Share

Bab 4

Setelah Rafan pergi, aku langsung menyambar ponsel yang terletak di nakas. Pagi ini kami tidak saling bicara sepatah kata pun. Bahkan tadi malam tidur saling memunggungi, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Sejak masa lajang dulu, ada dua sahabat yang setia menemani. Mereka adalah Mei dan Farah. Keduanya masih bekerja sembari menunggu pangeran datang menjemput. Panggilan langsung terhubung ke Mei.

"Ada apa, Lin? Tumben banget kamu telepon aku di hari weekend, biasanya ngabisin waktu bersama Rafan."

Aku menggaruk hidung yang tidak gatal, lalu menjawab, "kalau kamu tidak sibuk, datang ke sini bareng Farah. Ada gosip baru!"

Perempuan di seberang telepon setuju dan akan tiba dalam waktu dua jam. Aku meletakkan ponsel, lalu ke luar dari kamar untuk melakukan pekerjaan rumah. Farah dan Mei pasti bisa diandalkan untuk menemukan solusi.

Dua jam kemudian mereka benar-benar sudah tiba. Kami memeluk melepas rindu karena dua pekan ini tidak pernah bertemu. Mei semakin terlihat gemuk dengan pipi seperti balon, berbeda dengan Farah.

Ketika mereka duduk di sofa, aku langsung menceritakan tentang perselingkuhan Rafan dengan Marsha tanpa basa-basi lebih dulu. Mereka terkejut mengaku tidak menyangka lelaki yang dikira pendiam akan menduakan istrinya.

"Aku tebak, Marsha itu cinta pertama Rafan!" Farah berhasil membuatku tersenyum miris. Tebakannya benar sehingga aku tidak perlu menggeleng.

"Terus, kamu sudah melakukan tindakan apa?" sela Mei. Wajahnya terlihat serius. Biasanya ketika kami kumpul, ia selalu menampilkan ekspresi jenaka.

"Aku minta diceraikan, tetapi Rafan tidak mau. Bukan karena dia lebih memilihku, hanya saja seperti dikekang orangtua," lirihku menunduk.

Tanpa aba-aba, mereka berdua mendekat bersamaan dan mengusap pundak yang mulai terguncang. Selalu begitu, jika ada luka dalam hati, tentu mata akan menangis sejadi-jadinya. Beruntung Allah mengirim dua malaikat berwujud sahabat yang selalu menguatkan.

"Di posisi sekarang, mungkin aku akan memintamu merelakan Rafan saja karena masih banyak lelaki baik di luar sana terutama kalian belum memiliki anak. Akan tetapi, aku tidak tahu jika hal itu terjadi padaku. Mungkin sulit move on," gumam Mei. Nada suaranya terdengar sedih.

"Minta cerai aja, Lin. Aku tahu bagaimana sakitnya diduakan apalagi suami sendiri." Farah menambahkan.

Aku menunduk dalam dengan tangan terkepal menahan amarah agar tidak meledak. Hati ini seperti diciptakan dari kerupuk karena sangat mudah hancur tanpa kepingan. Hampa.

"Nanti aku pikirkan caranya, hari ini juga harus cerai dengan Rafan. Enak saja punya dua istri, tapi tidak mau berlaku adil!"

Mereka mengangguk bersamaan. Daripada terlena dalam lautan luka, kami membahas sesuatu yang lain. Ini adalah cara terbaik mengalihkan pikiran. Sekali lagi beruntung ada mereka.

***

Pukul sembilan malam Rafan baru kembali ke rumah. Ia hanya datang untuk  tidur, sementara waktunya dihabiskan bersama istri muda. Aku akui kecantikan Marsha mampu menggoda seribu lelaki, tetapi bukankah aku masih berstatus sebagai istrinya?

"Aku tidak sanggup menjalani kehidupan poligami, Fan." Aku membuka percakapan. Rafan yang sedang duduk di sofa dalam kamar menoleh. Ponselnnya diletakkan.

"Lalu?"

Bibir tiba-tiba terkunci karena takut juga kepada Allah. Tentang istri yang meminta cerai pada suami tanpa alasan syar'i itu tidak akan mencium bau surga. Jika bau saja tidak tercium, apakah pantas masuk ke dalamnya?

Namun, tentang sikap Rafan ini sepertinya sudah masuk alasan syar'i. Hanya saja lebih baik diskusi dulu. Ya, mungkin harusnya itu yang aku bahas dulu malam ini. Entah ia setuju untuk adil atau tidak, akan menjadi penentu hubungan kami.

"Kamu harus mampu bersikap adil kepada kami, Fan. Dalam al-qur'an memang diperbolehkan poligami, tetapi dengan catatan mampu bersikap adil. Bagaimana denganmu?"

"Condong ke salah satunya," jawab Rafan pendek tanpa ekspresi. Ia tahu kesalahan itu, tetapi tidak berusaha memperbaiki keadaan. Luka semakin menganga saja.

Aku mengembus napas berat berusaha sekuat terumbu karang. Air mata aku seka berulang kali agar tidak terlihat lemah seperti kata Marsha kemarin. Sungguh, aku benar-benar direndahkan oleh mereka.

Lelaki itu mengaku sudah berubah, bahkan terang-terangan meninggalkan salat. Ini semua pasti pengaruh buruk dari Marsha. Hatiku sakit mengetahui fakta ini, mereka juga pernah ke bar berdua. Kembali hadir pertanyaan dalam hati, apakah harus bertahan ketika suami jauh dari Tuhan-Nya?

"Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan, Lin?" tanya Rafan lagi ketika aku menunduk dalam.

Dada serasa sesak. Aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan berulang kali. Debar-debar dalam dada menjadi saksi bisu betapa terlukanya aku saat ini. Luka merebak cepat tanpa menyisakan ruang untuk tersenyum. 

"Jika tidak ada yang kamu sampaikan, aku mau tidur saja. Besok sibuk, kamu jaga rumah dulu. Tentang Marsha, senin nanti akan aku bawa ke sini. Entah kamu setuju atau tidak, aku tetap pada keputusan ini!" tekan Rafan seraya berdiri ke arah ranjang.

"Ceraikan aku!"

"Tidak!" sanggahnya cepat. "Kamu tidak akan aku ceraikan, Lin!"

Aku berdiri, lalu berteriak mengaku sakit hati. Tidak apa-apa jika Rafan akan memukul karena tidak sopan lagi padanya. Marsha yang nantinya dibawa ke rumah ini hanya akan menambah luka. Lagi pula keputusan itu sepihak, sama saja tidak menganggapku ada lagi.

"Aku tidak mau Marsha tinggal di sini, di kamar ini. Pasti aku kamu singkirkan ke kamar tamu karena tidak ingin membuat istri mudamu kecewa, 'kan?" teriakku lagi.

Rafan mendekat padaku, ia kembali mengunci tubuh ini di tembok. Matanya menyalak tajam. Melihat tingkah lelaki itu sekarang, aku seperti kehilangan cahaya. Bisa jadi ia memiliki kepribadian ganda sehingga berubah drastis dalam waktu singkat.

Napasnya berembus kasar. Ada amarah yang ia tampilkan dari matanya. Aku tidak takut sekalipun ia akan membunuhku malam ini. Lebih baik mati daripada diduakan. Tuhan, beri jalan terbaik untuk hubungan kami.

"Ada sesuatu yang membuatku harus mencintai Marsha daripada kamu, Lin."

"Wow!" Aku berdecak kagum, "kamu hebat karena bisa mengatur hati akan jatuh cinta kepada siapa. Bagaimana caranya? Dengan memandang fisik atau harta, Fan?"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Rafan memberiku satu tamparan di pipi kanan. Sakit semakin terasa ketika ia pergi dari kamar ini menyisakan tanda tanya. Sangat tidak adil rasanya karena perempuan tidak bisa menjatuhkan talak.

Dalam kamar, dada semakin merasakan sesak seperti tidak ada ruang untuk bernapas. Luka yang kian menganga membuatku terkulai lemas. Apakah seperti ini rasanya menikah dan jatuh cinta?

Sebenarnya kemarin ibu sempat meragukan Rafan ketika datang melamar, tetapi aku berusaha meyakinkan karena mendengar tutur katanya yang selalu lembut dan sopan. Naluri seorang ibu seharusnya tidak aku bantah. Inilah hasil dari keyakinanku saat itu.

"Aku akan beritahu ibu, Fan!" 

Bersambung

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Septy Hadiana Wahyunizzar
ko cewe nya belet amat ch ,udah di selingkuhan di tampar jga masih aja dieum , jangan sar'i" segala dech klo oon nya d piara
goodnovel comment avatar
Bintu Hasan
ini ada sih kak dikehidupan nyata cewe kaya raline. terinspirasi dari situ......
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
udah kmu tinggalin itu Rafan kmu seneng banget dh d tamoar gitu masi diem aja dn kmu laporin suami nikah g minta ijin ke kmu dn kmu pergi k irang tua mu .waktu di ngomong d mukul kmu kmu rekam diem2 dr ponsel kmu tuk bukti ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status