SUASANA rimba Sorowua, seperti biasa, begitu lengang. Burung-burung pun seakan-akan enggan bernyanyi kepada alam. Hari sebenarnya sudah menjelang siang, namun karena rimbunnya pepohonan yang demikian rapat dan berlumut, menjadikan keadaan di rimba ini seperti senja saja. Sinar matahari tak mampu menembus langsung ke dalamnya. Kabut-kabut abadi yang bertebaran di seantero rimba membatasi jarak pandang. Batu-batu cadas yang besar-besar dan berlumut bertebaran di mana-mana. Kondisi yang demikian bukan saja menjadikan suhu di daerah ini begitu dingin, namun juga memberi kesan demikian angker. Maka tidaklah berlebihan, jika warga di desa-desa sekitar kaki gunung rimba ini menilainya sebagai rimba yang sangat besar uraga-nya (sangat angker dan wingit), sehingga amat jarang orang yang memasuki rimba ini seorang diri, baik untuk berburu rusa, sarang madu, maupun untuk mengambil kayu.
Konon, rimba Sorowua dijaga oleh sesosok siluman putih: berjubah putih, berjenggot putih, berkulit putih, serta bermata sipit. Entah dari mana desas-desus ini bermula. Namun yang jelas, desas-desus itu telah terlanjur dipercayai oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kaki gunung sebagai sebuah kebenaran, setidaknya sejak lima belas tahun yang lalu. Walhasil, keperawanan rimba pun masih terjaga!
Dalam pada itu, di tengah rimba yang katanya sangat angker tersebut, mendadak sesosok bocah laki-laki berlari dengan demikian ringan dan cepatnya menuju ke arah barat.
Apakah ia juga sesosok siluman selain sesosok siluman yang berjubah putih, berjenggot putih, berkulit putih, serta bermata sipit seperti yang dipercayai oleh masyarakat di sekitar kaki gunung?
Entahlah. Namun yang pasti, kondisi rimba yang berkabut dengan pepohonan dan bebatuan yang besar-besar dan rapat di sana sini, sama sekali tidak digubris oleh si bocah yang naga-naganya baru berusia belasan tahun dan berperawakan kekar itu. Ia berlari seperti layaknya di tanah yang lapang dan jelas. Rupanya si bocah sudah sangat hafal dengan medan rimba. Di kedua belah tangan masing-masing menjinjing seekor kelinci hutan. Rambutnya yang panjang melewati pundak dan terikat semacam kain, masih bisa bebas meriap kebelakang akibat kencangnya larinya.
Ketika tapak kakinya mendekati mulut sebuah jurang panjang sempit namun sangat curam yang menghadang di depannya, si bocah bukannya menghentikan larinya. Namun…
"Hupp...!!"
Hanya dengan satu gerakan ringan mulut jurang itu pun dilampauinya. Kedua kakinya menapak indah di pinggir jurang seberang. Sesaat si bocah berhenti, menengok ke belakang, ke mulut jurang, dan berucap ngeri, "Hiiih...!!" Seperti ada sesuatu yang lucu, ia pun cekikikan, lalu kembali melanjutkan larinya.
Akan tetapi, belum lagi jauh dari mulut jurang sempit, mendadak satu kilatan cahaya putih kemilau menderu dahsyat kearah si bocah.
Wusss...!!
"Eittt...!" si bocah melakukan satu gerakan salto yang sangat cepat, melampaui ujung cahaya putih yang sangat mematikan itu.
Dummm...!!
Sebuah bunyi dahsyat terjadi. Cahaya putih kemilau itu menghantam dinding sebuah bebatuan raksasa yang tak jauh dari samping si bocah. Dinding batu cadas itu rontok dalam bentuk serpihan-serpihan kecil yang menghitam. Bisa dibayangkan, jika serangan cahaya itu mengenai tubuh si bocah, mungkin tubuh si bocah akan berubah menjadi setumpuk abu, yang kemudian lenyap berhamburan dalam sekejap!
Tetapi anehnya, si bocah, yang rupanya bukanlah seorang bocah sembarangan, bukannya menggubris serangan berbahaya itu, apalagi sekedar mengelus dada, justru dengan cueknya ia kembali cekikikan sembari melanjutkan larinya.
Namun, belum lagi beberapa jauh si bocah berlari, tiba-tiba sebuah bola api raksasa kembali menderu, memburu cepat ke arahnya.
Seolah-olah si bocah tak ambil peduli. Akan tetapi, ketika bola api itu tinggal beberapa meter lagi menghantamnya, tiba-tiba tubuh si bocah seolah-olah menyemplung ke dalam bumi dan bola api menghantam sebatang pohon yang berada di depan hingga tumbang dan terbakar. Lalu tiba-tiba si bocah muncul kembali ke permukaan, menggeleng-geleng pelan, cekikikan, lalu melanjutkan lagi larinya.
Akan tetapi lagi-lagi dari arah samping satu bola api lagi datang menderu ke arahnya. Kaget juga si bocah mendapat kiriman bola api maut itu. Ia menghentikan larinya. Sadarlah ia bahwa seseorang tengah mengintainya, dan menghendaki nyawanya. Namun ia tidak sempat berpikir tentang siapakah gerangan orang yang hendak mencelakakannya itu, karena bola api demikian cepat melesat ke arahnya. Dan ketika beberapa kejap mata lagi bola api itu akan meluluhlantakkannya, si bocah menghentakkan kakinya dan tubuhnya melesat ke atas lalu sehingga bola api lewat di bawahnya.
Bumm...!!!
Satu ledakan dahsyat yang disertai kepulan asap hitam pekat terjadi. Bola api menghantam permukaan bumi di mana si bocah tadi berdiri. Ketika asap hitam tebal lenyap, maka tampaklah sebuah lubang menganga yang menyerupai kawah telah tercipta. Kenyataan itu memberi gambaran, bahwa bola api itu merupakan hasil olah nafas dan tenaga dalam tingkat tinggi dari sang empunya. kedahsyatannya setingkat di atas serangan pertama berupa cahaya putih kemilau.
"Woiii...!" Teriakan si Bocah membahana. Dengan sikap waspada tinggi, ia mengedarkan pandangannya ke seantero daerah di sekelilingnya. Tapi tak tampak siapa-siapa, kecuali senyap kembali setelah gema suaranya lenyap. "Aku bisa pastikan bahkan kau bukanlah jin atau henca Jadi tak perlu petak umpet. Jika ingin bermain-main denganku, maka tampakkan saja wujudmu. Tak perlu sembunyi-sembunyi begitu...!" (Henca = siluman; demit)
Tak ada sahutan, kecuali gema suaranya sendiri.
"Sangat burukkah wajahmu, sehingga kau tak berani menampakkan diri? Atau sangat bau...?" Si bocah kembali mencoba menyapa. Namun lagi-lagi hanya disahuti oleh gema suaranya sendiri. Beberapa lama menunggu, masih juga tak ada tanda-tanda jika sang pengintai dan penyerang ada di sekitar itu.
"Jika kau tidak juga mau menampakkan diri, lebih baik aku melanjutkan perjalananku! Tak ada untungnya bagiku untuk melayani manusia aneh dan jelek sepertimu...!" Dan naga-naganya si bocah tak berminat untuk mendengar tanggapan dari si mahluk misterius, ia pun melanjutkan perjalanannya.
Akan tetapi, baru beberapa langkah ia berlari si bocah, telinganya mendengar suara "krekk...!" dari arah belakangnya. Seperti suara reranting kering yang terpijak. Saat ia menoleh ke belakang...
Wuss...wuss...wuss...!!
Puluhan batang kayu yang rata-rata sebesar paha orang dewasa meluncur deras mengancam tubuh si bocah. Sesaat si bocah terkesiap mendapat ancaman itu.
Kurang ajar! Rupanya dia benar-benar ingin mengajakku bermain...!
Si Bocah menjatuhkan begitu saja dua ekor kelinci yang dijinjingnya. Ia tidak mau menganggap enteng terhadap serangan itu. Dengan cepat kedua tangannya disilangkan di depan dada sembari menyedot kekuatan alam dengan satu tarikan nafas. Pada saat puluhan batang kayu itu hanya beberapa depa menghujam tubuhnya, si bocah segera memutar kedua tangannya sedemikian rupa yang disertai teriakan nyaring dan berat yang memekakkan telinga mahluk apa pun yang mendengarkannya.
"Heaaahhh...!"
Si bocah menghentakkan kaki kanannya. Seketika itu juga bumi di sekitar itu bergetar, angin laksana puting beliung menghembus keras, mengintari tubuhnya. Pertanda bahwa si bocah tengah mengerahkan tenaga dalam yang cukup tinggi. Pada saat kedua kepalan tangan si bocah diarahluruskan ke depan, angin itu langsung menyongsong dan menerbangkan kembali puluhan batang kayu itu ke berbagai arah. Beberapa batang patah berkeping-keping. Namun beberapa yang lainnya menancap dan menembusi pokok pohon besar yang dikenainya masing-masing.
Beberapa saat kemudian, si bocah mengatur kembali nafasnya, lalu berkata santai, "Jika kau tidak mau juga menampakkan wujudmu, maka bagiku kau adalah mahluk pengecut dungu yang menyedihkan yang pernah aku kenal..!"
Setelah berkata demikian, si bocah membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. Mendadak suara cekikikan yang bernada mengejek mengurunkan langkahnya. Si bocah segera menoleh ke arah datang suara cekikikan itu. Lihainya pula, begitu si bocah menengok, suara cekikikan itu berhenti. Si bocah mengamati setiap detail rimba dengan seksama yang disertai sikap waspada. Tetapi bayangan pun orang yang tertawa itu tak ada. "Kikikikikiki...." "Hmm...??" Sontak si bocah menoleh ke belakang, dari mana suara cekikikan itu berpindah. Namun lagi-lagi suara cekikan itu berhenti mendadak. Si bocah benar-benar merasa dipermainkan oleh manusia misterius itu. Manusia itu bukan hanya mengeluarkan cekikikan ejekan saja, melainkan suara cekikikan dikirimkan dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, yang efekn
Saat Dato Hongli menoleh, dan langsung mengirimkan pukulan kembali. Tetapi baru saja pukulan berupa gumpalan cahaya panas sebesar kepala manusia itu dikiblatkan ke atas, La Mudu telah lebih dahulu mengirimkan serangannya berupa gumpalan cahaya panas yg sama. Duearrrr.....!! Satu ledakan yang cukup dahsyat pun terjadi di depan Dato Hongli. Dan Tak ayal, tubuh orang tua yang masih terus menyelimuti dirinya dengan cahay putih kemilau itu pun terpental ke belakang dan jatuh membanting pantat di atas reranting kering yang menumpuk. Dato Hongli merasakan sakit di bagian pinggangnya, sehingga mau tak mau harus meringis juga. Ia hendak mencoba mengatur kembali nafasnya dengan menyalurkan tenaga murni ke seluruh jaringan tubuhnya. Namun belum lagi ia melakukannya, tiba-tiba telinganya menangkap suara decakan seperti suara c
MARI KITA kembali dulu ke enam belas tahun yang silam... Desa Tanaru adalah sebuah desa yang cukup padat, berada di pesisir timur Pulau Sumbawa, yang letaknya berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang. Sumber mata pencaharian warganya adalah berlaut. Namun mereka juga bercocok tanam dan beternak kerbau, kuda, dan kambing. Lahan sabana dan persawahan yang luas dan subur yang berada di belakang perkampungan, mendukung setiap usaha yang mereka lakukan. Maka tidaklah heran, jika desa Tanaru merupakan salah satu desa yang sangat makmur di negeri Babuju kala itu. Dan teknologi penangkapan ikan untuk ukuran saat itu pun cukup maju di desa ini, sehingga menghasilkan penangkapan yang berlimpah, lalu disuplay di pasar-pasar di kota raja. Ya, kedamaian dan kemakmuran benar-benar terkaruniakan kepada segenap warga desa Tanaru. Kondisi tersebut juga tak lepas dari sifat kepemimpinan galara (kepala desa) mereka, Jara Tawera alias Ompu
Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini. Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia cukup lanjut, berkulit putih, bermata sipit, jenggot dan kumis panjang memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu. "Haiya...! Benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" bergumam laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram, menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutn
Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya. "Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk. "Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, se
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai. "Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?" "Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan." "Guru gembleng kalian pendekar dari mana?" La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana). "Hmmm.." Hongli mengangguk
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de