Satu jam kemudian sarapan pagi telah siap oleh ibu, kami duduk berempat di meja makan. Rafan tetap bertingkah seperti biasa seakan tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ayah dan ibu mertua diam dan hanya ada denting sendok yang berbunyi saling tabrakan.
“Lin, kamu ke sini bawa baju?” tanya Rafan saat selesai sarapan.
“Enggak karena ke sini juga sebenarnya gak rencana nginap.”
Aku mengambil bekas piring Rafan dan membawanya sekalian ke wastafel untuk dicuci, begitu pun dengan piring ayah dan ibu. Hingga saat ini ibu belum menampilkan senyum seperti biasa yang selalu ia suguhkan. Rafan seperti tidak menyadari hal itu, ia kembali fokus menatap ponselnya.
Ibu menatapku iba kemudian melangkah pelan mendekati Rafan. “Rafan, kamu nginap dulu atau menemani istrimu pulang?”
Rafan terperanjat. Wajahnya pucat pasi bahkan ponsel di tangannya hampir saja terjatuh. Ia menatapku gugup, seperti seseorang yang sedang tertangkap
Rafan : Kamu di mana?Rafan mengirim pesan Whats*pp sejak pukul 19.55, tetapi baru aku baca 20 menit kemudian. Mungkin ia baru sampai di rumah setelah berpuas-puas bahagia dengan Marsha. Aku yakin ia lupa waktu karena untuk dua insan yang saling mencintai pasti akan mengira dunia milik mereka berdua, sedangkan yang lain cuma menumpang.Aku : Di rumah ibu. Kenapa?Rafan akhirnya melakukan panggilan video. Aku langsung mengangkat dengan memasang wajah datar sebelumnya. Ia terlihat memperhatikan sekitar, mungkin ingin memastikan ibu siapa yang aku maksud.“Sejak kapan di situ? Ibu sakit?”“Sore tadi, pukul lima lewat. Ibu sehat, ayah juga.” Aku menjawab dengan ekspresi datar.“Keluar rumah tanpa izin suami itu dosa, Lin. Kamu gak ngehargai aku lagi sebagai suamimu?” Kali ini ia berlagak sok ustad.“Rafan Suamiku Sayang, kalau memiliki perempuan lain tanpa seizinku sebagai istri sah apa itu termas
POV RAFANAku termenung di rumah sendirian saat mengingat kejadian di masjid tepat ketika aku melihat Marsha. Sungguh, hati ini selalu mengingatkan pada Raline, tetapi ragaku melakukan kesalahan.Marsha mendekat dan meminta nomor ponsel, aku menolak saat itu. Akan tetapi, ia perempuan gigih sehingga malam-malam berikutnya kami sudah saling bertukar nomor. Tepatnya nomor Whats*pp.Takut ketahuan oleh Istriku Tercinta—Putri Raline, nama Marsha aku ubah menjadi Bos Martin agar ia mengira bahwa kontak itu memang lelaki. Setiap hari ia mengirim pesan dan terkadang aku abaikan, tetapi Marsha mengancam akan memberitahu Raline. Aku kalah dan salah dalam hal ini seharusnya tegas sedari awal.Hari-hari berlalu, Marsha mulai bercerita bahwa suaminya sudah menceraikan tanpa alasan. Setelah aku paksa jujur, ternyata lelaki itu selingkuh dengan perempuan lain. Saat itu diri ini sangat marah, bagaimana mungkin ia menyia-nyiakan perempuan secantik dan sebaik Marsha
POV RALINE“Apa benar ia akan datang, Far?” tanyaku pada Farah yang sejak kemarin mengabarkan kedatangan Rafan. Ya, bahkan telinga ini mendengar saat Farah meneleponnya dan menanyakan kejelasan. Aku juga mendengar tentang kalimat cinta yang lelaki itu ucapkan karena Farah memang sengaja menekan icon speaker.Hati ini luluh dan ingin membalas kata-kata itu. Namun, Farah membekap mulut ini dengan tangan kanannya. Aku tahu maksud sahabatku, ia pasti ingin aku bahagia entah bersama Rafan atau pun tidak. Hanya saja ... ia bilang menunggu saat tepat dan Rafan harus datang dulu.Jika ia serius, tentu akan menuruti saran Farah. Jika tidak, kami semua akan pertimbangkan ulang untuk menerima Rafan kembali atau tidak. Ini bukan hanya masalah dihormati atau tidak, tetapi hati. Rasanya terlalu sakit jika harus tinggal serumah dengan adik madu.Jangankan serumah dan berbagi cinta, ketahuan bercanda ria dengan perempuan lain saja hati pasti menaruh ras
Saat Mei beralih menatap Rafan, ia memasang wajah kecut. “Rafan, kamu nyakitin Raline sama aja nyakitin aku dan Farah. Kami sudah satu rasa sehingga jika Raline sedih kami juga sedih. Kalau kamu berani nyakitin Raline, dzalim sama dia, berarti kamu harus selalu siap berhadapan sama kami.”“Iya, Mei, aku paham. Maafkan aku menyakiti sahabatmu.”“Kalau gitu ... aku pamit dulu,” ucap Rafan lagi.Aku menatapnya yang tersenyum kecut, lalu beralih menatap ayah dan ibu. Keduanya mendekati Rafan. “Tinggallah di sini bersama Raline sampai semuanya kembali seperti dulu, Nak,” ucap Ibu tersenyum.Rafan mengangguk, lalu ikut tersenyum. Hari ini sepertinya akan berlalu dengan baik. Semoga saja Rafan tidak berubah dan melakukan kesalahan yang sama. Sungguh aku berharap ia kembali ke dalam pelukanku.Saat malam menyapa setelah makan kami langsung kembali ke kamar. Rafan terlihat kaku, mungkin masih malu-malu.
Masih teringat saat Kak Rina juga bertamu ke rumah ibu, hati sangat ingin mengutarakan segala beban. Namun, ibu melarang dengan alasan kasihan kakak yang akan kepikiran. Aku memaklumi dan hanya bisa memendam dalam hati. Lagi dan lagi.Setelah kakak pulang, barulah Rafan datang dengan membawa boneka warna merah muda. Boneka itu memeluk bantal love bertuliskan huruf R. Rafan membeli di mana aku tidak peduli asal itu halal. Boneka itu kini di tanganku, sementara Rafan sudah berangkat kerja sepuluh menit yang lalu.“Farah mana, ya?” gumamku saat melihat jam.Jika berada dalam kamar sendirian, pikiran terus menerawang jauh. Sebenarnya tadi malam Rafan mengajakku pulang ke rumah karena malu terus-terusan menumpang, tetapi aku enggan. Khawatir pikiran semakin kacau dengan bayangan Marsha, kemudian melakukan tindakan bodoh yang bisa mencelakai diri.WhatsApp Mei tidak pernah aktif saat aku cek tadi malam. Kabari dari Farah, ia semakin manja dan mungki
Hari sabtu adalah yang dinanti-nanti seorang istri karena sang suami tidak harus pergi bekerja melainkan menghabiskan waktu bersamanya. Namun, rencana memanfaatkan weekend dengan jalan-jalan bukan sekarang, tetapi besok. Ibu berencana di rumah saja untuk menghidupkan suasana karena biar bagaimana pun rumah adalah surga kita.Kami semua sudah mandi, aku memakai baju kaos putih lengan panjang bermotif ungu sepasang dengan Rafan, sementara Ayah dan Ibu juga couple dengan baju gamis dan kemeja. Kali ini aku memakai rok model baru berwarna hitam serasi dengan celana Rafan.Kami terlihat seperti keluarga bahagia. Sebelum mengobrol ringan sambil menikmati banyak kue dan minuman yang sudah Ibu persiapkan sejak semalam bahannya, kami mengambil beberapa foto dulu. Kak Rina dan suaminya juga diundang dan sedang dalam perjalanan.Jam sudah menunjuk angka setengah dua belas, pintu terketuk dan suara salam terdengar dari luar. Ya, itu jelas suara milik Kak Rina. Ibu mem
Kami berada dalam kamar setelah mencuci pakaian. Ayah dan Ibu berada di bawah dengan kesibukan masing-masing. Sejak kepulangan mertua dan Kak Rina kemarin, aku dan Rafan belum saling bicara. Mungkin sekarang adalah saatnya.Ia duduk termenung di tempat tidur, sementara aku berada di kursi. Memang tadi malam kami masih satu ranjang, tetapi tetap saling memunggungi. Bukan aku tidak takut dosa, tetapi hati ini butuh untuk dipulihkan dan sepertinya saat ini Rafan bukanlah penawar luka.“Rafan ....” Ia mengalihkan pandangan kepadaku. Kedua matanya bengkak lagi merah seperti habis menangis.“Boleh kamu beri penjelasan dengan jujur tentang kata-kata Marsha kemarin?”“Kata-kata yang mana?” tanya Rafan dengan suara yang lemah. Sebenarnya aku ingin mendekap, lalu menghiburnya. Namun, harus bagaimana jika hati ini saja sama bahkan lebih terluka.“Kamu selalu merindukannya dan lebih menyayangi Marsha karena ia telah me
Nyatanya Hati Ini RinduAku adalah perempuan lemah yang tidak tahu harus berbuat apa jika dihadapkan pada masalah serius terutama jika belum pernah mengalami sebelumnya. Memang sering membaca kisah dan cara jitu hadapi istri kedua, tetapi mempraktikkannya susah sekali. Apalagi mengingat mereka yang sah di mata agama.Tidak semua perempuan kedua adalah pelakor. Adapun dalam islam memperbolehkan poligami, tetapi dengan syarat tertentu. Sepertinya aku harus berusaha seikhlas Arini dan membunuh dongengnya sendiri. Namun, ucapan adalah hal mudah, sedangkan mempratikkannya barulah tantangan besar.Saat kita berlayar, harus selalu siap ketika berada di tengah laut dan diempas ombak berulang kali. Jika selamat di tengah badai, itu adalah pertolongan Allah dan jika harus tenggelam, itu adalah takdir dari-Nya.“Lin?” panggil Ibu saat aku tengah mencuci piring.“Iya, Bu?”“Ibu mertuamu masuk rumah sakit, penyak