"Kadang saya bingung harus bagaimana bersikap, Ma. Supaya Vanya mau menerima kehadiran saya.""Puspa, nggak usah pikirin itu. Nggak ada yang kurang dari caramu bersikap pada anak-anak. Fokus saja pada kehamilanmu, ya."Percakapan mertua dan menantu terhenti saat mereka melihat Bram datang naik motor dan berhenti di teras rumah. Wajahnya terlihat tegang."Ada apa, Bram?" tanya Bu Dewi."Pak Dul bilang, Vanya tidak ada di sekolah, Ma.""Loh, lha ke mana dia?" Bu Dewi kaget, begitu juga dengan Puspa. Degup jantung wanita hamil itu berdetak hebat. Hingga merasakan nyeri di perutnya."Saya akan menyusulnya ke rumah Santi, Ma.""Aku ikut, Mas," kata Puspa."Kamu di rumah saja.""Mama saja yang ikut, Bram.""Tidak usah, Ma. Biar saya selesaikan sendiri. Saya tidak ingin Mama sakit lagi.""Mama sudah nggak apa-apa."Bram kemudian masuk ke rumah untuk mengambil kunci. Melihat Bram seperti itu, Bu Dewi tidak tega membiarkan putranya pergi sendirian. Baginya Bram adalah pria yang sangat sabar.
PERNIKAHAN - Takut KehilanganBram sangat terpukul, sedangkan Puspa terlihat jauh lebih kuat. Menerima kenyataan kalau calon bayi kedua mereka akhirnya tidak bisa dipertahankan. Bu Dewi terisak-isak ditenangkan oleh Bu Lurah. Dia sangat menyesali hal ini terulang kembali. Menyesali sikap cucunya yang membuat Puspa terlalu banyak pikiran sehingga keguguran.Pak Lurah yang duduk di sofa juga sedih. Penderitaan putrinya belum selesai."Mas, nggak usah sedih. Takdirnya memang harus begini. Aku ikhlas kok," ujar Puspa pelan. Kondisinya masih sangat lemah, tapi terlihat dia berusaha untuk kuat. Bram yang duduk di sebelah, menggenggam jemari sang istri dan menciuminya berulang kali."Maafkan mas. Seharusnya mas bisa lebih protektif pada kalian berdua. Mas janji, setelah ini. Apapun yang terjadi, mas akan menjagamu."Puspa tersenyum. Sebenarnya dia juga sangat terpukul saat dokter memberitahu kalau janinnya tidak bisa diselamatkan. Namun Puspa berusaha tabah menerimanya. Dokter memberikan pe
"Kamu mau makan apa? Mas suapi." Bram memandang ke arah meja yang penuh macam-macam makanan. "Nggak usah, Mas. Aku masih kenyang. Aku mau tidur ya, ngantuk banget rasanya.""Oke." Bram berdiri membenahi letak bantalnya Puspa. Menarik selimut hingga ke dada, lantas ia kembali duduk.Bram juga menyuruh mertuanya untuk beristirahat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Sekarang hanya Bram saja yang masih terjaga. Mengusap jemari sang istri seraya memandangi wajah yang masih pucat.Keguguran dua kali, ia bisa merasakan bagaimana sakitnya. Puspa cerita kalau keguguran pertama kali itu, rasanya sangat luar biasa. Seperti di remas-remas. Apalagi yang sekarang, karena Puspa harus menjalani kuretase.Awalnya Bram sangat takut kalau Puspa akan makin terpuruk dan sedih setelah dokter bilang harus menjalani kuret. Tapi kenyataannya, dia yang justru sangat terpukul dan takut kehilangan setelah melihat Puspa begitu tegar.Setelah melewati badai, menjadikan Puspa lebih siap dan sanggup
Apa Uti dan adiknya juga marah padanya? Vanya tidak berani menelepon atau mengirimkan pesan pada utinya. Takut kalau sakit utinya mendadak kambuh.Vanya memeluk guling sambil terus menangis sepanjang malam. Dia takut menghadapi hari esok tanpa papanya.***L***"Mas, nggak pulang dulu lihat Sony?" tanya Puspa sepagi itu. Ketika jarum jam menunjukkan pukul enam pagi.Di kamar perawatan hanya ada mereka berdua saja, karena habis subuh tadi Pak Lurah dan Bu Lurah pamit pulang. Sebab pagi ini mempekerjakan beberapa orang di sawah."Mas sudah meneleponnya subuh tadi. Dia minta dijemput ke sini setelah pulang sekolah.""Bagaimana pertemuan Mas dengan Vanya kemarin sore? Apa dia ikut pulang?""Tidak perlu kamu pikirkan mengenai Vanya. Kamu fokus untuk pulih dulu, ya. Biar mas bisa segera mengajakmu kembali pulang ke rumah."Puspa mengangguk pelan. Mendengar jawaban suaminya, pasti tidak ada perubahan apapun setelah Bram datang menjemput. Sekeras itukah Vanya? Bermakna kebencian gadis itu terh
PERNIKAHAN - Pulang Puspa mengulum senyum seraya memandang keluar jendela. Deru mobil Bram sudah meninggalkan halaman rumah. Namun suaranya tadi masih terngiang dan wangi parfumnya seolah masih tertinggal di kamar. Meninggalkan pipi yang merona dalam diam, kaget dan Puspa belum sempat menjawab kalimat itu.Debaran di dadanya belum mereda. Kamar serasa dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Dari sekian waktu yang telah mereka lalui, hari ini sungguh berbeda. Kalimat ajaib akhirnya ia dengar juga dari bibir suaminya. Keguguran kemarin membuat Bram sangat frustasi. Dia harus menghadapi Vanya yang pergi dari rumah, pada saat yang bersamaan juga kehilangan calon bayi mereka.Puspa mengusap perutnya. Rata lagi sekarang. Padahal dia sangat bahagia dan tengah mempersiapkan acara empat bulanan tak lama lagi. Setiap detik ia berjuang untuk tidak tenggelam dalam kesedihan memikirkan kebencian Vanya terhadapnya. Namun beban emosional itu ternyata c
"Iya. Wong dia pernah bilang, pengen punya suami seperti suami kakaknya yang paket komplit. Jadi Santi diam-diam menyukai Mas Bram sewaktu pria itu masih menjadi suami kakaknya. Kebetulan juga Mbak Sandra meninggal karena sakit, kesempatan dong buat Santi untuk deketin mantan ipar. Sampe ada masalah sedikit sama suaminya, dibikin besar dan dia punya alasan untuk minta cere.""Astaghfirullah.""Eh, didukung pula sama Bu Harso. Klop dah. Tapi sayang gagal ngegaet ipar. Malah sekarang ponakannya dijadikan umpan untuk mendapatkan laki-laki itu. Aku sudah ngingetin dia, tapi nggak digubris. Sayang banget, dia tuh berpendidikan, cantik, dan punya usaha. Tapi kalau terus bersikap seperti ini, jadinya perempuan nggak punya harga diri."Vanya terkejut. Napasnya sampai terengah-engah mendengar percakapan mereka. Gadis remaja itu memegangi dadanya yang sesak. Air mata sudah merembes membasahi pipi.Tadi malam sebenarnya dia sudah mendengar percakapan nenek dan tantenya. Namun belum begitu paham.
Vanya tersedu-sedu di pelukan utinya. Dengan sabar Bu Dewi membelai rambut dan menenangkan sang cucu."Papa di mana, Uti? Mobilnya nggak ada di garasi.""Papamu baru saja pulang dan langsung pergi ke gudang.""Bunda?" ucap Vanya lirih sambil menunduk."Bunda sekarang ada di rumah orang tuanya. Bunda keguguran dan baru pulang dari rumah sakit setelah dirawat dua hari."Vanya terperanjat memandang Bu Dewi. Keguguran lagi? Apa dia bahagia sekarang? Adik yang tidak diharapkannya telah gugur. Vanya sibuk menghapus air mata. Pasti papanya sedih dan kesal terhadapnya. Vanya takut."Uti, Vanya mau nyusul papa ke gudang.""Tunggu saja papamu pulang, Nduk.""Biar Vanya ke gudang saja." Vanya takut papanya bertambah murka. Apalagi kelakuannya membuat Puspa keguguran. Pantas saja telepon dan pesannya tidak dibalas.Vanya bangkit dari duduknya. "Vanya ke gudang dulu, Uti.""Ya sudah, kamu minta maaf dan bicara baik-baik ya sama papa."Vanya mengangguk. Kemudian melangkah ke arah timur. Melewati ta
PERNIKAHAN- Patah"Nduk, ada teman kuliahmu mampir. Dia ada di joglo depan." Bu Lurah membuka pintu kamar dan bicara pada putrinya yang sedang menyisir rambut."Siapa, Bu? Dita?" tebak Puspa. Memang Dita yang paling sering datang ke rumahnya."Bukan. Nak Rayyan yang datang."Puspa terkejut. Untuk apa Rayyan datang ke rumah. "Temui dulu, Nduk. Biar ibu bikinkan teh." Bu Lurah melangkah ke dapur. Puspa masih diam di depan cermin. Kemudian segera meraih bergo yang ada di atas tempat tidur.Kenapa Rayyan menemuinya lagi. Membuat Puspa kembali merasa bersalah karena meninggalkannya tanpa penjelasan."Hai, Puspa." Rayyan berdiri saat Puspa muncul di pintu. Wanita itu tersenyum menyambut tangan Rayyan yang menyalaminya.Hati Rayyan seketika bergetar. Itu dia, wanita yang selama ini masih tinggal di sudut hatinya. "Apa kabar, Ray?""Alhamdulillah sehat. Ibumu bilang, kamu baru pulang dari rumah sakit.""Iya.""Oleh-oleh untukmu." Rayyan memberikan paper bag berisi bolu kukus dan tahu poo.