"Ran, itu badan sama pipi kamu kenapa? Kok memar-memar gitu? Kamu di pukul sama Andre? Apa kalian bertengkar" tanya Ibu antusias ketika melihat tubuhku yang memar-memar.
"Eh, eum ... eum ... e--nggak kok, Bu. Rani gak di pukul sama Mas Andre, kami juga gak bertengkar," jawabku gugup. Bingung harus mencari alasan apa.
"Terus ini kok memar-memar seperti orang dipukuli. Kamu jangan bohong sama Ibu, jawab yang jujur ini kenapa!" Kali ini suara Ibu meninggi. Di tambah ia terus menerus membuka baju di bagian pergelangan tangan.
"Bu, jangan di buka. Rani gak kenapa-kenapa. Ini cuman memar karena ketumpahan air panas," ucapku sembari menghentikan tangan Ibu yang masih terus berusa membuka bajuku.
Krek!!!
Bajuku koyak di buat Ibu. Terlihat dengan jelas badan yang penuh luka lebam akibat pukulan Mas Andre semalam. Memar-memar biru itu tampak jelas saat Ibu membuka tirai jendela.
"Apa ini? Mengapa tubuh kamu seperti ini? Rani! Tatap Ibu sekarang. Katakan yang sebenarnya, ini kenapa? Mengapa badan kamu bisa sampai seperti ini. Kamu jangan bohongi Ibu. Mana mungkin semua memar di tubuhmu karena terkena air panas. Rani! Jawab Ibu, jangan diam saja," bentak Ibu sambil memukul meja di hadapannya.
"I--Ibu ... maafkan Rani, Bu. Maafkan Rani," ujarku sesegukan menahan isak tangis karena tak dapat melihat Ibu marah.
Aku hanya tak ingin Ibu kecewa pada Mas Andre. Bagaimanapun juga Mas Andre itu suamiku, aib dia adalah aibku juga.
"Kenapa? Ada apa sebenarnya? Ran, cerita sama Ibu. Cerita Anak." Ibu mengelus pundakku. Rambutku dibelai halus oleh Ibu.
Akhirnya ... setelah aku tenang dibuat Ibu. Aku Pun mulai bercerita. Menceritakan semua masalah rumah tangga yang aku hadapi, bahkan tentang penyakit Mas Andre yang belakangan ini kembali menjadi.
"Sejak kapan dia punya penyakit seperti itu," tanya Ibu seolah tak percaya bahwa menantu idaman nya mempunyai penyakit kronis yang susah diobati.
"Sudah lama, Bu. Sudah dari awal aku memulai rumah tangga padanya."
"Mengapa kamu gak cerita ke Ibu, Ndok." Kali ini Ibu menangis, air matanya membasahi pipiku yang tengah bersandar di kedua pahanya.
"Bu, jangan nangis. Aku gak mau Ibu sedih, bukan Rani tak mau cerita sama Ibu. Tapi Rani sendiri takut akan mengecewakan hati Ibu. Lagi pula, Mas Andre itukan adalah pilihan Ayah dan Ibu."
Aku menyeka air mata Ibu. Tak ingin melihat beliau menangis hanya karena masalah yang sebenarnya bisa diatasi.
"Maafin Ibu dan Ayahmu, Ndok. Karena kami ... kamu jadi menderita seperti ini," ujar Ibu sembari mengobati luka-luka memar di tubuhku.
"Aw, sakit Bu." Aku merasakan perih yang cukup dalam ketika Ibu menyapukan betadine di salah satu luka yang cukup parah.
"Sabar ya, Nduk. Ini Ibu pelan-pelan kok."
"Terus bagaimana keputusan kamu sekarang? Apa masih mau bertahan pada suamimu yang seperti itu?"
"Belum tahu, Bu. Khadijah mengusulkan untuk aku bercerai dengannya. Sedangkan aku ... masih belum tahu keputusan apa yang harus aku lakukan. Di sisi lain, aku hanya tak ingin Zain membenci Papinya hanya karena kesalahanku dan Mas Andre. Di sisi lain, aku menjaga amanah almarhum Ayah, agar aku bisa menjaga rumah tangga ini sampai tua nanti."
"Kamu sudah menjaga keluargamu dengan baik, tapi Andre saja yang sudah keterlaluan. Dia sendiri tak paham kondisi kamu. Apa ia harus bertahan dalam rumah tangga seperti ini? Usulan khadijah benar juga. Apa tak selayaknya kamu bercerai dengan Andre?"
"Lalu bagaimana dengan, Zain, Bu," ujarku memikirkan putraku itu.
"Masalah, Zain. Biar Ibu yang urus, kamu tak perlu khawatir ... ada Ibu yang selalu di sampingmu. Kamu tidak akan sendiri, kamu bisa. Yakinlah pada Ibu, dengan kamu bercerai dengannya. Itu akan membuat Andre mengetahui kesalahannya dimana."
Ucapan Ibu barusan membuat aku berpikir, apa mungkin dengan bercerai, Mas Andre akan bisa berubah? Bagaimana jika nantinya dia lebih parah dari biasanya?
"Akan aku pikirkan lagi, Bu. Tak semudah itu untuk aku bercerai dengannya."
Aku bangkit dari paha Ibu. Memakai baju yang telah selesai di jahit akibat robekan yang tak sengaja Ibu buat.
"Aku pamit pulang dulu, Bu. Takutnya nanti Mas Andre pulang ke rumah. Dia malah kecariaan karena aku tak ada." Aku berpamitan pada Ibu.
"Ia, Nduk. Kirim salam buat suamimu, ya. Sama Zain juga. Kamu hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai rumah kabari Ibu lagi. Jangan lupa untuk mempertimbangkan usulan Ibu tadi. Bukan Ibu ingin rumah tangga kamu hancur, tapi semua ini demi kebaikan kamu. Jadilah wanita yang menjunjung tinggi sebuah martabat. Ingat itu." Masih sempat-sempatnya Ibu menasehatiku sebelum kaki melangkah pergi.
Dia lah wanita penyemangat hidup di kala kesusahanku. Malaikat ada di saat aku membutuhkan.
"Aku pulang dulu ya, Bu," pamitku saat mesin motor sudah di hidupkan.
Ibu mengangguk di iringi senyuman manisnya, motorku pun keluar dari kawasan rumah Ibu dan terus melaju ke jalan raya.
Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan usulan Ibu tadi. Apa ia aku harus bercerai dengan Mas Andre. Alasan apa yang harus aku katakan padanya.
Bagaimana cara aku menjelaskan dengan Zain? Apa nantinya Zain akan membenci Mas Andre. Ku hembuskan nafas panjang, sambil mengucap istigfar dalam hati. Meminta petunjuk Tuhan atas semuanya.
Bercerai adalah hal yang memang di halalkan, namun sangat di benci. Aku sendiri tak kepikiran untuk bercerai, karena aku sendiri tahu ... bahwa hal itu dapat merugikan banyak pihak. Terlebih pada anakku nantinya.
Sebenarnya, bukan ini kemauanku. Aku hanya ingin Mas Andre berubah atau ada jalan lain untuk membuatnya sembuh.
****
Motor ku parkirkan di garasi, tampak Mobil pak Andre terparkir di depan halaman. "Apa ia sudah pulang?" pikirku.
Aku berjalan menuju rumah, memastikan apa benar Mas Andre telah pulang? Bukanlah ini juga masih jam 12.00 Wib.
Atau karena urusannya di kantor telah selesai makanya pulang cepat.
"Mas Andre sudah pulang, Pak?" tanyaku pada Arbi yang tengah bersiap-siap menjemput Zain.
"Oh, sudah, Bu."
"Baru saja atau gimana?"
"Sudah cukup lama sih, Bu. Tapi Bapak tadi ada bawa perempuan masuk ke dalam rumah," ujar Pak Arbi hingga membuat ku tercengang.
"Perempuan?" tanyaku keheranan.
"Ia, Bu."
"Oke, makasih ya Pak. Oh, ya Pak ... nanti Zain jangan di bawa pulang dulu ya. Bawa saja dia ke tempat Neneknya. Saya gak mau dia melihat apapun yang tak enak di pandang." Aku menyuruh Pak Arbi untuk tidak membawa Zain pulang.
Sebelum masuk ke dalam rumah, aku sempat meninggal pesan pada Ibu. Untuk menjaga Zain sementara, karena ada hal pribadi yang harus di selesaikan.
Kaki melangkah dengan ragu-ragu. Sembari membaca istigfar untuk menguatkan hati apabila terjadi suatu pemandangan yang tak di inginkan.
Pintu terbuka dengan perlahan, bunyian langkah kaki semakin di perlahan. Mata juga belum melihat apapun yang tak menyenangkan.
Sampai akhirnya aku mendengar suara jeritan wanita di dalam kamarku, teriakan itu semakin keras di tambah desahan yang membuat mataku membulat, seolah tak percaya dengan apa yang di dengar.
Hati remuk bak kaca yang di belah, walau pikiran masih terus berpikiran positife pada suami sendiri.
Mas Andre juga sebelumnya tahu, bahwa di jam-jam segini aku memang belum pulang ke rumah, jika tak belanja pastinya masih di rumah Ibu atau sedang pergi bersama Khadijah.
Apa ia Mas Andre menyempatkan waktu itu untuk bermesraan dengan wanita lain di belakangku?
"Think positive, do not conclude something that has not been seen by the eye."
Aku berjalan menuju pintu kamar, berat hati langkah kaki untuk menuju. Dengan segenap kekuatan yang aku kumpulkan, akhirnya bisa juga sampai depan pintu.
Suara jeritan, desahan di tambah suara cambukan yang biasa selalu di lakukan oleh Mas Andre saat berhubungan suami istri. Membuat aku semakin yakin bahwa mereka telah berbuat hal tersebut.
Brak!!!
Pintu aku buka dengan keras, hal itu sengaja aku lakukan untuk membuat mereka berdua terkejut atas kehadiranku.
Hati seolah tersayat, bak pisau yang di iris-iris ke tubuh. Di campurkan asam jeruk untuk memberikan kepedihan yang sangat luar biasa.
Aku ternganga saat melihat Mas Andre tanpa busana dengan wanita yang sempat aku lihat bersamanya.
Tubuhku terbujur kaku dengan seketika, lisan sudah tak mampu untuk mengucapkan kata-kata. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat? Hanya diam tanpa berkutik melakukan apapun.
Dugaanku selama ini benar, pikiranku pada Mas Andre selama lima belas tahun lebih juga benar. Ada hal yang ia sembunyikan dariku.
Mas Andre melihat ke arahku begitu juga dengan wanita di sebelahnya, Mas Andre membulatkan mata seolah-olah marah atas kehadiranku.
Wanita di sebelahnya yang tampak bingung berkata, "siapa dia, Mas. Apakah dia istri yang selama ini kamu ceritakan padaku."
Namun, hal yang tak ku sangka menimpa. Mas Andre bukannya takut karena ketahuan selingkuh. Ia malah lebih menjadi, tanpa malu dirinya bangkit dari kasur menghampiriku seraya berkata. "Kamu telah merusah kenikmatanku, pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu di sini."
"T--tapi, Mas. Dia itu siapa? Apa yang telah kamu lakukan. Ingat, Mas itu zina!" Aku berkata dengan nada rendah. Masih menghormati Mas Andre sebagai suamiku.
"Kamu tega sama aku, Mas. Kamu tega!" Aku memukul bidang dada Mas Andre.
Sungguh hati ini sakit, benar-benar sakit. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja.
Namun sebelum aku pergi Mas Andre sempat mengancam jika aku cerita kepada Ibu atau orang lain tentang hal ini. Ia tak segan-segan memisahkan antara aku dan Zain.
Dengan berat hati aku mengiyakannya, bagaimana juga itu adalah aib Mas Andre. Hal yang sekarang aku lakukan adalah berbalik, sembari mengatakan maaf karena telah mengganggu kenikmatan mereka berdua.
Air mata di pelupuk masih ditahan, walau hati sudah hancur lembur. Tak kan aku harus menjerit dan menangis di depan suami yang tak pernah punya hati itu.
Hati istri mana yang tak sakit melihat suaminya bermesraan di atas ranjang dengan wanita lain, seakan ia sudah lupa dengan janjinya saat mengucapkan akad di depan Ayah dan Ibuku.
Tak dapat menahan tangis, akhirnya air mata mengucur dengan deras. Saat aku melajukan motor ke rumah Khadijah.
Aku harap, Khadijah ada di rumah dan bisa menenangkan pikiranku saat ini.
Motor berhenti di sebuah rumah kecil berpagar ungu muda. Aku memarkirkan motorku di depan rumah. Kemudian berjalan ke arah pintu seraya mengetuk pintu sembari mengucapkan salam dengan suara parau. Baru saja ingin melakukan ketukan untuk kedua kalinya. Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki kawasan rumah. Yang tak lain adalah Khadijah. Ternyata dia baru pulang, aku kira sedang berada di rumah. Cepat-cepat aku menyeka air mata yang masih mengucur deras. "Eh, kamu di sini rupanya. Aku baru saja dari tempat Ibumu. Ada apa kemari," tanya Khadijah ketika turun dari motornya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu, Khad." Khadijah menatapku dengan lekat, seolah tahu masalah apa yang sedang aku hadapi. Hingga akhirnya ia menyuruhku masuk. Teh hangat disuguhkan di depan mata, ia menyuruhku untuk meminumnya terlebih dahulu agar hati bisa lebih tenang. Setelah sudah cukup tenang, aku pun mulai menceritakan semua kejadian yang hari ini aku saksikan depan mata kepalaku sendiri. Terlih
"Rania, ingatlah! Sesulit apapun kehidupanmu saat berumah tangga, sepahit apapun itu. Jangan pernah meminta bercerai. Bicarakanlah setiap masalah dengan baik-baik. Bicaralah dari hati ke hati, bicara dengan kepala yang dingin dan jangan pernah lari dari masalah. Ingat! Masalah tidak akan selesai apabila kamu lari darinya. Akan tetapi ... hadapilah dengan hati yang tenang. Rania! Jadilah seorang istri yang patuh dan taat pada suami. Sekalipun ia berbuat buruk padamu. Karena ... surga seorang istri terletak pada keridhaan suami. Apapun yang ia lakukan dan perintahkan, maka taatilah. Selagi tidak keluar dari unsur agama. Kamu putri Ayah yang sangat kuat, bisa menghadapi semua masalah yang datang. Jika kamu lelah maka istirahatlah sejenak, jika kamu ragu dan takut untuk melangkah ... maka tanyakanlah hatimu. Mengadulah pada Tuhanmu dalam setiap sujud sepertiga malam. Nak! Jangan pernah mengeluhkan masalahmu kepada orang lain, terlebih pada teman lelakimu. Karena itu ... justru dap
part 1"Kamu habis telponan sama siapa?" tanya Khadijah yang tiba-tiba berada di depanku sehingga membuat diri ini hampir terkejut. "Sama Kakak nya Mas Andre," jawabku singkat. "Oh, kamu cerita ke dia ya." "Gak kok, cuman tanya kabar saja." "Cuma itu saja?" "Ia, Sekalian juga Kak Intan ajak aku pergi belanja. Karena katanya sudah lama kami tak ketemu." "Kapan?" "Besok," ujarku. Khadijah mengangguk, seolah paham dengan maksud tujuanku. "Ran, cobalah kamu cerita sama kakaknya. tentang sifat adiknya yang sekarang." Usulan Khadijah sangat bagus, ternyata ia satu pemikiran denganku. Karena memang benar, hal itulah yang ingin sekali aku tanyakan ke Kak Intan. "Insya allah,nanti aku tanyakan," jawabku sembari pergi meninggalkannya. Namun saat kaki ingin melangkah pergi, tiba-tiba ... khadijah memanggilku sambil berkata. "Ran! Cepat kemari ... lihat ini," seru Khadijah sembari memberikan sebuah foto sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Awalnya aku masih biasa saja melihat f
Part 2 Cepat-cepat Kak Intan menutupi pergelangan tangannya yang memar, entah memar karena apa aku tak pasti. "Tidak ada apa-apa," jawabnya seolah ada yang disembunyikan. "Kakak yakin itu tidak kenapa-kenapa? Tapi itu luka memar loh." Aku kembali bertanya, mencoba mencari tahu kebenarannya. "Hanya memar biasa," jawabnya singkat. Mendengar jawaban itu aku pun tak kembali bertanya. Takut nanti dikira terlalu ingin tahu. Masih fokus dengan novel di depan. Karangan dari Asma Nadia ... buku terpopuler di zamannya, hingga saat ini masih tetap di prioritaskan. Sampai-sampai sangking bagusnya ia dijadikan film di layar bioskop dan Televisi. Sebuah pertemuan tanpa kesengajaan, membuat semua hidup hancur tak berdaya. Kepercayaan itu seakan sudah tidak ada lagi, ia memudar seiring berjalannya waktu. Sebuah adegan kecelakaan tersebut membuat hati tak dapat bertahan dalam kesetiaan. Sehingga ia lebih memilih untuk berbagi dalam kebisuan. Apakah semua laki-laki seperti itu? Tak dapat memili
"Ayok, sekali lagi saja," ujar Mas Andre memaksaku untuk melanjutkan permainannya. "Tapi aku sudah lelah, Mas. Tolong! pahamin aku. Lagi pula ... sudah enam kali kita melakukannya, apa itu juga tidak cukup dengan membuatmu puas?" jawabku meminta Mas Andre untuk mengerti. "Tapi aku masih ingin melakukannya sekali lagi." "Maaf, Mas. Bukan aku ingin menjadi istri yang durhaka kepada suami dengan tidak menuruti kemauannya. Tapi aku benar-benar letih. Terlebih sekarang sudah jam empat subuh. Biarkan aku istirahat sejenak, karena besok pagi banyak tugas yang harus aku kerjakan. Maafkan aku, Mas," lirihku sembari berjalan ke kamar mandi membersihkan diri. Selesainya dari kamar mandi, aku kembali untuk istirahat. Namun Mas Andre masih duduk di atas kasur dan sama sekali tidak berpindah. Ia terus menerus memperhatikanku. Ada rasa tidak enak di dalam hati karena tidak menuruti keinginannya. Saat mata hendak terpejam karena lelah yang amat dalam, tiba-tiba Mas Andre berkata dengan perkata
Aku memarkirkan motor honda di depan Coffe Qito. Kemudian masuk ke dalamnya. Namun sebelum itu, aku mengabari khadijah kalau sudah sampai di tempat lokasi. Terlihat khadijah melambaikan tangan padaku ketika pintu di buka. Aku tersenyum kepadanya, sembari berjalan menuju meja yang di pesan. "Kamu sudah lama menunggu di sini," tanyaku saat di depannya. "Lumayan juga sih, makanya itu tadi aku suruh kamu kemari," ujarnya. "Aku pesan minuman dulu ya, kamu mau pesan apa?" tanyaku sekali lagi. "Tidak usah pesan lagi, aku sudah memesannya duluan." "Owh ... ya sudah, ngomong-ngomong ada apa ini? Tumben ngajak ketemu, biasanya kamu sibuk." "Lagi libur kerja, minggu besok aku harus pergi ke surabaya, biasalah ... urusan masalah kerja. Makanya itu, takut nanti gak bisa ketemu sama kamu. Jadinya aku ajak ketemuan sekarang aja deh," ucapnya. "Owalah, aku kira ada apa tadi." "Gak ada apa-apa kok, cuman kangen sama kamu aja. Oh ya, Zain mana? Masih sekolah ya," tanya Khadijah. "Ia masih lah
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari Ibu. Aku keluar dari Coffe untuk mengangkatnya. "Ia, Bu. Ada apa?" tanyaku pada Ibu. "Kamu jadi datang ke rumah Ibu hari ini?" "Oh, i--ia Bu. Ini mau otw sekarang ke sana." "Ya sudah, Ibu tunggu ya." "Ia, Bu." Panggilan pun berakhir, aku lupa ... jika ternyata hari ini ada janji sama Ibu mau ke rumahnya karena ingin belajar masak soto. Aku bergegas pergi menuju rumah Ibu. Membiarkan Mas Andre dengan wanita itu, nanti juga bakal tahu siapa dia.Sebelum ke rumah Ibu, aku singgah ke pasar. Membeli semua yang diperlukan untuk membuat soto. Baru kali ini, aku mau belajar masak membuat soto. Biasanya selalu menolak, terlebih karena aku yang tak menyukainya. "Ayamnya sekilo saja, Bu," tanyaku ketika sudah berada di rumah Ibu. "Ndak usah sekilo, Nduk. Kebanyakan itu. Setengahnya saja," ujar Ibu mengupas beberapa kunyit. "Ini kita mau buat soto apa, Bu." "Soto ayam, Nduk.""Bahannya apa-apa saja, Bu. Biar Rani catat," ucapku seraya
Part 2 Cepat-cepat Kak Intan menutupi pergelangan tangannya yang memar, entah memar karena apa aku tak pasti. "Tidak ada apa-apa," jawabnya seolah ada yang disembunyikan. "Kakak yakin itu tidak kenapa-kenapa? Tapi itu luka memar loh." Aku kembali bertanya, mencoba mencari tahu kebenarannya. "Hanya memar biasa," jawabnya singkat. Mendengar jawaban itu aku pun tak kembali bertanya. Takut nanti dikira terlalu ingin tahu. Masih fokus dengan novel di depan. Karangan dari Asma Nadia ... buku terpopuler di zamannya, hingga saat ini masih tetap di prioritaskan. Sampai-sampai sangking bagusnya ia dijadikan film di layar bioskop dan Televisi. Sebuah pertemuan tanpa kesengajaan, membuat semua hidup hancur tak berdaya. Kepercayaan itu seakan sudah tidak ada lagi, ia memudar seiring berjalannya waktu. Sebuah adegan kecelakaan tersebut membuat hati tak dapat bertahan dalam kesetiaan. Sehingga ia lebih memilih untuk berbagi dalam kebisuan. Apakah semua laki-laki seperti itu? Tak dapat memili
part 1"Kamu habis telponan sama siapa?" tanya Khadijah yang tiba-tiba berada di depanku sehingga membuat diri ini hampir terkejut. "Sama Kakak nya Mas Andre," jawabku singkat. "Oh, kamu cerita ke dia ya." "Gak kok, cuman tanya kabar saja." "Cuma itu saja?" "Ia, Sekalian juga Kak Intan ajak aku pergi belanja. Karena katanya sudah lama kami tak ketemu." "Kapan?" "Besok," ujarku. Khadijah mengangguk, seolah paham dengan maksud tujuanku. "Ran, cobalah kamu cerita sama kakaknya. tentang sifat adiknya yang sekarang." Usulan Khadijah sangat bagus, ternyata ia satu pemikiran denganku. Karena memang benar, hal itulah yang ingin sekali aku tanyakan ke Kak Intan. "Insya allah,nanti aku tanyakan," jawabku sembari pergi meninggalkannya. Namun saat kaki ingin melangkah pergi, tiba-tiba ... khadijah memanggilku sambil berkata. "Ran! Cepat kemari ... lihat ini," seru Khadijah sembari memberikan sebuah foto sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Awalnya aku masih biasa saja melihat f
"Rania, ingatlah! Sesulit apapun kehidupanmu saat berumah tangga, sepahit apapun itu. Jangan pernah meminta bercerai. Bicarakanlah setiap masalah dengan baik-baik. Bicaralah dari hati ke hati, bicara dengan kepala yang dingin dan jangan pernah lari dari masalah. Ingat! Masalah tidak akan selesai apabila kamu lari darinya. Akan tetapi ... hadapilah dengan hati yang tenang. Rania! Jadilah seorang istri yang patuh dan taat pada suami. Sekalipun ia berbuat buruk padamu. Karena ... surga seorang istri terletak pada keridhaan suami. Apapun yang ia lakukan dan perintahkan, maka taatilah. Selagi tidak keluar dari unsur agama. Kamu putri Ayah yang sangat kuat, bisa menghadapi semua masalah yang datang. Jika kamu lelah maka istirahatlah sejenak, jika kamu ragu dan takut untuk melangkah ... maka tanyakanlah hatimu. Mengadulah pada Tuhanmu dalam setiap sujud sepertiga malam. Nak! Jangan pernah mengeluhkan masalahmu kepada orang lain, terlebih pada teman lelakimu. Karena itu ... justru dap
Motor berhenti di sebuah rumah kecil berpagar ungu muda. Aku memarkirkan motorku di depan rumah. Kemudian berjalan ke arah pintu seraya mengetuk pintu sembari mengucapkan salam dengan suara parau. Baru saja ingin melakukan ketukan untuk kedua kalinya. Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki kawasan rumah. Yang tak lain adalah Khadijah. Ternyata dia baru pulang, aku kira sedang berada di rumah. Cepat-cepat aku menyeka air mata yang masih mengucur deras. "Eh, kamu di sini rupanya. Aku baru saja dari tempat Ibumu. Ada apa kemari," tanya Khadijah ketika turun dari motornya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu, Khad." Khadijah menatapku dengan lekat, seolah tahu masalah apa yang sedang aku hadapi. Hingga akhirnya ia menyuruhku masuk. Teh hangat disuguhkan di depan mata, ia menyuruhku untuk meminumnya terlebih dahulu agar hati bisa lebih tenang. Setelah sudah cukup tenang, aku pun mulai menceritakan semua kejadian yang hari ini aku saksikan depan mata kepalaku sendiri. Terlih
"Ran, itu badan sama pipi kamu kenapa? Kok memar-memar gitu? Kamu di pukul sama Andre? Apa kalian bertengkar" tanya Ibu antusias ketika melihat tubuhku yang memar-memar. "Eh, eum ... eum ... e--nggak kok, Bu. Rani gak di pukul sama Mas Andre, kami juga gak bertengkar," jawabku gugup. Bingung harus mencari alasan apa. "Terus ini kok memar-memar seperti orang dipukuli. Kamu jangan bohong sama Ibu, jawab yang jujur ini kenapa!" Kali ini suara Ibu meninggi. Di tambah ia terus menerus membuka baju di bagian pergelangan tangan. "Bu, jangan di buka. Rani gak kenapa-kenapa. Ini cuman memar karena ketumpahan air panas," ucapku sembari menghentikan tangan Ibu yang masih terus berusa membuka bajuku.Krek!!! Bajuku koyak di buat Ibu. Terlihat dengan jelas badan yang penuh luka lebam akibat pukulan Mas Andre semalam. Memar-memar biru itu tampak jelas saat Ibu membuka tirai jendela. "Apa ini? Mengapa tubuh kamu seperti ini? Rani! Tatap Ibu sekarang. Katakan yang sebenarnya, ini kenapa? Mengapa
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari Ibu. Aku keluar dari Coffe untuk mengangkatnya. "Ia, Bu. Ada apa?" tanyaku pada Ibu. "Kamu jadi datang ke rumah Ibu hari ini?" "Oh, i--ia Bu. Ini mau otw sekarang ke sana." "Ya sudah, Ibu tunggu ya." "Ia, Bu." Panggilan pun berakhir, aku lupa ... jika ternyata hari ini ada janji sama Ibu mau ke rumahnya karena ingin belajar masak soto. Aku bergegas pergi menuju rumah Ibu. Membiarkan Mas Andre dengan wanita itu, nanti juga bakal tahu siapa dia.Sebelum ke rumah Ibu, aku singgah ke pasar. Membeli semua yang diperlukan untuk membuat soto. Baru kali ini, aku mau belajar masak membuat soto. Biasanya selalu menolak, terlebih karena aku yang tak menyukainya. "Ayamnya sekilo saja, Bu," tanyaku ketika sudah berada di rumah Ibu. "Ndak usah sekilo, Nduk. Kebanyakan itu. Setengahnya saja," ujar Ibu mengupas beberapa kunyit. "Ini kita mau buat soto apa, Bu." "Soto ayam, Nduk.""Bahannya apa-apa saja, Bu. Biar Rani catat," ucapku seraya
Aku memarkirkan motor honda di depan Coffe Qito. Kemudian masuk ke dalamnya. Namun sebelum itu, aku mengabari khadijah kalau sudah sampai di tempat lokasi. Terlihat khadijah melambaikan tangan padaku ketika pintu di buka. Aku tersenyum kepadanya, sembari berjalan menuju meja yang di pesan. "Kamu sudah lama menunggu di sini," tanyaku saat di depannya. "Lumayan juga sih, makanya itu tadi aku suruh kamu kemari," ujarnya. "Aku pesan minuman dulu ya, kamu mau pesan apa?" tanyaku sekali lagi. "Tidak usah pesan lagi, aku sudah memesannya duluan." "Owh ... ya sudah, ngomong-ngomong ada apa ini? Tumben ngajak ketemu, biasanya kamu sibuk." "Lagi libur kerja, minggu besok aku harus pergi ke surabaya, biasalah ... urusan masalah kerja. Makanya itu, takut nanti gak bisa ketemu sama kamu. Jadinya aku ajak ketemuan sekarang aja deh," ucapnya. "Owalah, aku kira ada apa tadi." "Gak ada apa-apa kok, cuman kangen sama kamu aja. Oh ya, Zain mana? Masih sekolah ya," tanya Khadijah. "Ia masih lah
"Ayok, sekali lagi saja," ujar Mas Andre memaksaku untuk melanjutkan permainannya. "Tapi aku sudah lelah, Mas. Tolong! pahamin aku. Lagi pula ... sudah enam kali kita melakukannya, apa itu juga tidak cukup dengan membuatmu puas?" jawabku meminta Mas Andre untuk mengerti. "Tapi aku masih ingin melakukannya sekali lagi." "Maaf, Mas. Bukan aku ingin menjadi istri yang durhaka kepada suami dengan tidak menuruti kemauannya. Tapi aku benar-benar letih. Terlebih sekarang sudah jam empat subuh. Biarkan aku istirahat sejenak, karena besok pagi banyak tugas yang harus aku kerjakan. Maafkan aku, Mas," lirihku sembari berjalan ke kamar mandi membersihkan diri. Selesainya dari kamar mandi, aku kembali untuk istirahat. Namun Mas Andre masih duduk di atas kasur dan sama sekali tidak berpindah. Ia terus menerus memperhatikanku. Ada rasa tidak enak di dalam hati karena tidak menuruti keinginannya. Saat mata hendak terpejam karena lelah yang amat dalam, tiba-tiba Mas Andre berkata dengan perkata