“Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.
***
Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.
Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.
Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.
Setelah mandi dan mengenakan daster ukura
Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti
POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d
"Kamu mendua, Fan?" tanyaku ketika Rafan baru saja pulang dari kantor pukul sepuluh malam.Lelaki itu bergeming sesaat, lalu mengacak rambut. "Suami baru pulang bukannya diurus, malah difitnah."Aku tersenyum miris, pasalnya Rafan pernah berjanji bahwa selama aku hidup, ia tidak akan pernah mendua. Akan tetapi, kenyataan yang ada berbeda, walpaper ponselnya ada foto perempuan.Rafan menjatuhkan bobot di tempat tidur tanpa mengganti pakaian kerja. Selama ini lelaki itu selalu pulang cepat, tidak dengan sekarang sejak dua bulan terakhir. Beberapa kali aku mencium aroma parfum perempuan, hanya saja ia mengelak ketika ditanya."Jujur, Fan!" titahku ketika ia mulai menutup mata. "Siapa perempuan di walpaper ponselmu?""Bukan urusanmu!" ketusnya.Dengan entengnya lelaki bermata sipit itu menjawab. Padahal ia selalu mengingatkan kalau suami adalah pakaian bagi istri, begitu juga sebaliknya. Aku jadi curiga kalau di luar sana ada perempuan lain yang
"Kamu serius, Fan? Atau aku yang salah dengar?""Aku serius. Kami sudah menikah secara siri."Kalimat Rafan menghancurkan benteng yang berusaha aku bangun. Tidak ada sakinah lagi dalam rumah tangga kami karena istana kedua sudah ada. Luka yang terpatri dalam hati, aku yakin tidak akan pulih kecuali ada kehendak dari Tuhan.Tangan kiri ini meremas kuat piyama tidur yang aku kenakan. Sesak dalam dada semakin menjadi, aku lemah hingga jatuh ke lantai. Lelaki itu tetap diam di tempat menyaksikan luka membunuh istrinya secara perlahan."Kamu baik-baik saja, Raline?"Pertanyaan yang bodoh. Lelaki itu kerasukan setan mungkin sampai tidak bisa membedakan ketika aku senang atau terluka. Seharusnya segera mengangkatku ke tempat tidur sekaligus meminta maaf atas kesalahannya, lalu berjanji tidak akan mengulangi.Mungkin, ini hanya sekadar harapan yang terpendam dalam hati. Nyatanya Rafan tidak melakukan itu, kakinya seperti terpaku di bumi. Untuk sesaa
Sesampainya di rumah aku menangis dengan suara keras. Uang yang diberi Marsha tadi aku tinggal di meja, juga tidak membalas pesan itu melainkan langsung memblokir. Semua terjadi di luar kendali, aku semakin terluka.Berulang kali aku mengembus napas kasar karena dada terasa sesak. Mata menatap langit-langit kamar seraya mengingat kenangan indah di awal pernikahan. Rafan yang penyayang dan perhatian membuatku terlena hingga tidak pernah berpikir akan diduakan.Ada telepon dari Rafan, ini yang ke delapan kalinya. Terpaksa aku mendekatkan ponsel ke telinga dan terjawab otomatis. "Ada apa?" tanyaku dengan suara serak."Jangan usik Marsha. Aku mohon."Lelaki yang aku anggap sebagai matahari penggerak mimpi semakin merobohkan benteng pertahananku. Ia benar-benar tidak memikirkan bagaimana perasaan istrinya jika memohon demi perempuan lain.Aku terngungu. Tidak ada kata yang pantas terucap. Rafan lebih mencintai Marsha. Andai bisa marah kepada takdi
Setelah Rafan pergi, aku langsung menyambar ponsel yang terletak di nakas. Pagi ini kami tidak saling bicara sepatah kata pun. Bahkan tadi malam tidur saling memunggungi, tenggelam dalam pikiran masing-masing.Sejak masa lajang dulu, ada dua sahabat yang setia menemani. Mereka adalah Mei dan Farah. Keduanya masih bekerja sembari menunggu pangeran datang menjemput. Panggilan langsung terhubung ke Mei."Ada apa, Lin? Tumben banget kamu telepon aku di hari weekend, biasanya ngabisin waktu bersama Rafan."Aku menggaruk hidung yang tidak gatal, lalu menjawab, "kalau kamu tidak sibuk, datang ke sini bareng Farah. Ada gosip baru!"Perempuan di seberang telepon setuju dan akan tiba dalam waktu dua jam. Aku meletakkan ponsel, lalu ke luar dari kamar untuk melakukan pekerjaan rumah. Farah dan Mei pasti bisa diandalkan untuk menemukan solusi.Dua jam kemudian mereka benar-benar sudah tiba. Kami memeluk melepas rindu karena dua pekan ini tidak pernah bertemu.
"Bangun, Sayang!" titah Rafan. Aku menggeliat sambil memaksa mata untuk terbuka. Meski berat, mau bagaimana lagi karena ini pasti sudah pukul tujuh. "Sudah jam berapa?" tanyaku memastikan begitu melihat sinar mentari yang sangat menyilaukan mata. "Jam sembilan pagi. Marsha aja sudah selesai memasak, Lin." Jawaban Rafan spontan menepis kantuk. Gegas aku ke kamar mandi, mencuci wajah dan sikat gigi. Setelah itu, melangkah cepat ke luar menuju dapur. Kosong. Tidak ada Marsha di sini. Aku menatap kesal pada Rafan yang tertawa kecil. "Apa maksudmu, Fan?" tanyaku penuh selidik. Ia pun menjelaskan kalau susah membangunkanku. Jadi, ada ide baru dengan cara menyebut nama Marsha. Aku memanyunkan bibir karena kesal merajai hati. Sementara Rafan, ia terus tertawa lepas. Jantung berdegup tidak normal. Apa dia tidak menyadari bahwa perempuan mana pun akan cemburu kika kekasihnya atau lelaki yang dia cintai menyebut nama perempuan lain sekalipun itu hanya sebuah candaan? Oh, tolonglah! Kenapa
Tidak sesuai rencana karena sejak siang tadi hingga pukul delapan malam, Rafan belum juga pulang ke rumah. Alasannya ketika hendak pergi tadi adalah ada urusan kantor. Aku yakin, pasti ia ke rumah Marsha lagi.Semua sudah aku ceritakan pada ibu ketika ayah mertua sedang berada di kamar mandi. Tentang perselingkuhan Rafan dan kabar kehamilan itu. Rupanya, ibu tahu betul siapa Marsha. Mereka pernah akrab beberapa bulan sebelum akhirnya perempuan itu menghilang meninggalkan luka di hati putranya."Apa setiap hari Rafan selalu meninggalkanmu hingga larut malam, Lin?" tanya ibu memecah lamunanku."Tidak, Bu. Rafan selalu pulang tepat waktu." Aku berbohong. Terpaksa melakukan ini agar air mata ibu tidak lagi jatuh. Ayah yang sedang menelepon tidak bisa mendengar percakapan kami.Ibu mengaku sedih karena hanya satu malam di sini. Begitu pun denganku. Tempat untuk bercerita akan pulang, tentu aku merasa kesepian. Andai saja bisa ikut mereka, tetapi ayah akan mena