Mata Rafan ketika menjatuhkan talak tadi sama sekali tidak menampilkan binar cinta. Sekali lagi aku mendesah dalam keputus-asaan. Biar saja talak satu jatuh, aku tidak akan berdiam diri di rumah.
Hati ini terlalu perih, luka merebak begitu cepat hingga air mata jatuh tanpa permisi. Aku memeluk diri sendiri, lalu berencana pergi ke rumah mertua untuk mengadu. Mereka pernah bilang bahwa jika Rafan melakukan kesalahan, baiknya datangi mertua dulu begitu pun sebaliknya.
Aku memesan taksi online tanpa berpikir panjang. Rafan tidak perlu tahu, lagi pula aku bukan lagi istrinya. Dalam perjalanan semua masalah sudah kuceritakan pada Mei via telepon. Ia marah bahkan ingin mendatangi Marsha dan memaki langsung.
"Jangan, Mei karena aku sudah diberi talak satu. Takutnya langsung ditalak tiga," lirihku.
"Jadi kamu mau dirujuk sama Rafan? Hidup bersama Marsha begitu?"
Mendengar pertanyaan Mei membuat hati semakin merasakan luka. Aku harus menarik napas panjang dan mengembuskan kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Taksi melaju semakin cepat sesuai keinginan karena ingin segera memeluk ibu mertua.
"Maaf, cinta belum sirna sekalipun talak sudah jatuh. Hati ini tidak pernah bisa kumanajemen." Aku menjawab dengan memberi seulas senyum meski Mei tidak melihat langsung.
"Aku tidak bisa kamu bohongi, Lin. Dari suara itu sudah ketebak sedang terluka. Kamu istirahat saja dulu."
"Iya, Mei," jawabku singkat, lalu menutup sambungan telepon.
Sesampainya di rumah, aku langsung memeluk ibu. Untung saja tidak ada ayah. Beliau membawaku masuk ke kamar. Kami duduk saling berhadapan dengan memaksakan senyum.
"Ada apa, Lin?" tanya ibu memulai percakapan.
Aku menunduk. Kata-kata Rafan kembali terngiang dalam pikiran. Lelaki itu pasti tidak ada rasa menyesal, ia sibuk dengan istri barunya. Marsha, perempuan yang tidak malu merebut suami orang. Mungkin hatinya telah buta.
Kaki dan tangan sudah dingin, aku menelan saliva. Lidah seakan terkunci enggan menyampaikan maksud. Lagi, aku menunduk semakin dalam. Tangan ibu mengelus bahuku turun ke tangan dan memegangnya erat.
"Ada apa?" Ibu mengulangi pertanyaannya.
"R-rafan menceraikanku, Bu," isakku, "talak satu."
"Apa?" Ibu memegang daguku dan mengangkatnya hingga mata kami saling beradu. Ada luka di manik mata yang indah itu. Aku jadi merasa bersalah karena datang mengadu apalagi dalam masa iddah yang harusnya menunggu di rumah.
Jika saja ada ibu bertanya tentang keinginan hati yang sebenarnya, pasti aku tidak akan mengelak kalau cinta itu masih bertahta sekalipun luka enggan menepi bahkan semakin memenuhi ruang dalam hati. Air mata diseka ibu, aku mengukir senyum penuh luka.
"Ibu, aku rindu Rafan," lirihku menenggelamkan diri dalam pelukan ibu. "Entah kenapa ia bisa berubah seperti itu. Aku rindu, Bu."
"Sepertinya masalah semakin rumit, ibu akan menelepon Rafan dan memintanya datang ke sini."
Aku hanya menunduk, lalu menceritakan semua unek-unek. Jika masalah juga duka dipendam sendiri, pasti tidak akan menemukan solusi. Musyawarah itu perlu. Apa pun keputusan Rafan di depan orangtuanya, aku ikhlas. Tepatnya berusaha ikhlas.
Saat malam menyapa, aku meraih ponsel yang berdering. Rupanya itu dari Rafan. Tanpa berpikir panjang, ponsel aku dekatkan ke telinga dan terhubung otomatis. Debar-debar dalam dada tak ubahnya pacuan kuda yang saling berkejaran.
"Kamu di mana?"
"Di rumah, Fan. Nanti saja bicaranya, aku mau tidur."
"Di rumah ibu, kan? Aku tahu, tadi ibu meneleponku."
Aku tersenyum miris, lalu mematikan ponsel. Tidak lama kemudian merebahkan diri di tempat tidur sambil memijit pelipis berharap malam berlalu begitu cepat. Rasa dilema menguasai diri, aku ingin mati saja.
***
"Aku merujukmu, Putri Raline." Ucapan Rafan yang masih berdiri di ambang pintu membuatku terkejut. Kaki melangkah mundur, lalu berlari masuk kamar.
"Raline!" panggil Rafan memegang pundakku yang sedang memeluk bantal guling memunggunginya.
"Kenapa kamu merujukku?" Isakan kecilku mulai terdengar.
Tanpa kusangka, lelaki pengkhianat itu memeluk dari belakang. Aku ingin meronta, tetapi terlalu nyaman. Ketika hati dan pikiran tidak sejalan, tentu akan menyakiti diri sendiri.
"Aku masih mencintaimu, Lin. Kenangan di awal kita bertemu dan menikah masih tersentuh di memori."
"Hentikan omong kosongmu, Fan! Aku tahu ini hanya sandiwara karena sedang di rumah ibu, kan?" Suaraku terdengar berat.
Sekarang status berubah jadi istri Rafan lagi. Lelaki itu pikir pernikahan hanyalah permainan yang bisa ditinggal atau dijalani seenak hati. Miris sekali karena mendapat suami sepertinya padahal masih banyak lelaki yang jauh lebih baik. Beruntung ada mertua yang menganggapku putri kandung.
Ketukan di pintu membuat kami tersentak. Mungkin itu ibu yang baru datang, tadi memang hanya aku sendiri di rumah. Sementara ayah, ia ada urusan penting. Rafan bertanya dengan suara pelan, "ibu sudah tahu?" Aku hanya menggeleng, lalu beranjak menuju pintu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku seraya mengedipkan mata sebelah kiri agar ibu pura-pura tidak tahu masalah.
"Rafan sudah datang?"
"Iya, Bu." Rafan yang menjawab, tiba-tiba ia merangkulku.
"Kalau begitu makan dulu." Ibu pun berlalu. Sementara Rafan, ia memutar tubuhku menghadapnya. Mata itu sama sekali belum menampakkan binar cinta.
"Suka atau tidak, tetap saja sekarang kamu itu istriku!" tekannya.
Satu jam kemudian sarapan pagi telah siap oleh ibu, kami duduk berempat di meja makan. Rafan tetap bertingkah seperti biasa seakan tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ayah dan ibu mertua diam dan hanya ada denting sendok yang berbunyi saling tabrakan.“Lin, kamu ke sini bawa baju?” tanya Rafan saat selesai sarapan.“Enggak karena ke sini juga sebenarnya gak rencana nginap.”Aku mengambil bekas piring Rafan dan membawanya sekalian ke wastafel untuk dicuci, begitu pun dengan piring ayah dan ibu. Hingga saat ini ibu belum menampilkan senyum seperti biasa yang selalu ia suguhkan. Rafan seperti tidak menyadari hal itu, ia kembali fokus menatap ponselnya.Ibu menatapku iba kemudian melangkah pelan mendekati Rafan. “Rafan, kamu nginap dulu atau menemani istrimu pulang?”Rafan terperanjat. Wajahnya pucat pasi bahkan ponsel di tangannya hampir saja terjatuh. Ia menatapku gugup, seperti seseorang yang sedang tertangkap
Rafan : Kamu di mana?Rafan mengirim pesan Whats*pp sejak pukul 19.55, tetapi baru aku baca 20 menit kemudian. Mungkin ia baru sampai di rumah setelah berpuas-puas bahagia dengan Marsha. Aku yakin ia lupa waktu karena untuk dua insan yang saling mencintai pasti akan mengira dunia milik mereka berdua, sedangkan yang lain cuma menumpang.Aku : Di rumah ibu. Kenapa?Rafan akhirnya melakukan panggilan video. Aku langsung mengangkat dengan memasang wajah datar sebelumnya. Ia terlihat memperhatikan sekitar, mungkin ingin memastikan ibu siapa yang aku maksud.“Sejak kapan di situ? Ibu sakit?”“Sore tadi, pukul lima lewat. Ibu sehat, ayah juga.” Aku menjawab dengan ekspresi datar.“Keluar rumah tanpa izin suami itu dosa, Lin. Kamu gak ngehargai aku lagi sebagai suamimu?” Kali ini ia berlagak sok ustad.“Rafan Suamiku Sayang, kalau memiliki perempuan lain tanpa seizinku sebagai istri sah apa itu termas
POV RAFANAku termenung di rumah sendirian saat mengingat kejadian di masjid tepat ketika aku melihat Marsha. Sungguh, hati ini selalu mengingatkan pada Raline, tetapi ragaku melakukan kesalahan.Marsha mendekat dan meminta nomor ponsel, aku menolak saat itu. Akan tetapi, ia perempuan gigih sehingga malam-malam berikutnya kami sudah saling bertukar nomor. Tepatnya nomor Whats*pp.Takut ketahuan oleh Istriku Tercinta—Putri Raline, nama Marsha aku ubah menjadi Bos Martin agar ia mengira bahwa kontak itu memang lelaki. Setiap hari ia mengirim pesan dan terkadang aku abaikan, tetapi Marsha mengancam akan memberitahu Raline. Aku kalah dan salah dalam hal ini seharusnya tegas sedari awal.Hari-hari berlalu, Marsha mulai bercerita bahwa suaminya sudah menceraikan tanpa alasan. Setelah aku paksa jujur, ternyata lelaki itu selingkuh dengan perempuan lain. Saat itu diri ini sangat marah, bagaimana mungkin ia menyia-nyiakan perempuan secantik dan sebaik Marsha
POV RALINE“Apa benar ia akan datang, Far?” tanyaku pada Farah yang sejak kemarin mengabarkan kedatangan Rafan. Ya, bahkan telinga ini mendengar saat Farah meneleponnya dan menanyakan kejelasan. Aku juga mendengar tentang kalimat cinta yang lelaki itu ucapkan karena Farah memang sengaja menekan icon speaker.Hati ini luluh dan ingin membalas kata-kata itu. Namun, Farah membekap mulut ini dengan tangan kanannya. Aku tahu maksud sahabatku, ia pasti ingin aku bahagia entah bersama Rafan atau pun tidak. Hanya saja ... ia bilang menunggu saat tepat dan Rafan harus datang dulu.Jika ia serius, tentu akan menuruti saran Farah. Jika tidak, kami semua akan pertimbangkan ulang untuk menerima Rafan kembali atau tidak. Ini bukan hanya masalah dihormati atau tidak, tetapi hati. Rasanya terlalu sakit jika harus tinggal serumah dengan adik madu.Jangankan serumah dan berbagi cinta, ketahuan bercanda ria dengan perempuan lain saja hati pasti menaruh ras
Saat Mei beralih menatap Rafan, ia memasang wajah kecut. “Rafan, kamu nyakitin Raline sama aja nyakitin aku dan Farah. Kami sudah satu rasa sehingga jika Raline sedih kami juga sedih. Kalau kamu berani nyakitin Raline, dzalim sama dia, berarti kamu harus selalu siap berhadapan sama kami.”“Iya, Mei, aku paham. Maafkan aku menyakiti sahabatmu.”“Kalau gitu ... aku pamit dulu,” ucap Rafan lagi.Aku menatapnya yang tersenyum kecut, lalu beralih menatap ayah dan ibu. Keduanya mendekati Rafan. “Tinggallah di sini bersama Raline sampai semuanya kembali seperti dulu, Nak,” ucap Ibu tersenyum.Rafan mengangguk, lalu ikut tersenyum. Hari ini sepertinya akan berlalu dengan baik. Semoga saja Rafan tidak berubah dan melakukan kesalahan yang sama. Sungguh aku berharap ia kembali ke dalam pelukanku.Saat malam menyapa setelah makan kami langsung kembali ke kamar. Rafan terlihat kaku, mungkin masih malu-malu.
Masih teringat saat Kak Rina juga bertamu ke rumah ibu, hati sangat ingin mengutarakan segala beban. Namun, ibu melarang dengan alasan kasihan kakak yang akan kepikiran. Aku memaklumi dan hanya bisa memendam dalam hati. Lagi dan lagi.Setelah kakak pulang, barulah Rafan datang dengan membawa boneka warna merah muda. Boneka itu memeluk bantal love bertuliskan huruf R. Rafan membeli di mana aku tidak peduli asal itu halal. Boneka itu kini di tanganku, sementara Rafan sudah berangkat kerja sepuluh menit yang lalu.“Farah mana, ya?” gumamku saat melihat jam.Jika berada dalam kamar sendirian, pikiran terus menerawang jauh. Sebenarnya tadi malam Rafan mengajakku pulang ke rumah karena malu terus-terusan menumpang, tetapi aku enggan. Khawatir pikiran semakin kacau dengan bayangan Marsha, kemudian melakukan tindakan bodoh yang bisa mencelakai diri.WhatsApp Mei tidak pernah aktif saat aku cek tadi malam. Kabari dari Farah, ia semakin manja dan mungki
Hari sabtu adalah yang dinanti-nanti seorang istri karena sang suami tidak harus pergi bekerja melainkan menghabiskan waktu bersamanya. Namun, rencana memanfaatkan weekend dengan jalan-jalan bukan sekarang, tetapi besok. Ibu berencana di rumah saja untuk menghidupkan suasana karena biar bagaimana pun rumah adalah surga kita.Kami semua sudah mandi, aku memakai baju kaos putih lengan panjang bermotif ungu sepasang dengan Rafan, sementara Ayah dan Ibu juga couple dengan baju gamis dan kemeja. Kali ini aku memakai rok model baru berwarna hitam serasi dengan celana Rafan.Kami terlihat seperti keluarga bahagia. Sebelum mengobrol ringan sambil menikmati banyak kue dan minuman yang sudah Ibu persiapkan sejak semalam bahannya, kami mengambil beberapa foto dulu. Kak Rina dan suaminya juga diundang dan sedang dalam perjalanan.Jam sudah menunjuk angka setengah dua belas, pintu terketuk dan suara salam terdengar dari luar. Ya, itu jelas suara milik Kak Rina. Ibu mem
Kami berada dalam kamar setelah mencuci pakaian. Ayah dan Ibu berada di bawah dengan kesibukan masing-masing. Sejak kepulangan mertua dan Kak Rina kemarin, aku dan Rafan belum saling bicara. Mungkin sekarang adalah saatnya.Ia duduk termenung di tempat tidur, sementara aku berada di kursi. Memang tadi malam kami masih satu ranjang, tetapi tetap saling memunggungi. Bukan aku tidak takut dosa, tetapi hati ini butuh untuk dipulihkan dan sepertinya saat ini Rafan bukanlah penawar luka.“Rafan ....” Ia mengalihkan pandangan kepadaku. Kedua matanya bengkak lagi merah seperti habis menangis.“Boleh kamu beri penjelasan dengan jujur tentang kata-kata Marsha kemarin?”“Kata-kata yang mana?” tanya Rafan dengan suara yang lemah. Sebenarnya aku ingin mendekap, lalu menghiburnya. Namun, harus bagaimana jika hati ini saja sama bahkan lebih terluka.“Kamu selalu merindukannya dan lebih menyayangi Marsha karena ia telah me
POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d
Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti
“Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.***Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.Setelah mandi dan mengenakan daster ukura
“Percayalah! Beratnya memaafkan bukanbesarnya kezhaliman orang kepadamu, melainkan hatimu yang kurang luas untuk menampung semua beban.Kala hatimu lapang, kesalahan orang hanyalah warna-warna gelap yang justru memperkaya lukisan di kanvas kehidupanmu.”—S.Aminah Al Attas***“Ibu bahas apa saja sama Rafan?” tanyaku saat Ibu tengah mencuci piring bekas makan tadi.“Ibu bahas semua yang kamu ceritakan. Kenapa memangnya?”“Rafan belum mengajak kamu ngobrol semalam?” tanya Ibu lagi setelah hening dua menit. Ia ikut duduk di kursi meja makan.“Belum, Bu. Aku pura-pura tidur karena mau tahu dulu Ibu bahas apa saja.”Ibu hanya tersenyum, lalu memintaku menyusul Rafan dalam kamar. Tanpa menunggu waktu lagi kaki menuntun diriku masuk kamar.Aku meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Rafan terlihat duduk di kursi rias seperti sedang latihan drama atau entahlah.
Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu
[Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank
“Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”—QS. Al-Baqarah ayat 187.***Badai pernikahan pasti berlalu meski dalam waktu yang lama. Aku hanya harus bersabar sedikit lagi. Tentang foto Marsha kemarin, biarlah dilupakan dahulu.Aku menghampiri Rafan yang tengah menyeduh teh hangat. Besok pernikahan Farah, barangkali ia lupa. “Fan?”“Raline. Duduklah!”“Besok kita ke nikahan Farah, 'kan?” tanyaku setelah mengempas bokong di kursi.“Insya Allah, kenapa?”“Aku pikir kamu lupa.Rafan memamerkan gigi putihnya. Benar-benar bosan kala pembicaran habis. Seperti anak remaja akan badmood saat tidak ada bahasan yang harus dibahas lagi.Entah untuk pacar, sahabat atau gebetan. Tepatnya kehabisan kata-kata.Sudah tiga hari hujan mengguyur menjadikan pakaian kadang tidak kering te
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa