"Apa?"Tomo dan Bean melongo tak percaya. Bagaimana bisa? Keduanya dimintai untuk lari mengejar laju mobil yang di kemudikan Arash, dan Itulah. Selalu membawa mobil dengan mengebut di atas rata-rata yang membuat Tomo dan Bean lebih memilih pingsan saja."Bang?""Abang!""Aelah, Boss kita malah main nyeruduk aja!" Keluh Tomo saat melihat mobil sudah melesat jauh. "Tomo, atau kita akan cari mati disini! Mana gue gak mau dikatakan pecundang sama si boss!" Saran Bean seraya terpengap-pengap."Yowesss! Lari!"Dua preman beranting satu-satu itu berlari sekencang-kencangnya, sekuat tenaga mengalahkan kartun Boboiboy dalam menyelamatkan sesuatu dari ancaman.Mereka Berlari, terus berlari sekencang-kencangnya meskipun pekat di dalam gelapnya malam. Hanya lampu lalu lintas yang menjadikan mereka petunjuk jalan.Pe
Kendaraan roda empat mulai menepi di halaman rumah sakit PERMATA BUNDA. Buru-buru Arash berlari dan menanyakan keberadaan putranya dilobi."Dilantai satu ruangan Dahlia, Mas Ustadz!" Tunjuk sang wanita lembut. Namun, membuat sekujur tubuh Arash melemah. Putranya dirawat di lantai satu? Bukan ruangan istimewa, hanya ruangan kelas menengah ke bawah dan tentunya penanganan tidak seistimewa dilantai tiga dan seterusnya.Tanpa berfikir panjang, setelah mengucapkan kata terima kasih. Lelaki yang telah menjelma jadi ustadz itu berlari yang disusul oleh Tomo. Hingga, tubuhnya kembali lemas saat melihat anak berusia lima tahun terbaring lemah dengan darah yang masih bersimbah dan berbagai selang menempel di tubuhnya."Ini yang akan mendonorkan darahnya?" tanya sang dokter yang tengah bernegosiasi dengan ummi Rasyidah, menyambut kedatangan Arash. Cukup menyadarkan Aisha yang tengah termenung lemah dengan air mata yang terus berderai.
"Boss? Apa yang boss lakukan dengan semua ini?" Pekik Tomo dan Bean panik. Begitu juga wanita yang menjadi waiters di tempat ini, mereka berteriak histeris."Pak? Ada apa pak, apa ada yang salah?" Waiters berloncatan saat property-property terlempar sembarang. Para pelanggan lari tunggang langgang, mereka panik saat melihat keributan secara tiba-tiba yang melibatkan banyak hal."Kalian dengar!" Seru Arash menghentikan gerakannya. "Semua ini, harusnya di buang,""Hah?" Waiters serta Tomo dan Bean terkejut. Namun, Arash yang tak peduli serta tegas membuat mereka langsung patuh."Dan, kalian!" seru Arash pada waiters sambil menunjuk tegas. "Pakailah ini!" Arash menepuk tangan Isyarat memberikan gaun muslimah yang di bawa oleh Tomo dan Bean pada para wanita yang merupakan pegawai setia di restaurat anugerah mewah ini."Tapi, tapi kenapa kami harus pakaian seperti ini?"
"Maksudnya?""Jadi begini, pak!" Dokter tersebut menjeda ucapannya dengan menarik napas dalam-dalam. "Dari hasil pemeriksaan, Nak Aisha fositif hamil,""Apa?" Pekik semua yang hadir bersamaan. Begitu juga ummi Rasyidah. Ia hampir saja merasa jantungnya nyaris copot dari tempatnya serta tubuh ambruk mendengar pernyataan ini."Mohon maaf, bukan saya bermaksud untuk menyinggung. Tapi, dari hasil pemeriksaan, gejala yang terjadi karena di akibatkan karena kehamilan,"Aisha, ia memejamkan mata. Antara bahagia nan terluka bercampur jadi satu. " Maafkan Aisha, ummi!" Lirihnya seraya bersamaan dengan air mata yang luruh, menetes dari pelupuk, serta menganak sungai.Ummi Rasyidah merasa begitu terpukul atas berita yang dia terima. Seperti tak ada kekuatan memintanya untuk bangkit. Satu tetes air mata di ujung mata Aisha, menyadarkan bahwa cinta tak bisa di paksakan. Tidak pula untuk di pisahkan.
"Ada apa janda kembang itu datang kesini?" Gumamnya bangkit seraya meraih koko serta sorban yang menggantung di hanger. Setelah semuanya terpasang rapi, dan menampakkan ia seperti seorang Gus_panggilan yang dilekatkan oleh orang lain padanya. Ia membuka pintu kamar setelah mengambil sebuah kalung tasbeh sebagai hiasannya.Suasana di ruang tamu cukup sejuk dengan AC yang menyala di ukuran sedang. Namun, tidak untuk semua keluarga H. Karim. Panik bercampur dengan takut. Sejuk diruang tamu, tapi tidak di ruang hati dari masing-masing mereka. Bukan takut akan ancaman yang akan di lontarkan oleh Ustadz Hameed. Melainkan mereka merasa bersalah dan takut malah saat ini akan menjadi detik-detik terakhir persahabatan mereka."Selamat datang di rumah kami!" Sambut Gus Faruq menyalami tangan H. Karim, sedangkan untuk ketiga wanita yang berjejer di sampingnya hanya menangkupkan kedua tangannya, sebagai isyarat."Teri
"Tunggu!" Sebuah suara yang tak lain dari Ummu Rasyidah mengehentikan Aisha yang hendak menyalami tangan sang ayahanda."Ummi?" Lirih Aisha pilu saat sang ibunda berjalan ke arah kumpulan mereka.Ustadz Harun dan ummi Inayah saling lirik. Keduanya saling faham meskipun terdiam .Sedangkan H Karim. Sebuah senyuman pilu terlukiskan dari bibirnya. Sesekali ia mengusap wajahnya yang basah dengan sorban yang ia kenakan."Kau tak perlu pergi, Nak!" Ummi Rasyidah memegang wajah ayu Aisha. "Kita akan pergi bersama,"Ummi Rasyidah mengedarkan pandangannya pada semua yang hadir. Ia menyeka sudut mata yang masih basah. "Kita lebih baik katakan yang sejujurnya pada Gus Faruq,""Ummi benar. Kita tak perlu terfokus pada satu titik saja," Timpal ummi Inayah menguatkan ucapan Ummi Rasyidah."Tapi, bagaimana jika keluarga itu menagih janji yang tertulis
Arash mengguyur seluruh tubuhnya dengan air menenangkan dari shower. Sesungguhnya, andai orang lain tahu. selama ia melakukan hubungan intim dengan siapapun. Tak pernah merasakan tenang dan bahagia, Semuanya hanya atas dasar dendam dan pelampiasan pada ibunya yang entah dimana. Arash selalu membayar mahal para wanita manapun yang telah ia ajak bercinta. Dalam beberapa tahun ini, entah berapa ia menjamah gadis yang masih perawan. Namun, semuanya nampak hampa. dan tak satupun yang berhasil mengambil hati Arash. Saat ia menikmati setiap guyuran air yang seolah mengikis rasa marahnya, tiba-tiba pintu di ketuk dengan tergesa. Pertanda bahwa preman telah bersiap."Fuck!" Umpatnya.Arash segera menyudahi ritual mandinya yang sebenarnya hanya digunakan untuk menerawang diri ke masa lalu. Akibat banyak dosa sehingga ia tidak lagi percaya pada dirinya sendiri. Terlebih, Aisha kini tak ada kabar sama sekali. Pun
"Aku akan menemui Mas Arash!" Gumamnya penuh percaya diri. Ia segera seka air mata yang berlinang, tak ingin jadi wanita yang lemah."Apa kamu yakin, Nak?" tanya H. Karim langsung melepaskan genggaman tangannya, beralih menatap putrinya penuh pertanyaan.Aisha, wanita yang menggunakan niqab itu tersenyum, meskipun senyuman itu tak terlihat karena bibir manis itu berada dibalik kain tipisnya. "Mas Arash harus tahu Aisha tengah mengandung benihnya, Ayah. Aisha yakin dia akan sangat bahagia,"Ya, wanita itu optimis. Fikiran Aisha melayang beberapa hari yang lalu. Dimana, kata cinta itu terucap lembut dari bibir lelaki yang telah lama bersemayam di hati wanita itu. Ucapan yang menembus hingga ke jantung dan menetap melekat disana hingga meninggalkan bunga-bunga cinta yang indah bermekaran. Dan, ia yakin. Kabar kehamilannya akan menjadikan dia kembali bersatu dengan orang yang dicintai, serta bisa menjalankan perintah sang gur