Motor berhenti di sebuah rumah kecil berpagar ungu muda. Aku memarkirkan motorku di depan rumah.
Kemudian berjalan ke arah pintu seraya mengetuk pintu sembari mengucapkan salam dengan suara parau.
Baru saja ingin melakukan ketukan untuk kedua kalinya. Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki kawasan rumah. Yang tak lain adalah Khadijah.
Ternyata dia baru pulang, aku kira sedang berada di rumah. Cepat-cepat aku menyeka air mata yang masih mengucur deras.
"Eh, kamu di sini rupanya. Aku baru saja dari tempat Ibumu. Ada apa kemari," tanya Khadijah ketika turun dari motornya.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu, Khad."
Khadijah menatapku dengan lekat, seolah tahu masalah apa yang sedang aku hadapi. Hingga akhirnya ia menyuruhku masuk.
Teh hangat disuguhkan di depan mata, ia menyuruhku untuk meminumnya terlebih dahulu agar hati bisa lebih tenang.
Setelah sudah cukup tenang, aku pun mulai menceritakan semua kejadian yang hari ini aku saksikan depan mata kepalaku sendiri.
Terlihat raut wajah Khadijah memerah karena mendengar ceritaku. Matanya seperti ingin keluar dari tempat bersemayam.
Sambil mengisak tangis aku mengakhiri cerita.
Brak!!!
Meja dipukul kuat, hingga membuat gelas ku terjatuh dan pecah.
"Ini sudah tak bisa di biarkan, suamimu itu sudah keterlaluan. Laki-laki macam apa dia yang sama sekali tak tahu malu. Sudah lah menyusahkan tak tahu diri pula itu." Suara Khadijah begitu meninggi. Amarahnya kian menjadi. Terlebih aku kembali mengatakan bahwa Mas Andre kerap sering melakukan vcs dengan beberapa wanita, apabila aku tak dapat memuaskannya.
"Kamu mau kemana, Khad," ujarku saat Khadijah bangkit dari tempat duduknya.
"Aku mau jumpai suamimu, memberikannya sebuah tamparan agar dia sadar atas kesalahannya. Kamu juga, kenapa sudah tahu dia selingkuh malah diam saja. Lihat sekarang ia semakin menjadi!"
"Aku hanya mengira bahwa dia tak melakukannya secara nyata. Mungkin hanya sebuah fantasi untuk mendapatkan kepuasan. Karena aku paham, aku sendiri bukan istri yang bisa memuaskannya."
"Aku tak tahu apa yang ada dipikiran kamu Rani, sehingga saat kamu diperlakukan seperti itu, kamu masih bisa memaafkannya."
Khadijah membuang wajahnya, aku tahu dia pasti kesal dengan sikapku. Bukan tak ingin marah atau apa, aku hanya tidak mau Zain nantinya berpisah dengan Papinya.
"Maafkan aku Khad. Tapi aku mohon untuk tidak melakukan apapun pada Mas Andre. Aku yakin dia pasti ...." ucapanku terputus ketika Khadijah kembali membentak dengan berkata.
"Apa? Kamu yakin apa! Yakin dia pasti berubah? Tidak akan! Suamimu itu tidak akan berubah sampai kamu sendiri yang memberinya pelajaran."
Aku terdiam, terpaut pada tangis dan kebingungan. Apa yang haru aku lakukan? Sementara Mas Andre hanya bisa menikmati kepuasannya.
Apa yang Khadijah katakan itu benar, Mas Andre tidak akan berubah sampai aku yang memberinya pelajarannya agar dia tahu dimana letak kesalahannya.
Jika dibiarkan terus menerus ia akan semakin menjadi, selama ini aku hanya bisa diam, tak berani melawan dengan apa yang telah ia perbuat padaku. Bahkan aku hanya bisa menurutinya. Sekalipun ia melakukan vcs pada wanita lain di saat kami sedang melakukan sebuah hubungan.
Teringat akan tisu-tisu yang berserakan di lantai, semua itu harus aku bersihkan setelah Mas Andre selesai melakukan vcs dengan beberapa wanita. Penyakit hipersex yang ia miliki semakin menjadi.
Terlebih ia tak akan puas bila tak memukul pasangannya sebelum berhubungan. Itulah yang mengakibatkan tubuhku selalu terluka.
Jika hanya sekedar memar itu belum mampu membuat Mas Andre puas, setidaknya ada sebagian anggota tubuh yang berdarah. Baru Mas Andre mau melakukan hubungan denganku.
Paling tidak enam sampai tujuh kali baru bisa membuat Mas Andre berhenti dari permainan.
"Kenapa hanya diam?"
"Aku tak tahu harus melakukan apa, Khad. Saat ini aku masih butuh ketenangan. Mungkin setelah beberapa hari baru bisa mengambil sebuah keputusan," ujarku dengan nada memelas.
"Ya sudah, gini saja. Untuk sementara waktu, kamu tinggal di rumahku ini. Jika kamu sudah mengambil keputusan, segera kabari aku."
"Kamu mau kemana?" tanyaku.
"Tidak kemana-kemana. Aku akan selalu berada disampingmu. Menemanimu sampai masalah ini selesai. Kamu yang sabar ya, Ran. Suamimu pasti akan mendapat balasan dari semua perbuatan yang ia lakukan padamu." Khadijah mendekap seraya mengelus halus pundakku.
"Terima kasih ya, Khad. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah aku punya."
"Oh ya, Zain gimana?"
"Zain sudah aman, Khad. Aku tadi menyuruh Pak Arbi untuk menitipkannya sejenak pada Ibu. Karena aku tahu, jika Zain tahu Papinya seperti itu. Ia pasti tak akan memaafkannya, nanti juga aku akan meminta Ibu untuk menjaga Zain beberapa hari ke depan, tanpa membicarakan masalah ini."
"Mengapa kamu tak bicara saja pada Ibu. Bukankah Ibumu juga tahu masalahmu? Ia tadi cerita padaku."
"Aku tak ingin Ibu kecewa untuk kedua kalinya atas perlakuan Mas Andre. Aku juga tak ingin membuat jantung Ibu kambuh karena masalah keluargaku."
"Baiklah, itu semua keputusanmu. Aku hanya dapat menghargainya," ucap Khadijah.
****
Malam datang begitu cepat, aku masih termenung di teras Rumah Khadijah. Memikirkan nasib yang saat ini menimpa.Bagaimana keadaan Zain sekarang ya, apa dia baik-baik saja di rumah Ibu? Bagaimana juga dengan Mas Andre? Apakah dia masih bersama wanita itu. Ini semua salahku, andai malam itu aku menuruti kemauannya. Pastilah dia tak akan mencari kepuasan pada wanita lain.
Aku menyeka air mata yang tiba-tiba datang membasahi pipi. Dalam kesepian yang hening ponsel berdering. Panggilan itu dari Ibu, aku mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Nduk. Kamu dimana sekarang? Zain kok tiba-tiba kamu titipkan sama Ibu. Ada apa, Nak. Kamu berantem ya sama suamimu."
"Gak kok, Bu. Rani cuman lagi ingin sendiri. Maafin Rani ya Bu sudah buat Ibu susah," ujarku pada Ibu di seberang telpon.
"Iya, Nak gak apa-apa. Ibu senang kok Zain bisa di sini. Cuman dari tadi dia nanyak, Mami kemana. Kok gak jemput-jemput Zain. Orang Pak Arbi bilang nanti di jemput."
"Jangan bilang sama Zain masalah ini ya Bu. Aku gak mau dia membenci Papinya. Ya sudah Bu, Rani mau istirahat. Makasih banyak ya Bu sudah mau bantu Rani. Tolong jagain Zain ya Bu," pintaku mengakhiri pembicaraan.
"Ia, Nak. Ibu gak akan bilang sama Zain. Kamu yang sabar, ya. Ibu akan selalu doakan kamu."
"Makasih banyak ya, Bu. Aku pamit dulu, assalamualaikum," ujarku menutup pembicaraan.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu kemudian mematikan panggilannya.
Aku masih terdiam, menatap jalan yang sepi. Teringat dengan kejadian siang tadi. Pemandangan yang membuat hati remuk bak dihancurkan oleh ribuan batu.
Terlebih kata-kata Mas Andre yang tak ingin menatapku lagi. Mengapa ia sekejam itu, apa salahku sehingga dia tega mengkhianati janjinya.
"Rania, ingatlah! Sesulit apapun kehidupanmu saat berumah tangga, sepahit apapun itu. Jangan pernah meminta bercerai. Bicarakanlah setiap masalah dengan baik-baik. Bicaralah dari hati ke hati, bicara dengan kepala yang dingin dan jangan pernah lari dari masalah. Ingat! Masalah tidak akan selesai apabila kamu lari darinya. Akan tetapi ... hadapilah dengan hati yang tenang. Rania! Jadilah seorang istri yang patuh dan taat pada suami. Sekalipun ia berbuat buruk padamu. Karena ... surga seorang istri terletak pada keridhaan suami. Apapun yang ia lakukan dan perintahkan, maka taatilah. Selagi tidak keluar dari unsur agama. Kamu putri Ayah yang sangat kuat, bisa menghadapi semua masalah yang datang. Jika kamu lelah maka istirahatlah sejenak, jika kamu ragu dan takut untuk melangkah ... maka tanyakanlah hatimu. Mengadulah pada Tuhanmu dalam setiap sujud sepertiga malam. Nak! Jangan pernah mengeluhkan masalahmu kepada orang lain, terlebih pada teman lelakimu. Karena itu ... justru dap
part 1"Kamu habis telponan sama siapa?" tanya Khadijah yang tiba-tiba berada di depanku sehingga membuat diri ini hampir terkejut. "Sama Kakak nya Mas Andre," jawabku singkat. "Oh, kamu cerita ke dia ya." "Gak kok, cuman tanya kabar saja." "Cuma itu saja?" "Ia, Sekalian juga Kak Intan ajak aku pergi belanja. Karena katanya sudah lama kami tak ketemu." "Kapan?" "Besok," ujarku. Khadijah mengangguk, seolah paham dengan maksud tujuanku. "Ran, cobalah kamu cerita sama kakaknya. tentang sifat adiknya yang sekarang." Usulan Khadijah sangat bagus, ternyata ia satu pemikiran denganku. Karena memang benar, hal itulah yang ingin sekali aku tanyakan ke Kak Intan. "Insya allah,nanti aku tanyakan," jawabku sembari pergi meninggalkannya. Namun saat kaki ingin melangkah pergi, tiba-tiba ... khadijah memanggilku sambil berkata. "Ran! Cepat kemari ... lihat ini," seru Khadijah sembari memberikan sebuah foto sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Awalnya aku masih biasa saja melihat f
Part 2 Cepat-cepat Kak Intan menutupi pergelangan tangannya yang memar, entah memar karena apa aku tak pasti. "Tidak ada apa-apa," jawabnya seolah ada yang disembunyikan. "Kakak yakin itu tidak kenapa-kenapa? Tapi itu luka memar loh." Aku kembali bertanya, mencoba mencari tahu kebenarannya. "Hanya memar biasa," jawabnya singkat. Mendengar jawaban itu aku pun tak kembali bertanya. Takut nanti dikira terlalu ingin tahu. Masih fokus dengan novel di depan. Karangan dari Asma Nadia ... buku terpopuler di zamannya, hingga saat ini masih tetap di prioritaskan. Sampai-sampai sangking bagusnya ia dijadikan film di layar bioskop dan Televisi. Sebuah pertemuan tanpa kesengajaan, membuat semua hidup hancur tak berdaya. Kepercayaan itu seakan sudah tidak ada lagi, ia memudar seiring berjalannya waktu. Sebuah adegan kecelakaan tersebut membuat hati tak dapat bertahan dalam kesetiaan. Sehingga ia lebih memilih untuk berbagi dalam kebisuan. Apakah semua laki-laki seperti itu? Tak dapat memili
"Ayok, sekali lagi saja," ujar Mas Andre memaksaku untuk melanjutkan permainannya. "Tapi aku sudah lelah, Mas. Tolong! pahamin aku. Lagi pula ... sudah enam kali kita melakukannya, apa itu juga tidak cukup dengan membuatmu puas?" jawabku meminta Mas Andre untuk mengerti. "Tapi aku masih ingin melakukannya sekali lagi." "Maaf, Mas. Bukan aku ingin menjadi istri yang durhaka kepada suami dengan tidak menuruti kemauannya. Tapi aku benar-benar letih. Terlebih sekarang sudah jam empat subuh. Biarkan aku istirahat sejenak, karena besok pagi banyak tugas yang harus aku kerjakan. Maafkan aku, Mas," lirihku sembari berjalan ke kamar mandi membersihkan diri. Selesainya dari kamar mandi, aku kembali untuk istirahat. Namun Mas Andre masih duduk di atas kasur dan sama sekali tidak berpindah. Ia terus menerus memperhatikanku. Ada rasa tidak enak di dalam hati karena tidak menuruti keinginannya. Saat mata hendak terpejam karena lelah yang amat dalam, tiba-tiba Mas Andre berkata dengan perkata
Aku memarkirkan motor honda di depan Coffe Qito. Kemudian masuk ke dalamnya. Namun sebelum itu, aku mengabari khadijah kalau sudah sampai di tempat lokasi. Terlihat khadijah melambaikan tangan padaku ketika pintu di buka. Aku tersenyum kepadanya, sembari berjalan menuju meja yang di pesan. "Kamu sudah lama menunggu di sini," tanyaku saat di depannya. "Lumayan juga sih, makanya itu tadi aku suruh kamu kemari," ujarnya. "Aku pesan minuman dulu ya, kamu mau pesan apa?" tanyaku sekali lagi. "Tidak usah pesan lagi, aku sudah memesannya duluan." "Owh ... ya sudah, ngomong-ngomong ada apa ini? Tumben ngajak ketemu, biasanya kamu sibuk." "Lagi libur kerja, minggu besok aku harus pergi ke surabaya, biasalah ... urusan masalah kerja. Makanya itu, takut nanti gak bisa ketemu sama kamu. Jadinya aku ajak ketemuan sekarang aja deh," ucapnya. "Owalah, aku kira ada apa tadi." "Gak ada apa-apa kok, cuman kangen sama kamu aja. Oh ya, Zain mana? Masih sekolah ya," tanya Khadijah. "Ia masih lah
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari Ibu. Aku keluar dari Coffe untuk mengangkatnya. "Ia, Bu. Ada apa?" tanyaku pada Ibu. "Kamu jadi datang ke rumah Ibu hari ini?" "Oh, i--ia Bu. Ini mau otw sekarang ke sana." "Ya sudah, Ibu tunggu ya." "Ia, Bu." Panggilan pun berakhir, aku lupa ... jika ternyata hari ini ada janji sama Ibu mau ke rumahnya karena ingin belajar masak soto. Aku bergegas pergi menuju rumah Ibu. Membiarkan Mas Andre dengan wanita itu, nanti juga bakal tahu siapa dia.Sebelum ke rumah Ibu, aku singgah ke pasar. Membeli semua yang diperlukan untuk membuat soto. Baru kali ini, aku mau belajar masak membuat soto. Biasanya selalu menolak, terlebih karena aku yang tak menyukainya. "Ayamnya sekilo saja, Bu," tanyaku ketika sudah berada di rumah Ibu. "Ndak usah sekilo, Nduk. Kebanyakan itu. Setengahnya saja," ujar Ibu mengupas beberapa kunyit. "Ini kita mau buat soto apa, Bu." "Soto ayam, Nduk.""Bahannya apa-apa saja, Bu. Biar Rani catat," ucapku seraya
"Ran, itu badan sama pipi kamu kenapa? Kok memar-memar gitu? Kamu di pukul sama Andre? Apa kalian bertengkar" tanya Ibu antusias ketika melihat tubuhku yang memar-memar. "Eh, eum ... eum ... e--nggak kok, Bu. Rani gak di pukul sama Mas Andre, kami juga gak bertengkar," jawabku gugup. Bingung harus mencari alasan apa. "Terus ini kok memar-memar seperti orang dipukuli. Kamu jangan bohong sama Ibu, jawab yang jujur ini kenapa!" Kali ini suara Ibu meninggi. Di tambah ia terus menerus membuka baju di bagian pergelangan tangan. "Bu, jangan di buka. Rani gak kenapa-kenapa. Ini cuman memar karena ketumpahan air panas," ucapku sembari menghentikan tangan Ibu yang masih terus berusa membuka bajuku.Krek!!! Bajuku koyak di buat Ibu. Terlihat dengan jelas badan yang penuh luka lebam akibat pukulan Mas Andre semalam. Memar-memar biru itu tampak jelas saat Ibu membuka tirai jendela. "Apa ini? Mengapa tubuh kamu seperti ini? Rani! Tatap Ibu sekarang. Katakan yang sebenarnya, ini kenapa? Mengapa
Part 2 Cepat-cepat Kak Intan menutupi pergelangan tangannya yang memar, entah memar karena apa aku tak pasti. "Tidak ada apa-apa," jawabnya seolah ada yang disembunyikan. "Kakak yakin itu tidak kenapa-kenapa? Tapi itu luka memar loh." Aku kembali bertanya, mencoba mencari tahu kebenarannya. "Hanya memar biasa," jawabnya singkat. Mendengar jawaban itu aku pun tak kembali bertanya. Takut nanti dikira terlalu ingin tahu. Masih fokus dengan novel di depan. Karangan dari Asma Nadia ... buku terpopuler di zamannya, hingga saat ini masih tetap di prioritaskan. Sampai-sampai sangking bagusnya ia dijadikan film di layar bioskop dan Televisi. Sebuah pertemuan tanpa kesengajaan, membuat semua hidup hancur tak berdaya. Kepercayaan itu seakan sudah tidak ada lagi, ia memudar seiring berjalannya waktu. Sebuah adegan kecelakaan tersebut membuat hati tak dapat bertahan dalam kesetiaan. Sehingga ia lebih memilih untuk berbagi dalam kebisuan. Apakah semua laki-laki seperti itu? Tak dapat memili
part 1"Kamu habis telponan sama siapa?" tanya Khadijah yang tiba-tiba berada di depanku sehingga membuat diri ini hampir terkejut. "Sama Kakak nya Mas Andre," jawabku singkat. "Oh, kamu cerita ke dia ya." "Gak kok, cuman tanya kabar saja." "Cuma itu saja?" "Ia, Sekalian juga Kak Intan ajak aku pergi belanja. Karena katanya sudah lama kami tak ketemu." "Kapan?" "Besok," ujarku. Khadijah mengangguk, seolah paham dengan maksud tujuanku. "Ran, cobalah kamu cerita sama kakaknya. tentang sifat adiknya yang sekarang." Usulan Khadijah sangat bagus, ternyata ia satu pemikiran denganku. Karena memang benar, hal itulah yang ingin sekali aku tanyakan ke Kak Intan. "Insya allah,nanti aku tanyakan," jawabku sembari pergi meninggalkannya. Namun saat kaki ingin melangkah pergi, tiba-tiba ... khadijah memanggilku sambil berkata. "Ran! Cepat kemari ... lihat ini," seru Khadijah sembari memberikan sebuah foto sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Awalnya aku masih biasa saja melihat f
"Rania, ingatlah! Sesulit apapun kehidupanmu saat berumah tangga, sepahit apapun itu. Jangan pernah meminta bercerai. Bicarakanlah setiap masalah dengan baik-baik. Bicaralah dari hati ke hati, bicara dengan kepala yang dingin dan jangan pernah lari dari masalah. Ingat! Masalah tidak akan selesai apabila kamu lari darinya. Akan tetapi ... hadapilah dengan hati yang tenang. Rania! Jadilah seorang istri yang patuh dan taat pada suami. Sekalipun ia berbuat buruk padamu. Karena ... surga seorang istri terletak pada keridhaan suami. Apapun yang ia lakukan dan perintahkan, maka taatilah. Selagi tidak keluar dari unsur agama. Kamu putri Ayah yang sangat kuat, bisa menghadapi semua masalah yang datang. Jika kamu lelah maka istirahatlah sejenak, jika kamu ragu dan takut untuk melangkah ... maka tanyakanlah hatimu. Mengadulah pada Tuhanmu dalam setiap sujud sepertiga malam. Nak! Jangan pernah mengeluhkan masalahmu kepada orang lain, terlebih pada teman lelakimu. Karena itu ... justru dap
Motor berhenti di sebuah rumah kecil berpagar ungu muda. Aku memarkirkan motorku di depan rumah. Kemudian berjalan ke arah pintu seraya mengetuk pintu sembari mengucapkan salam dengan suara parau. Baru saja ingin melakukan ketukan untuk kedua kalinya. Tiba-tiba terdengar suara motor memasuki kawasan rumah. Yang tak lain adalah Khadijah. Ternyata dia baru pulang, aku kira sedang berada di rumah. Cepat-cepat aku menyeka air mata yang masih mengucur deras. "Eh, kamu di sini rupanya. Aku baru saja dari tempat Ibumu. Ada apa kemari," tanya Khadijah ketika turun dari motornya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu, Khad." Khadijah menatapku dengan lekat, seolah tahu masalah apa yang sedang aku hadapi. Hingga akhirnya ia menyuruhku masuk. Teh hangat disuguhkan di depan mata, ia menyuruhku untuk meminumnya terlebih dahulu agar hati bisa lebih tenang. Setelah sudah cukup tenang, aku pun mulai menceritakan semua kejadian yang hari ini aku saksikan depan mata kepalaku sendiri. Terlih
"Ran, itu badan sama pipi kamu kenapa? Kok memar-memar gitu? Kamu di pukul sama Andre? Apa kalian bertengkar" tanya Ibu antusias ketika melihat tubuhku yang memar-memar. "Eh, eum ... eum ... e--nggak kok, Bu. Rani gak di pukul sama Mas Andre, kami juga gak bertengkar," jawabku gugup. Bingung harus mencari alasan apa. "Terus ini kok memar-memar seperti orang dipukuli. Kamu jangan bohong sama Ibu, jawab yang jujur ini kenapa!" Kali ini suara Ibu meninggi. Di tambah ia terus menerus membuka baju di bagian pergelangan tangan. "Bu, jangan di buka. Rani gak kenapa-kenapa. Ini cuman memar karena ketumpahan air panas," ucapku sembari menghentikan tangan Ibu yang masih terus berusa membuka bajuku.Krek!!! Bajuku koyak di buat Ibu. Terlihat dengan jelas badan yang penuh luka lebam akibat pukulan Mas Andre semalam. Memar-memar biru itu tampak jelas saat Ibu membuka tirai jendela. "Apa ini? Mengapa tubuh kamu seperti ini? Rani! Tatap Ibu sekarang. Katakan yang sebenarnya, ini kenapa? Mengapa
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan masuk dari Ibu. Aku keluar dari Coffe untuk mengangkatnya. "Ia, Bu. Ada apa?" tanyaku pada Ibu. "Kamu jadi datang ke rumah Ibu hari ini?" "Oh, i--ia Bu. Ini mau otw sekarang ke sana." "Ya sudah, Ibu tunggu ya." "Ia, Bu." Panggilan pun berakhir, aku lupa ... jika ternyata hari ini ada janji sama Ibu mau ke rumahnya karena ingin belajar masak soto. Aku bergegas pergi menuju rumah Ibu. Membiarkan Mas Andre dengan wanita itu, nanti juga bakal tahu siapa dia.Sebelum ke rumah Ibu, aku singgah ke pasar. Membeli semua yang diperlukan untuk membuat soto. Baru kali ini, aku mau belajar masak membuat soto. Biasanya selalu menolak, terlebih karena aku yang tak menyukainya. "Ayamnya sekilo saja, Bu," tanyaku ketika sudah berada di rumah Ibu. "Ndak usah sekilo, Nduk. Kebanyakan itu. Setengahnya saja," ujar Ibu mengupas beberapa kunyit. "Ini kita mau buat soto apa, Bu." "Soto ayam, Nduk.""Bahannya apa-apa saja, Bu. Biar Rani catat," ucapku seraya
Aku memarkirkan motor honda di depan Coffe Qito. Kemudian masuk ke dalamnya. Namun sebelum itu, aku mengabari khadijah kalau sudah sampai di tempat lokasi. Terlihat khadijah melambaikan tangan padaku ketika pintu di buka. Aku tersenyum kepadanya, sembari berjalan menuju meja yang di pesan. "Kamu sudah lama menunggu di sini," tanyaku saat di depannya. "Lumayan juga sih, makanya itu tadi aku suruh kamu kemari," ujarnya. "Aku pesan minuman dulu ya, kamu mau pesan apa?" tanyaku sekali lagi. "Tidak usah pesan lagi, aku sudah memesannya duluan." "Owh ... ya sudah, ngomong-ngomong ada apa ini? Tumben ngajak ketemu, biasanya kamu sibuk." "Lagi libur kerja, minggu besok aku harus pergi ke surabaya, biasalah ... urusan masalah kerja. Makanya itu, takut nanti gak bisa ketemu sama kamu. Jadinya aku ajak ketemuan sekarang aja deh," ucapnya. "Owalah, aku kira ada apa tadi." "Gak ada apa-apa kok, cuman kangen sama kamu aja. Oh ya, Zain mana? Masih sekolah ya," tanya Khadijah. "Ia masih lah
"Ayok, sekali lagi saja," ujar Mas Andre memaksaku untuk melanjutkan permainannya. "Tapi aku sudah lelah, Mas. Tolong! pahamin aku. Lagi pula ... sudah enam kali kita melakukannya, apa itu juga tidak cukup dengan membuatmu puas?" jawabku meminta Mas Andre untuk mengerti. "Tapi aku masih ingin melakukannya sekali lagi." "Maaf, Mas. Bukan aku ingin menjadi istri yang durhaka kepada suami dengan tidak menuruti kemauannya. Tapi aku benar-benar letih. Terlebih sekarang sudah jam empat subuh. Biarkan aku istirahat sejenak, karena besok pagi banyak tugas yang harus aku kerjakan. Maafkan aku, Mas," lirihku sembari berjalan ke kamar mandi membersihkan diri. Selesainya dari kamar mandi, aku kembali untuk istirahat. Namun Mas Andre masih duduk di atas kasur dan sama sekali tidak berpindah. Ia terus menerus memperhatikanku. Ada rasa tidak enak di dalam hati karena tidak menuruti keinginannya. Saat mata hendak terpejam karena lelah yang amat dalam, tiba-tiba Mas Andre berkata dengan perkata