Ummi Rasyidah mengerat tanah dengan penuh emosi dan keputusasaan. Sesekali ia memukul-mukul tanah seraya berteriak memanggil-manggil nama Aisha. Putri semata wayangnya yang selama ini jadi biang kenapa bahkan dirinya tak enak makan, tak mau minum dan susah tidur."Mi, aku mohon. Sadarlah, Mi." H. Karim yang sudah pedih melihat keadaan istrinya yang begitu memperihatinkan, hanya bisa merangkul memberikan kekuatan. "Kita akan cari putri kita baik-baik, Mi."Begitu juga dengan H. Harun. Ia digandeng erat oleh istrinya yang menangis histeris, merasa pilu atas kejadian tak terduga yang menyedihkan ini."Kang, Bagaimana ini? Ummi malah merasa bersalah," ucap Inayah yang melihat istri adik suaminya begitu memilukan. Pedih, perih dan menyayat hati. Seperti wanita kegilaan. Siapapun, akan tak merasa miris seperti dipukul palu godam bertubi-tubi."Sabar, Ummi. Jangan malah menambah kami semakin merasa panik," ucap ustadz H
"Syukurlah! Tetap hati-hati jangan sampai suaminya tahu!" Perintah Arash saat ia menerima kabar dari Bean jika sembako yang dititipkan telah sampai tujuan."Baik, Bang!" Jawab Bean bersemangat. "Tapi, Bang. Saya tak melihat dia dan suaminya, hanya ibunya dan anak laki-laki!" "Mungkin dia sedang di kamarnya, Atau mungkin suaminya tengah memenuhi undangan!!" Sanggah Arash cepat. Ia mengerjapkan mata sesaat, meskipun tak mungkin ia mendapatkan Aisha kembali. Maka, setidaknya akan memberikan nafkah pada putranya. Selama lima tahun itu, bahkan Restaurant C@ Cahaya Anugerah tak Aisha terima. Arash tak bisa bayangkan, bagaimana anak kandungnya mendapatkan makanan? Mungkinkah dari Faruq_ laki-laki yang konon akan jadi suami Aisha. Dan Arash yakin, mereka kini telah menikah dan anak yang dulu masih didalam perut Aisha, sudah memiliki Adek kecil.. Tanpa ia ketahui, bahwa sejak itu mantan istrinya terombang-ambing. Harus diusir dari keluarga, kehilangan
"Apa itu?" tanya H. Karim, ia menoleh ke belakang. Sedangkan Ummi Rasyidah. Masih erat menarik Koko miliknya."Apa kita batalkan saja penerimaan lamaran keluarga Gus Faruq, Nanda?" "Apa?"H. Karim dan Inayah memekik bersamaan. Apalagi Ummi Rasyidah. Ia spontan melepaskan pelukannya dari sang suami."Apa maksud ucapan kakang?" Em, maksudku tujuan kenapa mesti dibatalkan?" tanya H Karim menuntut penjelasan. "Begini, besok adalah hari pertama kita menjalankan ibadah puasa. Hari itu juga rombongan lamaran untuk Aisha akan tiba," ucap ustadz Harun. Ia melirik sekilas ke arah ummi Inayah sebagai pertimbangan. "Dan, saat ini Aisha justru malah pergi bersama suaminya, dan saya kira. Aisha akan tetap bersama suaminya,""TIDAK, saya membantah saran ini, ustadz!" Tolak Ummi Rasyidah tegas nan lantang tanpa diduga. Ia bangkit dan menatap sekelilingnya dengan tajam. " Aisha harus mendapatkan suam
Matanya terbelalak saat melihat sosok yang berdiri tegap. Sorban menyampir di bahunya, peci putih yang memiliki ukiran bahasa Arab diujungnya serta sarung bercorak batik sampai tumit menambah kesan kegagahan dan ketampanan."Mas Arash?" Pekik Aisha terkejut.Dua mata beriris coklat itu menatap lekat, tepat pada bola mata hitam Arash. Empat mata dari dua jiwa itu terkunci dalam sebuah tatapan yang menyiratkan begitu banyak kerinduan yang mendalam.Dunia seolah berhenti berputar dan hanya ada mereka berdua. Ya, seperti hanya ada mereka berdua. Halnya nabi Adam dan Siti Hawa. Bola Mata hitam Arash mulai mengenang dan airnya menganak sungai dipelupuk mata. Sama halnya Aisha, iris mata coklat itu telah terhalang dinding kaca yang semakin lama, semakin menebal dan luruh membasahi pipinya tanpa ia sadari.Dua jiwa dua rasa tertaut dalam tatapan yang mengunci seolah mereka saling menyelam.Se
Arash menarik tali mukena yang dikenakan Aisha dengan pelan. Aisha, wanita beriris mata coklat itu hanya memejamkan mata yang meneteskan air bening. Butuh waktu dan kesadaran untuk di titik ini. Titik dimana awal dirinya akan jadi suami istri yang seutuhnya."Aish!" Bisik Arash pelan sedikit mengerang. Ia memegang bahu Aisha dan mengangkatnya perlahan."Kita, kita akan menggapai dunia indah bersama," ucap Arash lagi. Ia tersenyum menatap Aisha yang berada tepat di hadapannya sambil menitikan air mata. Bukan apa, karena waktu beberapa jam lagi, Aisha tak halal lagi untuk ia sentuh. Aisha akan jadi istri lelaki yang sepadan, yang tentunya bisa membimbing Aisha. Tak seperti dirinya, yang selama ini hanya menyuguhkan neraka untuk wanita yang kini berserah diri untuk dijamah."Aku akan penuhi kewajibanku sebagai suamimu, Aish." ucapnya bersamaan dengan menarik Aisha untuk bangkit dan berdiri sehingga sejajar dan ber
"Biarlah, biarkan Mas menelan luka yang telah Mas janjikan dahulu, Aisha." ucap Arash tak kuasa menahan tubuhnya yang lemas seperti tak bertulang. "Jika kita berjodoh, maka kita akan bertemu!""Mas," suara Aisha yang hendak menyanggah menjauh saat sebuah tangan menyeretnya paksa.Ummi Rasyidah, ia menarik tangan Aisha agar segera masuk rumah untuk berdandan dan tak lama-lama berpamitan."Terima kasih, Arash! Kini saya percaya, bahwa lelaki bajingan sepertimu pandai menepati janji," bisik Ummi Rasyidah. " Ingat, kau tinggal urus surat cerai kalian, agar Aisha bisa segera menikah selepas Iddah,"Hati Arash menjerit menerima berita yang begitu menyayat luka. Tangannya hanya mengenggam angin dengan hampa melihat Aisha yang melangkah semakin menjauh memasuki rumah yang digiring para santrinya."Aisha, mandilah. Kamu harus bersiap diri untuk menyambut mereka," pinta ummi Ras
"Memangnya kenapa, Dek?" Fahmi yang terkesiap atas permintaan Nurma yang tiba-tiba. Segera memindahkan makanan yang telah tertata di atas meja sehingga tangannya bisa terulur. "Kita belum makan!""Enggak kok, Mas! Aku sudah kenyang!" Jawab Nurma segera memangku anaknya yang berusia lima tahun itu."Tapi, Dek!" Sanggahan Fahmi laksana harapan yang terbang ke awan berhembus angin kehampaan. Nurma, wanita yang telah ia nikahi atas dasar tanggung jawab karena ada janin yang dikandungnya, janin yang tak diketahui entah siapa ayahnya, telah melenggang pergi.Sehingga, mau tau tidak. Fahmi bangkit dan mengejar sang istri yang bersikap aneh tiba-tiba.Sedangkan dipojok ruangan, Mata Faruq menelisik saat ia melihat orang yang sedari tadi menatap ke arahnya, dengan tatapan ketakutan."Tunggu disini, Dek!" Pintanya pada Rumanah, Namun matanya tak lepas terus menatap wanita yang berlari dikejar pasangannya. "Gerry, ayo k
🍁🍁🍁Aisha, ia memilih untuk melaksanakan shalat maghrib secara munfarid. Meskipun, kehadirannya di lingkungan pondok pesantren sudah diketahui para santri. Tapi, rasanya ia sangat malu jika berpapasan dengan mereka. Banyak para santriah yang meminta izin untuk bertemu dengannya, pun selalu diminta uminya untuk menolak. Dengan alasan, masih ingin merehatkan tubuhnya dan membutuhkan ketenangan.Saat Aisha telah selesai membaca mashaf, netra matanya dikejutkan dengan bayangan yang kembali melintas dari balik jendela."Mas Arash?" tanya Aisha. Ia segera mencium mushaf dan meletakkannya di atas meja."Mas Arash? Datang lagi?""Aisha, maafkan aku. Aku sengaja datang lagi ke tempat ini untuk melihatmu sebentar saja, sebelum kau resmi menerima lamaran Gus Faruq," ucap Arash dari bawah jendela. Ia sedikit menjinjit dan berpegangan pada kusen jendela."Mas, aku tak...
"Lihat ini!" Lelaki paruh baya nan gondrong dan dekil itu menunjukkan sebuah photo seorang perempuan. "Ini adalah target kita!"Arash mengerutkan kening saat melihat wajah ayu perempuan dalam photo tersebut."Dia adalah pengusaha kaya raya. " Terang Gatot menjelaskan seraya menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang. "Jika kau berhasil, maka kau akan dapat delapan digit angka rupiah, Arash.""Gue tak perlu karena uang," tolak Arash angkuh."Oh, gue lupa." Celetuk Gatot menepuk kening lalu menyeringai. "Dia anak seorang pejabat,""Apa?" Seketika mata Arash memanas, dan dadanya langsung seperti hendak menyemburkan timah panas. "Dia putri dari seorang pejabat?"Gatot hanya mengangguk, mengerti arti keterkejutan lelaki yang selama ini berguru padanya. "iya, Dia putri pejabat!"Arash meremas photo itu kuat-kuat. Bayanga
Kendaraan roda empat mulai menepi di halaman rumah sakit PERMATA BUNDA. Buru-buru Arash berlari dan menanyakan keberadaan putranya dilobi."Dilantai satu ruangan Dahlia, Mas Ustadz!" Tunjuk sang wanita lembut. Namun, membuat sekujur tubuh Arash melemah. Putranya dirawat di lantai satu? Bukan ruangan istimewa, hanya ruangan kelas menengah ke bawah dan tentunya penanganan tidak seistimewa dilantai tiga dan seterusnya.Tanpa berfikir panjang, setelah mengucapkan kata terima kasih. Lelaki yang telah menjelma jadi ustadz itu berlari yang disusul oleh Tomo. Hingga, tubuhnya kembali lemas saat melihat anak berusia lima tahun terbaring lemah dengan darah yang masih bersimbah dan berbagai selang menempel di tubuhnya."Ini yang akan mendonorkan darahnya?" tanya sang dokter yang tengah bernegosiasi dengan ummi Rasyidah, menyambut kedatangan Arash. Cukup menyadarkan Aisha yang tengah termenung lemah dengan air mata yang terus berderai.
"Ibu?"Arash memekik bersamaan dengan kaki menginjak rem sehingga menimbulkan suara berdecit karena ban yang beradu dengan aspal.Wanita yang dia duga adalah ibunya yang telah tega membakar ayahnya hidup-hidup beberapa puluh tahun yang lalu, tengah berlari dan terus tertawa. Sesekali, ia mengamuk dan memukul beberapa perawat yang terus mengejar."Tidak, itu tidak mungkin ibu. Ibu pasti tengah berbahagia dengan suaminya, atau bahkan mereka telah dikaruniai anak yang merupakan adik tiriku." Arash mengusap wajah dengan kasar untuk menetralkan pemandangannya. Sedangkan, perempuan yang berambut acak-acakan itu telah hilang dari pandangan bersamaan dengan kendaraan yang berlalu lalang.Lelaki yang menggunakan baju koko dan sarung bermotif batik itu menginjak pedal gas, melajukan roda duanya menuju rumahnya yang tanpa jendela. Ya, rumah yang hanya dihuni seorang diri tanpa kehadiran sang istri tak ubahnya seperti rumah tanpa
"Oh, Ya Mas. Bagaimana masalah hutang yang harus dilunasi Aisha? Apakah kau mau memberikan kebijakan?" Pertanyaan Rumanah cukup membuat Faruq terkesiap. Bersamaan itu, Arash yang berada tidak jauh itu seketika menoleh."Untuk hal ini, Mas akan bicara sama Aby untuk menutup itu." Jelas Faruq setelah beberapa menit ia terdiam, seraya menikmati setiap sentuhan kain hangat diwajahnya. "Bukankah dulu ayah mendonaturkan? Bukan menghutangkan?""Tolong beritahu saya dimana ayahmu?" Pinta Arash yang memotong tiba-tiba membuat Rumanah dan Faruq terkesiap, dan menghentikan aksinya kemudian menoleh ke arah sumber suara."Mas Ustadz?" Pekik suami istri itu bersamaan."Enggak kok, itu itu hanya...""Aisha tengah merawat putraku. Dan aku tak ingin terbebani dengan donatur yang dianggap hutang itu," potong Arash cepat nan tegas."Saya, saya akan meminta...""Hutang tetaplah hutang, Mas. Jika Aisha tiada da
____"Untuk anak istrimu, kau tenang saja! saya yang akan menanggungnya," lanjutnya seraya menatap Gerry yang mengerikan dengan darah tetus mengucur seta baju robek-robek yang warnya telah memerah dengan tangan diikat. Melihat orang yang hampir lima tahun ia percaya dalam keadaan tragis dan berlumuran darah, hatinya iba. Namun, keadilan harus tetap di tegalan."Tapi...""Penjara pun saya akan meminta untuk tidak lama, hanya sebagai pelajaran dan semua orang yakin bahwa hukuman tetap berlaku sekalipun kau orang terdekat saya!"Gerry hanya mengangguk pilu dan penuh kepasrahan. Diberikan kelonggaran serta hukuman sedikit bijak, ini sudah membuatnya cukup. Ia ikhlas jika memang harus terdekam di penjara. Asalkan anak dan istrinya baik-baik saja.Semua ini, tak lepas atas campur tangan Arash. Karena, terkadang ketika seseorang pernah mengalami hal itu, maka ia akan lebih bijak untuk menangani hal demikian.
"Ummi, apapun yang dilakukan Arash. Aisha tetap belum siap membuka hati ini, rasa sakit atas perlakuannya waktu itu, bertekad membuat keputusan bertanda tangan darah membuat hati Aisha ini seolah terkunci, Ummi!"Ummi Rasyidah menarik napas kasar, Ia faham akan perasaan putrinya pasti akan sangat perih dan tak berperi. Harga diri serta kehormatan seolah dipandang sebelah mata. Tapi, Tak sepenuhnya ini salah Arash, karena nyatanya. saat itu ia meminta Arash untuk tidak menyentuh Aisha padahal wanita berniqab sedang menempati posisi sebagai istrinya. Dan, dengan kehadiran Rayyan disini. Wanita yang telah lama menyandang gelar janda ini yakin. bahwa saat itu juga Arash telah benar-benar mencintai Aisha. Meskipun keputusan yang bertanda tangan darah itu telah menjadi garis takdir Aisha."Maafkan ummi, Aish!" Lirihnya tak kuasa. Ia merangkul putrinya dengan erat. Harta dan keluarga satu-satunya yang dia miliki.🍁🍁🍁Ger
________"Apa?" Sontak ratusan pasang mata menatap nyalang ke arah Faruq, sehingga mengakibatkan tanpa menunggu lama. Bugeman bertubi-tubi melayang di wajah lelaki yang merupakan mantan calon suami Aisha.Bugh!Bugh!PlakPlakBugh!Hantaman demi hantaman terus diberikan pada Faruq hingga terhuyung dan mulutnya keluar darah. Warga- warga yang sedari tadi memasang kamera termasuk yang hanya melihat, melayangkan hantaman serta pukulan tanpa perasaan. Membuat Faruq yang masih terkejut dan tanpa persiapan terus terpental, serta babak belur dan tanpa benteng pertahanan.Rumanah yang sedari tadi diam menunggu sang suami di restauran pun, segera bangkit saat mendengar keributan bahkan teriakan dan serangan. membuat ia syok saat melihat suaminya telah terhuyung lemah. Segera ia berlari sekuat tenaga."Mas?" Teriaknya lantang." Hentikan kalian semua!"
"Memangnya kenapa, Dek?" Fahmi yang terkesiap atas permintaan Nurma yang tiba-tiba. Segera memindahkan makanan yang telah tertata di atas meja sehingga tangannya bisa terulur. "Kita belum makan!""Enggak kok, Mas! Aku sudah kenyang!" Jawab Nurma segera memangku anaknya yang berusia lima tahun itu."Tapi, Dek!" Sanggahan Fahmi laksana harapan yang terbang ke awan berhembus angin kehampaan. Nurma, wanita yang telah ia nikahi atas dasar tanggung jawab karena ada janin yang dikandungnya, janin yang tak diketahui entah siapa ayahnya, telah melenggang pergi.Sehingga, mau tau tidak. Fahmi bangkit dan mengejar sang istri yang bersikap aneh tiba-tiba.Sedangkan dipojok ruangan, Mata Faruq menelisik saat ia melihat orang yang sedari tadi menatap ke arahnya, dengan tatapan ketakutan."Tunggu disini, Dek!" Pintanya pada Rumanah, Namun matanya tak lepas terus menatap wanita yang berlari dikejar pasangannya. "Gerry,
"Pergilah, Nak. Ummi meridhoi. Meskipun, ummi tidak akan sekedar untuk membantumu!" Dengan lirih dan sedikit mengangkat kepala. Ummi Rasyidah menatap sang mantan preman itu dengan penuh harap.Bukan karena melihat Arash yang sudah berubah menjadi lebih baik. Tapi, lebih dari pada nasib Rayyan. Cucu satu-satunya yang terlahir tanpa sosok ayah. Bagaimana kalau kelak anaknya mempertanyakan? Pun, Aisha tak memiliki surat pernikahan, juga surat perceraian. Ia tak sanggup menyaksikan cucunya kelak bertanya sosok ayah, jika mengatakan telah bercerai, tak ada buku pernikahan yang tentunya tak memiliki buku surat perceraian juga. Bukankah itu sangat malang?"Terima kasih, ummi. Ridha ummi yang Arash harapkan kini," Arash mencium tangan sang wanita yang telah melahirkan wanita sebaik dan secantik Aisha. Wanita yang memiliki tekad kuat serta keteguhan hati.Ia melangkah, meninggalkan rumah yang lebih sempit dan sederhana. Namun