Share

MASA DEPAN YANG TAK TERDUGA

Bab 6 - Masa Depan yang Tak Terduga

Sementara itu, di lain tempat, Nyonya Wijaya terus berusaha mencari keberadaan Dito dan Sari. Kemarahan dan rasa frustasinya semakin memuncak setelah anak buahnya tak kunjung berhasil menemukannya.

"Bagaimana bisa mereka lolos dari pengejaran kita?!" bentak Nyonya Wijaya pada anak buahnya.

Para anak buah itu tampak ketakutan. "M-maafkan kami, Nyonya. Kami sudah melakukan pencarian di berbagai negara, tapi mereka terus berpindah-pindah tempat."

Nyonya Wijaya mendengus marah. "Kalian semua tidak berguna! Kenapa sulit sekali menemukan dua orang itu?!"

Salah seorang anak buah memberanikan diri bertanya. "Nyonya, apa kita tidak bisa meminta bantuan pihak berwenang untuk mencari mereka?"

Nyonya Wijaya menatapnya tajam. "Apa kau gila?! Aku tidak mau melibatkan pihak luar dalam masalah ini. Itu hanya akan memperlambat pencarian."

Anak buah itu menunduk, takut membuat Nyonya Wijaya semakin marah.

"Kalian harus menemukan mereka, bagaimanapun caranya! Aku tidak peduli dengan resikonya, pokoknya bawa mereka kembali padaku!" seru Nyonya Wijaya.

Para anak buah itu hanya bisa mengangguk pasrah. Mereka kembali menyebar untuk melanjutkan pencarian Dito dan Sari.

Sementara itu, di Inggris, Dito dan Sari menikmati ketenangan dan kenyamanan hidup mereka yang baru. Walaupun masih sesekali merasa khawatir, mereka berusaha menjalani hari-hari dengan rasa syukur.

Suatu hari, Dito mendapat kesempatan bekerja di sebuah toko furniture yang cukup ternama. Gaji yang ia terima cukup untuk membiayai kehidupan mereka berdua.

"Akhirnya, kita bisa hidup dengan tenang di sini," ucap Sari saat Dito pulang dari bekerja.

Dito tersenyum lembut, lalu memeluk Sari. "Ya, Sayang. Aku bersyukur kita bisa sampai ke sini dengan selamat."

Sari membalas pelukan Dito. "Terima kasih, Dito. Berkat kau, aku bisa merasakan kebahagiaan lagi."

Mereka pun menikmati makan malam bersama, saling berbagi cerita tentang hari mereka masing-masing. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah mereka berdua.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Suatu hari, saat Dito sedang bekerja, tiba-tiba seorang pria mencurigakan datang ke toko itu.

"Permisi, apa Tuan Muda Dito ada di sini?" tanya pria itu dengan nada tidak ramah.

Dito tersentak kaget mendengar namanya dipanggil. Jantungnya berdegup kencang, khawatir jika pria itu adalah salah satu anak buah Nyonya Wijaya.

"Ma-maaf, anda siapa? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Dito berusaha tenang.

Pria itu menatap Dito lekat-lekat. "Anda Dito, bukan? Saya diminta untuk menyampaikan sesuatu pada anda."

Dito menelan ludah, merasa was-was. "A-apa yang ingin anda sampaikan?"

"Nyonya Wijaya memerintahkan saya untuk membawa anda dan Nona Sari kembali," ucap pria itu dengan nada mengancam.

Dito langsung panik. "A-apa? Tidak mungkin! Sari dan aku sudah jauh dari sana!"

"Anda tidak punya pilihan, Tuan Muda. Anda harus ikut dengan saya sekarang juga," desak pria itu.

Tanpa berpikir panjang, Dito segera berlari meninggalkan toko. Ia harus segera memberitahu Sari agar mereka bisa kabur dari tempat ini.

Sesampainya di rumah, Dito langsung menceritakan kejadian itu pada Sari.

"Sari, kita harus segera pergi dari sini! Anak buah Nyonya Wijaya menemukanku," panik Dito.

Sari menatap Dito dengan wajah pucat pasi. "A-apa? Bagaimana bisa? Kupikir kita sudah aman di sini."

"Entahlah, tapi yang jelas kita harus segera pergi. Mereka pasti akan terus mengejar kita," ujar Dito cemas.

Sari langsung bergegas membereskan barang-barang mereka. "Lalu kita harus ke mana, Dito? Ke mana lagi kita bisa pergi?"

Dito tampak berpikir keras. "Hmm... Bagaimana kalau kita ke Kanada? Pedro pernah bilang Kanada merupakan tempat yang cukup aman."

"Kanada?" Sari mengerutkan kening. "Tapi apa kita bisa sampai ke sana tanpa ketahuan?"

"Kita harus coba, Sayang. Aku tidak mau mereka membawa kita kembali ke sana," ucap Dito dengan nada putus asa.

Sari mengangguk pelan. "Baiklah, kalau begitu, ayo segera pergi dari sini."

Tanpa membuang waktu lagi, Dito dan Sari bergegas meninggalkan tempat itu. Mereka mengikuti instruksi Pedro untuk pergi ke Kanada. Beruntung Pedro kembali membantu mengatur kepergian mereka.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya Dito dan Sari tiba di Kanada. Mereka menetap di sebuah kota kecil bernama Vancouver, tempat yang Pedro rekomendasikan.

"Semoga di sini kalian bisa benar-benar aman," ujar Pedro sebelum kembali ke Inggris.

Dito memeluk Sari erat. "Kita selamat, Sayang. Kita berhasil kabur dari mereka."

Sari membalas pelukan Dito dengan air mata bahagia. "Syukurlah, Dito. Aku benar-benar takut jika harus kembali ke sana."

Mereka pun mulai membangun kehidupan baru di Kanada. Dito kembali mencari pekerjaan, sementara Sari mengurus rumah tangga mereka.

Hari-hari pun berlalu, Dito dan Sari semakin nyaman dengan lingkungan baru mereka. Mereka bisa menjalani hari-hari dengan tenang, tanpa harus selalu waspada akan kejaran keluarga Wijaya.

Suatu hari, saat Sari sedang berbelanja di pasar, ia tak sengaja mendengar sebuah pembicaraan.

"Apakah kau dengar kabar terbaru? Katanya Nyonya Wijaya meninggal dalam kecelakaan," bisik seorang wanita kepada temannya.

Jantung Sari seakan berhenti berdetak. "Apa... Nyonya Wijaya meninggal?" gumamnya tak percaya.

Sari segera kembali ke rumah dan memberitahu Dito tentang kabar yang didengarnya.

"Dito, aku... aku mendengar kabar bahwa Nyonya Wijaya meninggal dalam kecelakaan," ujarnya dengan wajah pucat.

Dito menatap Sari dengan tatapan tak percaya. "Apa? Nyonya Wijaya meninggal?"

Sari mengangguk pelan. "I-iya, aku mendengarnya dari percakapan orang-orang di pasar."

Dito terdiam sejenak, berusaha mencerna informasi yang baru saja didengarnya. "Jika memang benar, berarti... kita akhirnya bebas dari mereka?"

Sari mengangguk lagi. "Sepertinya begitu, Dito. Kita... kita akhirnya bisa hidup tenang tanpa harus selalu bersembunyi dari Nyonya Wijaya."

Dito menarik Sari ke dalam pelukannya. "Syukurlah, Sayang. Akhirnya kita bisa bernafas lega."

Sari membalas pelukan Dito, air mata bahagia mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak menyangka kita akan bebas seperti ini."

Mereka berdua larut dalam kebahagiaan. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka bisa benar-benar merasa aman dan bebas.

Hanya saja, ada sedikit keraguan dalam hati Sari.

"Tapi... apa benar Nyonya Wijaya sudah... meninggal?" gumamnya pelan.

Dito menyadari keraguan dalam nada suara Sari. "Kenapa, Sayang? Apa kau masih khawatir?"

Sari menggigit bibir bawahnya. "Entahlah, Dito. Aku hanya... takut jika ternyata kabar itu tidak benar. Bagaimana jika mereka masih mengejar kita?"

Dito menggenggam tangan Sari dengan lembut. "Sari, dengarkan aku. Kalaupun kabar itu tidak benar, kita akan tetap berusaha untuk terus hidup bahagia di sini. Aku akan selalu melindungimu, tidak peduli apa yang terjadi."

Sari menatap Dito dengan tatapan penuh keyakinan. "Aku percaya padamu, Dito. Selama bersamamu, aku merasa aman."

Mereka berdua pun kembali berpelukan, menikmati ketenangan yang akhirnya mereka dapatkan. Meskipun masih ada sedikit keraguan, Sari mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.

Hari-hari berlalu dengan damai. Dito dan Sari mulai menikmati kehidupan baru mereka di Kanada. Mereka berusaha berbaur dengan masyarakat setempat, menjalani rutinitas sehari-hari tanpa harus selalu waspada.

Suatu hari, saat Dito pulang dari bekerja, ia mendapati Sari sedang merengkuh sesuatu di pelukannya. Wajah Sari tampak berseri-seri.

"Dito, lihatlah! Ini... ini sangat mengejutkan!" ujar Sari dengan nada girang.

Dito mengerutkan kening, lalu menghampiri Sari. "Ada apa, Sayang? Apa yang terjadi?"

Sari tersenyum lebar. "Dito, aku... aku hamil!"

Dito seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "A-apa? Kau... hamil?"

Sari mengangguk antusias. "Ya, Dito! Aku sangat bahagia, kita... kita akan memiliki anak!"

Dito langsung menarik Sari ke dalam pelukannya, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Oh, Sayang... Aku juga sangat bahagia! Terima kasih, Tuhan!"

Mereka berdua larut dalam kebahagiaan. Setelah sekian lama berjuang, akhirnya mereka akan memiliki buah hati.

"Aku tidak menyangka kita akan dikaruniai anak, Dito. Ini... ini sebuah keajaiban," ujar Sari dengan mata berbinar.

Dito mengecup kening Sari dengan lembut. "Ya, Sayang. Ini adalah hadiah terindah yang diberikan Tuhan untuk kita."

Sari menyandarkan kepalanya di dada Dito. "Aku... aku sangat bahagia, Dito. Akhirnya kita bisa memulai hidup baru yang lebih sempurna."

"Aku berjanji akan menjaga dan melindungi kalian berdua, Sayang. Tidak ada yang akan menyakiti kalian lagi," ucap Dito dengan penuh kasih sayang.

Mereka pun menikmati momen kebahagiaan itu bersama. Rasa bahagia dan syukur memenuhi hati mereka.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, saat Dito sedang bekerja, tiba-tiba seorang pria asing datang menghampirinya.

"Permisi, apa anda Tuan Muda Dito?" tanya pria itu dengan nada tenang.

Dito langsung waspada. "Ya, saya Dito. Ada apa?"

Pria itu menatap Dito dengan tatapan serius. "Saya diminta untuk menyampaikan sesuatu pada anda."

Jantung Dito berdegup kencang, ia merasa firasat buruk. "Apa yang ingin anda sampaikan?"

"Nona Sari... kami menemukan keberadaan Nona Sari," ucap pria itu dengan nada datar.

Dito terkesiap. "A-apa? Bagaimana bisa?"

"Kami telah melacak keberadaan Nona Sari. Dia sedang berada di rumah saat ini," lanjut pria itu.

"Tidak mungkin! Bagaimana kalian bisa menemukan kami?!" seru Dito panik.

Pria itu menatap Dito tajam. "Anda harus segera kembali dan menyerahkan diri. Jika tidak, kami tidak akan segan-segan membawa Nona Sari."

Dito tercekat, wajahnya pucat pasi. Ia tidak bisa membayangkan Sari akan dibawa paksa oleh orang-orang itu.

"Kumohon, jangan sakiti Sari..." lirih Dito.

"Maka dari itu, anda harus segera kembali bersamaku," tegas pria itu.

Dito mengepalkan tangannya erat, air mata frustasi membasahi pipinya. Ia tidak punya pilihan lain selain menyerahkan diri demi keselamatan Sari.

Segera setelah Dito pulang, ia langsung memeluk Sari dengan erat.

"Dito? Ada apa?" tanya Sari dengan nada khawatir.

Dito

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status