"Bangun, Sayang!" titah Rafan. Aku menggeliat sambil memaksa mata untuk terbuka. Meski berat, mau bagaimana lagi karena ini pasti sudah pukul tujuh.
"Sudah jam berapa?" tanyaku memastikan begitu melihat sinar mentari yang sangat menyilaukan mata.
"Jam sembilan pagi. Marsha aja sudah selesai memasak, Lin." Jawaban Rafan spontan menepis kantuk.
Gegas aku ke kamar mandi, mencuci wajah dan sikat gigi. Setelah itu, melangkah cepat ke luar menuju dapur. Kosong. Tidak ada Marsha di sini. Aku menatap kesal pada Rafan yang tertawa kecil.
"Apa maksudmu, Fan?" tanyaku penuh selidik.
Ia pun menjelaskan kalau susah membangunkanku. Jadi, ada ide baru dengan cara menyebut nama Marsha. Aku memanyunkan bibir karena kesal merajai hati. Sementara Rafan, ia terus tertawa lepas. Jantung berdegup tidak normal.
Apa dia tidak menyadari bahwa perempuan mana pun akan cemburu kika kekasihnya atau lelaki yang dia cintai menyebut nama perempuan lain sekalipun itu hanya sebuah candaan?
Oh, tolonglah! Kenapa semua lelaki sama? Tidak ada yang benar-benar peka dengan keinginan perempuan. Mereka cuek, tetapi sedikit peduli. Entalah, aku menjadi bingung dibuatnya.
Satu bal yang pasti adalah aku terpesona apalagi sikap lembutnya telah kembali. Tidak ada yang tahu ini hanya sandiwara agar aku tidak mengajukan permintaan cerai atau semalam Rafan merenungi kesalahannya. Satu yang aku yakini adalah tadi malam ia tidak kembali ke kamar.
"Sebentar lagi ibu akan sampai, tidak usah repot memasak sesuai titah beliau. Ingat, jangan beritahu ibu tentang Marsha, Lin. Jangan menyebut namanya atau sesuatu yang lebih dari itu," jelas Rafan yang lebih terdengar seperti sebuah ancaman.
"Oh, ternyata sikap baikmu kembali hadir karena ibu akan datang, Fan?" tanyaku, lalu bertepuk tangan, "kamu bisa jadi aktor juga ternyata."
"Raline, aku mohon ... jangan pancing emosiku." Lelaki itu berucap lirih. Aku hanya menarik sudut bibir ke atas.
Tidak lama kemudian, deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Segera aku masuk kamar dan menyambar jilbab merah muda, kemudian ke luar menyusul Rafan. Beliau datang berdua dengan senyum semringah.
Aku langsung menyalami kedua mertua dan mengobrol ringan sambil menggandeng tangan ibu masuk rumah. Kami duduk di ruang tengah sementara Rafan membantu ayah mengeluarkan barang dari mobil.
"Bagaimana kesehatanmu, Nak? Ibu bahagia ketika Rafan bilang kamu sudah hamil." Mata ibu mertua berbinar. Aku mengerutkan kening karena bingung terutama mengingat lima hari lalu baru selesai dari haid.
"Maksud Ibu apa?"
Ibu menjelaskan semuanya. Ternyata beliau meminta kami mengunjunginya ketika weekend, tetapi Rafan menolak dengan alasan aku tidak bisa bepergian karena sedang hamil muda. Makanya, mereka memutuskan untuk datang ke sini.
Mata ibu semakin berbinar kala bercerita tentang kehamilan. Aku menunduk, ternyata Rafan sudah berani membohongi kedua orangtuanya hanya untuk menghabiskan waktu bersama Marsha. Air mata jatuh membasahi pipi.
Ibu mertua memegang daguku dan msngangkatnya hingga mata kami saling beradu untuk beberapa detik. "Kamu terluka?"
Aku menggeleng. "Tidak, Bu. Aku baik-baik saja."
"Naluri seorang ibu dan perempuan, kamu tidak bisa mengelak. Ceritakan pada ibu, Lin. Ibu siap mendengarkan sekalipun karena kesalahan Rafan."
Binar di mata ibu mertua seketika redup, aku merasa bersalah. Namun, bukankah yang paling pantas disalahkan di sini adalah Rafan? Ia telah melakukan kesalahan besar, melukai hati istri juga berbohong pada orangtuanya.
"Ceritalah, ibu tidak akan langsung marah padamu atau Rafan," desak ibu. Air mata aku seka karena mendengar suara ayah dan Rafan. Mereka masuk rumah.
"Nanti saja, Bu. Takutnya jika ayah tahu, emosinya tidak bisa dikendalikan," bisikku berusaha tersenyum. Ibu mengangguk, matanya menyiratkan luka.
Dua lelaki yang wajahnya mirip itu duduk di dekat kami. Ayah selalu tersenyum, aku tahu ia sangat bahagia karena sudah lama menantikan cucu dari kami. Berbeda dengan ibu, kini senyum tipis pun enggan terukir di bibirnya yang mulai keriput.
"Kalau lahiran nanti, di rumah ayah saja. Kasian istrimu kalau harus mengurus anak kalian sendiri." Kalimat ayah kembali membuatku menunduk dalam.
"Raline tidak akan kerepotan, Yah." Rafan menjawab pendek. Tiba-tiba prasangka lain hadir dalam benar. Mungkin saja istri yang dikata hamil muda adalah Marsha bukan aku, makanya tidak ingin perempuan itu ditinggal sendirian.
Seandainya kedua mertua tidak menganggap aku seperti anak kandungnya, sudah pasti saat ini suaraku sudah menggema karena marah kepada dunia yang begitu kejam. Namun, luka tidak akan sembuh ketika mertua malu dengan ulah anaknya sendiri.
"Rafan juga membahas rencana liburan kalian nanti. Kamu benar mau ke Jepang, Lin?" tanya ayah. Mataku membulat dan menggelengkan kepala karena takut berbohong. Kini alis lelaki berumur setengah abad itu saling bertaut.
"Iya, Raline kemarin bilang mau ke Jepang. Mungkin sekarang sudah lupa lagi, 'kan?" Rafan menoleh padaku dengan mata yang memaksaku mengangguk.
Tidak! Membohongi mertua adalah dosa, jadi aku tetap menggeleng. Kaki kananku diinjak Rafan, spontan air mata jatuh membasahi pipi. Ia melakukan ini semua pasti demi Marsha. Aku dijadikan kambing hitam di hadapan orangtuanya.
Aku meremas baju karena tersulut emosi. Rafan meminta orangtuanya masuk kamar untuk beristirahat saja. Aku yakin semua itu untuk menghindari pertanyaan yang bisa menimbulkan amarah ayah. Pandai sekali lelaki ini sekarang, aku jadi semakin muak.
"Ikut aku!" titah Rafan menyeret tanganku masuk kamar. Setelah di kamar dia mendorong hingga jatuh ke ranjang. Pinggang terasa nyeri, tetapi aku tidak ingin menangis. "Ikuti sandiwara ini, Lin. Aku tidak mau rencana liburanku dengan Marsha gagal gara-gara kamu!"
"Siapa yang hamil?" tanyaku tanpa mengindahkan kalimatnya.
"Tidak usah bertanya, aku tahu kamu bisa menebak sebenarnya siapa yang hamil. Jadi, sekarang kamu harus nurut. Aku akan bersikap baik selama ibu dan ayah ada di sin–"
Ketukan di pintu memotong kalimat Rafan. Jantungku berdegup cepat, luka merebak semakin cepat. Rafan membuka pintu, ternyata itu ibu mertua. Ia meminta anak semata wayangnya untuk keluar membeli nasi bungkus.
Setelah Rafan pergi, ibu masuk kamar dan langsung memelukku. Ia berusaha menenangkan, mengingatkan bahwa Rafan akan kembali seperti dulu. Beliau memintaku bersabar untuk beberapa saat.
"Ibu tahu kamu sedang terluka, meski belum tahu apa penyebannya. Sore nanti ketika ayahmu dan Rafan keluar, kamu harus ceritakan semuanya."
Aku mengangguk. "Iya, Bu. Maafkan aku tidak bisa menjadi menantu seperti yang Ibu inginkan," lirihku.
"Tidak, kamu sudah seperti yang ibu harapkan. Jika Rafan yang bersalah, maka ia yang harus diberi hukuman. Bukan kamu," jelas ibu. Aku bernapas lega untuk sesaat karena tahu perawakan ibu yang memang tegas jika ada masalah serius.
Bersambung
Tidak sesuai rencana karena sejak siang tadi hingga pukul delapan malam, Rafan belum juga pulang ke rumah. Alasannya ketika hendak pergi tadi adalah ada urusan kantor. Aku yakin, pasti ia ke rumah Marsha lagi.Semua sudah aku ceritakan pada ibu ketika ayah mertua sedang berada di kamar mandi. Tentang perselingkuhan Rafan dan kabar kehamilan itu. Rupanya, ibu tahu betul siapa Marsha. Mereka pernah akrab beberapa bulan sebelum akhirnya perempuan itu menghilang meninggalkan luka di hati putranya."Apa setiap hari Rafan selalu meninggalkanmu hingga larut malam, Lin?" tanya ibu memecah lamunanku."Tidak, Bu. Rafan selalu pulang tepat waktu." Aku berbohong. Terpaksa melakukan ini agar air mata ibu tidak lagi jatuh. Ayah yang sedang menelepon tidak bisa mendengar percakapan kami.Ibu mengaku sedih karena hanya satu malam di sini. Begitu pun denganku. Tempat untuk bercerita akan pulang, tentu aku merasa kesepian. Andai saja bisa ikut mereka, tetapi ayah akan mena
Mata Rafan ketika menjatuhkan talak tadi sama sekali tidak menampilkan binar cinta. Sekali lagi aku mendesah dalam keputus-asaan. Biar saja talak satu jatuh, aku tidak akan berdiam diri di rumah.Hati ini terlalu perih, luka merebak begitu cepat hingga air mata jatuh tanpa permisi. Aku memeluk diri sendiri, lalu berencana pergi ke rumah mertua untuk mengadu. Mereka pernah bilang bahwa jika Rafan melakukan kesalahan, baiknya datangi mertua dulu begitu pun sebaliknya.Aku memesan taksi online tanpa berpikir panjang. Rafan tidak perlu tahu, lagi pula aku bukan lagi istrinya. Dalam perjalanan semua masalah sudah kuceritakan pada Mei via telepon. Ia marah bahkan ingin mendatangi Marsha dan memaki langsung."Jangan, Mei karena aku sudah diberi talak satu. Takutnya langsung ditalak tiga," lirihku."Jadi kamu mau dirujuk sama Rafan? Hidup bersama Marsha begitu?"Mendengar pertanyaan Mei membuat hati semakin merasakan luka. Aku harus menarik napas pan
Satu jam kemudian sarapan pagi telah siap oleh ibu, kami duduk berempat di meja makan. Rafan tetap bertingkah seperti biasa seakan tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ayah dan ibu mertua diam dan hanya ada denting sendok yang berbunyi saling tabrakan.“Lin, kamu ke sini bawa baju?” tanya Rafan saat selesai sarapan.“Enggak karena ke sini juga sebenarnya gak rencana nginap.”Aku mengambil bekas piring Rafan dan membawanya sekalian ke wastafel untuk dicuci, begitu pun dengan piring ayah dan ibu. Hingga saat ini ibu belum menampilkan senyum seperti biasa yang selalu ia suguhkan. Rafan seperti tidak menyadari hal itu, ia kembali fokus menatap ponselnya.Ibu menatapku iba kemudian melangkah pelan mendekati Rafan. “Rafan, kamu nginap dulu atau menemani istrimu pulang?”Rafan terperanjat. Wajahnya pucat pasi bahkan ponsel di tangannya hampir saja terjatuh. Ia menatapku gugup, seperti seseorang yang sedang tertangkap
Rafan : Kamu di mana?Rafan mengirim pesan Whats*pp sejak pukul 19.55, tetapi baru aku baca 20 menit kemudian. Mungkin ia baru sampai di rumah setelah berpuas-puas bahagia dengan Marsha. Aku yakin ia lupa waktu karena untuk dua insan yang saling mencintai pasti akan mengira dunia milik mereka berdua, sedangkan yang lain cuma menumpang.Aku : Di rumah ibu. Kenapa?Rafan akhirnya melakukan panggilan video. Aku langsung mengangkat dengan memasang wajah datar sebelumnya. Ia terlihat memperhatikan sekitar, mungkin ingin memastikan ibu siapa yang aku maksud.“Sejak kapan di situ? Ibu sakit?”“Sore tadi, pukul lima lewat. Ibu sehat, ayah juga.” Aku menjawab dengan ekspresi datar.“Keluar rumah tanpa izin suami itu dosa, Lin. Kamu gak ngehargai aku lagi sebagai suamimu?” Kali ini ia berlagak sok ustad.“Rafan Suamiku Sayang, kalau memiliki perempuan lain tanpa seizinku sebagai istri sah apa itu termas
POV RAFANAku termenung di rumah sendirian saat mengingat kejadian di masjid tepat ketika aku melihat Marsha. Sungguh, hati ini selalu mengingatkan pada Raline, tetapi ragaku melakukan kesalahan.Marsha mendekat dan meminta nomor ponsel, aku menolak saat itu. Akan tetapi, ia perempuan gigih sehingga malam-malam berikutnya kami sudah saling bertukar nomor. Tepatnya nomor Whats*pp.Takut ketahuan oleh Istriku Tercinta—Putri Raline, nama Marsha aku ubah menjadi Bos Martin agar ia mengira bahwa kontak itu memang lelaki. Setiap hari ia mengirim pesan dan terkadang aku abaikan, tetapi Marsha mengancam akan memberitahu Raline. Aku kalah dan salah dalam hal ini seharusnya tegas sedari awal.Hari-hari berlalu, Marsha mulai bercerita bahwa suaminya sudah menceraikan tanpa alasan. Setelah aku paksa jujur, ternyata lelaki itu selingkuh dengan perempuan lain. Saat itu diri ini sangat marah, bagaimana mungkin ia menyia-nyiakan perempuan secantik dan sebaik Marsha
POV RALINE“Apa benar ia akan datang, Far?” tanyaku pada Farah yang sejak kemarin mengabarkan kedatangan Rafan. Ya, bahkan telinga ini mendengar saat Farah meneleponnya dan menanyakan kejelasan. Aku juga mendengar tentang kalimat cinta yang lelaki itu ucapkan karena Farah memang sengaja menekan icon speaker.Hati ini luluh dan ingin membalas kata-kata itu. Namun, Farah membekap mulut ini dengan tangan kanannya. Aku tahu maksud sahabatku, ia pasti ingin aku bahagia entah bersama Rafan atau pun tidak. Hanya saja ... ia bilang menunggu saat tepat dan Rafan harus datang dulu.Jika ia serius, tentu akan menuruti saran Farah. Jika tidak, kami semua akan pertimbangkan ulang untuk menerima Rafan kembali atau tidak. Ini bukan hanya masalah dihormati atau tidak, tetapi hati. Rasanya terlalu sakit jika harus tinggal serumah dengan adik madu.Jangankan serumah dan berbagi cinta, ketahuan bercanda ria dengan perempuan lain saja hati pasti menaruh ras
Saat Mei beralih menatap Rafan, ia memasang wajah kecut. “Rafan, kamu nyakitin Raline sama aja nyakitin aku dan Farah. Kami sudah satu rasa sehingga jika Raline sedih kami juga sedih. Kalau kamu berani nyakitin Raline, dzalim sama dia, berarti kamu harus selalu siap berhadapan sama kami.”“Iya, Mei, aku paham. Maafkan aku menyakiti sahabatmu.”“Kalau gitu ... aku pamit dulu,” ucap Rafan lagi.Aku menatapnya yang tersenyum kecut, lalu beralih menatap ayah dan ibu. Keduanya mendekati Rafan. “Tinggallah di sini bersama Raline sampai semuanya kembali seperti dulu, Nak,” ucap Ibu tersenyum.Rafan mengangguk, lalu ikut tersenyum. Hari ini sepertinya akan berlalu dengan baik. Semoga saja Rafan tidak berubah dan melakukan kesalahan yang sama. Sungguh aku berharap ia kembali ke dalam pelukanku.Saat malam menyapa setelah makan kami langsung kembali ke kamar. Rafan terlihat kaku, mungkin masih malu-malu.
Masih teringat saat Kak Rina juga bertamu ke rumah ibu, hati sangat ingin mengutarakan segala beban. Namun, ibu melarang dengan alasan kasihan kakak yang akan kepikiran. Aku memaklumi dan hanya bisa memendam dalam hati. Lagi dan lagi.Setelah kakak pulang, barulah Rafan datang dengan membawa boneka warna merah muda. Boneka itu memeluk bantal love bertuliskan huruf R. Rafan membeli di mana aku tidak peduli asal itu halal. Boneka itu kini di tanganku, sementara Rafan sudah berangkat kerja sepuluh menit yang lalu.“Farah mana, ya?” gumamku saat melihat jam.Jika berada dalam kamar sendirian, pikiran terus menerawang jauh. Sebenarnya tadi malam Rafan mengajakku pulang ke rumah karena malu terus-terusan menumpang, tetapi aku enggan. Khawatir pikiran semakin kacau dengan bayangan Marsha, kemudian melakukan tindakan bodoh yang bisa mencelakai diri.WhatsApp Mei tidak pernah aktif saat aku cek tadi malam. Kabari dari Farah, ia semakin manja dan mungki