🍁🍁🍁Aisha, ia memilih untuk melaksanakan shalat maghrib secara munfarid. Meskipun, kehadirannya di lingkungan pondok pesantren sudah diketahui para santri. Tapi, rasanya ia sangat malu jika berpapasan dengan mereka. Banyak para santriah yang meminta izin untuk bertemu dengannya, pun selalu diminta uminya untuk menolak. Dengan alasan, masih ingin merehatkan tubuhnya dan membutuhkan ketenangan.Saat Aisha telah selesai membaca mashaf, netra matanya dikejutkan dengan bayangan yang kembali melintas dari balik jendela."Mas Arash?" tanya Aisha. Ia segera mencium mushaf dan meletakkannya di atas meja."Mas Arash? Datang lagi?""Aisha, maafkan aku. Aku sengaja datang lagi ke tempat ini untuk melihatmu sebentar saja, sebelum kau resmi menerima lamaran Gus Faruq," ucap Arash dari bawah jendela. Ia sedikit menjinjit dan berpegangan pada kusen jendela."Mas, aku tak...
"Ummi, apapun yang dilakukan Arash. Aisha tetap belum siap membuka hati ini, rasa sakit atas perlakuannya waktu itu, bertekad membuat keputusan bertanda tangan darah membuat hati Aisha ini seolah terkunci, Ummi!"Ummi Rasyidah menarik napas kasar, Ia faham akan perasaan putrinya pasti akan sangat perih dan tak berperi. Harga diri serta kehormatan seolah dipandang sebelah mata. Tapi, Tak sepenuhnya ini salah Arash, karena nyatanya. saat itu ia meminta Arash untuk tidak menyentuh Aisha padahal wanita berniqab sedang menempati posisi sebagai istrinya. Dan, dengan kehadiran Rayyan disini. Wanita yang telah lama menyandang gelar janda ini yakin. bahwa saat itu juga Arash telah benar-benar mencintai Aisha. Meskipun keputusan yang bertanda tangan darah itu telah menjadi garis takdir Aisha."Maafkan ummi, Aish!" Lirihnya tak kuasa. Ia merangkul putrinya dengan erat. Harta dan keluarga satu-satunya yang dia miliki.🍁🍁🍁Gerry me
"Sudahlah, Ummi!" Potong Gus Faruq seraya meminta Aisha untuk mengulurkan tangan menuju penyematan cincin berlian. Namun, sebuah senyuman tersungging saat menyusuri seluruh tubuh Aisha yang tertutup dengan gamis lebarnya."Alhamdulillah, akhirnya cincin itu sudah tersemat, artinya kamu sudah menjadi tanggung jawab Faruq," ucap H. Hameed saat melihat cincin itu tersemat di jari yang memang punggung tangannya terhalang oleh handshock.H. Hameed memang menginginkan Aisha jadi menantunya, sehingga saat tahu Aisha sudah menikah, ia tak mempermasalahkannya. Apalagi, Gus Faruq. Anaknya sendiri yang mengatakan akan tetap setia.🍁🍁🍁Arash, ia kembali ke rumaih yang langsung di sambut oleh Tomo dan Bean, bahkan Ucok dan satu preman lagi nampak antusias menyambut kedatangan boss mereka yang terlihat lunglai."Boss, kami ikut prihatin ya atas kejadian yang telah menimpa," ucap Tomo sambil men
"Oh, Ya Mas. Bagaimana masalah hutang yang harus dilunasi Aisha? Apakah kau mau memberikan kebijakan?" Pertanyaan Rumanah cukup membuat Faruq terkesiap. Bersamaan itu, Arash yang berada tidak jauh itu seketika menoleh."Untuk hal ini, Mas akan bicara sama Aby untuk menutup itu." Jelas Faruq setelah beberapa menit ia terdiam, seraya menikmati setiap sentuhan kain hangat diwajahnya. "Bukankah dulu ayah mendonaturkan? Bukan menghutangkan?""Tolong beritahu saya dimana ayahmu?" Pinta Arash yang memotong tiba-tiba membuat Rumanah dan Faruq terkesiap, dan menghentikan aksinya kemudian menoleh ke arah sumber suara."Mas Ustadz?" Pekik suami istri itu bersamaan."Enggak kok, itu itu hanya...""Aisha tengah merawat putraku. Dan aku tak ingin terbebani dengan donatur yang dianggap hutang itu," potong Arash cepat nan tegas."Saya, saya akan meminta...""Hutang tetaplah hutang, Mas. Jika Aisha tiada dalam k
"Begini Aisha," ummi Inayah menghela napas, sebelumnya. Kemudian tangannya memegang erat jemari Aisha. "Ummi kok merasa ini tidak adil untukmu, Aish""Maksud ummi?" tanya Aisha tak kalah serius. Bahkan iris mata cokelatnya lebih nampak karena menatap penuh tanya pada wanita yang merupakan istri dari kakak ayahnya. " Apa Ummi tidak yakin pada keputusan Aisha?"Ummi Inayah mengerjap beberapa kali. Lalu menoleh intens pada Aisha."Ummi memang tidak suka kamu menikah dengan Arash dahulu, bahkan bodohnya ummi malah mengusir keluarga kalian dari pesantren ini," Kenang Ummi Inayah sambil menatap lamat-lamat pada wanita beriris mata coklat didepannya."Ummi tidak mengusir kok, kami yang sadar bahwa harus menjaga maru'ah pesantren," Sergah Aisha menyanggah ucapan wanita yang berwajah seperti galak di depannya. Ya, Inayah Khairunnisa memiliki wajah yang terlihat garang. Namun, memiliki hati yang lembut dan p
"Apa?"Seketika tangan Arash mengepal, matanya memerah dan dada yang tiba-tiba seperti dihantam palu godam."Apa motif pak kyai sehingga kami tak boleh berada di tempat ini?" tanya Arash masih menguasai diri agar ada dalam kesadaran. meskipun amarahnya sudah seperti di ubun-ubun. Namun, ia tahan. Baginya pantang, sebelum mendapatkan penjelasan."Pondok pesantren ini ajaran ilmunya tinggi, jadi jika manusia awam seperti kalian. Sepertinya akan susah sekali untuk mendapat pengetahuan." ucap kyai itu dengan menatap intens pada para preman. "Kalian harus belajar ilmu agama yang paling dasar dahulu,""Pak, apa bapak tidak takut pada kami? Kami bisa saja menghantam pak kyai dan meluluh lantakkan tempat ini saat ini juga," hardik Tomo tanpa aba yang sudah tak tahan mendengar ucapan lelaki yang cukup merendahkan itu."Saya, saya tidak takut pada makhluk," ucap kyai itu menjawab ancaman Tomo.
"Ibu?"Arash memekik bersamaan dengan kaki menginjak rem sehingga menimbulkan suara berdecit karena ban yang beradu dengan aspal.Wanita yang dia duga adalah ibunya yang telah tega membakar ayahnya hidup-hidup beberapa puluh tahun yang lalu, tengah berlari dan terus tertawa. Sesekali, ia mengamuk dan memukul beberapa perawat yang terus mengejar."Tidak, itu tidak mungkin ibu. Ibu pasti tengah berbahagia dengan suaminya, atau bahkan mereka telah dikaruniai anak yang merupakan adik tiriku." Arash mengusap wajah dengan kasar untuk menetralkan pemandangannya. Sedangkan, perempuan yang berambut acak-acakan itu telah hilang dari pandangan bersamaan dengan kendaraan yang berlalu lalang.Lelaki yang menggunakan baju koko dan sarung bermotif batik itu menginjak pedal gas, melajukan roda duanya menuju rumahnya yang tanpa jendela. Ya, rumah yang hanya dihuni seorang diri tanpa kehadiran sang istri tak ubahnya seperti rumah
"Apa?"Tomo dan Bean melongo tak percaya. Bagaimana bisa? Keduanya dimintai untuk lari mengejar laju mobil yang di kemudikan Arash, dan Itulah. Selalu membawa mobil dengan mengebut di atas rata-rata yang membuat Tomo dan Bean lebih memilih pingsan saja."Bang?""Abang!""Aelah, Boss kita malah main nyeruduk aja!" Keluh Tomo saat melihat mobil sudah melesat jauh. "Tomo, atau kita akan cari mati disini! Mana gue gak mau dikatakan pecundang sama si boss!" Saran Bean seraya terpengap-pengap."Yowesss! Lari!"Dua preman beranting satu-satu itu berlari sekencang-kencangnya, sekuat tenaga mengalahkan kartun Boboiboy dalam menyelamatkan sesuatu dari ancaman.Mereka Berlari, terus berlari sekencang-kencangnya meskipun pekat di dalam gelapnya malam. Hanya lampu lalu lintas yang menjadikan mereka petunjuk jalan.Pe