Bab 1 - Pernikahan Kontrak
Dito menatap lekat-lekat surat kontrak pernikahan di hadapannya, jemarinya gemetar menahan emosi. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa kehidupan sederhana yang dijalaninya akan berubah drastis hanya dalam sekejap. Namun, di sinilah dia sekarang, duduk di ruang tamu keluarga Wijaya, menandatangani dokumen yang akan mengikatnya dengan Putri Sulung mereka, Sari. Pernikahan ini sama sekali tidak didasari oleh cinta. Ini hanyalah sebuah kontrak yang saling menguntungkan bagi kedua keluarga. Keluarga Wijaya membutuhkan seorang menantu pria untuk menjaga eksistensi perusahaan mereka, sementara Dito dan keluarganya membutuhkan uluran tangan untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. "Ingat Dito, ini bukan pernikahan biasa," ujar Nyonya Wijaya dengan nada dingin. "Kau hanyalah seorang teknisi sederhana yang kami angkat derajatnya. Jangan pernah lupa posisimu di sini." Dito menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu betul bahwa keluarga Wijaya memandangnya rendah, hanya menjadikannya sebuah alat untuk mempertahankan status mereka. Namun, demi menghidupi keluarganya yang miskin, Dito rela membuang harga dirinya. "Saya mengerti, Nyonya. Saya akan melaksanakan tugas saya dengan sebaik-baiknya," jawab Dito lirih, menandatangani kontrak tersebut. Dari sudut ruangan, Dito menangkap sorot mata Putri Sari yang memandangnya iba. Gadis itu tampak cantik dalam balutan gaun sutra mahal, namun Dito dapat melihat ada kesedihan di sorot matanya. Apakah Sari juga tidak menginginkan pernikahan ini? Setelah upacara penandatanganan selesai, Dito dan Sari diminta untuk menghadap Tuan Wijaya, sang kepala keluarga. Pria paruh baya itu menatap Dito dengan pandangan menelisik, seolah berusaha mencari-cari cela dalam dirinya. "Jadi, kau yang akan menjadi menantu keluarga Wijaya, hm?" ujarnya dengan nada sinis. "Aku harap kau tidak akan mengecewakan kami. Tugasmu adalah menjaga dan melindungi Sari, serta memastikan perusahaan kami tetap berjalan dengan baik. Jika kau berani mengkhianati kami, kau tahu sendiri apa konsekuensinya." Dito mengangguk dengan patuh, menahan gejolak emosi di dalam dadanya. Ia tahu benar bahwa keluarga Wijaya hanya menerima kehadirannya karena terpaksa, bukan karena tulus menerimanya. Ketika Dito dan Sari berjalan menuju kamar mereka, suasana canggung dan kaku terasa begitu kental. Keduanya berjalan dalam diam, tak ada satu pun yang berani memulai percakapan. Dito bahkan ragu untuk sekedar melirik Sari, takut jika gadis itu jijik melihatnya. Setibanya di kamar, Sari langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, menenggelamkan wajahnya di bantal. Dito hanya berdiri kaku di dekat pintu, tak tahu harus berbuat apa. "Maaf...," gumam Sari pelan, air matanya mengalir membasahi bantal. "Maafkan aku, Dito. Aku tahu kau pasti merasa jijik denganku." Dito tertegun mendengar perkataan Sari. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Putri Sulung keluarga Wijaya itu justru merasa bersalah. "Tidak, Nona...," Dito berkata lirih. "Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya tahu pernikahan ini hanya kontrak belaka, dan Anda pasti merasa terpaksa." Sari mengangkat wajahnya, menatap Dito dengan mata berkaca-kaca. "Kau salah. Aku... aku bahkan sudah lama menyukaimu, Dito. Tapi aku tahu, kau hanya menganggapku sebagai tuan putri yang tak terjangkau." Dito tertegun mendengar pengakuan Sari. Jadi selama ini, Putri Sulung itu diam-diam menyukainya? Bagaimana bisa? Dito hanyalah seorang teknisi sederhana, jauh di bawah derajat Sari. "Nona Sari, saya... saya tidak tahu harus berkata apa," ujar Dito gugup. "Saya hanyalah seorang pria biasa, tak pantas untuk Anda." Sari bangkit dari tempat tidur, melangkah mendekati Dito. Tangannya terulur, menyentuh lembut pipi Dito. "Itulah yang membuatku semakin menyukaimu, Dito. Kau begitu sederhana, namun baik hati. Aku ingin kau melihatku sebagai diriku sendiri, bukan hanya sebagai Putri Sulung keluarga Wijaya." Dito tertegun, seolah tersihir oleh tatapan Sari. Gadis itu begitu cantik dan rapuh di saat bersamaan. Tanpa sadar, Dito meraih tangan Sari yang berada di pipinya, menggenggamnya erat. "Saya... saya juga menyukai Anda, Nona Sari," bisik Dito tulus. "Meskipun pernikahan ini hanyalah kontrak, izinkan saya untuk berusaha mencintai Anda dengan tulus." Sari tersenyum lembut, air mata bahagia mengalir membasahi pipinya. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Dito, membiarkan bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut penuh kerinduan. Malam itu, di bawah sinar bulan, Dito dan Sari berbagi cinta yang tak terduga. Mereka tahu, pernikahan ini mungkin dimulai dengan kontrak, namun cinta yang tumbuh di antara mereka jauh lebih kuat dari sekedar kesepakatan. Sayangnya, kebahagiaannya ini tidak akan bertahan lama. Keluarga Wijaya memiliki rencana lain untuk Dito dan Sari, rencana yang akan menguji cinta mereka sampai batas terakhir.Bab 2 - Intrik Keluarga WijayaPagi menjelang, Dito terbangun dengan perasaan campur aduk. Semalam, ia dan Sari membagi cinta yang tulus, namun Dito tahu kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama. Keluarga Wijaya jelas memiliki rencana lain untuknya.Perlahan, Dito menolehkan kepala, memandangi wajah cantik Sari yang tertidur pulas di sampingnya. Gadis itu terlihat begitu damai, tanpa beban. Dito berharap bisa terus menjaga ketenangan ini, namun ia tahu cepat atau lambat nanti, gejolak keluarga Wijaya akan menghancurkannya.Tak lama kemudian, pintu kamar mereka terbuka, menampakkan sosok Nyonya Wijaya yang berdiri dengan angkuh. Dito dengan cepat menarik selimut untuk menutupi tubuh Sari, berusaha melindunginya."Bangun, kalian berdua! Sarapan sudah siap," ujar Nyonya Wijaya dengan nada datar.Dito segera bangkit dan membungkukkan badan. "Ba-baik, Nyonya. Kami akan segera bersiap."Nyonya Wijaya menatap Dito dan Sari dengan dingin. "Jangan terlalu lama, ada yang ingin kubicarakan denga
Bab 3 - Menyusun RencanaDito terus bergulat dengan gejolak perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Ambisi keluarga Wijaya telah memojokkannya ke dalam situasi yang amat sulit. Di satu sisi, ia terikat dengan kontrak pernikahan yang mengikatnya pada Sari. Namun di sisi lain, Tuan Wijaya telah memberikan ultimatum yang tak dapat diabaikan begitu saja.Dito menghela napas panjang, berusaha menjernihkan pikirannya. Ia harus segera menemukan cara untuk meloloskan diri dari perangkap keluarga Wijaya ini. Jika tidak, bukan hanya masa depannya yang terancam, tetapi juga kebahagiaannya bersama Sari.Dengan langkah pasti, Dito bergegas menuju kamar Sari. Gadis itu tampak terkejut melihat Dito datang dengan ekspresi serius."Dito, ada apa?" tanya Sari dengan nada cemas.Dito menggenggam tangan Sari erat-erat. "Sari, kita harus segera pergi dari sini."Sari membelalakkan matanya, tak menyangka Dito akan berkata demikian. "Pergi? Tapi... kenapa?""Keluargamu, Sari. Mereka memiliki rencana lain
Bab 4 - Menuju KebebasanDito, Sari, dan Rudi bergegas meninggalkan kota, melaju menyusuri jalan-jalan sepi di malam hari. Mereka harus segera menjauh dari jangkauan keluarga Wijaya sebelum diketahui.Sepanjang perjalanan, Sari tampak gelisah. Bayangan tentang kemungkinan Nyonya Wijaya mengetahui kepergian mereka membuat gadis itu terus-menerus melirik ke belakang, takut dikejar."Tenanglah, Sari. Selama kita pergi dari sini, mereka tidak akan bisa menemukanmu," Dito berusaha menenangkan.Sari menghela napas panjang. "Aku... aku hanya takut, Dito. Apa yang akan Ibu lakukan jika ia tahu kita kabur?"Dito meraih tangan Sari, menggenggamnya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Selama ada aku, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."Di kursi kemudi, Rudi melirik sekilas ke arah pasangan itu melalui kaca spion. Wajahnya tampak khawatir."Kita harus segera sampai di tempat tujuan. Nyonya Wijaya pasti sudah menyadari kalian berdua hilang," ujar Rudi.Mereka terus memacu mobil menembus k
Bab 5 - Mengejar Masa DepanDi tempat lain, Nyonya Wijaya geram karena detektif yang disewanya belum juga menemukan keberadaan Sari dan Dito. Wanita itu terus menekankan untuk segera menangkap mereka berdua."Kalian harus segera menemukannya! Aku tidak peduli dengan cara apa, pokoknya bawa mereka kembali padaku!" bentak Nyonya Wijaya kepada anak buahnya.Para anak buah Nyonya Wijaya tampak ketakutan. Mereka tahu konsekuensi jika mengecewakan majikan mereka."Baik, Nyonya. Kami akan terus melakukan penyelidikan dan mencari keberadaan Tuan Muda Dito dan Nona Sari," sahut salah seorang anak buah itu.Nyonya Wijaya mendengus kesal. "Kalian harus segera menemukannya! Aku tidak mau tahu, pokoknya cari sampai ketemu!"Para anak buah Nyonya Wijaya segera bergerak, melakukan berbagai cara untuk melacak keberadaan Dito dan Sari. Mereka menyebar ke berbagai negara, berusaha menemukan jejak pasangan itu.Sementara itu, Dito dan Sari mulai menjalani kehidupan baru mereka di Spanyol. Mereka mencoba
Bab 6 - Masa Depan yang Tak TerdugaSementara itu, di lain tempat, Nyonya Wijaya terus berusaha mencari keberadaan Dito dan Sari. Kemarahan dan rasa frustasinya semakin memuncak setelah anak buahnya tak kunjung berhasil menemukannya."Bagaimana bisa mereka lolos dari pengejaran kita?!" bentak Nyonya Wijaya pada anak buahnya.Para anak buah itu tampak ketakutan. "M-maafkan kami, Nyonya. Kami sudah melakukan pencarian di berbagai negara, tapi mereka terus berpindah-pindah tempat."Nyonya Wijaya mendengus marah. "Kalian semua tidak berguna! Kenapa sulit sekali menemukan dua orang itu?!"Salah seorang anak buah memberanikan diri bertanya. "Nyonya, apa kita tidak bisa meminta bantuan pihak berwenang untuk mencari mereka?"Nyonya Wijaya menatapnya tajam. "Apa kau gila?! Aku tidak mau melibatkan pihak luar dalam masalah ini. Itu hanya akan memperlambat pencarian."Anak buah itu menunduk, takut membuat Nyonya Wijaya semakin marah."Kalian harus menemukan mereka, bagaimanapun caranya! Aku tida
Bab 7 - Kembali ke Masa Lalu Dito menatap pria itu dengan tatapan putus asa. Ia tidak bisa membayangkan jika Sari harus kembali ke dalam cengkeraman keluarga Wijaya. Apalagi sekarang Sari sedang mengandung anak mereka. "Kumohon, jangan sakiti Sari. Dia... dia sedang mengandung anak kita," lirih Dito. Pria itu tampak sedikit terkejut mendengar penuturan Dito. Namun, ekspresinya kembali datar. "Itu bukan urusanku. Yang jelas, anda harus segera ikut dengan saya," ucapnya tegas. Dito mengepalkan tangannya erat. Ia tidak punya pilihan lain selain menyerahkan diri demi keselamatan Sari dan calon anak mereka. Dengan berat hati, Dito akhirnya berjalan mengikuti pria itu. Dalam perjalanan, ia terus berdoa agar Sari dan bayinya tetap aman. Sesampainya di tempat tujuan, Dito disambut dengan tatapan dingin Nyonya Wijaya. Wanita itu tampak sangat marah. "Akhirnya kau kembali juga, Tuan Muda Dito," ujarnya dengan nada sinis. Dito menundukkan kepalanya. "Tolong jangan sakiti Sari d
Bab 8 - Perjuangan Merebut KebebasanSari menatap Dito dan Nyonya Wijaya dengan pandangan penuh kekhawatiran. Tidak mungkin ia meninggalkan Dito kembali ke dalam cengkeraman keluarga Wijaya."Tidak, aku tidak bisa pergi tanpa Dito!" seru Sari dengan nada putus asa.Nyonya Wijaya memandangnya dengan tatapan dingin. "Jangan membantah, Nona Sari. Kau sudah bebas, sekarang pergilah."Sari menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkan Dito di sini. Apa yang akan kau lakukan padanya?"Dito menatap Sari dengan lembut. "Sayang, kumohon pergilah. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu dan bayi kita.""Tapi Dito, aku... aku tidak bisa meninggalkanmu. Aku sangat mencintaimu," isak Sari.Nyonya Wijaya menghela napas dengan jengkel. "Baiklah, kalau begitu. Kau boleh tinggal di sini, Nona Sari. Tapi ingat, jangan pernah coba-coba kabur lagi."Sari menatap Nyonya Wijaya dengan ketakutan. "Apa yang akan kau lakukan pada kami?"Nyonya Wijaya menyeringai. "Kau akan tahu nanti
Bab 9 - Rencana PelarianSetelah pertemuan singkat dengan Dito, Sari kembali ke kamarnya. Hatinya terasa semakin berat memikirkan nasib mereka. Bagaimana caranya ia dan Dito bisa lolos dari sini?Tak lama kemudian, Nyonya Wijaya datang mengunjunginya."Nah, Nona Sari. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Nyonya Wijaya dengan nada sinis.Sari menelan ludah gugup. "A-aku baik-baik saja, Nyonya."Nyonya Wijaya tersenyum tipis. "Syukurlah kalau begitu. Aku harap kau tetap menjaga kandunganmu dengan baik."Sari mengangguk pelan. "I-iya, Nyonya. Saya akan menjaganya."Nyonya Wijaya menghela napas. "Kau tahu, Nona Sari, aku sebenarnya ingin membantu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada cucuku."Sari memandang Nyonya Wijaya dengan was-was. "Benarkah, Nyonya? Apa... apa yang Anda rencanakan?"Nyonya Wijaya menyeringai. "Tenang saja, aku hanya ingin memastikan bayi itu lahir dengan sehat. Kau tidak perlu khawatir."Sari mengepalkan tangannya erat. "Tolong, Nyonya... Jangan sakiti bayiku."Nyonya