Share

INTRIK KELUARGA WIJAYA

Bab 2 - Intrik Keluarga Wijaya

Pagi menjelang, Dito terbangun dengan perasaan campur aduk. Semalam, ia dan Sari membagi cinta yang tulus, namun Dito tahu kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama. Keluarga Wijaya jelas memiliki rencana lain untuknya.

Perlahan, Dito menolehkan kepala, memandangi wajah cantik Sari yang tertidur pulas di sampingnya. Gadis itu terlihat begitu damai, tanpa beban. Dito berharap bisa terus menjaga ketenangan ini, namun ia tahu cepat atau lambat nanti, gejolak keluarga Wijaya akan menghancurkannya.

Tak lama kemudian, pintu kamar mereka terbuka, menampakkan sosok Nyonya Wijaya yang berdiri dengan angkuh. Dito dengan cepat menarik selimut untuk menutupi tubuh Sari, berusaha melindunginya.

"Bangun, kalian berdua! Sarapan sudah siap," ujar Nyonya Wijaya dengan nada datar.

Dito segera bangkit dan membungkukkan badan. "Ba-baik, Nyonya. Kami akan segera bersiap."

Nyonya Wijaya menatap Dito dan Sari dengan dingin. "Jangan terlalu lama, ada yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua."

Setelah Nyonya Wijaya pergi, Dito membangunkan Sari dengan lembut. Gadis itu tampak terkejut melihat ibunya datang.

"Ibu... apa yang Ibu inginkan pagi-pagi begini?" tanya Sari was-was.

"Kau pasti tahu, Nak. Ada yang harus kita bicarakan tentang pernikahan kalian," jawab Nyonya Wijaya.

Dito dan Sari saling berpandangan, jantung mereka berdegup kencang. Apakah Nyonya Wijaya telah mengetahui apa yang terjadi semalam di antara mereka?

Saat sarapan, suasana terasa tegang dan canggung. Nyonya Wijaya terus-menerus melemparkan tatapan mengintimidasi ke arah Dito, sementara Tuan Wijaya hanya diam dengan ekspresi datar.

"Jadi, Dito," Nyonya Wijaya memulai pembicaraan, "Apa rencanamu setelah menikah dengan Sari?"

Dito menelan ludah gugup. "Re-rencana saya, Nyonya?"

"Ya, rencana. Kau tahu, kau bukan hanya sekedar menantu biasa di sini. Kau akan menjadi penerus Wijaya Corp suatu hari nanti," ujar Nyonya Wijaya tegas.

Dito tertegun, tak menyangka akan mendapatkan tanggung jawab sebesar itu. Ia hanya seorang teknisi sederhana, bagaimana bisa keluarga Wijaya mengandalkannya untuk memimpin perusahaan mereka?

"I-ibu, apa maksud Ibu?" Sari angkat bicara, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Nyonya Wijaya menatap Sari dengan dingin. "Kau tahukan, Nak, bahwa tujuan pernikahan kalian ini bukan hanya untuk menjaga nama baik keluarga. Kami berharap Dito bisa menjadi penerus yang handal untuk Wijaya Corp."

Dito merasa seakan-akan dunianya runtuh. Jadi selama ini, ia hanyalah sebuah boneka yang dirancang untuk memenuhi ambisi keluarga Wijaya? Pernikahan ini bukanlah karena cinta, melainkan semata-mata transaksi bisnis yang saling menguntungkan.

"Ta-tapi, Ibu... Dito bukan orang yang tepat untuk itu. Dia hanya seorang teknisi, bagaimana bisa-" Sari berusaha membela Dito, namun segera dipotong oleh Nyonya Wijaya.

"Jangan membantah, Sari! Ini sudah keputusan final. Dito akan dilatih untuk mengelola Wijaya Corp, dan kau akan membantunya. Tidak ada tapi-tapian!"

Dito mengepalkan tangannya erat-erat, menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Ia tak pernah meminta semua ini, namun keluarga Wijaya seenaknya memaksakan tanggung jawab besar padanya.

"Maafkan saya, Nyonya, tapi saya rasa saya tidak bisa menerima tawaran itu," ucap Dito mantap. "Saya hanyalah seorang teknisi biasa, tak pantas memimpin perusahaan sekelas Wijaya Corp."

Nyonya Wijaya menatap Dito dengan pandangan sinis. "Kau tidak punya pilihan, Dito. Kau harus menerimanya, karena itulah tujuan pernikahan kalian. Jika kau menolak, kami tidak segan-segan menyingkirkanmu."

Dito terkesiap, tubuhnya bergetar menahan amarah. Ia tahu benar bahwa keluarga Wijaya tak akan segan-segan menggunakan segala cara untuk memaksanya tunduk pada keinginan mereka. Namun, Dito tak mau kehilangan Sari, satu-satunya orang yang ia cintai dalam pernikahan ini.

"Ba-baik, Nyonya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin," ucap Dito dengan berat hati.

Nyonya Wijaya tersenyum penuh kemenangan. "Bagus. Aku akan memastikan kau mendapatkan pelatihan terbaik untuk menjadi penerus Wijaya Corp. Jangan sampai mengecewakan kami."

Setelah sarapan, Dito dan Sari kembali ke kamar mereka dalam diam. Sari tampak begitu terpukul, air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Maafkan aku, Dito... Aku tidak tahu Ibu akan memaksamu seperti ini," lirih Sari.

Dito meraih tangan Sari, menggenggamnya erat. "Ini bukan salahmu, Sayang. Aku yang harus meminta maaf, karena tidak bisa melindungimu dari rencana keluargamu."

"Tapi aku tidak ingin kau terjebak dalam ambisi Ibu dan Ayah. Kau berhak menjalani hidupmu sendiri," ujar Sari sambil terisak.

"Ssshhh... Jangan menangis, Sari. Selama aku masih bisa bersamamu, aku akan berusaha sekuat tenaga," Dito menenangkan Sari, menariknya ke dalam pelukan hangat.

Dito tahu, ia harus berjuang keras untuk mempertahankan cintanya dengan Sari. Ambisi keluarga Wijaya jelas akan menjadi penghalang besar bagi mereka. Namun, Dito bertekad untuk tidak menyerah. Cintanya pada Sari jauh lebih kuat daripada apapun.

Hari-hari berikutnya, Dito disibukkan dengan berbagai pelatihan dan program pengembangan diri yang diselenggarakan keluarga Wijaya. Ia diajarkan tentang seluk-beluk pengelolaan perusahaan, akuntansi, strategi bisnis, dan banyak hal lainnya. Dito harus berusaha keras mengikuti semua materi, meskipun seringkali merasa kewalahan.

Di tengah kesibukannya, Dito mencoba meluangkan waktu untuk Sari. Namun, Nyonya Wijaya seolah terus-menerus mengawasi mereka, membatasi interaksi antara Dito dan Sari. Sang Ibu jelas tak ingin anak semata wayangnya terlalu dekat dengan Dito.

Suatu hari, saat Dito sedang beristirahat di taman belakang, Tuan Wijaya mendekatinya dengan tatapan serius.

"Dito, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ujar Tuan Wijaya.

Dito segera bangkit dan membungkukkan badan. "Ya, Tuan Wijaya. Silakan, apa yang ingin Anda bicarakan?"

"Aku tahu kau pasti merasa terbebani dengan semua pelatihan dan tanggung jawab yang kami berikan padamu," kata Tuan Wijaya. "Tapi percayalah, ini semua demi kebaikan Sari dan masa depan Wijaya Corp."

Dito mengangguk perlahan. "Saya mengerti, Tuan. Meskipun berat, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapan Anda."

Tuan Wijaya menepuk bahu Dito dengan tegas. "Bagus. Aku senang kau mau bekerja sama. Tapi ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui."

Dito mengernyit, menunggu Tuan Wijaya melanjutkan.

"Kami telah menjodohkanmu dengan Sari bukan hanya untuk melanjutkan perusahaan, tapi juga untuk mendapatkan pewaris yang layak," ujar Tuan Wijaya dengan nada serius. "Kami harap, kau bisa segera menghamili Sari agar kami bisa memiliki cucu yang dapat meneruskan Wijaya Corp."

Dito tertegun, tak menyangka bahwa keluarga Wijaya memiliki rencana sejauh itu. Ia hanyalah seorang teknisi sederhana, bagaimana mungkin mereka mengharapkannya untuk menghamili Putri Sulung mereka?

"Ta-tapi, Tuan... Saya belum siap untuk-" Dito berusaha membantah, namun segera dipotong oleh Tuan Wijaya.

"Tidak ada tapi-tapian, Dito. Kami memberimu batas waktu satu tahun untuk memberikan kami cucu. Jika kau gagal, maka kami terpaksa mencari pengganti yang lebih sesuai."

Dito menelan ludah dengan susah payah, tubuhnya bergetar menahan emosi. Keluarga Wijaya benar-benar memperlakukannya sebagai sebuah mesin pencetak keturunan, tanpa mempedulikan perasaannya dan Sari.

"Saya... saya akan berusaha semampunya, Tuan," ucap Dito lirih, merasa tak berdaya.

Tuan Wijaya mengangguk puas. "Bagus. Aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, Dito."

Setelah Tuan Wijaya pergi, Dito terduduk lemas di bangku taman. Air mata perlahan mengalir membasahi pipinya. Ia merasa begitu terjebak, tak berdaya menghadapi ambisi keluarga Wijaya yang begitu besar.

'Sari... maafkan aku,' batin Dito penuh penyesalan. 'Aku tidak bisa melindungimu dari keinginan mereka.'

Dito tahu, ia harus segera menemukan jalan keluar dari perangkap keluarga Wijaya ini. Jika tidak, maka impian membangun kebahagiaan bersama Sari hanyalah khayalan belaka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status