Sesampainya di rumah aku menangis dengan suara keras. Uang yang diberi Marsha tadi aku tinggal di meja, juga tidak membalas pesan itu melainkan langsung memblokir. Semua terjadi di luar kendali, aku semakin terluka.
Berulang kali aku mengembus napas kasar karena dada terasa sesak. Mata menatap langit-langit kamar seraya mengingat kenangan indah di awal pernikahan. Rafan yang penyayang dan perhatian membuatku terlena hingga tidak pernah berpikir akan diduakan.
Ada telepon dari Rafan, ini yang ke delapan kalinya. Terpaksa aku mendekatkan ponsel ke telinga dan terjawab otomatis. "Ada apa?" tanyaku dengan suara serak.
"Jangan usik Marsha. Aku mohon."
Lelaki yang aku anggap sebagai matahari penggerak mimpi semakin merobohkan benteng pertahananku. Ia benar-benar tidak memikirkan bagaimana perasaan istrinya jika memohon demi perempuan lain.
Aku terngungu. Tidak ada kata yang pantas terucap. Rafan lebih mencintai Marsha. Andai bisa marah kepada takdir, pasti sudah aku lakukan sejak kenyataan pahit ini terungkap.
"Malam ini aku tidak pulang," lanjut Rafan lagi.
"Kenapa? Menginap di rumah Marsha? Jangan lakukan itu atau aku akan mati detik ini juga!"
"Kamu gila, Lin?"
Aku tidak menjawab malah langsung mematikan sambungan telepon. Biar saja Rafan bingung harus melakukan apa karena jika aku mati, tamat riawayatnya. Lagi pula siapa yang akan bunuh diri hanya karena hal sesepele ini?
Memang aku mencintai lelaki itu, tetapi jika diduakan apakah tidak pantas sirna? Sekalipun ia mengejar hingga ke neraka, aku tidak ingin kembali kecuali benar ingin berubah dan melupakan Marsha. Perempuan itu adalah benalu dalam rumah tangga kami.
***
Pukul sebelas malam Rafan baru pulang. Aku sengaja menunggu karena dipaksa. Tidak apa-apa jika malam ini harus kembali beradu mulut, aku bukan perempuan salihah yang sabar ketika diduakan.
Dia datang membawa martabak telur kesukaanku, jelas sekali ingin menyogok. "Makan!" titahnya.
Sebagai perempuan, untuk masalah makanan tentu sulit menolak. Dengan santai kuraih kotak martabak itu dan menyantapnya seperti tidak ada masalah. Rafan mendekat, lalu bertanya, "apa yang sudah kalian bahas?"
"Tentang kamu yang berkelahi dengan suami Marsha dulu sampai babak belur. Aku jadi tahu ternyata dulu luka di wajah itu bukan karena dikeroyok preman." Aku menjawab santai, sebenarnya sedang mengontrol emosi.
Rafan diam, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Mungkin dia menghindar karena ketahuan berbohong, sementara aku masih berusaha santai sambil menikmati martabak yang dibawa. Sayang sekali jika diangguri apalagi makanan kesukaan.
Sebenarnya aku makan ini untuk menambah tenaga. Kalau dalan keadaan lapar, Rafan bisa menyudutkanku. Jadi, sebelum adu mulut terjadi, memang baiknya mengisi perut dulu.
Dua puluh menit kemudian, Rafan sudah selesai. Dia duduk di tepi ranjang di sampingku. "Bagaimana kalau Marsha tinggal di sini? Aku tidak tega meninggalkannya sendiri di rumah," lirih Rafan tanpa menatap wajahku.
"Lalu aku akan diperlakukan seperti babu di sini karena ada istri muda yang bertingkah seperti ratu?" timpalku emosi.
"Marsha tidak seperti yang kamu pikirkan, Lin."
Aku berdecih. "Memangnya kamu tahu apa yang aku pikirkan? Harusnya sadar sebagai lelaki, kalau yang kamu lakukan itu tidak adil. Mau poligami, tetapi adil aja enggan!"
Lelaki bermata sipit itu langsung berdiri, aku melakukan hal yang sama agar tidak ditindas. Memang sakit hati membuat kaki tidak mampu menopang berat badan, tetapi jika tidak memaksakan diri akan semakin besar resikonya. Kami saling menatap tajam serupa elang yang ingin memangsa.
"Marsha itu cinta pertamaku, sulit melupakannya. Kamu tidak punya mantan, tentu seenak jidat meminta move on."
"Jika Marsha masih kamu cintai, maka pilih salah satu di antara kami. Aku tidak sudi diduakan apalagi dinomorduakan!" tegasku meski suara terdengar gemetar.
Rafan mengaku mencintai Marsha, tetapi tidak ingin menjatuhkan talak padaku. Alasannya sudah jelas, tentu hanya karena mertua yang terlalu sayang pada menantu satu-satunya. Aku tersenyum miris mendengar penuturan Rafan, seharusnya sebagai lelaki yang pernah ditinggalkan bisa mengerti apa yang aku rasakan sekarang.
Tanganku terkepal kuat menahan amarah. Kaki beringsut mundur hingga sampai di dekat pintu. Dengan gerak cepat tangan kiriku meraih kenop dan keluar dari kamar. Tempat yang sangat aku rindukan untuk kami memadu kasih kini menjelma neraka yang menyakitkan.
"Raline!" panggil Rafan ketika aku hendak melangkah ke pintu utama. Memang niat malam ini kabur saja daripada harus seatap dengan Marsha. Aku bahkan risih menganggapnya sebagai adik madu. "Sekali lagi kamu melangkah, maka jatuh talak satu untukmu!" ancam Rafan.
Aku menoleh sinis. "Kenapa kamu menahanku? Jika karena ibu dan ayah, bukankah lebih bagus jika mereka tahu agar yang sakit bukan aku saja? Kamu berani menikahi Marsha, seharusnya tidak menghindari resiko!"
Ada banyak masalah yang bisa hadir jika Marsha benar-benar tinggal di sini. Perempuan itu terlalu angkuh sehingga bisa semakin melukai hati. Waktu ketemu di cafe saja sudah jelas ia mengejek.
"Diam dan masuk kamar!"
"Istrimu yang kucel karena tidak pernah ke salon itu salah siapa?" Aku tertawa renyah. "Salah suami yang tidak memberi uang lebih karena menafkahi janda muda," ledekku.
Rafan mengembus napas kasar, lalu melangkah masuk dapur karena ponselnya berdering. Aku bisa menebak yang menelepon tengah malam adalah Marsha. Sebenarnya sudah rutin mereka lakukan, tetapi aku tidak menyangka kalau lawan bicaranya adalah perempuan masa lalu yang sudah dinikahi secara siri.
Kaki menuntun mengikuti Rafan dari belakang. Benar ia sedang menelepon menghadap kulkas. Suaranya terlaly kecil, jadi tidak bisa mendengar sedang membicarakan apa. Baru saja ingin kembali ke kamar, suara Rafan terdengar marah.
"Iya, aku akan menceraikannya setelah berhasil meyakinkan ibu sama ayah kalau yang salah itu Raline. Kamu yang sabar, jangan langsung mengancam!"
Rasa keingintahuan yang tinggi memang kerapkali melukai hati. Aku menyesal menguping Rafan, tetapi fakta itu membuka hati untuk mengambil sikap yang lebih bijak. "Ceraikan aku!" teriakku tidak bisa menahan gemuruh dalam dada.
Ponsel di tangan Rafan jatuh ke lantai. Matanya membulat sempurna, pasti tidak menyangka jika aku akan menguping. Matanya melirik ke kanan dan kiri seperti sedang berusaha mencari alasan. Namun, itu semua percuma.
Aku mendekat, lalu memungut ponsel Rafan yang panggilannya masih terhubung ke Marsha. "Tenang saja, Marsha. Tidak lama lagi kamu akan memiliki Rafan seutuhnya!" tegasku ketika menemelkan ponsel di telinga.
Sebelum Rafan berhasil merampas ponsel itu, aku membanting kasar ke lantai. Dia marah, semburat merah terukir jelas di matanya. Napasnya bahkan memburu, tetapi aku sama sekali tidak takut.
"Jangan marah, Fan! Bukannya ponsel itu aku yang beli karena gajimu habis untuk biaya berobat ibu?" tanyaku dengan nada suara mengejek. Aku memang tidak punya pekerjaan, tetapi tidak terlahir dari keluarga miskin.
Rafan menelan saliva, tangannya gemetar. Aku kembali membuka suara. "Tidak mengapa kalau kamu ingin menjatuhkan talak malam ini. Aku justru senang karena tidak harus menjadi istri pecundang sepertimu!"
"Tidak! Bukan begitu!" teriak Rafan, lalu memungut ponsel yang sudah hancur itu dan membawanya ke kamar.
Aku tidak lagi bisa mengikuti karena kaki seakan terpaku di bumi. Luka kian menganga. Andai saja boleh marah kepada takdir, sudah pasti kulakukan. Tuhan, ujian ini benar-benar meminta hati untuk bersabar.
Bersambung
Setelah Rafan pergi, aku langsung menyambar ponsel yang terletak di nakas. Pagi ini kami tidak saling bicara sepatah kata pun. Bahkan tadi malam tidur saling memunggungi, tenggelam dalam pikiran masing-masing.Sejak masa lajang dulu, ada dua sahabat yang setia menemani. Mereka adalah Mei dan Farah. Keduanya masih bekerja sembari menunggu pangeran datang menjemput. Panggilan langsung terhubung ke Mei."Ada apa, Lin? Tumben banget kamu telepon aku di hari weekend, biasanya ngabisin waktu bersama Rafan."Aku menggaruk hidung yang tidak gatal, lalu menjawab, "kalau kamu tidak sibuk, datang ke sini bareng Farah. Ada gosip baru!"Perempuan di seberang telepon setuju dan akan tiba dalam waktu dua jam. Aku meletakkan ponsel, lalu ke luar dari kamar untuk melakukan pekerjaan rumah. Farah dan Mei pasti bisa diandalkan untuk menemukan solusi.Dua jam kemudian mereka benar-benar sudah tiba. Kami memeluk melepas rindu karena dua pekan ini tidak pernah bertemu.
"Bangun, Sayang!" titah Rafan. Aku menggeliat sambil memaksa mata untuk terbuka. Meski berat, mau bagaimana lagi karena ini pasti sudah pukul tujuh. "Sudah jam berapa?" tanyaku memastikan begitu melihat sinar mentari yang sangat menyilaukan mata. "Jam sembilan pagi. Marsha aja sudah selesai memasak, Lin." Jawaban Rafan spontan menepis kantuk. Gegas aku ke kamar mandi, mencuci wajah dan sikat gigi. Setelah itu, melangkah cepat ke luar menuju dapur. Kosong. Tidak ada Marsha di sini. Aku menatap kesal pada Rafan yang tertawa kecil. "Apa maksudmu, Fan?" tanyaku penuh selidik. Ia pun menjelaskan kalau susah membangunkanku. Jadi, ada ide baru dengan cara menyebut nama Marsha. Aku memanyunkan bibir karena kesal merajai hati. Sementara Rafan, ia terus tertawa lepas. Jantung berdegup tidak normal. Apa dia tidak menyadari bahwa perempuan mana pun akan cemburu kika kekasihnya atau lelaki yang dia cintai menyebut nama perempuan lain sekalipun itu hanya sebuah candaan? Oh, tolonglah! Kenapa
Tidak sesuai rencana karena sejak siang tadi hingga pukul delapan malam, Rafan belum juga pulang ke rumah. Alasannya ketika hendak pergi tadi adalah ada urusan kantor. Aku yakin, pasti ia ke rumah Marsha lagi.Semua sudah aku ceritakan pada ibu ketika ayah mertua sedang berada di kamar mandi. Tentang perselingkuhan Rafan dan kabar kehamilan itu. Rupanya, ibu tahu betul siapa Marsha. Mereka pernah akrab beberapa bulan sebelum akhirnya perempuan itu menghilang meninggalkan luka di hati putranya."Apa setiap hari Rafan selalu meninggalkanmu hingga larut malam, Lin?" tanya ibu memecah lamunanku."Tidak, Bu. Rafan selalu pulang tepat waktu." Aku berbohong. Terpaksa melakukan ini agar air mata ibu tidak lagi jatuh. Ayah yang sedang menelepon tidak bisa mendengar percakapan kami.Ibu mengaku sedih karena hanya satu malam di sini. Begitu pun denganku. Tempat untuk bercerita akan pulang, tentu aku merasa kesepian. Andai saja bisa ikut mereka, tetapi ayah akan mena
Mata Rafan ketika menjatuhkan talak tadi sama sekali tidak menampilkan binar cinta. Sekali lagi aku mendesah dalam keputus-asaan. Biar saja talak satu jatuh, aku tidak akan berdiam diri di rumah.Hati ini terlalu perih, luka merebak begitu cepat hingga air mata jatuh tanpa permisi. Aku memeluk diri sendiri, lalu berencana pergi ke rumah mertua untuk mengadu. Mereka pernah bilang bahwa jika Rafan melakukan kesalahan, baiknya datangi mertua dulu begitu pun sebaliknya.Aku memesan taksi online tanpa berpikir panjang. Rafan tidak perlu tahu, lagi pula aku bukan lagi istrinya. Dalam perjalanan semua masalah sudah kuceritakan pada Mei via telepon. Ia marah bahkan ingin mendatangi Marsha dan memaki langsung."Jangan, Mei karena aku sudah diberi talak satu. Takutnya langsung ditalak tiga," lirihku."Jadi kamu mau dirujuk sama Rafan? Hidup bersama Marsha begitu?"Mendengar pertanyaan Mei membuat hati semakin merasakan luka. Aku harus menarik napas pan
Satu jam kemudian sarapan pagi telah siap oleh ibu, kami duduk berempat di meja makan. Rafan tetap bertingkah seperti biasa seakan tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ayah dan ibu mertua diam dan hanya ada denting sendok yang berbunyi saling tabrakan.“Lin, kamu ke sini bawa baju?” tanya Rafan saat selesai sarapan.“Enggak karena ke sini juga sebenarnya gak rencana nginap.”Aku mengambil bekas piring Rafan dan membawanya sekalian ke wastafel untuk dicuci, begitu pun dengan piring ayah dan ibu. Hingga saat ini ibu belum menampilkan senyum seperti biasa yang selalu ia suguhkan. Rafan seperti tidak menyadari hal itu, ia kembali fokus menatap ponselnya.Ibu menatapku iba kemudian melangkah pelan mendekati Rafan. “Rafan, kamu nginap dulu atau menemani istrimu pulang?”Rafan terperanjat. Wajahnya pucat pasi bahkan ponsel di tangannya hampir saja terjatuh. Ia menatapku gugup, seperti seseorang yang sedang tertangkap
Rafan : Kamu di mana?Rafan mengirim pesan Whats*pp sejak pukul 19.55, tetapi baru aku baca 20 menit kemudian. Mungkin ia baru sampai di rumah setelah berpuas-puas bahagia dengan Marsha. Aku yakin ia lupa waktu karena untuk dua insan yang saling mencintai pasti akan mengira dunia milik mereka berdua, sedangkan yang lain cuma menumpang.Aku : Di rumah ibu. Kenapa?Rafan akhirnya melakukan panggilan video. Aku langsung mengangkat dengan memasang wajah datar sebelumnya. Ia terlihat memperhatikan sekitar, mungkin ingin memastikan ibu siapa yang aku maksud.“Sejak kapan di situ? Ibu sakit?”“Sore tadi, pukul lima lewat. Ibu sehat, ayah juga.” Aku menjawab dengan ekspresi datar.“Keluar rumah tanpa izin suami itu dosa, Lin. Kamu gak ngehargai aku lagi sebagai suamimu?” Kali ini ia berlagak sok ustad.“Rafan Suamiku Sayang, kalau memiliki perempuan lain tanpa seizinku sebagai istri sah apa itu termas
POV RAFANAku termenung di rumah sendirian saat mengingat kejadian di masjid tepat ketika aku melihat Marsha. Sungguh, hati ini selalu mengingatkan pada Raline, tetapi ragaku melakukan kesalahan.Marsha mendekat dan meminta nomor ponsel, aku menolak saat itu. Akan tetapi, ia perempuan gigih sehingga malam-malam berikutnya kami sudah saling bertukar nomor. Tepatnya nomor Whats*pp.Takut ketahuan oleh Istriku Tercinta—Putri Raline, nama Marsha aku ubah menjadi Bos Martin agar ia mengira bahwa kontak itu memang lelaki. Setiap hari ia mengirim pesan dan terkadang aku abaikan, tetapi Marsha mengancam akan memberitahu Raline. Aku kalah dan salah dalam hal ini seharusnya tegas sedari awal.Hari-hari berlalu, Marsha mulai bercerita bahwa suaminya sudah menceraikan tanpa alasan. Setelah aku paksa jujur, ternyata lelaki itu selingkuh dengan perempuan lain. Saat itu diri ini sangat marah, bagaimana mungkin ia menyia-nyiakan perempuan secantik dan sebaik Marsha
POV RALINE“Apa benar ia akan datang, Far?” tanyaku pada Farah yang sejak kemarin mengabarkan kedatangan Rafan. Ya, bahkan telinga ini mendengar saat Farah meneleponnya dan menanyakan kejelasan. Aku juga mendengar tentang kalimat cinta yang lelaki itu ucapkan karena Farah memang sengaja menekan icon speaker.Hati ini luluh dan ingin membalas kata-kata itu. Namun, Farah membekap mulut ini dengan tangan kanannya. Aku tahu maksud sahabatku, ia pasti ingin aku bahagia entah bersama Rafan atau pun tidak. Hanya saja ... ia bilang menunggu saat tepat dan Rafan harus datang dulu.Jika ia serius, tentu akan menuruti saran Farah. Jika tidak, kami semua akan pertimbangkan ulang untuk menerima Rafan kembali atau tidak. Ini bukan hanya masalah dihormati atau tidak, tetapi hati. Rasanya terlalu sakit jika harus tinggal serumah dengan adik madu.Jangankan serumah dan berbagi cinta, ketahuan bercanda ria dengan perempuan lain saja hati pasti menaruh ras