menuruti permintaannya? Tentu saja tidak. Perempuan ngambek butuh dirayu, bukan ditinggal sendiri. "Nggak mau, kalau kamu belum maafin aku." "Ih, jauh-jauh sana! Aku benci sama kamu!" ketusnya. Bibirnya boleh bilang benci, tapi hatinya bucin setengah mati. Buktinya, gara-gara aku kedatangan tamu wanita cantik dan seksi, dia langsung ngambek. Cemburu buta nggak jelas seperti ini. Padahal wanita itu datang atas nama perusahaan, yang ka

  • Pacar Toxic   Bab 45

    Pacar Toxic 45 Babak baru sebagai Nyonya Tema dimulai. Kami sudah kembali ke Jakarta, dan kini tinggal di rumah Mas Tema. Siap menyambut aktivitas yang beberapa waktu kami tinggalkan, demi menjalani prosesi akad nikah dan resepsi. Walau bukan pesta mewah, nyatanya tetap melelahkan juga. Pagi ini sebagai istri dan ibu sambung, aku menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Jangan kalian pikir aku yang masak, bukan. Ini semua hasil karya Bu Mini, pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah ini. Aku hanya membantu menyiapkan. "Mau disuapin, Unda.... " rengek Syina, manja. Padahal setiap hari makan sendiri, tapi sejak ada aku dia maunya disuapi. Bukan hanya ketika makan, mandi, tidur, belajar pun minta sama Unda, panggilan sayang Syina untukku. "Katanya sudah gede, kok, minta disuapin, sih?" Bibir Syina mengerucut, tanda dia tak suka dengan ucapanku. "Oke, deh. Bunda suapin, tapi besok makan sendiri ya?" Gadis itu tak menjawab, hanya anggukan yang dia berikan. "Syina makan se

  • Pacar Toxic   Bab 44

    Pacar Toxic 44 Akhirnya hari bahagia itu tiba, aku dan Mas Tema resmi menikah. Akad dan resepsi di gelar di Kudus, kota kelahiranku. Di Jakarta, keluarga suamiku menggelar acara sama sekali. Kata Mas Tema. "Aku ini kan duda, sudah pernah menggelar acara yang sama. Nggak enak aja, ngerepotin orang terus." "Nggak masalah, emang? Kalau mereka merasa nggak dianggap gimana? Terus tersinggung, dan mutusin kontrak kerja sama," tanyaku saat itu. "Ya biarin aja. Belum rejeki berarti," jawabnya santai. "Kenapa, sih? Malu punya istri bukan dari kalangan orang kaya?" kejarku. Aku sempat kepikiran, Mas Tema malu kalau koleganya tahu, bahwa istrinya ini status sosialnya tidak sepadan. Tapi Mas Tema mengelak. Dia bilang memang tak suka pesta, dan hura-hura. Lagipula dia tidak mau ada yang iri, dan sakit hati melihat Mas Tema menggelar pesta pernikahan besar-besaran. "Sayang, kamu nggak tahu di luar sana ada orang yang tidak suka melihat kita bahagia. Namanya orang tidak suka, sakit hati,

  • Pacar Toxic   Bab 43

    Pacar Toxic 43 "Lho, Mas. Kok, nggak ke kantor?" Jelas aku heran, mobil yang disopiri Mas Tema bukannya belok ke kantor, tapi justru melewatinya begitu saja. "Kamu nggak usah ke kantor dulu, Sayang. Ke rumah aja, ya. Belajar ngurus Syina, antar dia sekolah," jawab Mas Tema tanpa menatapku. "Kan, ada Suster Sari, Mas. Biasanya juga dia yang ngurus kebutuhan Syina," sanggahku. "Kamu bakal jadi Ibu sambungnya. Mulai sekarang kamu harus lebih dekat dengan Syina, tahu apa saja kebiasaan dan kegiatannya." Mas Tema masih enggan menatapku. Aku sudah dipertemukan dengan Syina, kami juga sudah menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabkan diri satu sama sama lain. Gadis hampir empat tahun terlihat menggemaskan, mudah akrab dengan orang baru termasuk aku. Aku rasa tak perlu mengorbankan waktu kerja demi mendekati gadis itu. "Mas, perjanjiannya kemarin nggak gitu, deh. Kamu bilang hari ini bisa mulai masuk kantor lagi, kenapa sekarang jadi berubah haluan? Ada apa sih?" Entahlah, aku

  • Pacar Toxic   Bab 42

    Pacar Toxic 42 Pov Pak Tema "Mama sayang, jangan marah-marah terus, dong! Nanti cantiknya ilang, lho!" Kupeluk dan kucium keningnya. Hal yang biasa kulakukan, kalau Mama merajuk. Biasanya sih Mama langsung luluh, tapi sekarang entah kenapa dia malah melengos pergi. Apa artinya Mama marah dan menolak Luluk sebagai calon menantunya? Aku bermaksud mengejar Mama, tapi Papa menahan tanganku. "Sudah, biarkan saja! Kamu kayak nggak kenal Mamamu saja. Ayo kita makan! Nanti mubazir, sudah terlanjur disajikan tamunya malah pada pulang. Ayo, nak Luluk!" Papa memang terdabes, selalu mensikapi segala sesuatu dengan bijak. Beda dengan Mama yang impulsif, dan emosional. Meski begitu aku bersyukur, lahir dari rahimnya. "Oh, ya. Katanya nak Luluk asli kudus? Kudusnya mana? Saya dulu punya teman kuliah, namanya Muhammad Ihsan kalau gak salah. Rumahnya dekat menoro, saya pernah main ke sana," tanya Papa ketika kami sudah melingkari meja makan. "Saya kudusnya Ploso, Om. Dekat RSUD," jawab Lu

  • Pacar Toxic   Bab 41

    Pacar Toxic 41 Pov Tema. "Tema, kamu mau bikin Mama kena serangan jantung atau bagaimana?" tanya Mama setelah memaksaku duduk. Tanpa ba-bi-bu, wanita lima puluh lima tahu itu langsung menyeretku ke ruang makan, begitu aku memperkenalkan Luluk sebagai calon istri. Dan sekarang aku harus siap mendapat omelan panjang kali lebar kali tinggi, dari wanita yang melahirkanku ini. "Mama ini ngomong apa, sih? Mana ada Tema punya maksud jahat begitu? Memang salah Tema apa, sampai bikin Mama jantungan?" jawabku santai. Mama lagi tegang gitu, kalau ikut-ikutan ngegas, bisa terjadi huru-hara nanti. Mama kalau lagi emosi, pantang ditandingi. Dari dulu sampai sekarang, dia tidak pernah berubah. Kalau sudah marah, suka main tangan. Tak peduli usia anaknya ini sudah kepala tiga, tapi diperlakukan seperti anak kecil. Jewer telinga, cubit pantat atau paha, biasa Mama lakukan kalau lagi jengkel. Bahkan rambutku pernah dijambaknya, waktu menolak perintahnya. Untung nggak ada orang, coba kalau ada

  • Pacar Toxic   Bab 40

    Pacar Toxic 40 Setelah melalui perdebatan panjang, dan drama eyel-eyelan. Akhirnya aku memutuskan mengikuti rencana Pak Tema, untuk menemui orang tuaku. Tak lupa aku memberinya syarat. "Oke, saya mau jadi istrinya Pak Tema. Tapi dengan satu syarat, kita tinggal di kampung halaman saya, bukan di Jakarta. Sanggup?" Terpaksa aku mengajukan syarat yang sulit Pak Tema kabulkan. Bukan untuk menolak lamarannya, tapi karena kota metropolitan itu meninggalkan trauma di dada. Pak Tema menjentik keningku. "Sakit, Pak! Seneng banget main kasar! Belum jadi istri saja sudah dianiaya, gimana kalau sudah jadi istri?" kesalku tak terima. "Habisnya kamu ngeselin! Ngasih syarat nggak masuk akal, nggak sekalian minta dibuatin candi dalam satu malam? Yang bener aja, dong! Emang kamu mau punya suami pengangguran?" balasnya ketus. "Ya sudah kalau nggak mau, kita nggak usah nikah! Karena saya nggak mau kembali ke Jakarta! Trauma, saya!" "Ck, lebai! Masih takut sama Reymond?" Aku mengangguk cepat.

  • Pacar Toxic   Bab 39

    Pacar Toxic 39 Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran Pak Tema, ngajak nikah kayak nagih hutang saja. Harus dibayar saat itu juga. Ini soal masa depan, butuh banyak pertimbangan, dan pemikiran yang matang. Bukan seperti beli barang, lihat, suka, bayar dan langsung angkut pulang. Oke lah, dia itu sempurna sebagai pria. Good looking dan good rekening, idaman semua wanita. Orangnya care banget, aku tahu itu. Tapi untuk menjatuhkan nggak gegabah begini. Ah, pusing aku mikirin duda satu itu. "Mbak Luluk, bangun, Mbak! Sudah pagi, Mbak!" Indria menggoyang pelan bahuku. Meski males setengah mati, aku tetap memaksa membuka mata. "Jam berapa sekarang, In?" tanyaku malas. "Setengah enam, Mbak. Kita kesiangan ini! Mbak Luluk, sih! Pulangnya malem banget, jadi kesiangan, kan!" omel gadis remaja itu. Semalam aku pulang sekitar jam sebelas-an, gara-gara Pak Tema yang nggak mau ngantar pulang kalau aku belum menerima lamarannya. "Kita bakal di sini semalaman, kalau kamu gak bilang, iy

  • Pacar Toxic   Bab 38

    Pacar Toxic 38 Usai dengan makanannya, Pak Tema nampak merogoh sakunya. Ambil dompet untuk bayar makanan, begitu pikirku. Namun aku terkejut, ketika dia menyodorkan kotak beludru di depanku. Aku menatap kotak warna merah marun itu, kemudian beralih menatap Pak Tema. "Ini apa, Pak?" tanyaku bingung. Tanpa dijelaskan pun aku tahu, kotak itu berisi cincin. Tapi aku ingin tahu untuk apa dia menyodorkan benda itu padaku? Dia mau minta bantuanku untuk melamar Marisa, atau bagaimana. "Cincin, Luk. Kamu pikir apa?" jawabnya menyebalkan. "Iya, saya tahu isinya cincin. Tapi buat apa? Bapak mau saya jualin cincin itu?" Pak Tema berdecak kesal, mendengar jawaban konyolku. "Kamu tahu nggak, sih? Apa artinya laki-laki ngasih cincin pada wanita?" Bukannya menjawab, dia malah ngasih teka-teki. "Melamar? Ngajak nikah?" jawabku ragu-ragu, takut pertanyaannya hanya jebakan. Kalau di novel romans yang sering aku baca, atau drama Korea yang pernah ku tonton. Cowok ngasih cincin ke cewek y

DMCA.com Protection Status