"Kamu mendua, Fan?" tanyaku ketika Rafan baru saja pulang dari kantor pukul sepuluh malam.
Lelaki itu bergeming sesaat, lalu mengacak rambut. "Suami baru pulang bukannya diurus, malah difitnah."
Aku tersenyum miris, pasalnya Rafan pernah berjanji bahwa selama aku hidup, ia tidak akan pernah mendua. Akan tetapi, kenyataan yang ada berbeda, walpaper ponselnya ada foto perempuan.
Rafan menjatuhkan bobot di tempat tidur tanpa mengganti pakaian kerja. Selama ini lelaki itu selalu pulang cepat, tidak dengan sekarang sejak dua bulan terakhir. Beberapa kali aku mencium aroma parfum perempuan, hanya saja ia mengelak ketika ditanya.
"Jujur, Fan!" titahku ketika ia mulai menutup mata. "Siapa perempuan di walpaper ponselmu?"
"Bukan urusanmu!" ketusnya.
Dengan entengnya lelaki bermata sipit itu menjawab. Padahal ia selalu mengingatkan kalau suami adalah pakaian bagi istri, begitu juga sebaliknya. Aku jadi curiga kalau di luar sana ada perempuan lain yang bersamanya.
"Kalau kamu tidak mau jujur, maka ceraikan aku malam ini!" teriakku spontan membuat Rafan berdiri dan langsung melayangkan tamparan di pipi kanan ini.
Perih. Sejak setahun pernikahan kami, ia tidak pernah melakukan KDRT. Lelaki itu mudah tersulut emosi sekarang, mungkin ini adalah sifat asli yang disembunyikan. Kami menikah bukan dengan jalur pacaran, melainkan ta'aruf yang berlangsung satu minggu setelah tidak sengaja bertemu di minimarket.
Aku mengepal tangan dengan air mata berlinang. Mata Rafan menyalak tajam, emosinya benar-benar tinggi. "Perempuan itu adalah Marsha, ia cinta pertamaku. Puas?!" jawab Rafan.
"A-apa?" tanyaku dengan suara gemetar. Kaki melangkah mundur karena luka yang merebak begitu cepat. Jawaban Rafan seakan petir yang menyambar, sakit sekali.
"Marsha, ia perempuan yang tiga bulan terakhir ini mengusik hati dan pikiranku. Aku tidak bisa menolak atau mengelak kalau cinta itu sudah sirna–"
"Stop!" potongku cepat seraya menutup kedua telinga. Air mata sudah jatuh tanpa permisi sejak tadi, luka kian menganga. Rafan begitu tega mengkhianati pernikahan kami. Bahkan buah hati saja belum hadir. "Jangan dijelaskan, itu hanya melukai hatiku."
Rafan berdecih, lalu melangkah mendekat. Dengan gerak cepat kini tanganku sudah terkunci di tembok. Dia lanjut menjelaskan tentang pertemuannya dengan Marsha di cafe. Aku tersenyum miris ketika lelaki itu menyebut takdir.
Aku meronta minta dilepas karena luka semakin menyakiti. Rasanya ingin mengakhiri hidup, tetapi percuma dan bisa membuat Rafan bahagia dengan perempuan itu. Menit-menit berlalu, aku semakin tidak bisa menghindar bahkan ketika bibir ini dikulum beberapa detik.
"Kamu minta cerai sementara masih ada cinta di hatimu, Lin. Yakin tidak akan menyesal?" tanya Rafan seakan merendahkan.
"Aku malah menyesal jika melanjutkan pernikahan dengan lelaki pezina sepertimu!"
"Raline!" bentaknya, "berani sekali mengataiku pezina tanpa menunjukkan bukti. Sesuci apa kamu, hah?!"
Lelaki itu mundur satu langkah, lalu kembali mendaratkan telapak tangan di pipiku. Tamparan itu sama sekali tidak mampu mengalahkan sakit yang merajai hati. Sekarang semua harus selesai karena aku tidak sudi memiliki suami sepertinya.
Rafan yang lembut bagai hilang ditelan bumi. Aku masih ingat ketika pertama bertemu, ia memiliki pesona yang luar biasa. Aku mendesah dalam keputus-asaan. Bayangan masa lalu, tepat pada masa di mana Rafan datang melamar dengan sejuta harapan.
"Jangan terlalu menyalahkanku, Raline. Ini juga salahmu," ucap Rafan setelah hening beberapa saat.
"Apa salahku?"
"Belum memberiku keturunan."
Aku mengusap wajah gusar tidak percaya dengan apa yang Rafan katakan barusan. Ia seperti baru muncul dari dunia lain. Alasan mendua ternyata karena kami belum memiliki anak, padahal satu bulan setelah menikah dia mengingatkan bahwa anak itu adalah titipan Tuhan dan kita harus sabar menunggunya.
Sekarang berbeda. Ia benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Jika saja bisa, aku ingin memutar waktu kembali pada masa di mana hati belum terpikat padanya. Ternyata jatuh cinta sesakit ini sekalipun pada suami sendiri.
"Tolong, ceraikan aku!"
"Tidak. Kamu jangan berharap akan kucerai. Ibu dan ayah sayang sama kamu dan jika tahu tentang perselingkuhan ini, kita berdua akan tamat."
Kita berdua? batinku tidak percaya. Ada kemungkinan Rafan sudah menyusun banyak rencana jika ketahuan, makanya sampai berani menjadikan foto Marsha sebagai walpaper ponsel atau memang sengaja agar ada masalah dalam rumah tangga kami yang sebelumnya harmonis.
Jika sudah seperti ini, seharusnya berpisah adalah jalan paling baik. Menduakan pasangan bukan perkara biasa di mana hati bisa kembali pulih setelah terucap kata maaf. Pernikahan sesuatu yang sakral, tidak boleh dinodai dengan sandiwara.
"Satu hal yang harus kamu tahu, Lin–"
"Apa? Sebutkan satu hal itu, Fan!" kejarku.
Rafan membuang wajahnya ke kanan, lalu berembus kasar. "Aku telah menikah dengan Marsha."
Bersambung
"Kamu serius, Fan? Atau aku yang salah dengar?""Aku serius. Kami sudah menikah secara siri."Kalimat Rafan menghancurkan benteng yang berusaha aku bangun. Tidak ada sakinah lagi dalam rumah tangga kami karena istana kedua sudah ada. Luka yang terpatri dalam hati, aku yakin tidak akan pulih kecuali ada kehendak dari Tuhan.Tangan kiri ini meremas kuat piyama tidur yang aku kenakan. Sesak dalam dada semakin menjadi, aku lemah hingga jatuh ke lantai. Lelaki itu tetap diam di tempat menyaksikan luka membunuh istrinya secara perlahan."Kamu baik-baik saja, Raline?"Pertanyaan yang bodoh. Lelaki itu kerasukan setan mungkin sampai tidak bisa membedakan ketika aku senang atau terluka. Seharusnya segera mengangkatku ke tempat tidur sekaligus meminta maaf atas kesalahannya, lalu berjanji tidak akan mengulangi.Mungkin, ini hanya sekadar harapan yang terpendam dalam hati. Nyatanya Rafan tidak melakukan itu, kakinya seperti terpaku di bumi. Untuk sesaa
Sesampainya di rumah aku menangis dengan suara keras. Uang yang diberi Marsha tadi aku tinggal di meja, juga tidak membalas pesan itu melainkan langsung memblokir. Semua terjadi di luar kendali, aku semakin terluka.Berulang kali aku mengembus napas kasar karena dada terasa sesak. Mata menatap langit-langit kamar seraya mengingat kenangan indah di awal pernikahan. Rafan yang penyayang dan perhatian membuatku terlena hingga tidak pernah berpikir akan diduakan.Ada telepon dari Rafan, ini yang ke delapan kalinya. Terpaksa aku mendekatkan ponsel ke telinga dan terjawab otomatis. "Ada apa?" tanyaku dengan suara serak."Jangan usik Marsha. Aku mohon."Lelaki yang aku anggap sebagai matahari penggerak mimpi semakin merobohkan benteng pertahananku. Ia benar-benar tidak memikirkan bagaimana perasaan istrinya jika memohon demi perempuan lain.Aku terngungu. Tidak ada kata yang pantas terucap. Rafan lebih mencintai Marsha. Andai bisa marah kepada takdi
Setelah Rafan pergi, aku langsung menyambar ponsel yang terletak di nakas. Pagi ini kami tidak saling bicara sepatah kata pun. Bahkan tadi malam tidur saling memunggungi, tenggelam dalam pikiran masing-masing.Sejak masa lajang dulu, ada dua sahabat yang setia menemani. Mereka adalah Mei dan Farah. Keduanya masih bekerja sembari menunggu pangeran datang menjemput. Panggilan langsung terhubung ke Mei."Ada apa, Lin? Tumben banget kamu telepon aku di hari weekend, biasanya ngabisin waktu bersama Rafan."Aku menggaruk hidung yang tidak gatal, lalu menjawab, "kalau kamu tidak sibuk, datang ke sini bareng Farah. Ada gosip baru!"Perempuan di seberang telepon setuju dan akan tiba dalam waktu dua jam. Aku meletakkan ponsel, lalu ke luar dari kamar untuk melakukan pekerjaan rumah. Farah dan Mei pasti bisa diandalkan untuk menemukan solusi.Dua jam kemudian mereka benar-benar sudah tiba. Kami memeluk melepas rindu karena dua pekan ini tidak pernah bertemu.
"Bangun, Sayang!" titah Rafan. Aku menggeliat sambil memaksa mata untuk terbuka. Meski berat, mau bagaimana lagi karena ini pasti sudah pukul tujuh. "Sudah jam berapa?" tanyaku memastikan begitu melihat sinar mentari yang sangat menyilaukan mata. "Jam sembilan pagi. Marsha aja sudah selesai memasak, Lin." Jawaban Rafan spontan menepis kantuk. Gegas aku ke kamar mandi, mencuci wajah dan sikat gigi. Setelah itu, melangkah cepat ke luar menuju dapur. Kosong. Tidak ada Marsha di sini. Aku menatap kesal pada Rafan yang tertawa kecil. "Apa maksudmu, Fan?" tanyaku penuh selidik. Ia pun menjelaskan kalau susah membangunkanku. Jadi, ada ide baru dengan cara menyebut nama Marsha. Aku memanyunkan bibir karena kesal merajai hati. Sementara Rafan, ia terus tertawa lepas. Jantung berdegup tidak normal. Apa dia tidak menyadari bahwa perempuan mana pun akan cemburu kika kekasihnya atau lelaki yang dia cintai menyebut nama perempuan lain sekalipun itu hanya sebuah candaan? Oh, tolonglah! Kenapa
Tidak sesuai rencana karena sejak siang tadi hingga pukul delapan malam, Rafan belum juga pulang ke rumah. Alasannya ketika hendak pergi tadi adalah ada urusan kantor. Aku yakin, pasti ia ke rumah Marsha lagi.Semua sudah aku ceritakan pada ibu ketika ayah mertua sedang berada di kamar mandi. Tentang perselingkuhan Rafan dan kabar kehamilan itu. Rupanya, ibu tahu betul siapa Marsha. Mereka pernah akrab beberapa bulan sebelum akhirnya perempuan itu menghilang meninggalkan luka di hati putranya."Apa setiap hari Rafan selalu meninggalkanmu hingga larut malam, Lin?" tanya ibu memecah lamunanku."Tidak, Bu. Rafan selalu pulang tepat waktu." Aku berbohong. Terpaksa melakukan ini agar air mata ibu tidak lagi jatuh. Ayah yang sedang menelepon tidak bisa mendengar percakapan kami.Ibu mengaku sedih karena hanya satu malam di sini. Begitu pun denganku. Tempat untuk bercerita akan pulang, tentu aku merasa kesepian. Andai saja bisa ikut mereka, tetapi ayah akan mena
Mata Rafan ketika menjatuhkan talak tadi sama sekali tidak menampilkan binar cinta. Sekali lagi aku mendesah dalam keputus-asaan. Biar saja talak satu jatuh, aku tidak akan berdiam diri di rumah.Hati ini terlalu perih, luka merebak begitu cepat hingga air mata jatuh tanpa permisi. Aku memeluk diri sendiri, lalu berencana pergi ke rumah mertua untuk mengadu. Mereka pernah bilang bahwa jika Rafan melakukan kesalahan, baiknya datangi mertua dulu begitu pun sebaliknya.Aku memesan taksi online tanpa berpikir panjang. Rafan tidak perlu tahu, lagi pula aku bukan lagi istrinya. Dalam perjalanan semua masalah sudah kuceritakan pada Mei via telepon. Ia marah bahkan ingin mendatangi Marsha dan memaki langsung."Jangan, Mei karena aku sudah diberi talak satu. Takutnya langsung ditalak tiga," lirihku."Jadi kamu mau dirujuk sama Rafan? Hidup bersama Marsha begitu?"Mendengar pertanyaan Mei membuat hati semakin merasakan luka. Aku harus menarik napas pan
Satu jam kemudian sarapan pagi telah siap oleh ibu, kami duduk berempat di meja makan. Rafan tetap bertingkah seperti biasa seakan tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ayah dan ibu mertua diam dan hanya ada denting sendok yang berbunyi saling tabrakan.“Lin, kamu ke sini bawa baju?” tanya Rafan saat selesai sarapan.“Enggak karena ke sini juga sebenarnya gak rencana nginap.”Aku mengambil bekas piring Rafan dan membawanya sekalian ke wastafel untuk dicuci, begitu pun dengan piring ayah dan ibu. Hingga saat ini ibu belum menampilkan senyum seperti biasa yang selalu ia suguhkan. Rafan seperti tidak menyadari hal itu, ia kembali fokus menatap ponselnya.Ibu menatapku iba kemudian melangkah pelan mendekati Rafan. “Rafan, kamu nginap dulu atau menemani istrimu pulang?”Rafan terperanjat. Wajahnya pucat pasi bahkan ponsel di tangannya hampir saja terjatuh. Ia menatapku gugup, seperti seseorang yang sedang tertangkap
Rafan : Kamu di mana?Rafan mengirim pesan Whats*pp sejak pukul 19.55, tetapi baru aku baca 20 menit kemudian. Mungkin ia baru sampai di rumah setelah berpuas-puas bahagia dengan Marsha. Aku yakin ia lupa waktu karena untuk dua insan yang saling mencintai pasti akan mengira dunia milik mereka berdua, sedangkan yang lain cuma menumpang.Aku : Di rumah ibu. Kenapa?Rafan akhirnya melakukan panggilan video. Aku langsung mengangkat dengan memasang wajah datar sebelumnya. Ia terlihat memperhatikan sekitar, mungkin ingin memastikan ibu siapa yang aku maksud.“Sejak kapan di situ? Ibu sakit?”“Sore tadi, pukul lima lewat. Ibu sehat, ayah juga.” Aku menjawab dengan ekspresi datar.“Keluar rumah tanpa izin suami itu dosa, Lin. Kamu gak ngehargai aku lagi sebagai suamimu?” Kali ini ia berlagak sok ustad.“Rafan Suamiku Sayang, kalau memiliki perempuan lain tanpa seizinku sebagai istri sah apa itu termas